Tsunami Iquique (Cile), Status Waspada dan Pelajaran dari Jayapura

Pada Kamis 3 April 2014 pukul 08:30 WIB sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Indonesia Tsunami Early Warning System/Ina-TEWS) di bawah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) secara resmi mencabut peringatan dini tsunami bagi seluruh Indonesia. Sebelumnya peringatan dini mulai diberlakukan sejak Rabu 2 April 2014 pukul 09:30 WIB sebagai respon atas gempa besar yang mengguncang Iquique (Cile). Gempa besar tersebut berkekuatan Mw (moment-magnitude) 8,2 dan berkualifikasi gempa megathrust yang bersumber di dasar Samudera Pasifik lepas pantai kawasan Iquique. Selain gelombang sesimik yang dirambatkan ke segenap penjuru, gempa megathrust ini juga disertai dengan pengangkatan dasar laut setempat yang signifikan. Pengangkatan inilah yang menghasilkan salah satu bencana geologi yang menjadi momok Indonesia: tsunami.

Gambar 1. Peta distribusi tinggi tsunami di laut lepas (bukan di pantai) sebagai hasil simulasi tsunami Iquique 1 April 2014 yang dipublikasikan NOAA. R = stasiun pasang surut Rikitea, Polinesia, S = pelampung (buoy) tsunami di dekat Saipan dan M = pelampung tsunami Manus utara. Sumber: NOAA, 2014 dengan penambahan seperlunya oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 1. Peta distribusi tinggi tsunami di laut lepas (bukan di pantai) sebagai hasil simulasi tsunami Iquique 1 April 2014 yang dipublikasikan NOAA. R = stasiun pasang surut Rikitea, Polinesia, S = pelampung (buoy) tsunami di dekat Saipan dan M = pelampung tsunami Manus utara. Sumber: NOAA, 2014 dengan penambahan seperlunya oleh Sudibyo, 2014.

Setelah menganalisis potensi terbentuknya tsunami berdasarkan parameter kegempaan yang telah diketahui saat itu dan implikasinya bagi Indonesia lewat program komputer TOAST (Tsunami Observation and Simulation Terminal), maka Ina-TEWS pun menetapkan 115 kabupaten/kota di Indonesia berada dalam status WASPADA tsunami. Kabupaten/kota tersebut terletak di hampir seluruh propinsi di Indonesia, kecuali ujung utara pulau Sumatra, sisi barat dan selatan pulau Kalimantan, sisi barat pulau Sulawesi dan sisi barat pulau Irian. Hasil pemrograman TOAST memprakirakan tsunami Iquique bakal tiba di perairan Indonesia dalam waktu 20 hingga 37 jam pasca gempa dengan tinggi bervariasi antara 0 hingga 50 cm.

Status WASPADA tsunami kontan membikin sebagian kabupaten/kota itu berubah jadi hiruk-pikuk khususnya di daerah pesisirnya. Di sejumlah tempat penduduk memilih mengungsi. Misalnya seperti di Pancer (Banyuwangi) dan Logending (Kebumen) yang masih menyimpan trauma akan bencana tsunami masa lalu. Pengungsian juga terjadi di pesisir Sumatra Barat, kawasan yang telah lama digadang-gadang bakal menjadi arena hempasan tsunami dengan ketinggian cukup besar bilamana segmen megtahrust Mentawai meletup dalam sebuah gempa besar atau bahkan malah gempa akbar. Di tengah hiruk pikuk tersebut, pemantauan perubahan paras air laut melalui pelampung (buoy) tsunami yang terpasang di beberapa titik di tengah samudera sekeliling Indonesia di bawah IDBC BPPT (Indonesian Buoy Center Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) maupun lewat stasiun-stasiun pasang-surut di berbagai pelabuhan yang berada di bawah payung BIG (Badan Informasi Geospasial, dulu Bakosurtanal) menunjukkan tak ada tanda-tanda tsunami Iquique memasuki perairan Indonesia.

Gambar 2. Paras air Samudera Pasifik yang terekam di lokasi pelampung tsunami Manus utara. Tsunami nampak sebagai usikan (osilasi) cepat pada paras air laut yang dimulai semenjak 3 April 2014 pukul 02:03 WIB (ditandai dengan garis merah). Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NOAA, 2014.

Gambar 2. Paras air Samudera Pasifik yang terekam di lokasi pelampung tsunami Manus utara. Tsunami nampak sebagai usikan (osilasi) cepat pada paras air laut yang dimulai semenjak 3 April 2014 pukul 02:03 WIB (ditandai dengan garis merah). Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NOAA, 2014.

Bagi sebagian kita, tidak terdeteksinya tsunami Iquique di perairan Indonesia menunjukkan berlebihannya pemberlakuan status WASPADA itu. Peringatan dini yang berlebihan dianggap hanya membikin panik dan membuat terjadinya pengungsian yang tak perlu. Pemberlakuan status WASPADA ini juga dianggap menggerus kredibilitas peringatan dini tsunami Indonesia. betapa tidak? Jika kali ini status WASPADA ternyata tak diikuti hempasan tsunami yang sesungguhnya, bagaimana kita mampu menaruh rasa percaya pada situasi sejenis kelak?

Megathrust

Gempa Iquique tergolong gempa megathrust, karena meletup di di zona subduksi lempeng Nazca yang oseanik (lempeng samudera) dan lempeng Amerika Selatan yang kontinental (lempeng benua). Zona subduksi tersebut membentang di sepanjang lepas pantai barat Amerika Selatan. Secara kasat mata zona subduksi ini terlihat sebagai palung laut yang memanjang dan melekuk menyerupai huruf S. Sejarah mencatat zona subduksi Amerika Selatan merupakan produsen gempa-gempa besar dan akbar yang selalu diiringi peristiwa tsunami merusak. Gempa terbesar sepanjang sejarah umat manusia modern pun terjadi di sini, tepatnya di lepas pantai Cile selatan. Inilah Gempa Valdivia 22 Mei 1960 (Mw 9,5) yang legendaris. Tsunami yang diproduksinya mengandung energi demikian besar yang membuatnya tak banyak mengalami susut energi kala menyeberangi Samudera Pasifik dengan kecepatan beberapa ratus kilometer per jam. Akibatnya kala tiba di pesisir Pasifik yang berseberangan seperti misalnya di Kepulauan Jepang, energinya masih cukup besar. Sehingga tingginya masih lebih dari 10 meter meski telah menjalar sejauh lebih dari 10.000 km dari sumbernya dan membutuhkan waktu 22 jam untuk mencapai pesisir Jepang. Tak ayal, landaan tsunami tak terduga ini membuat 142 orang tewas disertai aneka kerusakan lainnya. Terjangan tsunami lintas samudera inilah yang mendasari dibangunnya sistem peringatan dini tsunami di sekujur pesisir Samudera Pasifik. Di kemudian hari sistem peringatan dini yang sama pun menular ke kawasan pesisir Samudera Atlantik dan kemudian Samudera Hindia.

Gempa Iquique memang tak sebesar Gempa Valdivia. Ia bersumber dari rekahan sepanjang sekitar 200 km dengan lebar sekitar 70 km yang mendadak melenting sejauh sekitar 6 meter. Proses pematahan berlangsung selama 100 detik, sehingga selama itu pula batuan disekelilingnya tergetar. Untuk ukuran manusia, energi yang dilepaskan gempa ini cukup besar yakni mencapai 30 megaton TNT atau 1.500 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom nuklir Hiroshima. Karena merupakan gempa anjak/naik (thrust), yang menyudut 18 derajat, maka pelentingan tersebut berimbas pada terangkatnya dasar laut seluas 200 x 70 kilometer persegi hingga setinggi 2 meter (maksimum). Pengangkatan dasar laut tiba-tiba inilah yang membuat kolom air diatasnya bergolak dan menjadi tsunami. Di atas kertas tsunami produk gempa Iquique mengandung energi sekitar 20 kiloton TNT atau setara dengan kedahsyatan bom nuklir Hiroshima.

Gambar 3. Paras air laut di pelabuhan Benoa (Bali) yang terekam oleh stasiun pasang-surut Benoa di bawah BIG. Garis merah menunjukkan prakiraan waktu kedatangan tsunami di Benoa, yakni 3 April 2014 pukul 09:28 WITA. Namun selain dinamika akibat pasang-surut air laut yang nampak sebagai bertambah tingginya paras air laut secara perlahan-lahan, tak ada tanda-tanda usikan tsunami yang khas di sini. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan situasi di Manus Utara. Sehingga disimpulkan tsunami Iquique tidak mencapai Benoa. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari IOC, 2014.

Gambar 3. Paras air laut di pelabuhan Benoa (Bali) yang terekam oleh stasiun pasang-surut Benoa di bawah BIG. Garis merah menunjukkan prakiraan waktu kedatangan tsunami di Benoa, yakni 3 April 2014 pukul 09:28 WITA. Namun selain dinamika akibat pasang-surut air laut yang nampak sebagai bertambah tingginya paras air laut secara perlahan-lahan, tak ada tanda-tanda usikan tsunami yang khas di sini. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan situasi di Manus Utara. Sehingga disimpulkan tsunami Iquique tidak mencapai Benoa. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari IOC, 2014.

NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), yakni badan kelautan Amerika Serikat, segera merespon situasi gempa Iquique dengan berdasarkan parameter-parameter kegempaan yang disodorkan USGS (United States Geological Survey), yakni badan geologi-nya Amerika Serikat. Segera simulasi tsunami dikerjakan dengan keluaran (output) meliputi prakiraan waktu kedatangan secara umum dan prakiraan distribusi energi yang tercermin dalam bentuk distribusi tinggi tsunami di segenap penjuru Samudera Pasifik. Simulasi menunjukkan bahwa tsunami produk gempa Iquique berpotensi menjadi tsunami lintas samudera meski dengan energi kecil sehingga tinggi gelombangnya hanya bervariasi antara 100 cm hingga 10 cm jika berada di laut lepas (bukan pantai). Maka lonceng peringatan dini melalui Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) pun segera dibunyikan, meminta negara-negara di sekujur pesisir Samudera Pasifik untuk bersiap entah dalam status terendah (status advisory) maupun yang setingkat lebih tinggi (status waspada).

Tsunami memang sungguh-sungguh terjadi dan melintasi Samudera Pasifik. Namun energinya terus melemah kala ia kian menjauh dari sumbernya. Pesisir Cile bagian utara diterjang tsunami setinggi hingga 2 meter dan menyebabkan aneka kerusakan. 6 orang tewas dalam peristiwa ini, sementara 970.000 orang lainnya mengungsi dari tempat tinggalnya masing-masing. Sementara di Kepulauan Hawaii (AS) tinggi tsunaminya hanya sebesar 60 cm, sehingga status advisory yang telah diberlakukan selama 13 jam dicabut. Pada perairan Iwate (Jepang), stasiun pasang-surut setempat mendeteksi terjadinya kenaikan paras air laut maksimum hingga 60 cm yang ditimbulkan tsunami. Sementara pesisir Jepang lainnya pada umumnya diterpa tsunami setinggi 20 hingga 30 cm. terpaan ini tak menghasilkan kerusakan apapun di pesisir Jepang. Dan di dekat Indonesia, tsunami sempat terdeteksi di dua pelampung tsunami yang diletakkan di Samudera Pasifik lepas pantai tenggara pulau Irian, yakni pelampung Manus Utara dan Saipan. Namun ketinggiannya sangat rendah, yakni hanya 1 hingga 10 cm. Dengan energi tsunami yang tergolong kecil untuk ukuran tsunami lintas samudera, nampaknya tsunami Iquique memang telah punah dalam perjalanannya menyeberangi Samudera Pasifik sebelum mencapai pesisir Indonesia khususnya bagian timur.

Jadi bagaimana kita memandang status WASPADA di tengah fakta bahwa tsunami yang ditunggu ternyata telah demikian lemah saat tiba di tanah air?

Jayapura

Gambar 4. Kiri: rumah rusak dan tercebur ke laut dalam peristiwa Jayapura sebagai imbas dari tsunami lintas-samudera yang diproduksi gempa akbar Tohoku 11 Maret 2011. Kanan: rekaman dinamika paras air laut di lokasi pelabuhan Jayapura pada 11 Maret 2011. Nampak tsunami lintas-samudera dari Jepang mulai terdeteksi pada sekitar pukul 12:00 UTC (21:00 WIT). Namun gelombang terbesar baru terjadi dua jam kemudian, kala peringatan dini telah dicabut. Sumber: Diposaptono, 2013.

Gambar 4. Kiri: rumah rusak dan tercebur ke laut dalam peristiwa Jayapura sebagai imbas dari tsunami lintas-samudera yang diproduksi gempa akbar Tohoku 11 Maret 2011. Kanan: rekaman dinamika paras air laut di lokasi pelabuhan Jayapura pada 11 Maret 2011. Nampak tsunami lintas-samudera dari Jepang mulai terdeteksi pada sekitar pukul 12:00 UTC (21:00 WIT). Namun gelombang terbesar baru terjadi dua jam kemudian, kala peringatan dini telah dicabut. Sumber: Diposaptono, 2013.

Apa yang terjadi di sudut tenggara Jayapura (propinsi Papua) lebih dari tiga tahun silam mungkin bisa menjadi pelajaran untuk memahami situasi di sekitar status WASPADA tsunami ini. Pada 11 Maret 2011 Jepang diguncang oleh gempa akbar yang meletup di pesisir timurnya yakni di zona subduksi lepas pantai Tohoku. Gempa megathrust yang berkualifikasi gempa akbar ini magnitudo Mw 9,0) melepaskan tsunami berenergi tinggi yang menjalar ke segenap penjuru Samudera Pasifik. Indonesia bagian timur khususnya pesisir utara pulau Irian, pulau Halmahera, pesisir utara pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil disekitarnya menjadi bagian Indonesia yang memiliki resiko tertinggi akan paparan tsunami dari Jepang ini karena berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Peringatan dini tsunami pun segera diudarakan BMKG mulai pukul 16:34 WIT. Pada pukul 21:05 WIT dilaporkan terjadi kenaikan paras air laut sebesar 10 cm di pulau Halmahera. Berselang 45 menit kemudian tsunami dengan ketinggian yang sama juga terdeteksi di Manado (propinsi Sulawesi Utara). Dengan tinggi tsunami yang sangat rendah, maka peringatan dini pun dicabut pada pukul 21:55 WIT.

Siapa sangka, kala di dua tempat tersebut tinggi tsunaminya hanya berkisar 10 cm dan tak berdampak apapun, petaka justru terjadi di sudut tenggara kota Jayapura. Stasiun pasang-surut di pelabuhan Jayapura mencatat tinggi tsunami maksimum 80 cm. Namun tsunami yang lebih tinggi dalam serangkaian gelombang (hingga 5 gelombang) menerpa sudut tenggaranyan yakni kawasan Teluk Yos Sudarso dan Teluk Yautefa. Seorang tewas, sementara sedikitnya 17 buah rumah, 1 jembatan dan sepenggal jalan raya beraspal rusak berat. Analisis lebih lanjut memperlihatkan geometri pesisir tenggara Jayapura yang berteluk rumit membuat massa air laut yang bergerak bersama tsunami lintas-samudera itu berjejal-jejal demikian rupa memasuki teluk. Sehingga tinggi nparas air laut pun melonjak hingga 2,5 meter. Tsunami menerjang dengan kecepatan mendekati 13 km/jam dan melanda hingga sejauh 250 meter ke daratan dari garis pantai. Lebih menyesakkan lagi, tsunami menerjang kala peringatan dini tsunami untuk seluruh Indonesia secara resmi telah dicabut. Sehingga penduduk yang semula sempat mengevakuasi diri ke daratan lebih tinggi diijinkan untuk mulai kembali ke rumahnya masing-masing. Siapa sangka tatkala mereka sempat merasa lega dan sedang bersiap-siap untuk pulang, mendadak tsunami datang menerjang ?

Seperti halnya peningkatan status aktivitas sebuah gunung berapi di Indonesia yang tak pernah mudah dan tak pernah berdasarkan pada alasan rasional serupa dari waktu ke waktu mengingat perilaku sang gunung pun turut berubah, dapat diduga
bahwa penetapan status WASPADA tsunami di Indonesia pun demikian. Di sisi teknis, parameter kegempaan memang bisa segera diperoleh lewat institusi terkait dan simulasi tsunami juga sudah bisa dilakukan. BPPT bahkan telah mengembangkan aplikasi TURMINA (Tsunami Run-up Model Interface Indonesia) untuk keperluan itu. Namun tak ada jaminan bahwa hasil simulasi tersebut akan sama persis dengan kejadian sesungguhnya di lapangan. Meski simulasi didasarkan pada peta batimetri dasar laut dan peta rupabumi yang sama-sama berketelitian tinggi, namun hasil simulasinya masih banyak mengandung idealisasi yang belum tentu selaras dengan keadaan sesungguhnya di lokasi. Seperti kasus Jayapura di atas, hasil simulasi menunjukkan tinggi tsunami dari Jepang di pesisir utara pulau Irian hanyalah berkisar 20 cm. Faktanya tinggi tsunami yang direkam di pelabuhan Jayapura justru 4 kali lebih besar dan bahkan di sudut kota mencapai 2,5 meter dan menyebabkan aneka kerusakan. Pesisir dengan geometri nan rumit tak hanya dijumpai di pulau Irian saja, namun di berbagai penjuru pulau-pulau besar di Indonesia pun bisa ditemukan. Belum lagi bila sisi sosial turut diperhitungkan.

Gambar 5. Hasil simulasi terkait peristiwa Jayapura. Dengan geometri pesisir yang rumit, maka tsunami yang memasuki teluk Yos Sudarso mengalami penguatan sehingga tingginya membengkak sampai 2,5 meter meskipun di pinggir teluk (yakni di Jayapura) ketinggiannya hanya 80 cm. Sebagai tsunami pun memasuki Teluk Yautefa untuk kemudian melanda kawasan pesisir hingga sejauh 250 meter dari garis pantai. Sumber: Diposaptono, 2013.

Gambar 5. Hasil simulasi terkait peristiwa Jayapura. Dengan geometri pesisir yang rumit, maka tsunami yang memasuki teluk Yos Sudarso mengalami penguatan sehingga tingginya membengkak sampai 2,5 meter meskipun di pinggir teluk (yakni di Jayapura) ketinggiannya hanya 80 cm. Sebagai tsunami pun memasuki Teluk Yautefa untuk kemudian melanda kawasan pesisir hingga sejauh 250 meter dari garis pantai. Sumber: Diposaptono, 2013.

Selain pemahaman akan situasi yang melingkupi penetapan status WASPADA tsunami di Indonesia, akan lebih baik jika dibarengi dengan penguatan kapasitas publik terhadap pengetahuan tsunami dan mitigasinya. Diakui atau tidak, situasinya memang menyebalkan. Media massa elektronik seperti televisi, yang punya daya jangkau terbesar bagi publik Indonesia, justru kerap menggambarkan peristiwa tsunami dari sisi bombastis, malapetaka atau bahkan mistis. Dunia internet pun kerap tak mau kalah. Padahal pengetahuan akan peta bahaya tsunami di suatu lokasi, jalur-jalur evakuasi, titik-titik pengungsian dan hal-hal penting yang harus mendapat perhatian kala evakuasi tsunami sedang berlangsung adalah jauh lebih penting. Pengetahuan tersebut jauh lebih bermanfaat ketimbang menjejali otak kita dengan aneka kisah bombastis dan mistis seputar tsunami yang menyayat-nyayat namun kering manfaat. Sehingga kala peringatan dini tsunami bergaung, evakuasi bisa dilakukan tanpa ditingkahi aneka kepanikan.

Referensi :

1. Diposaptono dkk. 2013. Impacts of the 2011 East Japan Tsunami in the Papua region, Indonesia: Field Observation Data and Numerical Analyses. Geophysical Journal International (2013).

2. Modelling the Tsunami of 1 April 2014 in Chile. Tsunami Engineering Laboratory, Tohoku University.

Tinggalkan komentar