Apakah AirAsia Penerbangan QZ8501 Jatuh Oleh Awan Cumulonimbus?

Sangkala sudah berlalu duapuluh enam hari semenjak pesawat jet komersial Airbus A320-216 bernomor PK-AXC milik maskapai AirAsia penerbangan QZ8501 (atau AWQ 8501) menghilang di Minggu subuh 28 Desember 2014 Tarikh Umum (TU). Pesawat jet yang mengangkut 162 orang ini, 155 penumpang dan 7 kru pesawat, tak pernah tiba di bandara Changi (Singapura) yang menjadi tujuannya selepas bertolak dari bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur (Indonesia). Ia lenyap di ruang udara penuh awan tebal nan gelisah di atas Selat Karimata, di antara pulau Belitung dan Kalimantan. Sudah 59 jasad dievakuasi dari laut, sebagian besar ditemukan mengapung yang tersebar mulai dari Selat Karimata ke perairan sebelah timurnya seperti Teluk Kumai, Laut Jawa dan bahkan hingga hampir menjangkau Selat Makassar. Dari jumlah tersebut, 46 jasad diantaranya sudah teridentifikasi dan diserahkan kembali pada keluarganya.

Gambar 1. Pesawat Airbus A320-216 PK-AXC milik maskapai AirAsia saat parkir di landasan sebuah bandara bertahun silam. Inilah pesawat yang menghilang di atas Selat Karimata pada Minggu pagi 28 Desember 2014 TU saat dalam penerbangan QZ8501 (AWQ8501) rute Surabaya-Singapura. Belakangan diketahui pesawat ini jatuh tercebur ke dasar Selat Karimata. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Gambar 1. Pesawat Airbus A320-216 PK-AXC milik maskapai AirAsia saat parkir di landasan sebuah bandara bertahun silam. Inilah pesawat yang menghilang di atas Selat Karimata pada Minggu pagi 28 Desember 2014 TU saat dalam penerbangan QZ8501 (AWQ8501) rute Surabaya-Singapura. Belakangan diketahui pesawat ini jatuh tercebur ke dasar Selat Karimata. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Bersama dengannya ditemukan pula puluhan kepingan komponen pesawat dalam beragam ukuran, dari kecil hingga besar, dari pintu darurat hingga jajaran kursi. Potongan-potongan besarnya pun telah ditemukan. Ekor pesawat dijumpai dalam keadaan patah dan terpisah, demikian pula sayap kirinya. Sebaliknya sayap kanannya dijumpai masih tersambung dengan sebagian badan pesawat. Moncong pesawat pun juga telah ditemukan, terpisah pula dari badan pesawat. Semuanya telah berubah menjadi rongsokan logam berkeping dan terpilin. Kecuali ekor pesawat, yang telah diangkat dan ditarik ke pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), seluruh potongan besar itu masih tergolek dan (sebagian) terbenam dalam lumpur. Diduga para penumpang yang masih belum ditemukan mungkin terjebak dalam rongsokan badan pesawat yang terbenam ini.

Selagi tim SAR berjuang mengevakuasi kepingan-kepingan pesawat dan jasad-jasad korban di laut, bola panas menggelinding di daratan. Bola mulai ditendang dari Kementerian Perhubungan, yang menganggap penerbangan yang naas itu adalah penerbangan illegal, tak sesuai dengan jadwal yang telah disetujui. Ujung-ujungnya izin penerbangan Surabaya-Singapura milik AirAsia pun dibekukan sementara. Sebaliknya pihak masakapai merasa tak ada aturan yang dilanggar. Apalagi ini penerbangan internasional, yang hanya bisa diselenggarakan jika kedua belah negara yang terlibat baik di bandara asal maupun tujuan telah sama-sama memberikan otorisasinya.

Gambar 2. Titik-titik temuan puing-puing Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam Google Earth (garis putus-putus). Puing-puing itu tersebar dalam rentangan lebih dari 650 kilometer dari Selat Karimata hingga tubir Selat Makassar di pulau Sembilan. Garis kuning menunjukkan proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2014-2015.

Gambar 2. Titik-titik temuan puing-puing Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam Google Earth (garis putus-putus). Puing-puing itu tersebar dalam rentangan lebih dari 650 kilometer dari Selat Karimata hingga tubir Selat Makassar di pulau Sembilan. Garis kuning menunjukkan proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2014-2015.

Bola panas pun dioper ke para pihak terkait seperti otoritas bandara dan pengatur lalu lintas udara, yang sama-sama enggan disalahkan dan merasa telah bertindak sesuai prosedur. Bagaimana AirAsia penerbangan QZ8501 ini bisa terselenggara, dimana otoritas Singapura telah memberikan persetujuannya dan logikanya otoritas Indonesia pun demikian namun Kementerian Perhubungan merasa tak melakukan langkah tersebut, masih belum jelas benar. Belakangan tak hanya AirAsia yang ketiban getahnya, namun juga 61 penerbangan lainnya dari sejumlah maskapai seperti Garuda, Lion Air, Susi Air, Wings Air dan TransNusa Air. Semua penerbangan itu dibekukan sementara, juga atas dasar izin yang dianggap illegal atau melanggar. Belakangan hal ini menjadi blunder setelah penerbangan TransNusa Air ternyata telah memenuhi semua izin. Blunder yang mengindikasikan bahwa salah satu masalahnya justru terletak di tubuh Kementerian Perhubungan sendiri.

Bola panas kedua juga ditendang dari Kementerian Perhubungan. Selagi malapetaka yang menimpa AirAsia penerbangan QZ8501 ini bahkan baru mulai diselidiki, Menteri Perhubungan mencoba membereskan apa yang dianggapnya sebagai masalah laten penerbangan murah (low cost carrier/LCC). Kemungkinan berdasar asumsi bahwa AirAsia penerbangan QZ8501 jatuh oleh perawatan yang kurang memadai seiring perang tarif penerbangan murah, Menteri Perhubungan memutuskan untuk menaikkan batas bawah untuk tarif yang bisa dijual penerbangan murah, dari yang semula 30 % tarif termahal menjadi 40 % tarif termahal. Keputusan ini lagi-lagi terasa blunder setelah hanya diberlakukan untuk penerbangan domestik saja, padahal penerbangan murah di Indonesia juga melayani penerbangan internasional. Tak pelak kritikan pun mengalir deras.

Gambar 3. Posisi temuan potongan-potongan besar badan pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 di dasar Selat Karimata, 180 kilometer sebelah timur-tenggara pesisir timur pulau Belitung. Dua kotak hitam, yakni FDR dan CVR, ditemukan telah terlepas dari ekor dan terhimpit di bawah potongan sayap kiri. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2015.

Gambar 3. Posisi temuan potongan-potongan besar badan pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 di dasar Selat Karimata, 180 kilometer sebelah timur-tenggara pesisir timur pulau Belitung. Dua kotak hitam, yakni FDR dan CVR, ditemukan telah terlepas dari ekor dan terhimpit di bawah potongan sayap kiri. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2015.

Di tengah lontaran bola-bola panas tersebut, pertanyaan mengapa Airbus A320-216 PK-AXC itu terjungkal ke Selat Karimata di Minggu pagi nan gelisah itu terus mengemuka. Kombinasi fakta yang sedikit dan itupun sepotong-sepotong dengan asumsi yang berkeliaran dalam ramuan jurnalisme air mata khas Indonesia membuat sejumlah kambing hitam pun muncul. Salah satunya cuaca. Terutama setelah sejumlah peneliti BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) memublikasikan terdapatnya awan cumulonimbus di lokasi pesawat tersebut melintas. Awan cumulonimbus adalah biang kerok penyebab hujan deras dan bahkan badai. Puncak awan ini sanggup membumbung melampaui batas lapisan troposfer. Pesawat naas tersebut dianggap memasuki awan badai, sehingga mengalami icing (pembentukan es). Pada kondisi tertentu, di dalam awan cumulonimbus bisa terdapat tetes-tetes air superdingin. Begitu menyentuh badan pesawat, segera ia berubah menjadi es yang menyelimuti segenap badan pesawat. Pembentukan es pada sayap bakal membuat aliran udara terganggu berat sehingga daya angkat bisa menghilang. Sementara pembentukan es dalam mesin jet bisa membuat mesin kebanjiran air hingga melampaui batas toleransinya, yang bisa berujung pada matinya mesin.

Kambing hitam kedua, yang juga masih terkait cuaca buruk, adalah pengatur lalu lintas udara (ATC/air traffic controller), khususnya ATC Jakarta. ATC dianggap tidak segera merespon permintaan pilot untuk naik ke altitud 38.000 kaki (11.600 meter dpl) dari semula 32.000 kaki (9.750 meter dpl). Padahal bagi sebagian orang, permintaan itu dianggap sebagai ungkapan tersirat bahwa pilot mengetahui ia dan pesawatnya sedang berhadapan dengan awan cumulonimbus. Dan kambing hitam yang ketiga adalah sang pilot itu sendiri. Ia dianggap gegabah karena terbang tanpa membawa dokumen cuaca, yang baru diambil petugas AirAsia di Surabaya sejam setelah penerbangan QZ8501 menghilang. Belakangan setelah keping-keping badan pesawat dan sejumlah jasad mulai dijumpai di perairan Laut Jawa lepas pantai Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), tudingan baru muncul. Semata atas dasar temuan pintu darurat, pilot dianggap tak cakap dalam mengelola permintaan tolong setelah memutuskan untuk ditching (mendaratkan pesawat secara darurat di permukaan air). Sehingga dianggap pesawat pun perlahan-lahan beserta segenap penumpangnya.

Penyelidikan

Tim Basarnas bersama pasukan TNI telah berhasil mengevakuasi dua radas (instrumen) penting yang merekam segenap aktivitas awak dan pesawat. Lebih dikenal sebagai kotak hitam, meski berwarna orange, kedua radas tersebut adalah perekam data penerbangan (FDR/flight data recorder) dan perekam suara kokpit (CVR/cockpit voice recorder). Keduanya telah diserahkan kepada KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi), sebagai lembaga resmi yang bertugas menyelidiki kecelakaan pesawat di ruang udara Indonesia. FDR merekam 1.200 parameter aktivitas pesawat sejak beberapa ratus jam sebelumnya hingga ke detik-detik terakhir menuju bencana. Beberapa diantaranya adalah status autopilot, kecepatan, percepatan (lateral, longitudinal, vertikal) dan ketinggian. Sementara CVR merekam komunikasi di pesawat, baik antara pesawat dengan pengatur lalu lintas udara/menara bandara dan internal pesawat (pilot dengan kopilot, pilot dengan kabin penumpang dan situasi kabin penumpang).

Gambar 4. Contoh sejumlah parameter hasil rekaman FDR (flight data recorder) yang telah dipublikasikan. Dalam hal ini adalah rekaman FDR Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 TU. Rekaman dibatasi dalam 130 detik terakhir sebelum bencana. Publikasi sejenis juga bakal dilakukan KNKT dalam laporan akhir analisis kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 kelak. Sumber: KNKT, 2008.

Gambar 4. Contoh sejumlah parameter hasil rekaman FDR (flight data recorder) yang telah dipublikasikan. Dalam hal ini adalah rekaman FDR Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 TU. Rekaman dibatasi dalam 130 detik terakhir sebelum bencana. Publikasi sejenis juga bakal dilakukan KNKT dalam laporan akhir analisis kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 kelak. Sumber: KNKT, 2008.

Sesuai aturan, KNKT bekerja secara tertutup dalam menyelidiki seluruh kecelakaan pesawat, termasuk kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 ini. Tapi jika kita rajin menyimak film-film serial bergenre kecelakaan seperti “Seconds from Disaster” atau lebih spesifik lagi “Air Crash Investigation,”kita dapat menebak apa yang bakal dilakukan tim penyelidik KNKT. Dari dua film serial yang sarat informasi dan edukatif, meski sayangnya bukan jenis film yang disukai televisi Indonesia dengan jurnalisme air matanya (ANTeve pernah menayangkan “Seconds from Disaster” musim pertama pada 2005 TU namun hanya bertahan tiga bulan), pertama-tama penyelidik KNKT akan fokus pada FDR dan CVR. Mereka akan menekuni rekaman suara dalam kokpit dan 1.200 data parameter pesawat khususnya dalam menit-menit terakhir sebelum bencana.

Tapi rekaman FDR dan CVR pun kadang tak membantu. Dalam beberapa kasus, rekaman suara dan data pesawat kerap dijumpai terputus begitu saja tepat saat bencana tanpa adanya tanda-tanda peringatan apapun. Bila hal ini terjadi, penyelidik harus melihat ke bangkai pesawat. Beberapa komponen kunci seperti mesin, sayap, kendali permukaannya (rudder, elevator dan aileron), ekor serta panel-panel radas di kokpit harus ditelaah lebih lanjut. Bilamana jawaban tak kunjung ditemukan, maka segenap bangkai pesawat harus diperika secara menyeluruh. Bahkan jika perlu keping demi keping komponen pesawat dirangkai ulang, layaknya menyusun sebuah jigsaw puzzle raksasa. Dari rongsokan logam yang telah disusun ulang ini harus dicari apakah ada anomali pada bagian tertentu. Dan harus dicari pula bagaimana anomali tersebut menyebar kemana-mana yang berujung pada bencana.

Penyelidikan kecelakaan pesawat terbang penting artinya dan luas implikasinya. Sebuah kecelakaan pesawat tak pernah melibatkan penyebab tunggal. Selalu ada sejumlah faktor yang saling berkaitan dan berkembang bersama-sama yang berujung pada bencana. Mengetahui faktor-faktor tersebut merupakan tujuan penyelidikan kecelakaan pesawat terbang. Dari faktor-faktor tersebut akan diketahui apakah kecelakaan akibat kesalahan desain atau kesalahan manusia? Jika kesalahan desain, implikasinya luas sekali karena pabrikan pesawat tersebut harus segera melakukan perbaikan dan memberi jaminan armada pesawat-pesawat yang sama jenisnya untuk tetap aman. Jika akibat kesalahan manusia, maka harus ada perbaikan prosedur bagi kru pesawat, atau bagi pengatur lalu lintas udara, atau bahkan bagi otoritas penerbangan untuk memastikan bencana serupa ini takkan terjadi lagi.

Gambar 5. Grafik dinamika altitud beserta kecepatan menanjak-menukik pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya (atas). Sebagai pembanding adalah dinamika altitud serta kecepatan menukik pesawat Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 (bawah). Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015. Data Adam Air dari KNKT, 2008.

Gambar 5. Grafik dinamika altitud beserta kecepatan menanjak-menukik pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya (atas). Sebagai pembanding adalah dinamika altitud serta kecepatan menukik pesawat Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 (bawah). Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015. Data Adam Air dari KNKT, 2008.

Saat ini KNKT fokus membaca dan mentranskrip data-data dari FDR dan rekaman suara CVR. Di akhir Januari 2015 TU ini mereka siap memublikasikan laporan sementara sesuai ketentuan ICAO (International Civil Aviation Organisation). Namun penyelidikan menyeluruh diperkirakan bakal memakan waktu setahun lamanya sebelum laporan akhirnya dipublikasikan. Laporan akhir juga bakal ditembuskan kepada para pihak terkait: manajemen AirAsia, pengatur lalu lintas udara, otoritas bandara dan direktorat perhubungan udara Kementerian Perhubungan. Bagi kita, khususnya bagi jurnalisme air mata a la Indonesia, waktu setahun ini tentu terlalu lama sementara debu sudah terlanjur mengendap. Namun bagi penyelidikan kecelakaan pesawat terbang di manapun, waktu tersebut masih wajar. Jika mengacu pada kinerja KNKT, bahkan sebelum tenggat waktu setahun mereka beberapa kali sudah memublikasikan laporan akhir penyelidikan kecelakaan pesawat. Misalnya dalam kasus jatuhnya Sukhoi SuperJet100 di Gunung Salak (Jawa Barat) pada 9 Mei 2012 TU, yang laporan akhirnya sudah dipublikasikan tujuh bulan kemudian tepatnya di bulan Desember tahun yang sama.

Awan atau Kendali?

Sejauh ini fakta yang sudah diketahui adalah potongan-potongan besar badan pesawat dijumpai terpisah-pisah di dasar Selat Karimata pada kedalaman sekitar 30 meter dpl. Jarak terjauh antar potongan besar badan pesawat, yakni antara ekor dengan reruntuhan moncong/kokpit pesawat, adalah sekitar 3.900 meter. Keempat sudut penting pesawat, yakni ekor, kedua ujung sayap (kiri dan kanan) serta moncong pesawat, juga sudah ditemukan. Meski baru ekor yang sudah diangkat. Potongan-potongan besar badan pesawat ini cukup berat, sehingga kecil kemungkinannya untuk bisa bergeser jauh oleh terpaan arus laut. Tersebarnya potongan-potongan besar badan pesawat dalam rentang jarak yang cukup besar menjadi indikasi bahwa badan pesawat mungkin sudah tak utuh lagi kala menyentuh permukaan laut. Sehingga kemungkinan terjadinya pendaratan darurat di permukaan laut bisa dikesampingkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan temuan jasad sejumlah penumpang, yang masih terikat dengan sabuk pengaman di kursinya masing-masing.

Gambar 6. Grafik dinamika posisi lintang dan bujur pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya. Lintasan yang seharusnya ditempuh pesawat naas itu digambarkan dalam garis hitam putus-putus. Lintasan yang sesungguhnya dilalui pesawat digambarkan dalam garis merah tak terputus. Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015.

Gambar 6. Grafik dinamika posisi lintang dan bujur pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya. Lintasan yang seharusnya ditempuh pesawat naas itu digambarkan dalam garis hitam putus-putus. Lintasan yang sesungguhnya dilalui pesawat digambarkan dalam garis merah tak terputus. Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015.

Badan pesawat yang sudah tak utuh saat tercebur ke laut juga menjadi penyebab banyaknya kepingan berukuran kecil/ringan dan sejumlah jasad penumpang terserak keluar. Kuatnya arus laut seiring kencangnya hembusan angin di lokasi membuat keping-keping dan jasad-jasad tersebut lantas bergeser secara konsisten ke arah timur. Maka tak mengherankan jika temuan pertama keping pesawat dan jasad penumpang justru terjadi di perairan Laut Jawa lepas pantai Pangkalan Bun dan Taman Nasional Tanjungputing (Kalimantan Tengah). Belakangan jasad dan kepingan pesawat bahkan ditemukan hingga sejauh lebih dari 650 kilometer di sebelah timur titik serakan potongan besar badan pesawat. Yakni di perairan pulau Sembilan (Kalimantan Selatan), yang terletak di perbatasan perairan Laut Jawa dengan Selat Makassar.

Pada 16 Januari 2015 TU KNKT mengumumkan penyelidik telah selesai mengunduh percakapan berdurasi 124 menit yang terekam dalam CVR hingga detik-detik terakhir sebelum bencana. Terungkap bahwa dalam menit-menit terakhir AirAsia penerbangan QZ8501 tidak terdengar suara ledakan maupun suara keras mirip ledakan lainnya. Yang terdengar hanyalah komunikasi dalam kokpit, dimana pilot dan kopilot berjuang mengendalikan pesawat hingga detik-detik akhir. Maka kemungkinan jatuhnya pesswat akibat detonasi bahan peledak dapat dicoret. Aksi terorisme pun dapat ditepis. Meski demikian kemungkinan ledakan oleh sebab lain, misalnya ledakan tanki bahan bakar akibat oleh pendek sebagaimana yang merontokkan Boeing 747-131 Trans World Airlines (TWA) penerbangan 800 pada 17 Juli 1996 TU, belum bisa dikesampingkan. Mengingat ledakan tersebut berhubungan dengan sistem kelistrikan pesawat yang juga menyuplai arus listrik ke CVR dan FDR. Sehingga tatkala hubungan pendek terjadi, arus listrik terputus yang membuat CVR dan FDR berhenti merekam sehingga suara dentuman takkan terekam.

Fakta menarik lainnya yang baru saja dipublikasikan adalah liarnya gerakan pesawat dalam detik-detik terakhirnya. Dalam rapat kerja Menteri Perhubungan dengan Komisi V DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), data radar dan transponder ADS-B (automatic dependent surveilance-broadcast) menunjukkan awalnya pesawat Airbus A320-216 PK-AXC itu melaju stabil di altitud 32.000 kaki (9.750 meter dpl). Anomali terjadi mulai pukul 06:17:16 WIB saat pesawat mendadak menanjak hingga mencapai altitud 9.800 meter dpl dalam tempo 6 detik, dengan tingkat kenaikan 1.400 kaki/menit. 15 detik setelahnya pesawat kian meninggi saja hingga menyentuh altitud 10.270 meter dpl, dengan tingkat kenaikan lebih besar lagi yakni 6.000 kaki/menit. 5 detik kemudian pesawat bahkan sudah menjangkau altitud 10.480 meter dpl dengan tingkat kenaikan yang fantastis, yakni 8.400 kaki/menit. Puncak ketinggian pesawat dalam rangkaian anomali ini tercipta pada pukul 06:17:54 WIB saat ia menjangkau altitud 36.700 kaki (11.190 meter dpl) dengan tingkat kenaikan sebesar 11.100 kaki/menit.

Segera setelah puncak ketinggiannya tercapai, pesawat mulai menukik dengan kecepatan tukik yang tak kalah fantastisnya. Dalam 6 detik, pesawat telah kehilangan ketinggian 460 meter sehingga anjlok ke altitud 10.700 meter dpl. Tingkat penurunannya 15.000 kaki/menit. Berselang 25 detik kemudian pesawat sudah merosot ke altitud 29.000 kaki (8.840 meter dpl) dengan tingkat penurunan masih sebesar 14.880 kaki/menit. Penurunan yang dramatis terus berlanjut hingga pukul 06:18:44 WIB saat pesawat sudah menyentuh altitud 24.000 kaki (7.315 meter dpl) dengan tingkat penurunan 15.790 kaki/menit. Di titik ini pesawat menghilang dari radar, hanya dalam 88 detik sejak anomali bermula. Pergerakan yang sangat liar dalam waktu yang sangat singkat mungkin menjadi penyebab mengapa pilot maupun kopilot tidak sempat menyalakan sinyal distress (kode squawk) secara elektronik, ataupun mewartakan permintaan tolong secara oral.

Gambar 7. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal inframerah yang diambil pada 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis hitam adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Warna gelap menunjukkan posisi awan-awan cumulonimbus. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya, pertanda sedang terjadi badai. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Gambar 7. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal inframerah yang diambil pada 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis hitam adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Warna gelap menunjukkan posisi awan-awan cumulonimbus. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya, pertanda sedang terjadi badai. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Selain menanjak dan menukik demikian fantastis, Airbus A320-216 PK-AXC itu juga menikung ke kiri dengan gerakan yang tak kalah liarnya. Tepat saat anomali mulai terjadi, pesawat itu pun membelok ke kiri. Begitu anomali mencapai puncaknya, pesawat telah berbalik arah menuju ke selatan setelah membentuk putaran setengah lingkaran yang cukup tajam. Tak cukup sampai di situ. Pesawat masih terus berbelok ke kiri, kali ini demikian tajamnya. Sehingga membentuk putaran dengan radius yang jauh lebih kecil dibanding sebelumnya. Bila dilihat dalam perspektif tiga dimensi, yakni tak hanya dalam perubahan posisi lintang dan bujurnya namun juga pada altitud-nya, jelas terlihat pesawat ini berspiral meluncur ke bawah begitu lepas dari puncak anomali.

Mengapa AirAsia penerbangan QZ8501 berperilaku seliar itu? Aksi menanjak-menukik dan berbelok sangat tajam seperti itu sangat tidak lazim bagi sebuah pesawat jet komersial. Jet komersial tidak dirancang seperti pesawat tempur, yang memang harus mampu menanjak dan menukik dengan cepat. Pada umumnya pesawat jet komersial hanya dirancang untuk menanjak atau menukik sebesar antara 1.000 hingga 2.000 kaki/menit saja. Perilaku AirAsia penerbangan QZ8501 jauh melebihi angka tersebut. Perilakunya justru mengingatkan kembali pada tingkah laku Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW, yang jatuh di Selat Makassar 1 Januari 2007 TU sebagai AdamAir penerbangan DHI574. Saat itu Boeing 737-4Q8 PK-KKW menukik secepat antara 24.000 hingga 53.000 kaki/menit sebelum jatuh.

Sehingga dugaan terjadinya aerodynamic stall, yakni kehilangan daya angkat akibat peningkatan altitud yang terlalu tajam yang membuat aliran udara di atas permukaan sayap berubah dari laminar menjadi turbulen, pun menyeruak. Aerodynamic stall bisa terjadi akibat kerusakan sistem kendali pesawat, faktor eksternal seperti hempasan angin kencang ke atas (updraft) ataupun aksi pilot. Namun pesawat jet komersial modern sekelas Airbus A320 ini sudah dilengkapi dengan sistem komputer canggih dengan sejumlah faktor pengaman yang secara otomatis mencegah pilot melakukan aksi yang berpotensi aerodynamic stall. Di sisi lain, mesin jet pesawat komersial juga tak memiliki kemampuan menanjak dan menukik secepat itu.

Maka tersisa dua kemungkinan, yakni hempasan angin kencang ke atas dan kerusakan sistem kendali pesawat. Dalam hal hempasan angin kencang ke atas, menarik untuk dicermati bahwa dalam detik-detik terakhirnya AirAsia penerbangan QZ8501 melewati awan cumulonimbus. Citra satelit cuaca, misalnya dari MTSAT-2, memang menunjukkan bahwa ruang udara dimana pesawat naas ini terbang melintas dipenuhi awan cumulonimbus. Beberapa awan cumulonimbus tersebut bahkan menunjukkan tanda-tanda overshooting top, sembulan mirip kubah di puncak awan yang menembus ke lapisan stratosfer bawah. Sembulan itu menjadi pertanda pergerakan massa udara vertikal ke atas yang membentuk badai. Dan overshooting top yang muncul cukup lama (lebih dari 10 menit) mengindikasikan badainya adalah parah. Overshooting top berdurasi lama memang terdeteksi pada sejumlah awan cumulonimbus di sekitar lintasan AirAsia penerbangan QZ8501. Overshooting top ini ditandai dengan suhu sangat dingin, hingga minus 90 derajat Celcius, dan terletak pada ketinggian melebihi 16.500 meter dpl dan mungkin mengandung air superdingin. Apakah AirAsia penerbangan QZ8501 terhanyut ke dalam aliran massa udara vertikal dalam badai ini?

Problem utama bagi kemungkinan ini adalah bahwa AirAsia penerbangan QZ8501 bukanlah satu-satunya pesawat yang melewati awan cumulonimbus. Sedikitnya ada tiga pesawat lain yang berbeda pada saat itu. Yang pertama adalah adalah AirAsia penerbangan AWQ502 yang melayani rute Denpasar-Singapura. Pesawatnya pun mirip dengan pesawat naas, yakni Airbus A320-214. Bedanya ia melintas pada altitud lebih tinggi yakni 37.795 kaki (11.520 meter dpl). Sementara yang kedua adalah Emirates penerbangan UAE409 yang melayani rute Melbourne-Kuala Lumpur. Pesawatnya adalah Boeing 777-31H yang melintas pada altitud 36.000 kaki (10.970 meter dpl). Dan yang ketiga adalah Garuda Indonesia penerbangan GIA500 yang melayani rute Jakarta-Pontianak. Pesawatnya Boeing 737-8U3 dan melaju pada altitud 35.000 kaki (10.670 meter dpl).

Gambar 8. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal visual (cahaya tampak) yang diambil 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis putih adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Gambar 8. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal visual (cahaya tampak) yang diambil 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis putih adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

AirAsia penerbangan AWQ502 dan Emirates penerbangan UAE409 ada di depan pesawat AirAsia penerbangan QZ8501 yang naas. Mereka bertiga melewati awan cumulonimbus yang sama di tenggara pulau Belitung. Sedangkan Garuda Indonesia penerbangan GIA500 bahkan melintasi awan cumulonimbus yang lebih parah di timur laut pulau Belitung, ditandai dengan overshooting top lebih besar. Namun dari keempat pesawat tersebut, hanya AirAsia penerbangan QZ8501 yang bernasib naas. Pesawat-pesawat lainnya tiba di tujuannya dengan selamat. Memang harus dievaluasi lagi apakah ketiga pesawat tersebut juga merasakan naik-turunnya ketinggian pesawat tatkala melintasi awan cumulonimbus? Sebab aliran massa udara vertikal selalu melibatkan luasan yang besar. Logikanya aliran tersebut tentu dirasakan sejumlah pesawat yang lewat di luasan tersebut lewat naik-turunnya ketinggiannya meski magnitud-nya berbeda-beda bagi tiap pesawat.

Gambar 9. Bagian ekor pesawat Airbus A320-216 PK-AXC yang jatuh di Selat Karimata sebagai AirAsia penerbangan QZ8501. Nampak perangkat rudder, auto rudder trim limiter dan elevator. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Gambar 9. Bagian ekor pesawat Airbus A320-216 PK-AXC yang jatuh di Selat Karimata sebagai AirAsia penerbangan QZ8501. Nampak perangkat rudder, auto rudder trim limiter dan elevator. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Kemungkinan kerusakan sistem kendali juga mengemuka. Dalam buku catatan perawatannya, pesawat Airbus A320-216 PK-AXC tercatat berkali-kali mengalami masalah pada auto rudder trim limiter flight control. Rudder adalah perangkat kendali permukaan di belakang sirip tegak di ekor pesawat, yang berfungsi untuk mengendalikan gerakan pesawat ke kiri dan kanan (yaw) secara horizontal. Dalam praktiknya rudder bekerja bersama dengan elevator, yakni perangkat kendali di bagian belakang sayap ekor pesawat. Elevator berfungsi mengendalikan gerakan berputar (roll) pesawat. Dengan kata lain ia mengendalikan gerak miring ke kiri atau ke kanan. Kombinasi penggunaan rudder dan elevator membuat pesawat dapat berbelok dengan leluasa.

Auto rudder trim limiter merupakan radas kecil mirip rudder yang berada dalam rudder dan langsung terhubung dengannya. Radas kecil ini berfungsi untuk menjaga rudder tetap dalam posisi yang telah dipilih, tanpa pilot harus terus-menerus mengerahkan tenaga untuk menjaga stabilitasnya. Masalah pada auto rudder trim limiter flight control Airbus A320-216 PK-AXC telah terjadi hingga sembilan kali sepanjang 2014 TU sebelum bencana di Selat Karimata. Bahkan tiga hari sebelum bencana, pesawat harus mengalami return to apron atau kembali ke apron sebanyak dua kali. Apakah kembali terjadi masalah pada auto rudder trim limiter flight control yang berujung pada kegagalan rudder secara keseluruhan? Apakah masalah pada auto rudder trim limiter flight control berkembang dan merembet pula ke kendali permukaan lainnya?

Kegagalan pada rudder bukanlah hal sederhana. Sejarah mencatat betapa sepanjang 1991 hingga 2002 TU pesawat Boeing 737dihantui serangkaian kecelakaan mematikan akibat rudder gagal berfungsi. Antara lain kecelakaan United Airlines penerbangan 585 yang jatuh di Colorado (Amerika Serikat) pada 3 Maret 1991 TU (korban tewas 25 orang). Lalu USAir penerbangan 427 yang jatuh di Pittsburgh (Amerika Serikat) pada 8 September 1994 TU (korban tewas 132 orang). Salah satu kecelakaan pesawat yang cukup mematikan di Indonesia pun, yakni SilkAir penerbangan MI185 yang jatuh menghunjam delta Sungai Musim (Sumatra Selatan) pada 19 Desember 1997 TU (korban tewas 104 orang), pun diduga akibat hal yang sama. Patut ditambahkan pula kasus Eastwind Airlines penerbangan 517 (9 Juni 1996 TU), yang juga sempat mendadak berputar ke kanan hingga dua kali saat melaju di udara. Namun ajaibnya pesawat tersebut mampu pulih lagi dengan selamat tanpa berujung pada kecelakaan. Pada pesawat-pesawat itu radas PCU (power control unit) yang menggerakkan rudder didapati macet akibat pembebanan panas. Yakni kala PCU yang sangat dingin, akibat suhu udara luar yang juga sangat dingin kala pesawat melaju di altitud tinggi, mendadak dialiri cairan hidrolik panas saat pilot memerintahkan pesawat berbelok kiri/kanan. Akankah Airbus A320-216 PK-AXC juga mengalami problem serupa?

Jadi, apa penyebab jatuhnya AirAsia penerbangan QZ8501 ini? Berdasar data yang telah dirilis, kehilangan daya angkat (aerodynamic stall) akibat menanjak terlalu tajam menjadi salah satu faktor potensial yang menduduki peringkat pertama. Tidak utuhnya badan pesawat saat menubruk permukaan Selat Karimata mungkin terjadi akibat tukikan yang juga terlalu tajam setelah tanjakan yang fantastis itu. Tukikan yang terlalu tajam mungkin menghasilkan percepatan yang lebih besar dari 2,5g (g = percepatan gravitasi Bumi di permukaan laut), yakni percepatan maksimum yang diperkenankan untuk menjaga badan pesawat tetap utuh. Ini kembali mengingatkan pada kasus AdamAir penerbangan DHI574, yang menukik dengan percepatan sampai 3,5g hingga membuat badan pesawat kemudian terpecah-belah selagi masih melaju di udara.

Apa penyebab kehilangan daya angkat ini? Kemungkinan aliran massa udara vertikal dalam awan cumulonimbus tak bisa dikesampingkan. Demikian halnya kemungkinan kerusakan sistem kendali. Namun faktor lain pun masih perlu dipertimbangkan. Mari kita tunggu hasil penyelidikan KNKT sepenuhnya. Termasuk rekomendasinya untuk para pihak terkait. Mengingat sebelum musibah AirAsia penerbangan QZ8501 terjadi pun penerbangan sipil Indonesia sedang dalam sorotan ICAO. Penerbangan sipil Indonesia kali ini bahkan disebut-sebut lebih buruk ketimbang situasi tahun 2007 TU silam, dimana maskapai-maskapai Indonesia dilarang terbang ke Eropa. Saat ini penerbangan sipil Indonesia berada dalam kategori 2 (cat 2). Tanpa upaya perbaikan yang sungguh-sungguh, hanya menunggu waktu bagi kita untuk terperosok lebih jauh lagi ke kasta terendah kategori 3 (cat 3) dengan segala konsekuensinya.

Referensi :

Hakim. 2014. Apa yang Terjadi dengan Air Asia Penerbangan 8501? Blog Chappy Hakim.

CIMSS. 2014. Did Weather Play a Role in the Disappearance of AirAsia Flight 8501? Coopoerative Institute of Meteorological Satellite Studies, University of Wisconsin, 27 Desember 2014.

Tempo. 2015. Dua Sebab AirAsia Meroket Tiba-tiba Sebelum Jatuh. Laman Tempo.co, reportase Ursula Florene Sonia & Ali Hidayat, 22 Januari 2014.

4 respons untuk ‘Apakah AirAsia Penerbangan QZ8501 Jatuh Oleh Awan Cumulonimbus?

Tinggalkan komentar