Kupas-Hoax: Asteroid Besar Pemicu Kiamat Jatuh Sebentar Lagi?

Bangkok, Senin 7 September 2015 Tarikh Umum (TU) pagi. Denyut jantung kota metropolitan yang juga adalah ibukota Thailand itu mulai meninggi, layaknya hari-hari kerja biasanya di sebuah kota besar. Arus lalu lintas memadat dan kadang macet di jalan-jalan raya yang menjadi urat nadinya. Semua seakan berjalan seperti biasa. Terkecuali saat jarum jam tepat menunjuk pukul 08:40 setempat. Saat mendadak seberkas cahaya terang melesat dari timur ke barat, tepat di atas kota. Dengan langit kebiruan nan bersih nyaris tanpa tutupan awan, cahaya terang berwarna keputih-putihan itu amat jelas terlihat. Banyak orang menyaksikannya. Sejumlah mobil yang kebetulan dilengkapi kamera dasbor pun merekamnya. Hanya sejurus cahaya benderang itu nampak, berdetik kemudian ia kembali lenyap.

Peristiwa Senin pagi itu sontak menggegerkan Bangkok. Dan dalam beberapa jam kemudian peristiwa tersebut, yang lantas lebih dikenal sebagai Peristiwa Bangkok 2015, pun mendunia. Rekaman-rekaman kamera dasbor tentangnya segera menjadi viral. Spekulasi pun merebak. Apa yang sesungguhnya terjadi baru dipahami dalam berbelas jam kemudian. Diawali saat jejaring pengawasan penegakan larangan ujicoba nuklir global dalam segala matra yang bertajuk CTBTO (the Comprehensive nuclear Test Ban Treaty Organization) melansir temuannya. Peristiwa Bangkok 2015 terekam dalam jejaring mereka khususnya melalui radas (instrumen) mikrobarometer pada sedikitnya lima stasiun pemantau.

Gambar 1. Meteor-sangat terang pada Peristiwa Bangkok 2015, seperti terekam dalam kamera dasbor salah satu mobil yang sedang melaju ke utara di pinggiran kota Bangkok. Meteor-sangat terang ini kemungkinan besar berasal dari sebutir asteroid-tak-dikenal seukuran 3,7 meter yang memasuki atmosfer Bumi di atas Bangkok (Thailand) pada 7 September 2015 TU. Sumber Anonim, 2015.

Gambar 1. Meteor-sangat terang pada Peristiwa Bangkok 2015, seperti terekam dalam kamera dasbor salah satu mobil yang sedang melaju ke utara di pinggiran kota Bangkok. Meteor-sangat terang ini kemungkinan besar berasal dari sebutir asteroid-tak-dikenal seukuran 3,7 meter yang memasuki atmosfer Bumi di atas Bangkok (Thailand) pada 7 September 2015 TU. Sumber Anonim, 2015.

Radas mikrobarometer dalam CTBTO sejatinya ditujukan untuk mendeteksi aksi pelepasan energi tinggi yang menjadi salah satu ciri khas ledakan nuklir khususnya di matra atmosfer dengan cara mendeteksi gelombang infrasonik sebagai hasil transformasi dari gelombang kejut ledakan. Namun radas yang sama juga berkemampuan mendeteksi pelepasan energi tinggi dari sumber lain, misalnya dalam kejadian meteor-sangat terang (fireball) atau bahkan boloid (bolide). Dan lima stasiun CTBTO merekam penjalaran gelombang infrasonik yang konsisten dengan boloid dalam Peristiwa Bangkok 2015. Radas mikrobarometer terdekat yang mendeteksinya terletak di Pulau Cocos (Australia) di tengah-tengah Samudera Indonesia yang berjarak 2.900 kilometer dari Bangkok. Sedangkan mikrobarometer terjauh yang masih sanggup mengendusnya berada di Alaska (Amerika Serikat), yang berjarak 10.000 kilometer. Analisis terhadap gelombang-gelombang infrasonik ini memperlihatkan Peristiwa Bangkok 2015 melepaskan energi dalam perkiraan kasar antara 5 hingga 30 kiloton TNT.

Pasca CTBTO giliran badan antariksa Amerika Serikat (NASA) melansir temuannya melalui NASA Near Earth Object Program. Berbekal rekaman sensor optis satelit mata-mata rahasia milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat, yang berbagi data astronomi untuk kepentingan sipil melalui NASA secara rutin pasca Peristiwa Chelyabinsk 2013, Peristiwa Bangkok dipastikan merupakan kejadian boloid. Sensor satelit mata-mata merekam pelepasan energi dalam spektrum cahaya tampak (visual) dengan pola menerus (‘zoo event‘) yang khas untuk kejadian meteor-sangat terang maupun boloid. Jadi berbeda dengan detonasi senjata nuklir atmosferik yang spektrumnya berpola diskret (dengan dua puncak). Boloid dalam Peristiwa Bangkok 2015 mengemisikan energi 1.798 Giga Joule dalam spektrum cahaya tampak. Pada saat itu obyek yang melepaskan energi tersebut terdeteksi melaju secepat 16 km/detik (57.600 km/jam).

Gambar 2. Posisi titik pelepasan energi meteor-sangat terang dalam Peristiwa Bangkok 2015 (lingkaran) berdasarkan rekaman gelombang infrasonik dari lima stasiun mikrobarometer yang berbeda dalam jejaring CTBTO. Analisis kasar terhadap data CTBTO memperlihatkan Peristiwa Bangkok 2015 melepaskan energi berkisar 5 hingga 30 kiloton TNT. Sumber: CTBTO, 2015.

Gambar 2. Posisi titik pelepasan energi meteor-sangat terang dalam Peristiwa Bangkok 2015 (lingkaran) berdasarkan rekaman gelombang infrasonik dari lima stasiun mikrobarometer yang berbeda dalam jejaring CTBTO. Analisis kasar terhadap data CTBTO memperlihatkan Peristiwa Bangkok 2015 melepaskan energi berkisar 5 hingga 30 kiloton TNT. Sumber: CTBTO, 2015.

Menggunakan rumus empiris dari Brown dkk (2002) maka diketahui Peristiwa Bangkok 2015 melepaskan energi 3,9 kiloton TNT. Pada dasarnya rekaman sensor satelit mata-mata menghasilkan akurasi jauh lebih tinggi ketimbang pembacaan radas mikrobarometer. Sehingga dapat dikatakan bahwa Peristiwa Bangkok 2015 melepaskan energi 3,9 kiloton TNT. Sejauh ini Peristiwa Bangkok 2015 adalah kejadian boloid paling energetik sepanjang tahun 2015 TU. Meski ia masih belum seberapa bila dibandingkan dengan Peristiwa Bone 2009 yang terjadi pada 8 Oktober 2009 TU di atas Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Indonesia) dengan pelepasan energi 60 kiloton TNT. Apalagi bila dibandingkan dengan Peristiwa Chelyabinsk 2013 di sisi barat Pegunungan Ural (Russia) pada 13 Februari 2013 TU yang melepaskan energi 590 kiloton TNT. Sebagai pembanding, letusan bom nuklir Hiroshima di akhir Perang Dunia 2 melepaskan energi 20 kiloton TNT.

Gambar 3. Karakteristik rekaman satelit mata-mata akan pelepasan energi dalam peristiwa meteor-terang/sangat terang (zoo event) dibandingkan dengan ledakan nuklir dengan titik ledak di ketinggian atmosfer. Sumber: Weiss, 2012.

Gambar 3. Karakteristik rekaman satelit mata-mata akan pelepasan energi dalam peristiwa meteor-terang/sangat terang (zoo event) dibandingkan dengan ledakan nuklir dengan titik ledak di ketinggian atmosfer. Sumber: Weiss, 2012.

Berbekal data-data tersebut, simulasi sederhana menggunakan persamaan-persamaan matematis yang diakumulasikan Collins dkk (2005) memperlihatkan boloid itu semula adalah meteoroid yang berupa asteroid kecil. Dengan pelepasan energi maksimum di ketinggian 29 kilometer dpl, meteoroid itu tergolong padat dengan massa jenis sekitar 5 g/cc. Pada kecepatan 16 km/detik, maka massa minimum meteoroid adalah 130 ton. Jika ia berbentuk bola sempurna maka diameternya minimal 3,7 meter. Dianggap sudut antara lintasan meteoroid dengan paras bumi Bangkok adalah 45°, maka kala meteoroid itu memasuki atmosfer Bumi ia berubah menjadi boloid yang akan mencapai puncak kecerlangannya pada ketinggian sekitar 35 kilometer dpl. Selanjutnya ia bakal melepaskan hampir seluruh energi kinetiknya lewat mekanisme airburst (ledakan di udara) pada ketinggian 29 kilometer dpl. Meski nilai energi ini terkesan besar bagi manusia, karena setara kekuatan bom nuklir taktis atau setara seperlima bom nuklir Hiroshima, namun efek panas dan mekaniknya terlalu kecil untuk bisa menghasilkan kerusakan langsung di daratan Bangkok yang persis ada dibawahnya

Berselang setengah bulan kemudian, sebuah kejutan kecil kembali datang dari langit. Sebuah asteroid-tanpa-nama yang belum pernah diketahui sebelumnya melenggang begitu dekat dengan Bumi kita dalam perjalanannya mengelilingi sang Surya. Asteroid tersebut, yang diberi kode asteroid 2015 SK7, dua kali lipat lebih besar ketimbang asteroid-tanpa-nama yang menjadi penyebab Peristiwa Bangkok 2015. Yang mengejutkan, asteroid ini sempat melintas begitu dekat hingga hanya setinggi 20.260 kilometer dpl saja. Hal itu terjadi pada Rabu 23 September 2015 TU pukul 04:44 WIB di atas Samudera Indonesia di dekat Antartika. Sebagai pembanding, ketinggian orbit geostasioner/geosinkron bagi satelit-satelit komunikasi dan cuaca pada umumnya adalah 35.792 kilometer dpl. Yang lebih membuat kita terhenyak, umat manusia baru menyadari kehadiran asteroid 2015 SK7 ini dalam dua hari kemudian. Tepatnya kala sistem penyigi langit semi-otomatis Catalina Sky Survey merekamnya sebagai benda langit sangat redup dengan magnitudo semu +19,8.

Andaikata asteroid 2015 SK7 ini menerobos masuk ke dalam atmosfer Bumi seperti halnya asteroid-tanpa-nama penyebab Peristiwa Bangkok 2015, pemandangan menakjubkan bakal tercipta. Boloid bakal terbentuk dan pada puncaknya jauh lebih terang ketimbang boloid Peristiwa Bangkok 2015. Dengan diameter sekitar 7 meter maka massa asteroid 2015 SK7 berkisar antara 360 hingga 720 ton (dengan asumsi massa jenisnya 2 hingga 4 g/cc). Dan karena melaju secepat 16,8 km/detik (60.500 km/jam) maka energi kinetik yang bisa dilepaskannya berkisar antara 12 hingga 24 kiloton TNT. Atau tiga hingga enam kali lebih besar ketimbang Peristiwa Bangkok 2015. Namun seperti halnya kejadian di Bangkok, asteroid 2015 SK7 bakal keburu pecah berkeping-keping dan melepaskan seluruh energinya di ketinggian atmosfer. Titik pelepasan energi tersebut bakal berlokasi pada ketinggian antara 39 hingga 29 kilometer dpl. Sehingga efek panas dan mekaniknya pun terlalu kecil untuk bisa memproduksi kerusakan pada daratan dibawahnya.

Gambar 4. Peta proyeksi lintasan asteroid 2015 SK7 di paras Bumi, sejak 22 September 2015 TU 20:00 WIB hingga 23 September 2015 TU pukul 14:00 WIB. Lintasan dengan garis takterputus menghubungkan titik-titik proyeksi kedudukan asteroid per 60 menit. Sedangkan lintasan dengan garis putus-putus menghubungkan proyeksi kedudukan asteroid per 10 menit. Tanda (*) menunjukkan titik proyeksi kedudukan asteroid yang terdekat ke Bumi, yakni hanya 20.260 kilometer dpl. Sumber Sudibyo, 2015 berbasis Starry Night Backyard 3.0 dengan data NASA Solar System Dynamics

Gambar 4. Peta proyeksi lintasan asteroid 2015 SK7 di paras Bumi, sejak 22 September 2015 TU 20:00 WIB hingga 23 September 2015 TU pukul 14:00 WIB. Lintasan dengan garis takterputus menghubungkan titik-titik proyeksi kedudukan asteroid per 60 menit. Sedangkan lintasan dengan garis putus-putus menghubungkan proyeksi kedudukan asteroid per 10 menit. Tanda (*) menunjukkan titik proyeksi kedudukan asteroid yang terdekat ke Bumi, yakni hanya 20.260 kilometer dpl. Sumber Sudibyo, 2015 berbasis Starry Night Backyard 3.0 dengan data NASA Solar System Dynamics

Penyigi Langit

Di sisi lain, Peristiwa Bangkok 2015 dan melintas-sangat dekatnya asteroid 2015 SK7 menghadirkan sebersit tanya bagi sebagian kita. Ada apa dengan Bumi? Apalagi sejak awal tahun hingga puncaknya pada September 2015 TU kemarin, isu kiamat (lagi-lagi!) bergemuruh. Isu ini memang tak sederas isu Kiamat 2012 tempo hari, yang sempat demikian mengharu-biru dan bahkan dipercaya oleh tak kurang dari 20 % penduduk Indonesia menurut sebuah survey. Namun isu Kiamat September 2015 tetap menggamit perhatian sebagian kita. Isu tersebut memuncak terutama pada paruh kedua bulan September 2015 TU. Salah satunya pada tanggal 28 September 2015 TU, dimana terjadi peristiwa Gerhana Bulan Total yang diviralkan sebagai peristiwa saat Bulan menjadi memerah darah. Salah satu bagian dari isu Kiamat September 2015 itu adalah bakal ada asteroid raksasa yang jatuh menumbuk Bumi. Asteroid itu diklaim demikian besarnya hingga sama besarnya dengan Puerto Rico (Amerika Serikat). Atau hampir menyamai luas Pulau Bangka (Indonesia). Kalimat ‘sebesar Puerto Rico’ itu tak pelak menggamit kembali ingatan kita pada salah satu penggalan adegan film fiksi “Armageddon” besutan Hollywood tentang ‘asteroid sebesar Texas’ yang sedang menuju ke Bumi.

Bulan September 2015 TU telah berlalu. Dan tak ada asteroid raksasa yang jatuh ke Bumi. Tak ada pula bencana kosmik dalam skala luar biasa yang menerpa. Sebuah bencana alam dalam wujud gempa besar Illapel 2015 memang mendominasi paruh kedua September 2015. Gempa besar (magnitudo 8,3 SM) yang meletup di lepas pantai Chile pada 16 September 2015 TU itu lantas diikuti limburan tsunami yang menerpa sebagian pesisir Chile. Namun luar biasanya jumlah korban jiwa yang direnggutnya terhitung sangat kecil untuk ukuran bencana yang menghantam negara berkembang. Hanya 13 orang yang dinyatakan tewas dengan 6 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Korban yang minimal dan di sisi lain sejuta penduduk kawasan pesisir sempat diungsikan, membuat banyak pihak mengacungkan jempol pada Chile. Negeri yang berhadapan langsung dengan salah satu zona megathrust (zona pembangkit gempa besar/akbar potensial) teraktif di Bumi itu dianggap sukses dalam memitigasi resiko gempa dan tsunami untuk saat ini.

Gambar 5. Peta proyeksi lintasan asteroid 2015 TC25 di paras Bumi pada 13 Oktober 2015 TU sejak pukul 06:00 hingga 24:00 WIB. Lintasan dengan garis takterputus menghubungkan titik-titik proyeksi kedudukan asteroid per 60 menit. Tanda (*) menunjukkan titik proyeksi kedudukan asteroid yang terdekat ke Bumi, yakni 104.700 kilometer dpl. Sumber Sudibyo, 2015 berbasis Starry Night Backyard 3.0 dengan data NASA Solar System Dynamics

Gambar 5. Peta proyeksi lintasan asteroid 2015 TC25 di paras Bumi pada 13 Oktober 2015 TU sejak pukul 06:00 hingga 24:00 WIB. Lintasan dengan garis takterputus menghubungkan titik-titik proyeksi kedudukan asteroid per 60 menit. Tanda (*) menunjukkan titik proyeksi kedudukan asteroid yang terdekat ke Bumi, yakni 104.700 kilometer dpl. Sumber Sudibyo, 2015 berbasis Starry Night Backyard 3.0 dengan data NASA Solar System Dynamics

Di atas itu semua alunan nada utama pertanyaannya masih bergaung: adakah asteroid berukuran besar (atau bahkan asteroid raksasa) yang siap menjatuhi Bumi dalam waktu dekat? Jawabannya adalah tidak. Sejauh ini tak ada asteroid besar/raksasa yang sedang menuju ke Bumi. Lebih spesifik lagi, sejauh ini tiada sebutir pun asteroid besar/raksasa yang orbitnya bersinggungan atau bahkan berpotongan dengan orbit Bumi.

Darimana jawaban tersebut diperoleh?

Uraiannya panjang. Pada masa sekarang ini astronomi telah mengembangkan sistem penyigi langit semi-otomatis yang bertujuan melacak benda-benda langit yang baru, dalam artian belum pernah terdeteksi sebelumnya sehingga belum terdapat dalam basisdata. Sistem semi-otomatik ini pada khususnya difokuskan guna melacak benda-benda langit seperti komet dan asteroid yang mungkin berada di dekat Bumi. Dalam sistem semacam ini, teleskop ‘menyapu’ (menyigi) langit secara rutin dari waktu ke waktu. Citra yang dihasilkannya lantas dianalisis secara semi-otomatis dengan sistem kecerdasan buatan, yang membandingkannya terhadap segenap asteroid/komet yang telah tercatat dalam basisdata. Apabila terdeteksi asteroid/komet baru, maka campurtangan manusia pun dperlukan untuk menganalisis dan memasukkan data asteroid/komet baru tersebut ke dalam basisdata. Dengan cara seperti ini maka asteroid/komet yang berpotensi melintas-dekat Bumi atau bahkan menuju ke Bumi dapat dideteksi lebih dini. Sistem penyigi langit semi-otomatik inilah yang kemudian menjadi sistem peringatan dini (early warning) bagi potensi bencana alam yang datang dari antariksa dalam rupa potensi peristiwa tumbukan benda langit.

Saat ini terdapat 14 sistem penyigi langit yang dioperasikan sejumlah negara. Selain program CSS (Catalina Sky Survey), Amerika Serikat juga mengoperasikan program LINEAR (Lincoln Near Earth Asteroids Research), Spacewatch, Pan-STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System) dan WISE (Wide-field Infrared Survey Explorer). Negara-negara Eropa juga berpartisipasi. Baik atas nama Uni Eropa dengan EUNASO (European NEA Search Observatories) dan EURONEAR (European Near Earth Asteroid Research), maupun atas nama negara-negara tertentu. Misalnya Spanyol yang menggelar program TOTAS (Teide Observatory Tenerife Asteroid Survey) dan LSSS (La Sagra Sky Survey), Italia lewat CINEOS (Campo Imperatore Near Earth Object Survey) dan kolaborasi Italia-Jerman dalam program ADAS (Asiago DLR Asteroid Survey). Di Asia terdapat Cina yang mengoperasikan CNEOS/NEOST (China NEO Survey/NEO Survey Telescope) dan Jepang dengan JSGA (Japanese Space Guard Association). Dan di Amerika Selatan ada Brazil dengan IMPACTON. Kecuali WISE yang berpangkalan pada satelit, sisanya berbasiskan pada teleskop robotik di paras Bumi yang dilengkapi instrumen CCD sensitif, seperangkat pengolah citra, kecerdasan buatan dan seperangkat basis data yang memungkinkan mereka mendeteksi asteroid dekat Bumi yang baru secara semi-otomatis. Seluruh data pengamatan yang dihasilkan program-program tersebut ditabulasikan di institusi Minor Planet Center. Datanya bersifat terbuka sehingga bisa diakses oleh semua orang, lewat internet.

Selain mengakuisisi data-data asteroid/komet baru yang berkemungkinan melintas-dekat Bumi, astronomi juga telah mengklasifikasikan potensi bahayanya. Telah dikembangkan skala Torino, yakni pemeringkatan seriusnya resiko bahaya tumbukan benda langit (yang berhubungan dengan komet ataupun asteroid) tunggal yang mengombinasikan probabilitas statistik dan energi kinetik benda langit tersebut. Terdapat 11 peringkat dalam skala Torino, dengan peringkat terendah adalah skala 0 (nol) dan tertinggi 10 (sepuluh). Pada skala 0 Torino, asteroid/komet tersebut memiliki probabilitas sangat kecil untuk dapat menumbuk Bumi, atau berpeluang kecil untuk bisa memasuki atmosfer Bumi. Sebaliknya pada skala 10 Torino, asteroid/komet pasti akan menumbuk Bumi (probabilitas 100 %) dengan energi tumbukan begitu luar biasa besar sehingga bakal berdampak serius dalam skala global. Contoh kejadian dengan skala 0 Torino adalah Peristiwa Chelyabinsk 2013 silam. Dan peristiwa dengan skala 10 Torino adalah tumbukan asteroid 65 juta tahun silam yang membentuk Kawah raksasa Chicxulub dan memusnahkan 75 % kelimpahan makhluk hidup saat itu.

Gambar 6. Citra ikonik Peristiwa Chelyabinsk 2013, kala asteroid-tak-dikenal memulai tahap menuju Bumi dengan menembus atmosfer demikian jauh hingga menghasilkan kilatan cahaya yang lebih benderang ketimbang Matahari untuk sesaat. Peristiwa itu terjadi pada ketinggian 29,7 kilometer dpl. Garis putih lurus adalah awan debu lurus (train) produk khas boloid. Sumber: NASA APOD, 2013.

Tabel Resiko

Hingga 8 Oktober 2015 TU, kerja keras segenap sistem penyigi langit semi-otomatik di atas telah menemukan tak kurang dari 1.616 asteroid berpotensi bahaya atau PHA (Potentially Hazardous Asteroids). Asteroid berpotensi bahaya adalah kelompok asteroid dengan diameter minimal 100 meter dan memiliki konfigurasi orbit demikian rupa sehingga bisa melintas dalam jarak kurang dari 7,48 juta kilometer (19,5 kali lipat jarak rata-rata Bumi-Bulan). Dari 1.616 butir asteroid berpotensi bahaya itu, 154 butir diantaranya memiliki diameter lebih dari 1 kilometer. Yang terbesar adalah asteroid 4179 Toutatis, yang berbentuk lonjong dengan dimensi 4,75 x 2,4 kilometer. Namun dari seluruh asteroid berpotensi bahaya itu, tak satupun yang memiliki nilai skala Torino melebihi 0 Torino hingga 100 tahun ke depan.

Dan dari jumlah sebanyak itu, 576 asteroid diantaranya ditabulasikan tersendiri oleh NASA Near Earth Object Program dalam Sentry Risk Table. Inilah tabel dinamik yang secara otomatis memuat daftar asteroid-asteroid berpotensi bahaya yang memiliki nilai probabilitas menumbuk Bumi di atas nol untuk jangka waktu 100 tahun ke depan. Disebut tabel dinamik, karena asteroid yang terdaftar didalamnya bisa saja (di)-keluar-(kan) dari Sentry Risk Table khususnya saat terdapat data observasi tambahan yang secara akumulatif memperlihatkan probabilitas asteroid tersebut menumbuk Bumi turun menjadi nol.

Menariknya, dalam periode antara 2002 hingga 2015 TU, ternyata secara akumulatif tercatat ada 36 asteroid berpotensi bahaya yang menempati skala Torino bukan nol. Namun setelah observasi demi observasi dilakukan terhadap ke-36 asteroid tersebut, secara terpisah, analisis terhadap tambahan data tersebut menghasilkan perbaikan terhadap perkiraan masing-masing asteroid dengan akurasi lebih lagi. Dan dari orbit yang lebih akurat itu diketahui tak satupun yang bisa mempertahankan kedudukannya karena peluang untuk menumbuk Bumi sangat kecil. Sehingga seluruhnya kemudian diturunkan setingkat menjadi skala 0 Torino. Salah satu dari ke-36 asteroid tersebut adalah asteroid 99942 Apophis (2004 MN4). Ditemukan pada 19 Juni 2004 TU sebagai asteroid berdiameter 325 meter, ia sempat menghebohkan jagat pada penghujung tahun tersebut. Yakni tatkala NASA melansir asteroid ini memiliki probabilitas 1 banding 300 untuk menumbuk Bumi pada 13 April 2029 TU kelak. Maka asteroid Apophis pun ditempatkan ke dalam skala 2 Torino. Hanya beberapa jam kemudian, tambahan data observasi menghasilkan prediksi lebih mencemaskan, karena probabilitas tumbukan meningkat menjadi 1 banding 62. Apophis pun dinaikkan ke dalam skala 4 Torino. Segera Apophis menyedot perhatian besar dalam dunia astronomi. Observasi demi observasi pun dilakukan, termasuk dengan teleskop radar raksasa Arecibo yang demikian teliti. Sehingga diperoleh timbunan data yang menghasilkan probabilitas baru. Peluang tumbukan pada 2029 TU dieliminir.

Gambar 7. Tampilan Sentry Risk Table, tabel dinamik otomatik dari NASA Near Earth Object Program yang memuat daftar asteroid-asteroid berpotensi bahaya dengan nilai probabilitas menumbuk Bumi di atas nol untuk jangka waktu 100 tahun ke depan. Tabel tersebut dapat dilihat dengan meng-klik gambar ini. Sumber: NASA, 2015.

Gambar 7. Tampilan Sentry Risk Table, tabel dinamik otomatik dari NASA Near Earth Object Program yang memuat daftar asteroid-asteroid berpotensi bahaya dengan nilai probabilitas menumbuk Bumi di atas nol untuk jangka waktu 100 tahun ke depan. Tabel tersebut dapat dilihat dengan meng-klik gambar ini. Sumber: NASA, 2015.

Namun karena asteroid Apophis bakal berpotensi melintasi lubang-kunci gravitasi, yakni titik kritis dimana orbit asteroid bakal berubah dan menghasilkan berpotensi tumbukan ke depan, muncul peluang terjadinya tumbukan pada 13 April 2036 TU. Namun data-data yang terkumpul hingga Februari 2005 TU memperlihatkan probabilitas tumbukan 2036 sebesar 1 banding 13.000. Sehingga Apophis tetap menempati skala 1 Torino. Observasi yang terus berlangsung hingga 2013 TU pada akhirnya membuat asteroid Apophis diturunkan setingkat ke skala 0 Torino. sebab probabilitas terbaru tentang tumbukan 2036 telah menyusut demikian drastis hingga tinggal 7,07 banding 1.000.000.000. Pada saat itu Apophis bakal melintas-dekat Bumi dalam jarak terdekat 22,4 juta kilometer. Atau masih 58 kali lebih jauh ketimbang Bulan.

Tentu, sebagaimana bentuk teknologi lainnya sebagai produk inovasi insani, sistem penyigi langit semi-otomatik pun tidaklah sempurna. Sampai saat ini ia hanya berkemampuan menyigi bagian kecil langit saja. Ia juga tak sanggup mendeteksi asteroid yang elongasinya terhadap Matahari terlalu kecil, sehingga nampak terlalu dekat dengan Matahari. Maka jangan heran, meskipun sistem semacam ini sejatinya cukup sensitif untuk mendeteksi asteroid-asteroid kecil yang melintas-dekat Bumi dengan diameter kurang dari 10 meter, bahkan hingga 1 meter sekalipun dalam kasus deteksi asteroid 2011 CQ1 (melintas hanya setinggi 5.500 kilometer di atas Samudera Pasifik pada 4 Februari 2011 TU), namun ia tak sanggup mendeteksi asteroid-tak-dikenal yang menjadi penyebab Peristiwa Chelyabinsk 2013. Pun demikian halnya dengan asteroid-kecil-tak-dikenal yang bertanggung jawab pada Peristiwa Bangkok 2015. Tetapi di tengah keterbatasan itu, sistem penyigi langit juga telah mencetak sukses dalam mendeteksi sekurangnya dua buah asteroid sebelum mereka benar-benar jatuh ke Bumi. Yakni asteroid 2008 TC3 (diameter 4 meter) yang terdeteksi pada 6 Oktober 2008 TU dan jatuh menumbuk Bumi 19 jam kemudian. Serta asteroid 2014 AA (diameter 3 meter) yang ditemukan pada 1 Januari 2014 TU dan jatuh 21 jam kemudian.

Terlepas dari keterbatasan tersebut, sistem-sistem penyigi langit yang telah beroperasi telah memberikan gambaran besar terkait lingkungan sekitar Bumi kita. Dengan data yang ada hingga sejauh ini, dapat dikatakan bahwa meski banyak asteroid berukuran besar yang siap melintas-dekat Bumi kita telah ditemukan, namun tak satupun yang memiliki probabilitas untuk menubruk Bumi setidaknya hingga 100 tahun ke depan. Di sisi lain, dengan kemampuan sistem penyigi langit yang ada pada saat ini, maka andaikata terdapat sebuah asteroid besar (diameter lebih dari 100 meter) yang sedang melaju ke Bumi, ia bakal terdeteksi dalam kurun waktu cukup lama sebelum tanggal kejatuhannya. Dengan antariksa yang tak hanya dipelototi oleh satu negara dan bahkan juga menjadi bahan pelototan sehari-hari individu astronom amatir serta tumbukan benda langit dikategorikan sebagai bencana, informasi seperti ini takkan bisa disembunyikan.

Tidak Ada Asteroid Besar yang Sedang Menuju Bumi

Bahwa tumbukan benda langit berukuran besar bisa berujung pada bencana, hal itu tak diragukan lagi. Contoh terpopuler adalah musnahnya kawanan dinosaurus (khususnya dinosaurus non-burung) dan 75 % kelimpahan makhluk hidup sezaman akibat tumbukan asteroid raksasa yang membentuk kawah Chicxulub, 65 juta tahun silam. Namun pada saat ini dalam pandangan ilmu pengetahuan terkait dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dapat dikatakan bahwa hingga kurun 100 tahun ke depan tidak ada asteroid dengan diameter melebihi 100 meter yang sedang mengarah ke Bumi.

Gambar 8. Kawah raksasa Chicxulub, terlihat sangat jelas dalam peta anomali gravitasi kawasan Semenanjung Yucatan bagian utara. Inilah kawah yang dibentuk oleh tumbukan asteroid raksasa 65 juta tahun silam, peristiwa yang memusnahkan dinosaurus. Sumber Hildebrand dkk, 1990.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “informasi” mengenai asteroid besar, apalagi sekelas asteroid-pemusnah-dinosaurus, yang siap menghantam Bumi dalam waktu dekat bisa dikategorikan sebagai kabar-bohong (hoax). Inilah salah satu jenis kabar-bohong yang kerap bermutasi alias digoreng ulang. Kabar-bohong dengan nada mirip telah muncul berkali-kali dalam dua dasawarsa terakhir. Misalnya pada 2003 TU tersiar kabar bahwa asteroid/komet raksasa bakal menjatuhi Bumi. Namun tahun itu pun terlewat tanpa bencana kosmik apapun. Lantas pada 2006 TU kembali tersiar isu asteroid/komet raksasa bakal menjatuhi Bumi. Tepatnya di akhir Mei 2006 TU dengan titik tumbukan disebut-sebut di Samudera Pasifik. Namun Mei 2006 TU pun berlalu tanpa peristiwa langit yang dimaksud. Bencana alam memang terjadi, tetapi dalam rupa Gempa Yogya 2006 (6,4 skala magnitudo) di Indonesia yang merenggut lebih dari 5.000 nyawa.

Bertahun kemudian, isu sejenis dalam bentuk lain kembali menghampiri dalam tajuk Kiamat 2012. Isu tentang benda langit seukuran planet yang sangat gelap, yang disebut Nibiru, bakal menghantam Bumi begitu mengharu-biru. Pun variannya dalam bentuk benda langit sejenis komet yang disebut komet Elenin, yang juga diisukan bakal menghantam Bumi. Dalam realitanya Nibiru itu sendiri tidak pernah ditemukan (karena memang tidak ada). Sebaliknya komet Elenin nyata adanya, namun faktanya jauh panggang dari api. Titik terdekat orbit komet ini terhadap Bumi masih berjarak 34,98 juta kilometer atau hampir 91 kali lipat lebih jauh ketimbang Bulan. Komet Elenin seharusnya akan lewat di titik ini pada 16 Oktober 2011 TU. Namun dua bulan sebelumnya, yakni pada Agustus 2011 TU, komet tersebut dihantam oleh partikel-partikel badai Matahari dengan sangat telak. Sehingga praktis remuk berkeping-keping menjadi bubuk dan praktis kehilangan identitasnya sebagai komet. Menghilangnya komet Elenin ditambah dengan fakta bahwa orbitnya tak berdekatan/memotong orbit Bumi membuat ramalan Kiamat 2012 pun terjungkirbalik.

Sebagai kabar-bohong yang cukup populer, kabar-bohong tentang asteroid/komet raksasa yang bakal menjatuhi Bumi dalam waktu sebentar lagi tentu akan terus berulang di masa depan. Bakal ada kalangan yang menggorengnya kembali, baik dalam versi utuh maupun yang bermutasi. Sepanjang tidak ada konfirmasi dari individu maupun institusi yang berkompeten penuh didalamnya, kabar-bohong seperti ini tak perlu dihiraukan.

Referensi :

Brown dkk. 2002. The Flux of Small Near-Earth Objects Colliding with the Earth. Nature, vol. 420, 21 Nov 2002, 294-296.

Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.

Weiss. 2012. The Vela Event of 1979. Conference of the Historical Dimensions of South Africa’s Nuclear Weapons Program, 10 Desember 2012.

3 respons untuk ‘Kupas-Hoax: Asteroid Besar Pemicu Kiamat Jatuh Sebentar Lagi?

Tinggalkan Balasan ke Surana Batalkan balasan