Tumbukan Benda Langit Indonesia (1): Peristiwa Kolang 1 Agustus 2020 TU

Tiga peristiwa tumbukan benda langit terjadi secara berturut-turut di Indonesia dalam 180 hari sejak pertengahan tahun 2020 hingga awal 2021 TU (Tarikh Umum). Meliputi Peristiwa Tapanuli Tengah (1 Agustus 2020 TU), Peristiwa Bali (24 Januari 2021 TU) dan Peristiwa Lampung Tengah (28 Januari 2021 TU). Dua diantaranya menyisakan kepingan-kepingan meteorit. Serial tulisan ini hendak membahas salah satu dari ketiga peristiwa tumbukan tersebut. Yakni Peristiwa Kolang di Kabupaten Tapanuli Tengah.

Desa Satahi Nauli adalah salah satu desa bersahaja di sudut barat propinsi Sumatera Utara. Secara administratif desa ini merupakan bagian dari Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah. Dari kota Pandan (ibukota kabupaten) jaraknya sekitar 35 kilometer menyusuri pantai barat pulau Sumatera. Desa kecil ini menarik perhatian dunia, khususnya dalam ilmu astronomi, karena menjadi lokasi terjadinya tumbukan benda langit yang disebut Peristiwa Kolang.

Gambar 1. Tiga Fragmen meteorit Kolang yang ditemukan di tiga titik berbeda. Fragmen 1 menyajikan detil struktur internal meteorit, yang menampakkan ciri-ciri meteorit kondritik. Pengujian lebih lanjut menyimpulkan meteorit Kolang adalah meteorit karbonan kondritik yang langka dan tergolong ke dalam grup CM. Sumber : Karmaka.de/ 2020.

Peristiwa tumbukan itu terjadi pada Sabtu sore 1 Agustus 2020 TU sekitar pukul 16:00 WIB. Suhu udara 30º Celcius dengan kelembaban udara 80 % dan angin berhembus lambat (17 km/jam) dari arah barat laut. Awalnya terdengar suara dentuman mirip guruh yang sempat membuat kaca-kaca di rumah-rumah setempat bergetar. Sesaat kemudian suara keras terdengar dari atap rumah Josua Hutagalung (33 tahun), sensasinya mirip suara ambruknya pohon. Setelah keluarga itu menginspeksi, ditemukan ada lubang lumayan besar di tepi atap seng di sisi barat. Potongan seng dari lubang itu ditemukan tergolek pada tanah dibawahnya. Bersebelahan dengannya dijumpai lubang kecil yang baru sedalam sekitar 20 sentimeter. Didalamnya, tertutupi sebagian oleh tanah sekitar, tergolek batu hitam aneh seberat 2,1 kg yang ternyata adalah meteorit.

Selain di lokasi kediaman Hutagalung, dua meteorit lainnya ditemukan pada dua lokasi yang berbeda. Lokasi pertama adalah pada lahan persawahan di kelurahan Pasar Onan Hurlang, tak jauh dari jalan raya Sibolga-Barus. Disini meteorit terbenam ke dalam tanah sawah dan terpecah menjadi empat bagian. Dan lokasi ketiga adalah pada satu rumah di tengah lahan persawahan desa Unte Mungkur III. Meteorit disini terpecah menjadi dua bagian. Distribusi lokasi ini mengindikasikan bahwa medan-sebaran (strewndfield) meteorit memiliki sumbu panjang minimal 7 kilometer.

Seluruh temuan meteorit tersebut terletak di kecamatan Kolang, sehingga mendapatkan namanya sebagai meteorit Kolang. Total massanya 2.378 gram. Di kemudian hari meteorit Kolang memantik heboh berskala nasional manakala dijual ke kolektor mancanegara (khususnya pada meteorit pertama). Penjualan tersebut membuahkan hasil dengan angka fantastis. Meskipun UU no. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan mengatur bahwa setiap temuan benda jatuh dari langit musti diserahkan kepada negara. Sayangnya turunan peraturan teknis dari Undang-Undang tersebut belum ada, sementara institusi yang diberi tanggung jawab (yakni LAPAN) belum menganggap temuan meteorit sebagai prioritas.

Maka ibarat harta karun, bagaimana nasib meteorit Kolang terserah kepada penemunya mau diapakan. Dalam sejarah, tanggung jawab seharusnya terletak di pundak institusi–institusi ilmiah khususnya dalam ranah keantariksaan dan kebumian. Mengingat meteorit ini sebenarnya tetap bisa dipreservasi di dalam negeri. ‘Menghilangnya’ meteorit Kolang ke mancanegara juga berarti hilangnya kesempatan putra–putri bangsa ini dalam menguak temuan–temuan ilmiah baru khususnya dalam ranah astrogeologi, astrokimia dan astrobiologi. Kehilangan ini setara dengan raibnya artefak–artefak arkeologis peninggalan nenek moyang dari tanah Nusantara. Yang kini bertengger nyaman di arsip para kolektor pribadi atau museum mancanegara tanpa ada peluang kembali.

Gambar 2. Titik jatuhnya fragmen 1 meteorit Kolang, fragmen yang terberat. Nampak atap seng yang bolong ditembus meteorit (atas) dan cekungan titik mendaratnya meteorit beserta kepingan atap seng didekatnya. Sumber : Karmaka.de, 2020.

Karbonan Kondritik

Analisis sampel meteorit yang dikerjakan secara terpisah pada dua laboratorium berbeda, masing-masing di Arizona State University dan University of New Mexico (keduanya di Amerika Serikat) menyimpulkan meteorit Kolang merupakan meteorit karbonan kondritik grup CM. Meteorit karbonan kondritik terbentuk dari kondrul (butir–butir kecil) yang menggumpal jadi satu lewat proses breksiasi. Kondrul merupakan sisa–sisa planetisimal dari masa pembentukan tata surya kita. Maka usianya sudah cukup tua, rata–rata 4,5 milyar tahun.

Di tata surya, meteorit karbonan kondritik merupakan komponen penyusun asteroid tipe C. Asteroid tipe C mencakup 75 % dari seluruh asteroid yang telah diketahui pada saat ini dan beredar mengelilingi Matahari dalam Sabuk Asteroid khususnya pada orbit di antara 2,7 hingga 3,4 SA (satuan astronomis, 1 SA = 149,6 juta kilometer). Lebih banyak asteroid tipe C yang beredar di tepi jauh Sabuk Asteroid (3,4 SA), yakni hingga 80 %.

Meskipun berasal dari asteroid terbanyak di tata surya, namun populasi meteorit karbonan kondritik yang telah ditemukan di Bumi hingga saat ini adalah yang paling sedikit. hanya 4,6 % dari seluruh meteorit yang merupakan meteorit karbonan kondritik. Penyebabnya adalah massa jenisnya yang rendah, sehingga memiliki ketahanan yang lebih redah. Maka saat ia melintasi atmosfer Bumi sebagai meteor, lebih banyak yang teruapkan dibandingkan dengan meteorit tipe lain. Sehingga Meteorit Kolang tergolong cukup langka.

Ciri khas meteorit karbonan kondritik adalah mengandung cukup banyak unsur Karbon yang bukan Karbon bebas. Sebagai bagian grup CM, maka meteorit Kolang memiliki kandungan unsur Karbon antara 0,6 hingga 2,8 % dan kandungan air antara 4 hingga 18 %. Karbon di dalam meteorit terikat pada senyawa–senyawa karbon kompleks seperti hidrokarbon, senyawa aromatik, glukosa (gugus alkohol dan amida), gugus amina dan asam–asam amino. Sementara air terikat pada mineral–mineral tertentu sebagai air–kristal. Air–kristal hanya bisa keluar dari struktur kristalnya melalui reaksi kimia maupun proses fisika tertentu. Secara fisis meteorit karbonan kondritik memiliki massa jenis rendah dan sangat berpori. Meski sifatnya tak seperti batu apung.

Gambar 3. Sebaran titik jatuh fragmen-fragmen meteorit Kolang yang telah ditemukan hingga saat ini. Sepasang ellips menandakan medan sebaran (strewnfield) meteorit Kolang. Zona merah adalah zona berpeluang tinggi terhadap temuan meteorit sementara zona kuning adalah zona berpeluang lebih rendah. Panah biru muda menunjukkan arah kedatangan meteor-terang. Sumber : Sudibyo, 2021 berdasarkan data Karmaka.de, 2020.

Dengan komposisi kimiawi seperti itu tak heran jika sebagian astrobiolog menganggap meteorit karbonan kondritik adalah petunjuk benih–benih kehidupan telah ada sedari awal tata surya terbentuk. Terutama dicirikan oleh keberadaan asam amino. Singkatnya, nebula yang berkondensasi membentuk proto–tata surya kita juga merupakan ‘sup’ asam amino dan gula yang menjadi salah satu komponen dasar makhluk hidup. Jadi bayangkan, dengan kedudukan sepenting itu, berapa cendekiawan yang bisa dilahirkan dari riset–riset terkait meteorit ini?

Rekonstruksi

Titik-titik jatuhan ketiga meteorit Kolang mengesankan benda langit yang menjadi sumbernya datang dari arah tenggara. Dengan menghubungkan titik jatuhnya meteorit pertama dan ketiga, maka muncul kesan benda langit tersebut datang dari arah tenggara tepatnya dari Azimuth 150º. Mengunakan informasi ini maka asal meteorit tersebut secara garis besar dapat direkonstruksi. Dengan memperhitungkan juga koordinat lokasi, waktu kejadian, rule-of-thumb fraksi meteorit terhadap benda langit induknya dan lokasi populasi asteroid tipe C, .

Meteorit Kolang semula merupakan meteoroid yang melaju secepat antara 15,9 km/detik hingga 16,6 km/detik (57.250 km/jam hingga 59.750 km/jam) saat masih berada di antariksa. Rentang kecepatan tersebut tergolong rendah dalam bagi kecepatan meteoroid–meteoroid yang mengarah ke Bumi, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai meteoroid yang berasal dari kepingan asteroid. Rekonstruksi orbit mengindikasikan meteoroid Kolang semula beredar mengelilingi Matahari dalam kelompok asteroid–dekat Bumi kelas Apollo.

Orbit meteoroid Kolang membentuk inklinasi antara 11º hingga 11,6º. Inklinasi orbit adalah kemiringan bidang orbit sebuah benda langit terhadap ekliptika (bidang orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari). Periode orbitalnya bervariasi antara 2,5 hingga 3,15 tahun. Tentu saja angka–angka ini hanya perkiraan sangat kasar. Mengingat rekonstruksi orbit meteoroid membutuhkan minimal dua rekaman video ketampakan meteornya yang lantas ditriangulasi. Namun setidaknya memberikan gambaran betapa tamu dari langit ini sebenarnya berasal dari daerah yang tak jauh dari Bumi kita.

Massa meteorit Kolang yang sudah ditemukan 2,4 kg. Tidak diketahui berapa yang belum ditemukan. Menggunakan rule-of-thumb satu perseribu dan pembulatan ke atas maka secara sangat kasar kita dapat mengatakan diameter meteoroidnya ~2 meter (massa ~8,5 ton). Saat memasuki atmosfer Bumi, meteoroid berpijar sangat terang hingga setara terangnya Bulan separuh. Namun masih jauh di bawah terangnya Bulan purnama. Sehingga ia merupakan meteor-terang (fireball) dan belum tergolong boloid. Dengan tingkat terang melebihi Venus, maka meteor-terang Kolang dapat dilihat mata meski muncul di siang hari, dengan syarat pengamat betul–betul memusatkan pandangannya ke langit dan langit dalam kondisi sempurna.

Gambar 4. Prakiraan orbit meteoroid Kolang (zona abu-abu) di antara orbit planet-planet dalam tata surya. Sumber : Sudibyo, 2021.

Rekonstruksi juga mengindikasikan meteor-terang Kolang mulai terpecah–belah pada ketinggian sekitar 70 km di atas paras Bumi. Pemecahbelahan terus berlangsung kian jauhnya meteor masuk menembus lapisan–lapisan udara Bumi. Pada ketinggian sekitar 60 km, brutalnya proses pemecahbelahan mencapai puncaknya sehingga terjadi pelepasan energi yang menyerupai ledakan di udara (airburst). Energi airburst sekitar 0,4 kiloton TNT. Energi tersebut tergolong sangat kecil, jauh lebih kecil ketimbang yang terjadi dalam tumbukan asteroid 2014 AA (1 Januari 2014 TU), tumbukan asteroid 2018 LA (2 Juni 2018 TU) maupun tumbukan asteroid 2019 MO (21 Juni 2019 TU). Maka gelombang kejut dan sinar panas yang dilepaskannya sama sekali tak menyentuh parasbumi dibawah lintasannya. Kecuali gelegar suara dentuman yang merupakan gelombang akustik.

Keping–keping meteor Kolang yang selamat dari peristiwa airburst melanjutkan perjalanannya hingga mencapai paras Bumi. Saat menyentuh tanah, kecepatannya diperkirakan tinggal antara 100 hingga 150 km/jam. Jauh lebih lambat dibanding peluru. Meteorit yang berasal dari meteoroid kecil (massa di bawah 7 ton) selalu menumbuk tanah dengan kecepatan paling lambat akibat besarnya gaya gesek udara. Sehingga kecepatan akhirnya sepenuhnya gerak jatuh bebas.

Epilog

Setiap harinya rata-rata 44 ton meteoroid memasuki atmosfer Bumi membentuk ribuan hingga puluhan ribu meteor. Dari jumlah sebanyak itu, rata-rata 17 meteor diantaranya akan memproduksi meteorit. Namun dua pertiga paras Bumi adalah lautan, sementara seperempat daratan tidak menjadi ajang hunian dan aktivitas manusia. Maka peluang ketampakan sebuah meteor yang memproduksi meteorit dan terlihat dari pemukiman manusia menurun drastis menjadi tinggal 1 meteor / tahun. Secara statistik setiap kilometer persegi paras Bumi akan mendapatkan satu jatuhan meteorit dalam 50.000 tahun.

Jadi, kejadian jatuhnya meteorit cukup langka dan jatuhnya meteorit karbonan kondritik seperti Kolang jauh lebih langka lagi. Sepanjang catatan sejarah, sebelum Kolang hanya ada satu kejadian meteor yang memproduksi meteorit karbonan kondritik di Indonesia. Yakni pada 24 Mei 1933 TU di Banten, dengan massa meteoritnya hanya 600 gram. Kini meteorit Banten pun sudah tak ada lagi jejaknya di bumi Pertiwi. Hanya bisa ditemukan di beberapa museum dan koleksi pribadi.

Gambar 5. Rekonstruksi lintasan akhir meteor-terang Kolang yang berujung pada jatuhnya fragmen-fragmen meteorit. Panah biru menunjukkan arah gerak meteor-terang, garis merah menunjukkan proyeksi lintasan meteor-terang di paras bumi. Sumber : Sudibyo, 2021.

Di sini tak elok bila kita menyalahkan penemu yang lebih memilih menjual temuannya ke mancanegara. Bahwa penemu berkehendak bertransaksi secara ekonomis, itu sah–sah saja. Namun Indonesia dapat mengupayakan agar setiap jatuhan meteorit di negeri ini tetap bisa dipreservasi dengan baik di tanah air. Institusi–institusi keantariksaan dan kebumian seharusnya berperan aktif dalam upaya ekskavasi hingga preservasi setiap kejadian jatuhnya meteorit di Indonesia. Berdasarkan regulasi, peran keantariksaan ini diemban LAPAN. Sementara preservasi selama ini dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral RI melalui Museum Geologi Bandung. Kecuali meteorit Tambakwatu Pasuruan yang dipajang di Planetarium dan Observatorium Jakarta, bagian dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Dan meteorit Wonotirto disimpan oleh Pemerintahan Kabupaten Temanggung.

Tentu butuh koordinasi dan sinergi para pihak agar kejadian ‘hilangnya’ meteorit Kolang tak lagi terulang. Selain menjadi harta berharga yang patut disimpan untuk dikenang kepada anak cucu kita, preservasi meteorit di tanah air membuka peluang untuk kian mencerdaskan anak–anak bangsa.

Referensi :

Karmaka. 2020-2021. Kolang Meteorite Fall (CM 1/2 2,75 kg) in Sitahan Barat, Pasar Onan Hurlang and Satahi Nauli area, Kolang, Centra Tapanuli Regency (Tapanuli tengah), North Sumatra (Sumatra Utara), Indonesia at ~16:40 WIB (9.40 a.m. UTC) on 1 August 2020. http://karmaka.de/?p=22954 Karmaka Meteorites, Meteoritics & Cosmochemistry. Diakses 6 Maret 2021.

Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.