Sebuah peristiwa erupsi vulkanik dingin kembali terdeteksi di lingkungan tata surya kita. Kejadian tersebut terjadi di benda langit mini nan eksotik: komet. Yakni pada komet Pons–Brooks, komet yang datang mengunjungi tata surya bagian dalam secara rutin setiap 70 tahun sekali. Volume magma beku yang dilepaskan dalam erupsi vulkanik dingin ini mencapai sekitar 10 juta meter kubik, atau setara dengan volume tiap episode letusan Gunung Merapi di Indonesia pada umumnya (kecuali Letusan Merapi 2010).
Vulkanisme. Dikenal juga dengan nama kegunungapian (kegunungberapian). Vulkanisme adalah peristiwa alamiah dalam rupa ekstrusi (keluarnya) fluida magma dari kedalaman menuju paras (permukaan) padat suatu benda langit. Lewat dorongan gas, fluida magma menyeruak keluar melalui saluran alamiah (vent) yang tercipta lewat mekanisme proses lain. Saluran alamiah itu umumnya berupa zona lemah pada kerak benda langit di bagian tersebut. Di Bumi kita, saluran alamiah itu berupa zona retakan atau patahan (sesar) yang dibentuk peristiwa tektonik.
Vulkanisme Panas
Publik umumnya lebih mengenal vulkanisme sebagai “vulkanisme panas,” dimana fluida magma yang terlibat merupakan batuan cair kental bersuhu sangat tinggi (hingga 1.300º Celcius). Magma dalam vulkanisme panas secara umum terbagi atas magma asam dan magma basaltik (basa). Magma asam mendapatkan namanya karena mengandung banyak silika (SiO2), oksida asam silikat. Magma asam bersifat lebih kental. Sebaliknya magma basaltik lebih encer, sama encernya dengan kecap. Magma basaltik mendapatkan namanya karena banyak mengandung besi, oksida basa.
Saat keluar dari lubang letusan pada paras padat suatu benda langit, maka magma bertransformasi menjadi aneka ragam material vulkanik. Magma basaltik umumnya menjadi lava encer dalam erupsi efusif (leleran). Sedangkan magma asam menyembur sebagai lava kental dan piroklastika dalam erupsi eksplosif (ledakan). Bergantung kepada sifat asam/basa magma dan gravitasi benda langit tersebut, maka lava yang keluar dari lubang letusan akan menumpuk disekelilingnya dan membentuk kubah. Inilah gunung berapi sebagaimana yang kita kenal.
Vulkanisme panas yang aktif pada masa kini dijumpai di Bumi dan Io (salah satu satelit Jupiter). Di Bumi, ada puluhan ribu gunung berapi dengan lebih dari 1.500 diantaranya adalah gunung berapi aktif. Dari jumlah tersebut, ada 50 hingga 70 gunung berapi aktif yang meletus dalam setiap tahunnya. Di Io, benda langit yang ukurannya setara Bulan, juga telah ditemukan ratusan gunung berapi. Dari eksplorasi wantariksa (wahana antariksa) Voyager, Galileo, Cassini, New Horizons dan Juno telah terdeteksi 150 gunung berapi aktif dari total sekitar 400 gunung berapi.
Vulkanisme panas di Bumi mendapatkan panasnya dari panas pemanasan radioaktif (sebanyak 90 %) dan sisanya panas primordial sisa dari proses pembentukan tata surya (sebanyak 10 %). Sedangkan vulkanisme panas di Io ditenagai dari gaya tidal (gaya pasang surut gravitasi) akibat resonansi orbital Io terhadap Europa dan Ganymede saat bersama-sama mengedari Jupiter. Moda resonansi tersebut adalah moda Laplace. Gaya tidal di Io memproduksi panas internal sebanyak 60 hingga 160 TeraWatt. Lebih besar ketimbang panas internal Bumi yang besarnya 43 hingga 49 TeraWatt. Maka meskipun dimensinya lebih kecil, Io lebih aktif ketimbang Bumi secara vulkanik.
Jejak–jejak vulkanisme panas masa silam juga dijumpai di Venus, Bulan dan Mars. Ekplorasi wantariksa Magellan memperlihatkan sekitar 80.000 gunung berapi di Venus. Sejauh ini hanya satu yang diduga aktif: Gunung Maat Mons (tinggi 5.000 meter). Perbandingan citra radar Februari 1991 TU dan Oktober 1991 TU menunjukkan adanya perubahan signifikan pada kawah Maat Mons. Dimana luasan kawah bertambah hampir dua kali lipat dari semula 2,2 km2 menjadi 4 km2. Pertambahan ini diinterpretasikan disebabkan oleh peristiwa erupsi. Demikian halnya di Mars. Rekaman–rekaman seismik yang diterima wantariksa pendarat InSight memastikan lembah retakan Cerberus Fossae adalah aktif. Di kawasan ini terdapat jejak erupsi dari masa sekitar 53.000 tahun silam, yang membentuk gundukan dengan volume hingga beberapa puluh juta meter kubik.
Vulkanisme Dingin
Sebaliknya vulkanisme dingin jarang dikenal khalayak, meski peristiwanya berlimpah pula dalam tata surya kita. Vulkanisme dingin juga menyemburkan magma, namun berupa ‘magma beku’ mirip es seperti di Bumi kita. Magma beku kemudian keluar sebagai butir–butir air, metana maupun amonia pada lingkungan yang bersuhu sangat dingin membekukan. Oleh paparan panas, pada kedalaman keak benda langit tersebut maka magma beku bersifat cair dalam reservoirnya. Sumber panas tersebut dapat berupa pemanasan Matahari pada lapisan teratas kerak (sehingga menciptakan efek rumah kaca pada padatan) maupun sumber panas internal lainnya. Kenaikan suhu lokal sebesar 4º Celcius saja sudah cukup untuk menciptakan magma beku yang cair.
Akan tetapi begitu keluar dari paras, magma spontan memadat dan membentuk krioklastik (analog piroklastika untuk suhu sangat dingin) dalam ukuran butiran hingga bongkahan. Semburan material vulkanisme dingin demikian bertenaga, serupa erupsi eksplosif tipe Vulkanian atau Plinian. Sehingga kolom erupsinya disemburkan hingga sangat tinggi. Dalam beberapa kejadian, materi vulkanik dinginnya bahkan terlepas dari tarikan gravitasi benda langitnya untuk kemudian melayang–layang di ruang antarplanet.
Vulkanisme dingin pertama kali terdeteksi di Triton (salah satu satelit Neptunus) saat wantariksa Voyager 2 melintas dekat pada 1989 TU silam. Saat itu Voyager 2 mendeteksi beberapa lubang letusan yang aktif, dengan ketinggian kolom letusan hingga 8.000 meter dari paras. Erupsi–erupsi vulkanik dingin tersebut diperhitungkan memuntahkan tak kurang dari 100 juta meter kubik magma dingin dalam kurun setahun. Sumber panas yang menggerakkannya adalah, salah satunya, pemanasan Matahari. Hal tersebut terlihat dari keberadaan gunung-gunung berapi dingin Triton yang terbatasi di antara garis lintang 50º hingga 57º LS, kawasan dimana Matahari terletak di titik zenith dalam gerak semu harian Triton. Namun erupsi berskala besar diperkirakan tak cukup hanya ditenagai panas Matahari dan membutuhkan sumber panas internal.
Vulkanisme dingin kemudian juga dijumpai di Enceladus (salah satu satelit Saturnus) lewat pantauan wantariksa Cassini sepanjang 2004–2017. Di sini Cassini menyaksikan dan ‘mencicipi’ langsung material vulkanik dingin yang disemburkan dari lubang-lubang letusan area kutub selatan. Pengamatan Cassini menyimpulkan material vulkanik dingin yang disemburkan didominasi es, dengan ekstrusi magma sebanyak 250 kilogram air/detik. Semburan-semburan itu demikian bertenaga, melesat secepat 2.200 km/jam hingga ketinggian ratusan kilometer. Butir-butir es produk erupsi vulkanik dingin berkelanjutan di kutub selatan Enceladus ini menjadi komponen utama penyusun cincin E Saturnus. Cincin terluar kedua sekaligus cincin terbesar, karena merentang selebar 1,037 juta kilometer (dari orbit Mimas hingga orbit Titan).
Magma dingin di Enceladus berasal dari samudera bawah paras, yang juga menyusun lapisan selubung Enceladus. Samudera ini berkedudukan di bawah kerak setebal 30 hingga 40 km, kecuali di kawasan kutub selatan dimana ketebalan keraknya paling tipis (diperkirakan hanya 10 km). Dari semburan di kutub selatan, diketahui air samudera ini mengandung ion Natrium, Klorida dan Karbonat dengan sifat basa yang cukup kuat (pH diperkirakan 11 hingga 12). Sumber panas yang menjaga samudera ini tetap cair, sekaligus mendorong aktivitas vulkanisme dingin Enceladus, diduga merupakan kombinasi daya tidal, pemanasan radioaktif dan reaksi-reaksi kimia. Sumber-sumber panas tersebut membangkitkan panas internal sebanyak hingga 4,7 Gigawatt.
Vulkanisme Komet
Meski berkesan menakjubkan, namun vulkanisme dingin pada benda-benda langit seperti Triton dan Enceladus (di kemudian hari jejak-jejak vulkanisme dingin juga ditemukan di Charon dan Ceres) masih terasa masuk akal. Vulkanisme dingin disana terjadi akibat adanya sumber panas, baik internal maupun eksternal, yang memanaskan bagian tertentu atau segenap lapisan bawah-paras. Namun vulkanisme dingin pada komet, jauh terasa lebih menakjubkan lagi. Karena berbeda dengan planet dan satelit, komet adalah benda langit anggota tata surya yang sangat kecil. Dimensinya hanya beberapa kilometer hingga puluhan kilometer saja. Komet terbesar, yakni komet Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271) memiliki dimensi 117 km berdasarkan pengukuran teleskop landas antariksa Hubble.
Dalam dimensi demikian kecil, maka aktivitas vulkanisme dingin pada beberapa komet yang sudah teramati adalah kejutan besar. Secara alami, komet merupakan benda langit yang aktif karena dapat menyemburkan gas dan debu ke antariksa. Fenomena tersebut terutama teramati saat komet sudah menyeberangi garis es dalam perjalanannya mendekati Matahari menuju titik perihelionnya. Garis es merupakan tapalbatas sejauh minimal 3,1 SA (satuan astronomi) atau 464 juta kilometer dari Matahari, yang menjadi batas dimana suhu lingkungan cukup hangat untuk melelehkan es dan bekuan senyawa-senyawa volatil lainnya menjadi fasa cair.
Manakala komet sudah melintasi garis es, gas-gas hasil penguapan air dan senyawa volatil lainnya mulai terbentuk. Selanjutnya mendorong debu di paras intikomet ke antariksa. Dibantu angin Matahari, maka terbentuklah struktur kepala komet (coma) dan ekor komet yang mengesankan. Pada titik ini komet akan terlihat lebih cemerlang. Produksi gas dan debu kian meningkat sebanding dengan kian dekatnya komet ke Matahari. Sehingga komet akan bertambah cemerlang. Puncak kecemerlangannya dicapai saat komet tiba di titik perihelionnya.
Vulkanisme dingin pada komet menampakkan diri sebagai lonjakan kecemerlangan (outburst), dimana komet mendadak bertambah cemerlang ratusan hingga jutaan kali lipat dibanding semula. Pada masa kini pengamatan sistematis, terutama oleh para astronom amatir di berbagai penjuru, telah memungkinkan peristiwa vulkanisme dingin pada komet terdeteksi dengan lebih baik.
Salah satunya yang terdeteksi pada komet 12P/Pons-Brooks. Komet 12P/Pons–Brooks adalah komet periodik yang mengelilingi Matahari secara teratur dalam orbit khasnya pada periode revolusi (periode orbital) 71 tahun. Layaknya komet-komet periodik pada umumnya, orbit komet Pons–Brooks sangat lonjong, mulai dari kawasan orbit Venus untuk perihelionnya hingga ke kawasan lebih jauh dari orbit Neptunus untuk aphelionnya. Komet Pons-Brooks merupakan bagian keluarga komet tipe Halley, yakni kelompok komet yang dinamika orbitnya dikendalikan gravitasi Jupiter dan Saturnus. Meski penyelidikan menunjukkan gangguan dua planet raksasa tersebut tidaklah signifikan untuk mengubah gradual orbit komet Pons–Brooks khususnya semenjak 1740 TU hingga kelak 2167 TU (Carusi dkk, 1987).
Pada 21 Juli 2023 TU lalu komet Pons–Brooks terdeteksi mendadak cemerlang. Hanya dalam sehari komet 100 kali lebih cemerlang dibanding semula. Untuk selanjutnya perlahan–lahan meredup kembali. Pengamatan menunjukkan lonjakan kecemerlangan ini ditandai terbentuknya struktur tapal–kuda di bagian depan komet Pons–Brooks. Dari hari ke hari struktur tersebut berkembang meluas hingga pada puncaknya bergaris tengah sekitar 210.000 km.
Peristiwa ini terjadi manakala komet Pons-Brooks masih berjarak 3,9 SA dari Matahari. Sehingga diinterpretasikan sebagai sebuah peristiwa erupsi vulkanik dingin. Berdasarkan pemodelan Carie Holt, massa material vulkanik dalam rupa debu dan butir–butir es yang disemburkan erupsi vulkanik dingin ini sekitar 10 juta ton. Jika dianggap massa jenisnya adalah setara air (1.000 kilogram per meter kubik), maka volume erupsinya sekitar 10 juta meter kubik. Sehingga volume erupsi dingin komet Pons-Brooks setara volume erupsi tipikal Gunung Merapi di Indonesia pada umumnya (kecuali Letusan Merapi 2010).
Untuk ukuran Bumi, letusan tipikal Merapi tidak signifikan karena massanya sangat sangat kecil apabila dibandingkan dengan keseluruhan Bumi. Namun untuk benda langit sekecil komet, dimana diameter inti komet Pons–Brooks hanya sekitar 30 km, maka volume erupsi vulkanik dingin tersebut cukup besar, setara sepersejuta massa komet.
Erupsi vulkanik dingin pada komet Pons–Brooks terkait dinamika bawah permukaan intikometnya. Karena belum menyeberangi garis es, intikomet Pons-Brooks seharusnya belum cukup hangat. Namun kombinasi ukurannya yang relatif besar bagi komet, periode rotasinya yang (mungkin) relatif lambat dan anomali komposisi pada bagian tertentu kerak intikomet memungkinkan terbentuknya titik panas (hotspot). Di area tersebut panas Matahari terakumulasi hingga sanggup membentuk cairan magma dingin dari bekuan disekelilingnya. Lambat laun tekanan magma dingin ini kian membesar. Saat tekanannya sudah melampaui ambang batas daya tahan kerak, maka saluran alamiah terbentuk. Magma dingin mengalir deras ke paras sembari menyeret partikel–partikel kerak komet yang dilintasinya.
Referensi:
Carusi, Kresak, Perozzi, Valsecchi. 1987. High-order Librations of Halley-type Comets. Astronomy and Astrophysics, vol. 187 (1987) hal. 899–905.
Vergano. 2023. ‘Millennium Falcon’ Comet Sprouts Icy Wings as It Loops around the Sun. Scientific American, a Division of Springer Nature America, Inc. Jul 26, 2023.
Horvath, et.al. 2023. Evidence for Geologically Recent Explosive Volcanism in Elysium Planitia, Mars. ArXiv:2011.05956 [astro-ph.EP].
Herrick & Hensley. 2023. Surface Changes Observed on a Venusian Volcano during the Magellan Mission. Science, vol. 379 no. 6638, 24 Maret 2023.