Bencana Gerakan Tanah Kalijering, Kec. Padureso Kab. Kebumen, 9 Februari 2021 TU

Satu bencana alam gerakan tanah berskala besar terjadi di Desa Kalijering Kec. Padureso Kab. Kebumen Padureso pada Selasa 9 Februari 2021 TU. Gerakan tanah terjadi pada lereng timur sebuah bukit yang berdiri di tapalbatas Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Purworejo, tepatnya di RT 02 RW 2 dusun Krajan. Sebuah dusun yang berpenduduk 750 jiwa yang terdiri atas 267 kepala keluarga (KK). Gerakan Tanah Kalijering 2021, begitu untuk selanjutnya disebut, melanda 6 rumah di kaki bukit. Rumah–rumah tersebut hancur, terseret material gerakan tanah dan kemudian tertimbun.


Gambar 1. Lokasi Gerakan Tanah Kalijering 2021 pada 9 Februari 2021 TU diihat dari kaki bukit sebelah timur. Gerakan tanah terjadi di lereng timur, menghancurkan enam rumah dan menelan korban jiwa tiga orang. Sumber: Tanggap Bencana Kebumen/Raharjo, 2021.

Bencana gerakan tanah ini merenggut korban jiwa dan harta benda. Korban jiwa mencapai tiga orang. Dua korban pertama ditemukan dalam beberapa jam pascakejadian. Sementara korban terakhir baru ditemukan lima hari berikutnya setelah melalui pencarian intensif. Selain menghancurkan enam rumah, bencana gerakan tanah ini juga memaksa 32 KK untuk mengungsi dan harus direlokasi. Mengingat tempat tinggalnya kini berada dalam zona rawan.

Bencana gerakan tanah ini menjadi peristiwa terparah se–Kab. Kebumen dalam lima tahun terakhir. Tepatnya setelah Bencana Gerakan Tanah Sampang 2016 di Kec. Sempor yang merenggut korban jiwa 6 orang. Terkait peristiwa tersebut maka komunitas Tanggap Bencana Kebumen mencoba melakukan penyelidikan. Penyelidikan diselenggarakan dengan bantuan : citra–citra satelit (Sentinel–2 dari Copernicus), fotogrametri pesawat udara tanpa awak (drone) oleh komunitas Kebumen Aerial, peta berbasis citra satelit dari Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Propinsi Jawa Tengah, perangkat lunak Google Earth, perangkat lunak DEM (digital elevation model), studi pustaka dan tinjauan lapangan.

Tujuan dari penyelidikan ini adalah untuk mengungkap kemungkinan faktor pemicu dan faktor pengontrol. Juga untuk membentuk usulan mitigasi guna mengantisipasi peristiwa sejenis di masadepan dalam lingkup Kab. Kebumen. Minimal mereduksi terjadinya potensi korban manusia.

Temuan

Banyak hal menarik ditemukan dari penyelidikan tersebut. Gerakan Tanah Kalijering 2021 terjadi di sebuah bukit yang menjadi bagian dari taji tumpang–tindih (interlocking spur). Taji tumpang tindih adalah jajaran perbukitan yang tersusun demikian rupa hingga membentuk dua dinding yang saling berhadapan dan nampak seperti bentuk resleting saat dilihat dari atas. Di tengah–tengahnya terdapat lembah sungai dengan stadia muda (bentuk V) yang dialiri sebatang Kali Kreweng. Kali Kreweng merupakan anak Sungai Wawar, sungai utama paling timur di Kab. Kebumen.

Gambar 2. Pandangan mata–burung area gerakan tanah Kalijering sebagai hasil layout citra-citra satelit ke Google Earth. Biru : sub–area gerakan tanah kecil yang terjadi pada 27 Oktober 2020 TU. Merah: sub–area atas Gerakan Tanah Kalijering 2021. Kuning : sub–area bawah Gerakan Tanah Kalijering 2021. Sumber: Tanggap Bencana Kebumen/Sudibyo, 2021.

Mahkota longsor terletak pada koordinat 7º 37’ 35” LS 109º 48’ 35” BT dengan elevasi 210 mdpl. Sedangkan lidah longsor tepat memasuki aliran Kali Kreweng pada koordinat 7º 37’ 30” LS 109º 48’ 49” BT dan elevasi 74 mdpl. Secara keseluruhan luas area Gerakan Tanah Kalijering 2021 adalah 37.600 meter persegi dengan panjang (horizontal) sebesar 514 meter. Citra satelit yang dibandingkan dengan fotogrametri drone menunjukkan area gerakan tanah terbagi menjadi dua : sub–area atas dan sub–area bawah. Sub–area atas seluas 27.600 meter persegi sepanjang (horizontal) 336 meter dengan kemiringan 17º (31 %). Sementara sub–area bawah lebih kecil, dengan luas hanya 10.000 meter persegi, panjang (horizontal) 178 meter dan 10º (18 %).

Mengacu UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka kemiringan lereng tergolong ke dalam kelas agak curam (sub–area bawah) hingga curam (sub–area atas). Irisan melintang barat–timur pada bukit tersebut menunjukkan hanya lereng sebelah timur yang kemiringannya agak curam hingga curam. Sebaliknya lereng sebelah barat lebih landai dengan kemiringan di bawah 10 %. Litologi setempat adalah formasi Halang, satuan batuan sedimen produk aktivitas vulkanisme periode Halang yang diendapkan di laut dalam pada zaman Miosen akhir hingga Pliosen (16 hingga 2 juta tahun silam). Namun pemeriksaan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) serta tim Tanggap Bencana Kebumen secara terpisah pada November 2020 dan Februari 2021 menunjukkan bukit itu merupakan anggota breksi formasi Halang.

Vulkanisme periode Halang adalah aktivitas vulkanik di pulau Jawa yang terjadi di antara periode aktivitas vulkanik Jawa tua dan periode aktivitas vulkanik Jawa muda. Aktivitas vulkanik Jawa tua lebih intensif, diantaranya berupa erupsi Semilir. Letusan gunung berapi yangs angat dahsyat, sedahsyat Letusan Toba Muda. Vulkanisme Jawa tua kini telah sepenuhnya mati, namun pada masanya memproduksi batuan yang dikenal sebagai OAF (old andesite formation). Di Kab. Kebumen, batuan tersebut merupakan formasi Waturanda. Sebaliknya vulkanisme Jawa muda masih aktif hingga saat ini yang menghasilkan jajaran gunung–gunung berapi aktif pulau Jawa. Vulkanisme Halang tidak seaktif vulkanisme Jawa tua.

Gambar 3. Irisan melintang bukit yang mengalami Gerakan tanah Kalijering 2021 dalam arah barat – timur. Angka vertikal menunjukkan elevasi, sementara angka horizontal adalah jarak dari Kali Kreweng. Nampak pada lereng timur, kemiringan lereng bertolak belakang dibandingkan kemiringan lapisan-lapisan batuan dasar. Sumber: Tanggap Bencana Kebumen/Raharjo, 2021.

Sebagai batuan dasar pada bukit tersebut adalah adalah breksi, basal dan batu gamping yang berlapis–lapis. Di lereng timur, kemiringan lereng bertolak belakang dibandingkan dengan kemiringan (dipping) lapisan–lapisan batuan dasar. Menumpang diatasnya terdapat lapisan tanah pucuk (topsoil) berupa lempung–lanau yang tebal, berwarna kemerahan dan berpori–pori. Di bagian bawah dijumpai regolit sebagai bahan induk tanah. Tanah pucuk mudah menyerap air, sebaliknya batuan dasar bersifat kedap air. Oleh karenanya tanah pucuk ditumbuhi aneka pepohonan rimbun dengan penggunaan lahan kebun campuran milik para penduduk. Vegetasi dominan adalah tanaman berakar serabut seperti kelapa, bambu dan pisang. Tanaman berakar tunggang yang dominan adalah sengon. Ada beberapa bangunan rumah yang bertempat di kawasan puncak bukit.

Mekanisme

Analisis DEM mengindikasikan adanya jejak–jejak sejumlah gerakan tanah tanah purba di sekitar lokasi kejadian. Yakni di sisi selatan dan utara. Bahkan pembelokan alur Kali Kreweng tepat di lokasi lidah longsor dindikasikan juga disebabkan oleh peristiwa gerakan tanah purba yang massif. Kapan gerakan–gerakan tanah purba tersebut terjadi, tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Namun dimungkinkan Gerakan Tanah Kalijering adalah gerakan tanah purba yang aktif kembali (tereaktivasi).

Pada masakini, bukit tersebut pernah mengalami kejadian gerakan tanah dalam skala yang lebih kecil pada 27 Oktober 2020 TU. Yakni pada saat Kab. Kebumen mengalami kejadian hujan sangat lebat, dengan intensitas lebih dari 200 mm dalam dua hari (215 mm yang tercatat di stasiun meteorologi BMKG di bandara Tunggul Wulung Cilacap). Hujan sangat lebat tersebut memicu bencana hidrometeorologi di sejumlah kecamatan dalam wujud banjir dan gerakan tanah kecil.

Gambar 4. Salah satu parit di lereng timur bukit di dekat lokasi gerakan tanah. Nampak regolit tipis di bagian atas dan lapisan batuan dasar yang miring di bagian bawah. Sumber: Tanggap Bencana Kebumen/Raharjo, 2021.

Pemeriksaan melalui citra satelit Sentinel–1 mengindikasikan kejadian itu mengekspos lapisan tanah pucuk seluas sekitar 7.000 meter persegi. Pemeriksaan PVMBG menunjukkan gerakan tanah kecil ini membentuk retakan–retakan tanah dengan lebar 5 hingga 20 cm sepanjang 10 hingga 30 meter di sekitar mahkotanya. Jenis gerakan tanahnya kemungkinan merupakan nendatan (slumping), atau dapat pula longsor translasional. Selain memperlemah struktur, tereksposnya lapisan tanah pucuk juga mempermudah masuknya air hujan ke dalam lereng yang kian meningkatkan instabilitasnya.

Gerakan tanah Kalijering 2021 secara umum dipicu oleh dua faktor. Pertama, Hujan berintensitas tinggi yang terjadi selama dua hari berturut–turut pada 8 hingga 9 Februari 2021 TU. Secara umum dapat dikatakan untuk Indonesia, curah hujan dengan intensitas lebih dari 70 hingga 80 mm secara berturut–turut merupakan pemicu bencana hidrometeorologi termasuk gerakan tanah (Dwikorita Karnawati, 2005). Khusus untuk Jawa Tengah terdapat hubungan antara intensitas hujan bulanan dengan kejadian gerakan tanah, dimana pada saat bulan–bulan dengan intensitas hujan yang tinggi (November–Maret) maka kejadian gerakan tanah pun tinggi. Dan faktor kedua adalah aktivitas manusia, yang meliputi cara pemanfaatan lahan sehingga tanaman berakar serabut lebih dominan, penambahan beban di area puncak bukit berupa rumah–rumah penduduk dan terdapatnya saluran air di area puncak bukit.

Di sisi lain, Gerakan tanah Kalijering 2021 dikontrol oleh beberapa faktor. Misalnya terjadinya gerakan tanah berskala kecil 27 Oktober 2020 yang posisinya di sub–area atas gerakan tanah 2021. Selanjutnya litologi bukit dan tingkat pelapukan lereng yang membentuk regolit dan lapisan tanah pucuk tebal yang mudah menyerap air. Lalu dikontrol pula oleh kemiringan lereng yang tergolong ke dalam kelas agak curam hingga curam. Kemudian dikontrol juga oleh drainase lereng yang kurang baik, sehingga memudahkan air hujan meresap ke dalam lereng melalui retakan–retakan yang telah terbentuk dalam gerakan sebelumnya. Dan vegetasi penutup lereng yang didominasi tanaman berakar serabut menjadi faktor pengontrol berikutnya. Tanaman berakar serabut tidak cukup kuat dalam mengikatkan lapisan tanah pucuk terhadap lapisan batuan dasar dibawahnya. Di sisi lain bobot tanaman berakar serabut seperti kelapa adalah cukup besar sehingga justru menambah beban lereng.

Gambar 5. Lokasi Gerakan Tanah Kalijering 2021 dan jejak–jejak gerakan tanah purba disekitarnya berdasarkan analisis DEM (digital elevation model). Lokasi gerakan-gerakan tanah purba tersebut mengindikasikan jajaran bukit sebagai taji tumpang-tindih dengan alur sungai dipengaruhi oleh lidah longsor gerakan tanah purba. Sumber: Tanggap Bencana Kebumen/Raharjo, 2021.

Dengan temuan–temuan tersebut, kira–kira seperti inilah mekanisme Gerakan Tanah Kalijering 2021. Hujan berintensitas tinggi menyebabkan masuknya air dalam jumlah besar ke dalam lereng melalui retakan–retakan yang telah terbentuk dalam gerakan tanah sebelumnya. Drainase yang buruk membuat air tak mudah keluar di kaki lereng, sehingga menjadi jenuh di dalam lereng dan membuat bobot lereng bertambah. Pada saat yang sama air melumasi bidang kontak antara tanah pucuk dengan batuan dasar, menciptakan bidang gelincir yang mengurangi koefisien gesekan antar batuan.

Kala beban lereng telah melampaui gaya gesek antara tanah pucuk dan batuan dasar, maka terjadi gerakan tanah. Peristiwa tersebut menyebabkan pergerakan tanah pucuk yang berada di sub–area atas dan sebagian besar diendapkan di sub–area bawah. Material hasil gerakan tanah hanya sebagian kecil yang masuk pada aliran Kali Kreweng. Sehingga tidak terjadi pembendungan yang bisa menghasilkan banjir bandang.

Rekomendasi

Terkait peristiwa gerakan tanah tersebut, maka terdapat sejumlah rekomendasi yang terbagi menjadi tiga. Yakni rekomendasi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Terdapat tiga rekomendasi jangka pendek. Pertama, mengevakuasi penduduk yang masih tinggal di sebelah utara dan sebelah selatan dari area gerakan tanah. Evakuasi ini diperlukan mengingat masih ditemukan retakan–retakan tanah di sekitar sub–area atas. Retakan–retakan ini berpotensi menjadi gerakan tanah periode berikutnya.

Yang kedua menstabilkan lereng, dengan jalan menimbuni retakan–retakan yang ada dengan lempung dan atau ditutupi terpal untuk mengurangi masuknya air hujan ke dalam lereng. Stabilisasi lereng juga dilakukan dengan memasang pipa horizontal hingga menembus lereng bawah guna mengurangi tingkat kejenuhan air dalam lereng sekaligus memperbaiki kondisi drainase. Dan yang ketiga menciptakan sistem peringatan dini sederhana, dengan jalan mengukur jumlah waktu terjadinya hujan deras dengan jam (oleh penanggungjawab yang disepakati). Jika hujan deras berlangsung selama minimal 2 jam maka penduduk yang tinggal di bagian bawah lereng harus segera dievakuasi dengan membunyikan kentongan / sumber suara lainnya yang disepakati.

Gambar 6. Perubahan morfologi lokasi bencana gerakan tanah dalam citra satelit Sentinel–2 antara Juli 2019 TU hingga Februari 2021 TU. Nampak jejak gerakan tanah kecil yang terjadi 27 Oktober 2020 TU (tengah) dan jejak Gerakan Tanah Kalijering 2021 (kanan). Sumber: Copernicus/Sentinel-2, 2019-2021 dianalisis oleh Tanggap Bencana Kebumen/Sudibyo, 2021.

Rekomendasi jangka menengah juga terdiri atas tiga bagian. Pertama, memperkuat lereng dengan menanam tanaman berakar tunggang yang cepat berkembang sehingga bisa lebih menahan lereng. Kedua, mengusahakan pemanfaatan lereng timur dengan pembuatan teras–teras (terasering) yang bertujuan lebih melandaikan lereng dan mengendalikan aliran air permukaan. Dan yang ketiga adalah memasang ekstensometer / detektor gerakan tanah untuk lebih memudahkan kinerja sistem peringatan dini.

Sedangkan rekomendasi jangka panjang mencakup seluruh Kab. Kebumen mengingat kabupaten ini merupakan wilayah paling rawan gerakan tanah se–Jawa Tengah. Rekomendasi jangka panjang terdiri atas enam bagian. Pertama, memperbaiki peta lahan kritis di Kab. Kebumen sehingga bisa lebih mengidentifikasi titik–titik lahan kritis yang berada di lereng. Yang kedua, memetakan desa–desa yang karakteristiknya menyerupai pemukiman terdampak gerakan tanah Kalijering. Setelah berhasil mengidentifikasi desa–desa tersebut maka perlu dilaksnakaan rekomendasi yang ketiga. Yakni membentuk tim siaga bencana hidrometeorologi dan gerakan tanah di desa–desa tersebut.

Bersamaan dengannya maka perlu juga dilaksanakan rekomendasi yang keempat, yakni membuat peta risiko gerakan tanah skala desa serta jalur evakuasinya pada setiap desa yang teridentifikasi beresiko tinggi berdasarkan peta risiko gerakan tanah tingkat kecamatan yang sudah dibuat. Pembuatan peta tingkat desa dikerjakan secara partisipatif di bawah komando tim siaga bencana. Yang kelima adalah menyusun prosedur tetap untuk evakuasi dan melatihnya secara bersama–sama, sebagai tindak lanjut pemetaan tersebut. Dan yang terakhir, yakni yang keenam, adalah memperbanyak pembentukan desa tangguh bencana khususnya pada kawasan bencana berisiko tinggi.

Dipersiapkan oleh :
1. Chusni Ansori
2. Puguh Raharjo
3. Ma’rufin Sudibyo

Referensi :

Setiawan. 2021. Identifikasi dan Mitigasi Bencana Longsor. Pendidikan Geografi Kebencanaan #7, MGMP Geografi Prop. Jawa Timur–Dongeng Geologi–Kagama, Sabtu 13 Februari 2021.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2021. Laporan Pemeriksaan Gerakan Tanah di Desa Kalijering Kec. Padureso Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral propinsi Jawa Tengah. 2021.

Kebumen Aerial. 2021. komunikasi pribadi

Gempa dan Tsunami Donggala-Palu 2018 (2), Tsunami Tak-Biasa Itu dan Takdir Kebumian Kota Palu

Sepekan pasca peristiwa Gempa Donggala-Palu 2018, apa yang dialami pesisir Kota Palu perlahan-lahan mulai terkuak. Selagi seantero negeri berdebat akan sistem peringatan dini tsunami Indonesia yang (dianggap) memprihatinkan, kepingan demi kepingan data yang mulai terkumpul dari kawasan pesisir Teluk Palu menyajikan hasil tak terduga. Sekaligus menonjok uluhati kita.

Betapa tidak, bahkan andaikata sistem peringatan dini tsunami Indonesia bekerja sempurna dengan segenap infrastruktur pendukungnya, seperti tsunami buoy, stasiun pasangsurut, sirene menara peringatan dini tsunami hingga SMS blasting ke segenap penduduk setempat, para korban tsunami itu (mungkin) tetap takkan selamat. Takdir kebumian Kota Palu mengantar daerah itu berhadapan dengan tsunami mengerikan. Sekaligus mimpi buruk bagi sistem peringatan dini tsunami manapun. Sebab gelombang pembunuh itu adalah tsunami tak-biasa, yang datang terlalu cepat.

Data dan Pembaharuan Informasi

Badan Informasi Geospasial (BIG), yang bertanggungjawab memonitor stasiun-stasiun pasangsurut pada pelabuhan-pelabuhan Indonesia, melansir data penting pada Rabu 3 Oktober 2018 TU (Tarikh Umum) lalu. Yakni data dinamika paras air laut yang terekam stasiun pasangsurut pelabuhan Pantoloan. Pelabuhan ini terletak 20 kilometer sebelah utara Kota Palu. Semula stasiun pasangsurut Pantoloan dikira rusak atau bahkan hancur oleh terjangan tsunami. Namun ternyata hanya perangkat komunikasi datanya saja yang rusak. Sementara sebagian sensor pasangsurutnya sendiri tetap utuh dan bekerja.

Gambar 1. Grafik paras air laut Teluk Palu yang terukur di stasiun pasangsurut pelabuhan Pantoloan, 20 kilometer sebelah utara Kota Palu, pada saat peristiwa tsunami terjadi. Grafik telah dikoreksi terhadap faktor pasang surut harian setempat. Nampak tsunami mulai datang pada pukul 18:08 WITA, hanya dalam 6 menit pascagempa. Tinggi tsunami murni 1,9 meter (murni) atau 3,9 meter (dari lembah gelombang ke bukit gelombang). Sumber: BIG, 2018 diolah oleh Widjo Kongko, 2018.

Datanya mengejutkan. Tsunami tiba di pelabuhan Pantoloan hanya dalam 6 menit pascagempa atau tepatnya pada pukul 18:08 WITA. Ia ditandai oleh gelombang negatif (surut maksimum) yang disusul gelombang positif (pasang maksimum) dalam 2 menit kemudian. Tinggi tsunami maksimum, yakni dari surut maksimum hingga pasang maksimum, adalah 3,9 meter. Sementara periode gelombangnya adalah 3,5 menit, tergolong pendek bila dibanding tsunami bangkitan gempa bumi tektonik pada umumnya. Ia lebih mirip periode tsunami Krakatau 1883, produk injeksi awan panas letusan berskala massif ke dasar Selat Sunda, yang hanya 5 menit.

Pantoloan melengkapi data yang telah dipublikasikan sebelumnya, yakni dari stasiun pasangsurut pelabuhan Majene. Dari data Majene, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan pembaharuan informasi runtun waktu. Tsunami kecil terdeteksi di pelabuhan Majene pada pukul 18:27 WITA (sebelumnya disebut 18:13 WITA). Tinggi maksimumnya hanya 6 cm. BMKG juga menyampaikan informasi terjangan tsunami di pesisir Kota Palu dimulai pada pukul 18:10 hingga 18:13 WITA, atas dasar analisis rekaman video. Dengan demikian tsunami tiba di pesisir Palu hanya dalam tempo 8 hingga 11 menit pascagempa. Sangat singkat.

Selain pembaharuan informasi, BMKG juga melansir hasil survei lapangan pendahuluan terkait distribusi tinggi tsunami di sekujur Teluk Palu. Tinggi tsunami terbesar ada di Kota Palu, masing-masing Kota Palu bagian tengah (yakni di Jembatan Kuning) dan Kota Palu bagian timur (dekat kampus Universitas Tadulako). Yakni setinggi 10,9 meter dan 11,3 meter! Di sepanjang pesisir Teluk Palu bagian barat dan timur, distribusi tinggi tsunami relatif berimbang. Di pesisir barat, tinggi tsunami bervariasi dari 4 meter di Loli Dondo, Banawa (Kab. Donggala) hingga 9,5 meter di Kota Palu bagian barat. Sementara di pesisir bagian timur, tinggi tsunami bervariasi dari 3,9 meter di Toaya, Sindua (Kab. Donggala) hingga 11,3 meter di Kota Palu bagian timur.

Gambar 2. Distribusi tinggi tsunami di seantero pesisir Teluk Palu dan Selat Makassar berdasarkan survei lapangan pendahuluan oleh BMKG. Nampak tinggi tsunami terbesar berada di pesisir Kota Palu, yakni 10,9 meter (lokasi Jembatan Kuning) dan 11,3 meter (Kota Palu bagian timur). Sumber: BMKG, 2018.

Pembaharuan informasi juga disampaikan lembaga geofisika lainnya, United States Geological Survey (USGS). Analisis gabungan yang melibatkan banyak data dari sejumlah jejaring seismometer dan citra satelit terutama melalui teknik InSAR (interferometry synthethic apperture radar) menghasilkan pembaharuan tentang geometri sumber gempa. Kini sumber Gempa Donggala-Palu 2018 dipahami sebagai persegi panjang yang membentang mulai dari titik episentrum di utara hingga 150 kilometer ke selatan. Persegi panjang ini terbagi menjadi tiga sub-bagian, masing-masing utara, tengah dan selatan. Sub-bagian utara merentang dari episentrum di Lompio (Kab. Donggala) hingga sekitar Pantoloan (Kab. Donggala) dengan panjang 50 kilometer. Sub-bagian tengah membentang dari Teluk Palu melintasi Kota Palu hingga kawasan Dolo Sel (Kab.Sigi), juga sepanjang 50 kilometer. Dan sisanya adalah sub-bagian selatan, yang merentang hingga Kulawi (Kab.Sigi), pun sepanjang 50 kilometer.

Gambaran pergerakan sesar Palu-Koro di sisi barat Kota Palu dapat dilihat berikut ini :

Dalam segenap sumber gempa ini, terdeteksi lentingan / pergeseran total sebesar 5 – 6 meter (rata-rata) yang didominasi pergerakan mendatar ke arah kiri (sinistral strikeslip). Namun ada pula komponen pergerakan vertikal yang nampaknya juga dialami oleh sub-bagian sumber gempa yang terletak di dasar Teluk Palu. Di sepanjang sumber gempa ini terjadi getaran yang amat sangat keras dengan intensitas hingga mencapai intensitas 9 MMI (modified mercalli intensity). Ini jenis getaran yang mampu menggeser bangunan bermutu baik dari pondasinya sekaligus menyebabkan likuifaksi. Dengan demikian getaran di Kota Palu 1.000 kali lebih kuat ketimbang yang semula diduga lewat analisis pendahuluan (yang hanya mencantumkan 6 MMI).

Gambar 3. Sumber Gempa Donggala-Palu 2018, berdasarkan hasil analisis citra satelit menggunakan teknik InSAR (interferometry Synthethic apperture radar). Ia sepanjang 150 kilometer yang terdiri dari 3 sub-bagian, dengan satu sub-bagian diantaranya berada di Teluk Palu. Diolah oleh Sotiris Valkaniotis berbasis citra radar Sentinel-2. Sumber: Valkaniotis, 2018.

Penyebab

Jadi apa penyebab tsunami dalam Gempa Donggala-Palu 2018 ini?

Ada dua pendapat utama. Satu kubu memperkukuhi pergerakan gempa bumi murnilah yang memproduksi tsunami. Sedangkan kubu yang lain beranggapan gempa bumi semata tak cukup sehingga musti ada faktor penyebab tambahan, dalam hal ini adalah longsoran massif di dasar Teluk Palu. Khususnya di area sub-bagian tengah sumber gempa Donggala-Palu 2018.

Aneka simulasi tsunami yang telah dikerjakan sejauh ini juga belum menunjukkan kecocokan mendekati realita. Misalnya simulasi pendahuluan dari EDIM (Earthquake Disaster Information system for the Marmara), proyek penelitian yang menjadi bagian dari University of Karlsruhe (Jerman). Simulasi tsunami EDIM adalah bagian kubu pertama dan dilansir hanya sehari pascagempa. Simulasi EDIM berasumsi sumber gempa Donggala-Palu 2018 berupa persegi sepanjang 100 kilometer dengan beberapa bagiannya berada di dasar Selat Makassar – Teluk Palu. Hasil simulasinya menempatkan tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah sebesar 5,5 meter.

Gambar 4. Simulasi tsunami pendahuluan dari EDIM. Tsunami Palu dianggap murni diproduksi dari kenaikan dasar sebagian Teluk Palu akibat gempa. Tinggi tsunami terbesar berdasarkan simulasi adalah di pesisir Kota Palu bagian tengah, yakni setara 5,5 meter. Ini masih jauh dari realitas. Sumber: EDIM, 2018.

Sementara simulasi pendahuluan lainnya dikerjakan oleh Aditya Gusman, cendekiawan muda gempa dan tsunami yang sedang menempuh program pascadoktoralnya di Selandia Baru. Simulasi ini tergolong ke dalam kubu kedua dan dipublikasikan 2 hari pascagempa. Ia mengambil asumsi sumber gempa Donggala-Palu 2018 sebagai persegi sepanjang 60 kilometer dengan lebar 20 kilometer dan ada bagiannya yang menjorok ke dasar laut Selat Makassar. Aditya juga berasumsi telah terjadi longsoran dasar laut, yang dispekulasikannya berada di mulut Teluk Palu. Longsoran dianggap berbentuk bulat berdiameter 5 kilometer dengan amplitudo 2 meter. Hasil simulasinya menempatkan tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah hanyalah 2,5 meter. Jika faktor longsoran dasar laut diabaikan, simulasi Aditya menjumpai tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah hanyalah 0,25 meter.

Untuk memastikan apa yang menjadi pembangkit tsunami dalam Gempa Donggala-Palu 2018, maka survei lapangan pun bakal digelar. Termasuk diantaranya bakal ‘mengaduk-aduk’ dasar Teluk Palu, tentu dengan teknologi pencitra dasar laut yang berbasis sonar. Dari survei ini bakal diketahui bagaimana sebenarnya bentuk geometri sumber gempa Donggala-Palu 2018 dan bagaimana situasi di dasar Teluk Palu. Sehingga simulasi tsunami yang lebih baik dan lebih dekat ke realita dapat dikerjakan.

Gambar 5. Simulasi tsunami pendahuluan oleh Aditya Gusman. Tsunami Palu dianggap diproduksi dari gabungan kenaikan Selat Makassar akibat gempa dan terjadinya longsoran dasar laut tepat di mulut Teluk Palu. Tinggi tsunami terbesar berdasarkan simulasi adalah di pesisir Kota Palu bagian tengah, yakni setara 2,5 meter. Ini masih jauh dari realitas. Sumber: Gusman, 2018.

Meski hasil simulasi tsunami pendahuluan hingga sejauh ini belum dapat menjawab apa yang sesungguhnya terjadi, akan tetapi mereka mengungkap fakta lain. Simulasi tsunami pada dasarnya adalah pemodelan matematis penjalaran tsunami dengan menggunakan persamaan-persamaan gelombang tertentu yang dihitung secara numerik. Simulasi tsunami memperlihatkan betapa geometri Teluk Palu yang unik menjadi hal fatal manakala berhadapan dengan peristiwa tsunami.

Pada dasarnya tsunami adalah gelombang panjang. Karena sebagai gelombang transversal, ia mempunyai panjang gelombang jauh lebih besar ketimbang kedalaman perairan yang dilintasinya. Kedalaman Teluk Palu mencapai 700 meter, membuat tsunami yang terbentuk di perairan ini mampu melesat secepat sekitar 300 kilometer/jam. Dengan periode hanya 3,5 menit maka gelombang tsunami Palu memiliki panjang gelombang hingga 5.000 kilometer. Sebagai gelombang panjang, tsunami memiliki tinggi sangat kecil khususnya di tengah-tengah perairan samudera terbuka. Di lokasi tersebut tinggi tsunami mungkin hanya beberapa sentimeter hingga semeter saja.

Namun begitu memasuki perairan sempit seperti misalnya muara sungai, selat, teluk dan pantai berteluk rumit mirip pola gigi gergaji (sawtooth), tsunami mengalami proses amplifikasi atau penguatan. Oleh karena kecepatannya berkurang, maka panjang gelombangnya pun memendek dramatis. Dimana bagian depan tsunami melambat sementara bagian belakangnya masih melaju lebih cepat. Ini membuat massa air bertumpuk sehingga tingginya pun meningkat. Proses ini diperparah jika ada pasokan air lain, misalnya dari aliran sungai. Karena itu saat tiba di pesisir perairan sempit, tinggi tsunami telah demikian meningkat.

Teluk Palu pada dasarnya adalah perairan mirip estuaria (muara sungai berbentuk corong) raksasa. Kota Palu tepat berada di ujung dari corong tersebut. Sehingga manakala tsunami memasuki perairan ini, ataupun tepat terbentuk dalam perairan ini, ia akan diperkuat begitu mendekati Kota Palu. Dan saat tiba di pesisir Kota Palu, tingginya telah demikian besar sehingga cukup mampu menghasilkan kerusakan. Dan menelan korban. Inilah yang menjadikan Kota Palu sebagai kawasan paling rawan tsunami di Indonesia.

Takdir Kebumian

Data dari stasiun pasangsurut Pantoloan dan hasil analisis rekaman video tsunami yang menerpa Kota Palu menghasilkan kesimpulan sementara ibarat pisau bersisi dua. Yakni tentang sistem peringatan dini tsunami. Pada sisi yang tajam, sistem peringatan dini tsunami itu terbukti telah bekerja meskipun tak sempurna. Tsunami menerjang Kota Palu hanya dalam tempo paling lama 10 menit dari awal gempa. Meski BMKG menyampaikan peringatan dininya lebih cepat, yakni hanya 4 menit setelah gempa dimulai, namun waktu yang tersedia sangat sempit. Hanya 6 menit kemudian tsunami telah melimbur Kota Palu. Pada sisi yang tumpul disadari bahwa sebagus apapun dan sesempurna apapun sistem peringatan dini tsunami bagi Kota Palu, warga kota itu hanya memiliki peluang yang kecil untuk selamat.

Gambar 6. Peta kontur kedalaman (batimetri) dasar Teluk Palu berdasarkan rilis Badan Informasi Geospasial (BIG). Nampak lokasi Pelabuhan Pantoloan dan Kota Palu serta kandidat lokasi terjadinya longsor dasar laut yang memperparah tsunami. Sumber: BIG, 2018.

Mari kita bayangkan bagaimana menit demi menit situasi Kota Palu yang mendirikan bulu roma pada saat gempa dan tsunami melanda. Begitu gempa mulai, sesar Palu-Koro yang membelah Kota Palu bergeser 5-6 meter dari semula mengikuti prinsip dislokasi elastis. Segenap kota menjadi sub-bagian tengah sumber gempa. Getaran yang amat sangat keras terjadilah dengan intensitas hingga 9 MMI. Tak satupun insan yang sanggup berdiri tegak kala menerima getaran sekeras itu. Hujan reruntuhan mulai terjadi. Bangunan bermutu buruk remuk, sementara bangunan yang lebih baik dibikin rusak berat hingga runtuh. Mereka yang berhasil mengeluarkan diri segera berkumpul di tempat-tempat terbuka.

Selagi gempa mereda dan rasa panik masih meraja di tahta tertingginya, tak satupun menyadari perairan tenang yang selama ini mempercantik wajah kota mulai bergolak. Sebagian dasar Teluk Palu terangkat dan longsor. Laut bergolak, mengirim gelombang panjang yang awalnya kecil. Namun lama kelamaan kian membesar dan meninggi begitu mendekat ke pesisir. Hanya 10 menit setelah awal gempa, gelombang pembunuh itu tiba di pesisir. Kini ia menjadi monster setinggi hingga 11 meter. Melaju secepat (mungkin) 30 kilometer/jam, ia menerjang ke daratan, merayahi kota hingga 500 meter dari garis pantai. Menyapu apa saja yang dilintasinya. Termasuk manusia.

Takdir kebumian Kota Palu, dengan sesar Palu-Koro yang melintasinya dan teluk bergeometri unik dihadapannya, mengantar kota itu berhadapan dengan kengerian tsunami. Sekaligus mimpi buruk bagi sistem peringatan dini tsunami dimanapun. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia adalah sebuah sistem rumit yang melibatkan banyak lembaga. Kendali memang berada di BMKG, sekaligus sebagai pemantau jejaring seismometer. Namun verifikasi terjadi tidaknya tsunami harus melalui bacaan tsunami buoy ataupun stasiun pasangsurut. Tsunami buoy ada di bawah koordinasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sementara stasiun pasangsurut menjadi bagian dari BIG.

Hasilnya lantas disalurkan kepada lembaga-lembaga nasional yang berkepentingan dan pemerintah daerah berpotensi terdampak. Pada titik ini, seharusnya di daerah itu terdapat menara sirene peringatan dini tsunami. Sirene tersebut didesain untuk meraung-raung, suaranya bisa terdengar hingga berkilometer jauhnya. Juga seharusnya terdapat sistem SMS blasting, yang mampu mengirim layanan pesn singkat secara massal ke segenap pemilik telepon seluler di daerah tersebut.

Dalam kejadian tsunami Palu, sistem peringatan dini tsunami itu bekerja tak sempurna. Tak ada tsunami buoy yang memverifikasi ada tidaknya tsunami saat masih menjalar di tengah teluk, karena sudah invalid. Hanya satu stasiun pasangsurut yang melaporkan kejadian usikan khas tsunami di pantai, itupun sejarak 200 kilometer dari episentrum. Tak ada sirene yang meraung-raung dari menara peringatan dini tsunami. Pun tak ada SMS blasting ke penduduk. Meski dua hal terakhir mungkin disebabkan oleh suasana panik yang melanda Kota Palu saat gempa. Atau bahkan bisa jadi infrastrukturnya telah hancur sementara operatornya telah tiada, akibat guncangan gempa.

Akan tetapi andaikata semua bagian tersebut bekerja sempurna sekalipun, dengan tsunami melimpur kota hanya dalam tempo 10 menit pascagempa, kecil peluangnya bagi penduduknya untuk selamat.

Referensi :

Widjo Kongko. 2018. komunikasi pribadi.

Aditya Gusman. 2018. komunikasi pribadi.

Sotiris Valkaniotis. 2018. komunikasi pribadi.

Gugur Lumpur Brebes, Bencana Longsor Pasirpanjang 22 Februari 2018

Lumpurnya sangat tebal, hingga selutut bahkan sepaha orang dewasa. Ia melampar menutupi lahan persawahan cukup luas serta sepenggal jalan desa. Medan berlumpur itulah yang harus dihadapi para relawan kala mengevakuasi para korban bencana longsor di desa Pasirpanjang, Kec. Salem Kab. Brebes (Jawa Tengah). Meski tak sebesar skala longsor Jemblung Banjarnegara pada 12 Desember 2014 TU (Tarikh Umum) silam, bencana longsor Pasirpanjang ini menorehkan catatan tersendiri seiring beratnya medan.

Gambar 1. Sudut desa Pasirpanjang yang terlanda bencana tanah longsor 22 Februari 2018 TU. Nampak longsor mulai melebar kala melintasi area persawahan berterasering. Diabadikan hanya dalam 2 jam pasca bencana terjadi oleh BPBD Kabupaten Brebes. Sumber: BPBD Brebes, 2018 dalam PVMBG, 2018.

Hingga evakuasi dihentikan pada tujuh pascabencana, jumlah korban jiwa tercatat 11 orang, 10 orang ditemukan dalam timbunan lumpur dan seorang lagi meninggal dalam perawatan karena luka-lukanya. Sementara 7 orang masih dinyatakan hilang dibalik tebalnya timbunan lumpur. Sehingga jumlah korban jiwa seluruhnya mencapai 18 orang. Sedangkan 4 orang masih dirawat di rumah sakit dari jumlah korban luka-luka 14 orang. Kerugian materi masih dihitung. Namun secara kasat mata, tak kurang dari 8,5 hektar lahan persawahan hilang tertimbun lumpur. Penggal jalan beraspal sepanjang 507 meter, bagian dari jalan raya propinsi yang menghubungkan Kec. Salem dengan Kec. Banjarharjo di utara, menghilang. Demikian halnya penggal jalan desa Pasirpanjang sepanjang 225 meter. Selain itu dua buah jembatan pun hilang terbawa aliran lumpur.

Bencana longsor Pasirpanjang terjadi pada Rabu 22 Februari 2018 TU sekitar pukul 08:45 WIB. Longsor datang dari lereng Bukit Tamiang, area yang sesungguhnya tertutupi rimba belantara berkualitas baik dan tidak mengalami pembalakan. Longsor terjadi di pagi hari yang terang tanpa ada hujan. Akan tetapi sehari sebelumnya hujan deras mengguyur seharian. Guyuran hujan deras juga terjadi di sore hari pascalongsor. Kombinasi hujan ini menginisiasi banjir besar di bagian dataran rendah Brebes sejak 23 Februari 2018 TU. Guyuran hujan deras juga terjadi pada beberapa hari sebelumnya, juga memproduksi airbah yang menenggelamkan bagian dataran rendah Brebes mulai 12 Februari 2018 TU.

Peta lokasi longsor:

Permukaan Bukit Tamiang dan Bukit Lio di sebelah timurnya tersusun oleh tanah hasil pelapukan berupa lempung berpasir. Tanah ini bersifat sarang (porous) sehingga sangat mudah menyerap air. Ia cukup tebal hingga mencapai 5 meter. Di bawahnya terdapat batuan sedimen napal, yakni batu lempung yang mengandung karbonat cukup banyak. Berbeda dengan tanah permukaan, batuan napal ini bersifat kedap air. Bukit-bukit tersebut juga dikenal berlereng curam. Sisi Bukit Tamiang yang mengalami longsor memiliki kemiringan mulai 35º di bagian bawah hingga lebih dari 45º di bagian atas. Lereng curam dengan tanah permukaan yang sarang dan batuan kedap air dibawanya inilah yang menjadi faktor-faktor penyebab longsor.

Longsor dan Potensi Longsor

Gambar 2. Panorama mahkota longsor Pasirpanjang diabadikan dari udara dengan pesawat udara nir awak (PUNA) milik PVMBG. Nampak jelas longsr terjadi di kawasan yang masih tertutupi vegetasi baik. Terlihat pula aliran Kali Pangurudan, sungai yang berperan dalam bencana longsor ini. Sumber: PVMBG, 2018.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyimpulkan, saat hujan berintensitas tinggi mengguyur kawasan ini secara berturut-turut, tanah Bukit Tamiang menyerap air dalam jumlah cukup besar hingga jenuh. Bobot massa tanah pun bertambah. Di kaki bukit, penjenuhan menyebabkan kekuatan penahan tanah berkurang. Pada saat yang sama, air yang diserap terakumulasi cukup banyak pada kontak antara dasar tanah permukaan dengan batuan napal. Eksistensi air di sini menjadi mirip oli, melumasi bagian atas batuan napal. Bidang gelincir pun terbentuk. Maka gugur lumpur bertipe aliran pun terjadilah, diinisiasi dari melorotnya bagian kaki bukit. Begitu terjadi maka bagian atasnya pun turut tertarik. Lumpur pun mengalir menyusuri lembah Kali Pangurudan, sebelum kemudian menyebar di kaki bukit laksana kipas.

Secara keseluruhan, mulai dari mahkota longsor hingga ujung lidahnya, tanah longsor ini memiliki panjang 2,3 kilometer. Ia menutupi lahan seluas 23,6 hektar, terdiri dari aliran sungai, hutan produksi, jalan dan areal persawahan. Mahkota longsor terletak di ketinggian 660 meter dpl (dari paras air laut rata-rata). Sementara ujung lidah longsor pada ketinggian 350 meter dpl.

Gambar 3. Foto-foto retakan tanah (atas) dan perosotan tanah/nendatan (bawah) yang membelah jalan raya Salem-Banjarharjo di pinggang Bukit Lio, sejarak 800 meter sebelah timur mahkota longsor Pasirpanjang. Analisis PVMBG memperlihatkan area ini berpotensi berkembang menjadi mahkota longsor susulan yang tak kalah besar dibanding longsor Pasirpanjang 22 Februari 2018. Sumber: PVMBG, 2018.

Apa yang mencemaskan dari gugur lumpur Pasirpanjang ini adalah potensinya untuk terulang lagi. Tanda-tanda fisiknya sudah nampak jelas. Sejarak 800 meter di sebelah timur mahkota longsor ini, tepatnya pada penggal jalan raya Salem-Banjarharjo yang menempati pinggang Bukit Lio, dijumpai retakan-retakan tanah yang membelah aspal. Juga perosotan tanah atau nendatan (slump). Bagian ini kelak mungkin akan menjadi komponen mahkota longsor.

Analisis memperlihatkan bilamana nendatan dan retakan ini berkembang menjadi gugur lumpur, maka ia bisa mengalir sejauh tak kurang dari 2 kilometer. Aliran tersebut bakar menyusuri lembah sebuah sungai kecil, mirip dengan apa yang terjadi dalam bencana longsor Pasirpanjang kali ini. Di kaki bukit, ia pun akan meluber dengan bentangan laksana kipas. Apa yang harus dicermati dari analisis ini adalah bahwa di kaki bukit terdapat pemukiman yang membentuk kampung Jojogan. Kampung ini adalah salah satu kampung di desa Pasirpanjang.

Peta potensi longsor susulan:

Selain harus merelokasi jalan raya Salem-Banjarharjo dan jalan desa Pasirpanjang yang terputus serta lahan persawahan yang terkubur, potensi terancamnya kampung Jojogan juga perlu dicari solusinya. Opsi relokasi menjadi salah satu pilihan. Agar bilamana longsor di titik yang telah diprakirakan itu benar-benar terjadi, korban tak lagi berjatuhan.

Referensi :

PVMBG. 2018. Tanggapan Bencana Gerakan Tanah Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah 22 Februari 2018. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 22 Februari 2018. Diakses 28 Februari 2018.

PVMBG. 2018. Laporan Sementara Pemeriksaan Gerakan Tanah di Desa Pasirpanjang Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 26 Februari 2018. Diakses 28 Februari 2018.