Bagian ketiga dari lima tulisan
Lembaran kalender 1435 Hijriyyah telah hampir memasuki bulan kalender pamungkasnya, yakni Zulhijjah. Inilah salah satu bulan kalender yang tinggi kedudukannya di mata Umat Islam sejagat. Karena di saat inilah terdapat ibadah yang menjadi bagian Rukun Islam, yakni haji. Dan momen menentukan bagi ibadah haji terjadi setiap tanggal 9 Zulhijjah dalam prosesi wukuf di padang Arafah. Sementara jamaah calon haji berkumpul di padang Arafah untuk wukuf, umat Islam di segenap penjuru jagat lainnya dianjurkan untuk menunaikan ibadah puasa Arafah yang bersifat sunat. Dan di esok harinya, yakni pada 10 Zulhijjah, Idul Adha pun datanglah. Disusul dengan hari-hari tasyrik yang datang beruntun dalam tiga hari berikutnya. Inilah saat-saat dimana hewan-hewan kurban disembelih, sebagai pengingat akan pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS kala baru beberapa waktu memasuki lembah Bakka (kini Makkah).
Di Indonesia, popularitas hari raya Idul Adha memang tidaklah setinggi hari raya Idul Fitri. Meski sama-sama menjadi hari raya yang memiliki makna budaya, namun magnitud Idul Adha sebagai peristiwa budaya tidaklah semassif Idul Fitri. Pergerakan massa menjelang dan selepas Idul Adha jauh lebih kecil dibanding Idul Fitri. Banyak orang Indonesia yang tetap memilih untuk merayakan Idul Adha di tempat tinggalnya masing-masing tanpa merasa perlu menyempatkan pulang ke tanah tumpah darah nenek moyang. Apalagi penyembelihan hewan kurban dapat dilaksanakan kapanpun selama empat hari berturut-turut semenjak saat Idul Adha. Meski demikian diskursus seputar perbedaan atau persamaan dalam penetapan hari raya Idul Adha tetap mendapat banyak perhatian seperti halnya Idul Fitri.
Bagaimana seputar penetapan hari raya Idul Adha 10 Zulhijjah 1435 H di Indonesia?
Idul Adha 1435 H sangat bergantung pada kapan tanggal 1 Zulhijjah 1435 H ditetapkan. Dan penetapan tanggal tersebut bergantung kepada kapan 29 Zulqaidah 1435 H terjadi. Bagi segenap Indonesia, 29 Zulqaidah 1435 H bertepatan dengan Rabu 24 September 2014. Sehingga elemen-elemen Bulan saat Matahari terbenam pada tanggal tersebutlah yang menjadi penentu.
Di satu sisi ormas Muhammadiyah melalui Pimpinan Pusat-nya telah jauh-jauh hari memaklumatkan bahwa bagi mereka tanggal 1 Zulhijjah 1435 H bertepatan dengan Kamis 25 September 2014. Sehingga Idul Adha 1435 H terjadi pada Sabtu 4 Oktober 2014. Yang menjadi dasarnya adalah sebagian Indonesia telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal, khususnya Indonesia bagian barat. Sementara di sisi yang lain, meski masih tetap menantikan hasil sidang itsbat penetapan Idul Adha 1435 H yang salah satunya mengagendakan untuk mendengar dan menerima/menolak laporan-laporan observasi hilaal dari seluruh penjuru Indonesia, namun kemungkinan besar Menteri Agama bakal memutuskan 1 Zulhijjah 1435 H bertepatan dengan Jumat 26 September 2014 bila mengacu “kriteria” kesepakatan yang berlaku pada saat ini. Sebab tak satupun titik di wilayah Indonesia yang memenuhi “kriteria” imkan rukyat. Maka hampir dapat dipastikan Menteri Agama juga bakal mengumumkan Idul Adha 1435 terjadi pada Minggu 5 Oktober 2014.
Bagaimana dengan ormas besar lainnya, yakni Nahdlatul ‘Ulama (NU)? Sikap Pengurus Besar-nya jelas, yakni NU tetap menunggu hasil-hasil rukyat dan memverifikasinya. Namun melihat elemen-elemen Bulan pada 29 Zulqaidah 1435 H, juga hampir dapat dipastikan NU bakal ber-Idul Adha 1435 H pada Minggu 5 Oktober 2014. Musababnya pada Rabu senja itu hilaal mustahil dapat dirukyat, bahkan menggunakan teleskop termutakhir sekalipun. Meski demikian, dengan ‘kekuasaan’ di tubuh NU tidak berada di tangan Pengurus Besar-nya melainkan terdistribusi ke ulama/pondok pesantren kharismatis, tetap bakal ada beberapa kalangan yang menyelisihi keputusan Pengurus Besar dan ber-Idul Adha sehari lebih dini. Terutama kalangan yang masih mempergunakan sistem perhitungan (sistem hisab) Sullam, misalnya di Cakung (DKI Jakarta). Hal yang sama pun bakal dijumpai di tubuh Muhammadiyah. Meski di sini ‘kekuasaan’ berada di tangan Pengurus Pusat, namun tetap bakal ada beberapa kalangan yang menyelisihi keputusannya dan ber-Idul Adha sehari kemudian. Faktor bagaimana Saudi Arabia memutuskan Idul Adha-nya sangat menentukan sikap kalangan ini.
Elemen Bulan
Bagaimana sesungguhnya posisi Bulan pada Rabu senja 24 September 2014 sehingga hari raya Idul Adha 1435 H bakal berpotensi besar berbeda di Indonesia?
Satu parameter penting penentuan awal bulan kalender Hijriyyah adalah konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’). Ini adalah peristiwa dimana pusat cakram Matahari tepat segaris bujur ekliptika dengan pusat cakram Bulan ditinjau dari titik referensi tertentu. Dalam peristiwa ini Bulan bisa saja seakan-akan ‘menindih’ Matahari dalam situasi khusus yang disebut Gerhana Matahari. Namun yang kerapkali terjadi adalah Bulan tetap mengambil jarak sudut tertentu terhadap Matahari, sehingga Matahari dan Bulan terlihat berjauhan dan hanya berada dalam satu garis lurus. Garis lurus ini tidak harus mendatar (horizontal) ataupun tegak (vertikal). Di Indonesia, konjungsi Bulan dan Matahari lebih sering terjadi saat kedua raksasa langit tersebut terletak pada satu garis lurus yang relatif miring terhadap cakrawala (horizon).
Dengan menggunakan sistem hisab kontemporer khususnya sistem perhitungan ELP 2000-82 diketahui bahwa bila ditinjau dari titik pusat Bumi (geosentrik), konjungsi terjadi pada Rabu 24 September 2014 pukul 13:14 WIB. Sebaliknya bila ditinjau dari titik permukaan Bumi (toposentrik), konjungsi justru terjadi lebih kemudian. Yakni dalam rentang waktu antara pukul 13:55 WIB (bagi kota Medan, propinsi Sumatra Utara) hingga pukul 15:00 WIB (bagi kota Biak, propinsi Papua). Konjungsi toposentrik sejatinya lebih realistis mengingat segenap umat manusia hidup di permukaan Bumi. Namun dalam praktiknya kalah populer dibanding konjungsi geosentrik. Sehingga yang populer menjadi patokan perhitungan ilmu falak adalah konjungsi geosentrik.
Konjungsi geosentrik Bulan-Matahari menentukan elemen umur Bulan geosentrik, yakni selang waktu antara saat konjungsi (geosentrik) hingga saat Matahari terbenam di masing-masing titik pada satu wilayah negeri tertentu. Bagi Indonesia pada 24 September 2014 senja umur Bulan bervariasi antara +2,3 jam di Jayapura (propinsi Papua) hingga +5,3 jam di Lhoknga (propinsi Aceh). Selain umur Bulan, terdapat parameter signifikan lainnya yang disebut tinggi Bulan, yakni tinggi pusat cakram Bulan terhadap garis cakrawala (horizon) pada saat Matahari terbenam. Di Indonesia, pada saat yang sama tinggi Bulan bervariasi antara -0,7 derajat di Jayapura (propinsi Papua) hingga +0,5 derajat di Pelabuhan Ratu (propinsi Jawa Barat). Dan parameter berikutnya yang juga menentukan adalah elongasi Bulan, yakni jarak sudut antara titik pusat cakram Bulan dan Matahari pada saat Matahari terbenam. Pada saat tersebut, elongasi Bulan di Indonesia bernilai antara 1,8 derajat di Merauke (propinsi Papua) hingga 2,5 derajat di pulau Sabang (propinsi Aceh). Harus digarisbawahi bahwa semua angka merupakan hasil perhitungan berdasar kondisi ideal, dimana elevasi (ketinggian) setiap titik dianggap sama dengan paras (permukaan) air laut rata-rata.
Dari pemaparan data tersebut terlihat, bahwa parameter tinggi Bulan ternyata tidaklah mengikuti bentuk geografis Indonesia. Sehingga posisi Bulan dan Matahari saat ini menjadikan titik Lhoknga (Aceh), yang menjadi titik terbarat Indonesia, tidak memiliki tinggi Bulan terbesar bagi seluruh negeri. Sebaliknya geometri posisi Bulan dan Matahari adalah demikian rupa sehingga justru di titik Pelabuhan Ratu-lah tinggi Bulan mencapai nilai maksimumnya bagi segenap Indonesia. Hal ini pun berlaku dalam lingkup global. Kita bisa melihat misalnya di Saudi Arabia, negeri yang secara teknis terletak jauh lebih ke barat dibanding Indonesia. Namun pada Rabu senja 24 September 2014, tinggi Bulan di kotasuci Makkah adalah setara tinggi Bulan di Pelabuhan Ratu. Yakni sama-sama +0,5 derajat.
Sisi Hisab
Bagaimana cara membaca data-data ini sehingga kita bisa mengetahui bahwa secara teknis Idul Adha 1435 H di Indonesia berkemungkinan besar bakal terlaksana secara berbeda?
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, khasanah perbedaan atau persamaan dalam berpuasa Ramadhan serta berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia sangat dipengaruhi oleh bagaimana sikap dua ormas Islam terbesar, yakni NU di satu sisi dan Muhammadiyah di sisi yang lain. Dan keduanya memiliki cara berbeda dalam penentuan itu. Bagi NU, penentuan tersebut hanya bisa dilakukan dengan cara rukyat hilaal dengan hisab (perhitungan ilmu falak) sebagai sebagai faktor pendukung pelaksanaan rukyat. Semenjak beberapa tahun belakangan NU telah mulai konsisten melakukan rukyat hilaal bagi penentuan setiap awal bulan kalender Hijriyyah. Seiring beragamnya sistem hisab di tubuh NU yang hasilnya pun sangat bervariasi, ormas ini memiliki parameter sendiri untuk menentukan apakah hasil rukyat hilaal bisa diterima ataukah tidak. Parameter tersebut mengacu pada “kriteria” imkan rukyat yang diformulasikan Kementerian Agama RI, khususnya pada faktor tinggi Bulan minimal yang dinyatakan sistem hisab kontemporer.
Sebaliknya bagi Muhammadiyah, awal bulan kalender Hijriyyah cukup ditentukan dengan cara hisab tanpa perlu melakukan rukyat hilaal. Kriteria yang digunakan adalah “kriteria” wujudul hilaal, yang pada saat ini memiliki formulasi sebagai berikut :
Dengan membandingkan dua “kriteria” tersebut terhadap elemen posisi Bulan pada Rabu senja 24 September 2014, maka dengan mudah dapat dilihat sebagian wilayah Indonesia telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal khususnya bagian sebelah barat. Sementara bagian timur belum memenuhi. Ini terjadi akibat garis nol (yakni garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki tinggi Bulan tepat sama dengan nol derajat saat Matahari terbenam) memang ‘membelah’ Indonesia. Di sisi barat garis ini tinggi Bulan telah bernilai positif. Sebaliknya di sisi timur negatif. Namun dengan berdasar prinsip naklul wujud, yang mulai digunakan Muhammadiyah semenjak 2013 lalu, maka bagian timur Indonesia pun dianggap sudah memenuhi “kriteria” mengingat kedudukannya sebagai satu kesatuan wilayah negara ini. Sehingga 1 Zulhijjah bagi Muhammadiyah bertepatan dengan Kamis 25 September 2014 dan hari raya Idul Adha jatuh pada Sabtu 4 Oktober 2014.
Sementara bila dipandang dari “kriteria” imkan rukyat, tiada satupun titik di segenap wilayah Indonesia yang memenuhi syarat karena seluruhnya memiliki tinggi Bulan kurang dari +2 derajat. Dengan demikian tak satupun bagian wilayah Indonesia yang memenuhi “kriteria” Imkan Rukyat. Sehingga 1 Zulhijjah 1435 H bakal bertepatan dengan Jumat 25 September 2014 dan hari raya Idul Adha bertepatan dengan Minggu 5 Oktober 2014. Inilah potensi perbedaan itu.
Sisi Rukyat
Uraian di atas mendasarkan pada perspektif hisab. Nah bagaimana jika berdasar pada perspektif rukyat?
Di Indonesia, saat tinggi Bulan setara atau lebih dari 2 derajat memang sudah mulai muncul laporan rukyatul hilaal yang menyatakan terlihatnya hilaal. Laporan ini memang dapat divalidasi di tingkat sidang itsbat karena dianggap telah memenuhi “kriteria” imkan rukyat, namun tidak demikian dari sisi ilmiah. Laporan-laporan tersebut selalu hanya menyatakan “hilaal terlihat” tanpa adanya parameter-parameter hasil observasi yang bisa dievaluasi dalam ruang dan waktu yang berbeda. Apalagi rukyat yang menyertakan citra (foto) sebagai bukti fisik.
Di sisi lain, rekapitulasi rukyat hilaal yang merentang masa baik dalam lingkup global seperti dilakukan ICOP (International Crescent Observation Project) maupun lingkup lokal Indonesia yang dihimpun RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) tidak mendukung “kriteria” imkan rukyat. Pekerjaan ICOP mewujud pada persamaan batas yang dikenal sebagai kriteria empirik Audah (atau kriteria Odeh). Sementara kerja keras RHI mengemuka sebagai kriteria empirik RHI (atau kriteria RHI). Baik kriteria Odeh maupun kriteria RHI memiliki bentuk yang mirip (jika dibatasi pada kawasan tropis semata) dan memiliki nilai ambang batas yang lebih besar ketimbang “kriteria” imkan rukyat, apalagi wujudul hilaal. Harus digarisbawahi bahwa baik kriteria Odeh maupun kriteria RHI dibentuk oleh laporan-laporan observasi hilaal baik dengan mata dibantu oleh alat bantu optik (teleskop/binokular) maupun tidak.
Perubahan dramatis terjadi pada 2013 tepatnya saat penentuan Idul Fitri 1434 H (2013) melalui rukyat hilaal Rabu senja 7 Agustus 2013. Meski baik kriteria Odeh maupun RHI menunjukkan hilaal tidak mungkin teramati pada saat itu di segenap Indonesia, namun tim Observatorium Bosscha yang ditempatkan di Makassar (propinsi Sulawesi Selatan) secara gemilang berhasil mengobservasinya sekaligus melampirkan citra (foto) hilaal tersebut, sebagai bukti fisik. Sukses ini merupakan kulminasi dari kerja keras para perukyat hilaal kontemporer (yang mencakup observatorium Bosscha, sejumlah institusi pendidikan dan ormas terkait) untuk mencari dan mengembangkan teknik-teknik observasi yang bisa dijadikan acuan sekaligus menyajikan bukti kuat semenjak 2009.
Sukses observasi hilaal Makassar 2013 itu merupakan buah dari penggunaan teleskop (untuk memperkuat intensitas cahaya sabit Bulan) yang ditempatkan pada dudukan (mounting) robotik (sehingga teleskop senantiasa terus mengarah ke posisi Bulan dari waktu ke waktu) disertai penggunaan filter (untuk meningkatkan kontras antara sabit Bulan dengan langit latar belakangnya) dan kamera beresolusi tinggi (untuk merekam citra sabit Bulan sebagai data elektronis) yang disertai pengolahan citra (guna mempertajam citra/foto mentah dengan teknik stacking sehingga menyajikan hasil yang ramah mata). Hilaal Makassar 2013 terekam pada pukul 18:11 WITA, atau 5 menit setelah Matahari terbenam di lokasi tersebut. Di tempat lain, penggunaan instrumen serupa (teleskop + mounting + filter + kamera) pun berhasil merekam sabit Bulan dalam waktu berjam-jam sebelum Matahari terbenam, seperti yang dilakukan tim observatorium as-Salam, Surakarta (Jawa Tengah) dan observatorium al-Buruj, Kudus (Jawa Tengah). Kedua tim tersebut merupakan bagian dari jejaring RHI. Meski status sabit Bulan yang terekam sebelum terbenamnya Matahari tetap dipahami bukan sebagai hilaal yang memiliki kekuatan hukum, melainkan hanya sabit Bulan semata. Hilaal Makassar 2013 menjadikan sidang itsbat saat itu memiliki yurisprudensi baru, yakni menerima hasil rukyat pencitraan (rukyat hilaal yang berbasis teleskop, kamera dan pengolahan citra).
Kini bagaimana dengan penentuan Idul Adha 1435 H (2014)? Sayangnya parameter posisi Bulan dan Matahari pada saat hilaal Makassar 2013 sukses teramati sangat berbeda dengan elemen-elemen Bulan untuk penentuan 1 Zulhijjah 1435 H. Hilaal Makassar 2013 teramati saat elongasi Bulan bernilai 7 derajat. Sementara dalam penentuan Idul Adha 145 H ini elongasi Bulan hanyalah bernilai maksimum 2,5 derajat. Jauh di bawah angka 7 derajat. Maka dapat dikatakan potensi terekamnya hilaal lewat rukyat pencitraan adalah mustahil.
Saudi Arabia
Parameter lain yang perlu dilihat dalam konstelasi penentuan Idul Adha 1435 H di Indonesia adalah bagaimana keputusan Saudi Arabia. Keputusan negeri mancanegara tersebut cukup penting, setidaknya bagi sejumlah kalangan, mengingat Saudi Arabia adalah negeri dimana haramain (dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah) berada. Dengan demikian Saudi Arabia memegang peranan sentral dalam sejumlah aspek, termasuk urusan penentuan awal bulan kalender Hijriyyah. Ada banyak negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun komunitas-komunitas Muslim yang menyandarkan dirinya pada apapun keputusan Saudi Arabia.
Saudi Arabia menggunakan kalender Hijriyyah sebagai kalender sipil, yakni kalender yang mengatur keseharian kehidupan di negeri tersebut baik untuk urusan birokrasi, bisnis/perdagangan maupun komunikasi. Namun bukan untuk kepentingan ibadah. Kalender tersebut dikenal sebagai kalender Ummul Qura, yang bekerja berdasarkan “kriteria” Ummul Qura. Kriteria ini mirip “kriteria” wujudul hilaal yang digunakan Muhammadiyah, dengan sedikit perbedaan kecil. Tetapi, dalam hal penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya, Saudi Arabia berpatokan pada rukyatul hilaal. Jika hilaal tak teramati, maka dilakukan istikmal tanpa harus mengubah tanggal dalam kalendernya. Sehingga bagi Saudi Arabia adalah sah-sah saja saat ibadah puasa Ramadhan dimulai pada tanggal 2 Ramadhan, atau hari raya Idul Fitri berlangsung pada tanggal 2 Syawwal dan hari raya Idul Adha pada tanggal 11 Zulhijjah.
Semenjak 2013 muncul gejala Saudi Arabia cukup selektif dalam menerima hasil rukyatul hilaal. Dengan mengacu sistem hisab kontemporer, maka bilamana terdapat laporan rukyatul hilaal dari titik-titik tertentu sementara hasil perhitungan menunjukkan posisi Bulan berada di atau bahkan malah di bawah horizon tatkala Matahari terbenam, maka laporan itu ditolak. Di masa silam laporan semacam ini seringkali diterima begitu saja, hal yang kerap membuat keputusan-keputusan Saudi Arabia dipertanyakan oleh negara-negara tetangganya yang kritis, seperti Mesir. Kini laporan rukyatul hilaal yang diterima hanyalah laporan yang terjadi saat hasil perhitungan menunjukkan Bulan berada di atas horizon (tinggi positif). Dan keputusan dinyatakan oleh Mahkamah Agung Kerajaan.
Bagaimana dalam penentuan Idul Adha 1435 H?
Perhitungan menunjukkan segenap wilayah Saudi Arabia berada di sisi barat garis nol. Sehingga semuanya memiliki tinggi Bulan positif, jika elevasi lokasi sejajar dengan paras air laut rata-rata. Namun hasil perhitungan lebih lanjut mencerminkan bahwa tinggi Bulan di Saudi Arabia demikian kecil. Karena posisi Bulan berada di atau bahkan di bawah horizon tatkala Matahari terbenam pada Rabu senja 24 September 2014. Di Saudi Arabia bagian utara, Bulan berada di bawah horizon. Sementara di Saudi Arabia bagian selatan Bulan berada tepat atau sedikit di atas horizon dengan tinggi Bulan tak sampai +0,5 derajat. Situasi ini agak mirip dengan elemen Bulan saat penentuan 1 Ramadhan 1435 H lalu. Sehingga diprediksikan Saudi Arabia bakal mengambil keputusan yang senada dengan saat Ramadhan lalu. Meski kemungkinan sebaliknya pun tetap terbuka.
Faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan Idul Adha di Saudi Arabia berada di luar ranah astronomi, yakni haji akbar. Dalam pengertian yang dipedomani kerajaan tersebut, haji akbar terjadi tatkala wukuf bertepatan dengan hari Jumat. Sesuai tradisi, bila haji akbar terjadi maka pemerintah Saudi Arabia berkewajiban membiayai perjalanan haji seluruh warganegaranya sekaligus meliburkannya dari rutinitas hariannya. Sejatinya hal ini sedikit merepotkan, karena memakan sumber daya dan finansial yang cukup besar. Di masa silam Saudi Arabia kerap terlihat mencoba menggeser waktu pelaksanaan wukuf bilamana mereka tak siap dalam penyelenggaraan haji akbar.
Konsekuensinya, Kamis 25 September 2014 memang bertepatan dengan 1 Zulhijjah 1435 H menurut kalender Ummul Qura. Namun Saudi Arabia kemungkinan akan ber-Idul Adha pada Minggu 5 Oktober 2014 yang bertepatan dengan 11 Zulhijjah 145 H. Jika demikian, maka wukuf di padang Arafah kemungkinan bakal terjadi pada Sabtu 4 Oktober 2014.
Situasi tersebut pun disikapi oleh Muhammadiyah melalui Pengurus Pusat-nya. Menyikapi potensi perbedaan ber-Idul Adha antara Muhammadiyah dan Saudi Arabia, maka dalam pertemuan di Yogyakarta pada 9-10 September 2014 tempo hari, Muhammadiyah tetap menekankan pimpinannya dari tingkat pusat hingga tingkat ranting untuk mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan Pengurus Pusat. Terhadap warganya Muhammadiyah pun menganjurkan demikian. Namun andaikata merasa ragu-ragu, diberikan keleluasaan untuk memilih apa yang menurutnya diyakininya meski berbeda dengan ketetapan Pengurus Pusat.
Cakung
Ketidakutuhan pun bakal dijumpai di tubuh NU mengingat masih banyaknya ulama/pondok pesantren karismatis yang mengacu pada sistem hisab Sullam. Meski Pengurus Besar telah menyebut sistem hisab ini kurang akurat dan digolongkan ke dalam sistem hisab taqriby (pendekatan/approksimasi), masih banyak warga NU yang berpedoman kepadanya. Hal ini didasari oleh sejarah, dimana sistem hisab ini berpatokan pada kitab Sullam al-Nayyirain. Inilah kitab ilmu falak tertua di era Indonesia kontemporer (dicetak pada 1930-an) yang ditulis Guru Mansyur dari Jembatan Lima (propinsi DKI Jakarta). Guru Mansyur adalah salah satu tokoh ilmu falak tersohor sekaligus eksponen NU di awal mula, sehingga cukup dihormati. Selain penghormatan ini, kitab Sullam al-Nayyirain banyak dipelajari karena kemudahannya dibandingkan sistem hisab lainnnya di tubuh NU.
Dalam perkembangannya, pengguna sistem hisab Sullam mencoba mengadopsi “kriteria” imkan rukyat ke dalam sistem hisab mereka. Namun adopsi ini berkesan serampangan. Maka saat hasil perhitungan sistem hisab ini menunjukkan tinggi Bulan (irtifa’) sudah melewati 2 derajat pada suatu senja, keesokan paginya sudah memasuki bulan kalender Hijriyyah yang baru. Adopsi ini mengesampingkan peringatan yang diberikan Guru Mansyur sendiri, yang menyebut bahwa batas tinggi Bulan untuk memasuki bulan kalender yang baru adalah 5 derajat. Di samping itu sistem hisab ini pun ditekankan harus sering dikalibrasi dengan mengacu pada peristiwa Gerhana Matahari, yang nyaris tak pernah dilakukan.
Bagi para penggunanya, sistem hisab Sullam merupakan pedoman untuk pelaksanaan rukyat seperti yang dimotori Cakung dan Basmol (keduanya di propinsi DKI Jakarta). Namun hampir selalu terjadi bahwa saat hasil perhitungan sistem hisab Sullam menunjukkan tinggi Bulan menurut Sullam sebesar 2 derajat atau lebih, maka rukyat mendadak menyajikan hasil positif (berhasil melihat). Bahkan meski langit tersaput awan sekalipun. Bahkan meski lokasi DKI Jakarta sudah tak lagi memenuhi syarat seiring banyaknya bangunan tinggi dan polusi cahaya yang benderang, yang sejatinya sangat mengganggu dalam observasi benda langit. Karena itu tak mengherankan jika hasil rukyat Cakung (dan juga Basmol) kerap mendapat kritikan di lingkungan NU sendiri.
Bagaimana dengan Idul Adha 1435 H?
Berbeda dengan sistem hisab kontemporer (yang telah terbukti saat dibandingkan dengan Gerhana Matahari), sistem hisab Sullam memprediksi konjungsi Bulan dan Matahari (geosentris) akan terjadi pada Rabu 24 September 2014 pukul 12:19 WIB. Tinggi Bulan (irtifa’) dalam sistem hisab Sullam mengacu pada rumus sederhana, yakni selisih antra saat konjungsi dan terbenamnya Matahari dibagi dua. Maka bilamana Matahari terbenam pada pukul 17:30 WIB (terjadi di propinsi Jawa Barat), sistem hisab Sullam akan menyajikan tinggi Bulan = (17:30 – 12:19)/2 = +2,5 derajat. Evaluasi lebih lanjut memperlihatkan bahwa hampir segenap wilayah Indonesia (kecuali pulau Irian) telah memiliki tinggi Bulan versi Sulam lebih dari 2 derajat. Maka terlepas dari bagaimana mereka melakukan rukyatul hilaal, dapat diprediksi bahwa bagi pengguna sistem hisab ini, 1 Zulhijjah 1435 H bertepatan dengan Kamis 25 September 2014. Sehingga mereka akan ber-Idul Adha pada Sabtu 4 Oktober 2014.
Kesimpulan
Berdasar ulasan di atas, kita bisa mengatakan bahwa sebagian besar Umat Islam di Indonesia kemungkinan besar akan ber-Idul Adha 1435 H pada saat yang berbeda. Sebagian pada Sabtu 4 Oktober 2014, yakni warga Muhammadiyah yang mengikuti keputusan Pengurus Pusat maupun warga NU pengguna sistem hisab Sullam. Sementara sebagian lagi pada Minggu 5 Oktober 2014, yakni warga NU yang merujuk hasil rukyatul hilaal terverifikasi dan (mungkin warga Muhammadiyah) yang mengacu keputusan kerajaan Saudi Arabia.
Wallahualam.
Referensi :
Sudibyo. 2013. Zulhijjah 1435 H (2014). Kertas Kerja dalam Temu Kerja Nasional Hisab Rukyat 2013. Batam (Kepulauan Riau), Juni 2013.
Sudibyo. 2013. Zulhijjah 1435 H (2014), Tinjauan Kembali. Kertas Kerja dalam Temu Kerja Nasional Hisab Rukyat 2014. Bogor (Jawa Barat), Maret 2014.
Nurwendaya. 2013. Sidang Itsbat Awal Zulhijjah 1434 H. Bahan Sidang Itsbat Kementerian Agama RI 5 Oktober 2013 (29 Zulqaidah 1434 H).
BMKG. 2014. Informasi Hilal Saat Matahari Terbenam Rabu 24 September 2014 M Penentu Awal Bulan Zulhijjah 1435 H.