Memotret Lubang Hitam, Menariknya Keluar dari Tirai Persembunyian

Sekilas pandang, citra/foto itu mengesankan baur, kurang fokus. Walaupun ketampakan lingkaran tebal jingga-kekuningan mirip donat itu masih bisa dilihat jelas. Siapa sangka, inilah salah satu citra terpenting dalam sejarah sains masakini. Bahkan mungkin akan menjadi yang terpenting di abad ke-21 TU (Tarikh Umum). Inilah (bayangan) wajah lubang hitam, yang berhasil dikuak lewat kerja keras konsorsium EHT (Event Horizon Telescope). Ketampakan tersebut dipamerkan dalam sebuah konferensi pers yang digelar secara simultan di berbagai tempat dalam koordinasi Dewan Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat atau NSF (National Science Foundation) pada Rabu 10 April 2019 TU malam waktu Indonesia, atau siang hari waktu Amerika Serikat.

Lubang hitam, berdasarkan definisinya, adalah benda langit eksotik dengan gravitasi demikian besar yang menyebabkan ruang-waktu disekitarnya membengkok demikian dahsyat sampai membentuk sumur-tanpa-dasar (asimtot). Sehingga seberkas cahaya pun takkan sanggup meloloskan diri darinya. Jika cahaya saja, yang menjadi benda berkecepatan tertinggi sejagat raya, tak sanggup lolos dari lubang hitam, apalagi dengan benda lain. Makanya sekilas pandang tak ada cara untuk mencitra sebuah lubang hitam seiring tiadanya berkas cahaya maupun gelombang elektromagnetik yang bisa terlepas darinya.

Gambar 1. (Bayangan) lubang hitam raksasa M-87* di pusat galaksi Messier-87 yang berjarak 55 juta tahun cahaya dari Bumi. Citra ini adalah produk kerja keras konsorsium EHT (Event Horizon Telescope) yang mencapai puncaknya sejak tahun lalu. Nampak jelas struktur bayangan lubang hitam dalam bola cahaya superpanas dengan emisi sinkrotron. Sumber : Konsorsium EHT, 2019.

Lubang hitam selama ini dideduksi secara tak langsung, terutama dengan melihat pengaruh gravitasinya terhadap bintang kembarannya (jika bagian dari sistem bintang ganda), maupun pengaruhnya terhadap bintang-bintang disekelilingnya (jika berupa lubang hitam supermassif di pusat galaksi), atau dari gelombang gravitasi yang dilepaskannya kala dua lubang hitam bertabrakan. Deteksi tak langsung itulah yang mewarnai kisah interaksi umat manusia dengan lubang hitam sejak pengungkapan Cygnus X-1 sebagai lubang hitam pada 1973 TU silam.

Citra (bagian) lubang hitam yang dikuak konsorsium EHT tersebut sebelumnya sudah dikenal sebagai sumber sinar-X sangat kuat. Konsorsium EHT mengarahkan mata pembidiknya ke sebuah galaksi yang jauhnya 55 juta tahun cahaya dari Bumi kita. Yakni galaksi M87 (Messier 87) yang terletak di gugusan bintang Virgo. Pusat galaksi ini adalah sumber sinar-X selayaknya Cygnus X-1, namun jauh lebih kuat. Lubang hitam yang berhasil diungkap, yang dinamakan M-87* (Messier 87-star), memiliki massa 6,5 milyar kali lipat Matahari kita sehingga tergolong lubang hitam raksasa (supermassif).

Bayangan Lubang Hitam

Apa yang berhasil dicitra konsorsium EHT sejatinya adalah bayangan sang lubang hitam raksasa pada sebuah cakram bercahaya. Cakram ini berisikan gas-gas terionisasi superpanas dengan suhu hingga milyaran derajat Celcius. Ion-ion gas itu berputar mengelilingi sang lubang hitam raksasa pada kecepatan fantastis, yakni 1.000 km/detik. Cakram bercahaya tersebut sejatinya adalah bola superpanas raksasa dengan diameter 3.700 milyar kilometer, setara 24.700 SA (satuan astronomi). Bola raksasa ini adalah bagian terdalam cakram akresi yang tepat bersinggungan dengan horizon peristiwa, tapal batas sebuah lubang hitam. Keberadaan lubang hitam menyebabkan bola cahaya raksasa ini akan terlihat mirip donat raksasa yang gelap di bagian tengahnya, darimanapun kita memandangnya. Bagian gelap ini adalah bayangan sang lubang hitam, terjadi akibat bekerjanya dua fenomena sekaligus. Yakni pembelokan dramatis lintasan berkas cahaya akibat pembengkokan ruang-waktu ekstrim dan tangkapan foton di batas horizon persitiwa.

Gambar 2. Galaksi raksasa Messier 87 diabadikan dengan teleskop landas-antariksa Spitzer milik NASA (Amerika Serikat) dan konsorsium EHT. Nampak galaksi raksasa ini terlihat cukup terang dalam spektrum sinar inframerah. Foto kecil (inset) sebelah kanan atas memperlihatkan bagian pusat galaksi dengan sepasang struktur semburan jet yang khas, pertanda eksistensi lubang hitam raksasa. Dan foto kecil sebelah kanan bawah menunjukkan bayangan lubang hitam tersebut, sebagaimana diungkap konsorsium EHT. Sumber: NASA/JPL-Caltech, 2019 & Konsorsium EHT, 2019.

Lubang hitam merupakan benda langit eksotik yang sifatnya dapat diperkirakan lewat penurunan persamaan relativitas umum. Meskipun Einstein sendiri, sebagai pelopor relativitas umum, hingga akhir hayatnya tak pernah percaya lubang hitam benar-benar ada di jagat raya. Adalah Karl Schwarszchild, astrofisikawan Jerman, yang pertama kali memprakirakan keberadaan lubang hitam berdasarkan solusi persamaan relativitas umum pada tahun 1916 TU, hanya berselang setahun pasca publikasi relativitas umum. Prakiraan ini diperkuat Subrahmanyan Chandrasekhar melalui mekanika kuantum pada 1928 TU, selagi berlayar dari tanah India menuju Inggris guna meneruskan pendidikannya. Ia menemukan limit Chandrasekhar, yakni ambang batas massa minimum sebuah bintang untuk menjadi benda langit eksotik seperti bintang neutron setelah akhir hayatnya tiba. Pada bintang yang massanya jauh lebih besar ketimbang limit Chandrasekhar, pengerutan akibat gravitasinya sendiri akan demikian dahsyat hingga neutron pun takkan terbentuk. Pondasi tersebut lantas diperkuat oleh J.R. Oppenheimer, fisikawan yang lantas disibukkan dengan upaya raksasa dan super-rahasia dalam membangun bom nuklir pertama di bawah payung the Manhattan Project.

Tak Sungguh Hitam

Sesuai definisinya, lubang hitam tidaklah melepaskan obyek apapun (termasuk cahaya) keluar dari tapal batasnya (yakni horizon peristiwa). Akan tetapi Stephen Hawking menunjukkan lubang hitam sejatinya tidaklah hitam benar. Masih ada cahaya yang terlepas darinya, yang berasal dari ruang-waktu tepat di batas horizon peristiwa. Cahaya ini dinamakan radiasi Hawking dan menjadi sarana pelepasan massa dari lubang hitam yang membuat ukuran lubang hitam bisa mengecil. Lubang hitam, terutama bayangannya, ternyata bisa dilihat lewat cara lain. Sebuah lubang hitam, selalu diselubungi bola cahaya berisikan gas-gas superpanas terionisasi yang mengemisikan gelombang elektromagnetik lewat proses yang disebut emisi sinkrotron. Kombinasi pembelokan lintasan berkas cahaya akibat pelengkungan ruang-waktu yang ekstrim di dekat lubang hitam serta peristiwa tangkapan foton di horizon peristiwa akan membentuk bayangan lubang hitam. Sehingga bola cahaya itu akan terlihat selayaknya donat. Inilah obyek perburuan konsorsium EHT.

Upaya konsorsium EHT untuk melihat lubang hitam sejatinya berada dalam tanda kutip. Karena konsorsium EHT bertumpu pada teleskop radio, jenis teleskop yang hanya bekerja pada spektrum gelombang radio. Jadi bukan teleskop optik, yang bertulangpunggungkan spektrum cahaya tampak (panjang gelombang 4.000 hingga 7.000 Angstrom). Maka citra yang dipamerkan konsorsium EHT sejatinya adalah peta kerapatan (density map) yang divisualisasikan lewat teknik tertentu. Visualisasi ini selayaknya kita menyaksikan bagian dalam tubuh kita pada selembar foto Roentgen, dimana berkas sinar-X (yang juga tak kasat mata) mengalami serapan yang berbeda-beda saat menembus bagian-bagian tubuh kita. Sehingga manakala tiba di lapisan film khusus, akan terbentuk density map yang tervisualisasi.

Bagaimana cara para astronom mendapatkan citra lubang hitam ini?

Tantangan terbesar adalah membangun instrumen yang tepat dan memilah spektrum gelombang elektromagnetik yang tepat pula. Dibanding lubang hitam tunggal, lubang hitam supermassif di pusat galaksi yang berpilin dianggap lebih mudah dideteksi. Karena ukurannya jauh lebih besar dan emisi gelombang elektromagnetiknya memiliki intensitas jauh lebih besar. Teleskop radio dipilih karena memberikan keunggulan dibanding teleskop optik. Dengan memanfaatkan teknik interferometri, maka gabungan sejumlah teleskop radio yang tersebar pada area sangat luas akan membentuk satu teleskop radio maya (virtual) dengan piringan virtual sangat besar. Untuk itulah dibangun konsorsium EHT, yang memanfaatkan teleskop-teleskop radio di Hawaii dan Arizona (Amerika Serikat), Greenland (Denmark), Meksiko, Atacama (Peru), Spanyol dan Antartika. Dengan teknik VLBI (very long baseline interferometry), gabungan teleskop radio tersebut jika bekerja secara simultan akan membentuk satu teleskop radio virtual raksasa yang piringan parabolanya sedikit lebih besar ketimbang diameter Bumi (tepatnya 13.000 km).

Gambar 3. Jejaring teleskop radio yang menjadi bagian dari konsorsium EHT. Teleskop radio yang aktif pada observasi 2017 lalu ditandai dengan warna kuning yang tersebar lima lokasi berbeda, masing-masing Antartika (SPT), Kepulauan Hawaii (SMA & JCMT), daratan Amerika Serikat (SMT), Meksiko (LMT) dan Greenland (GLT). Sumber : Konsorsium EHT, 2019.

Pemilihan teleskop radio sebagai radas penelitian memiliki latar belakangnya sendiri. Astronomi telah banyak mempelajari lubang hitam raksasa lewat beragam spektrum gelombang elektromagnetik. Hasil observasi itu menunjukkan bahwa gelombang radio terutama gelombang pendek memberi peluang untuk menyibak rahasia terdalam lubang hitam. Khususnya gelombang submilimeter dengan panjang gelombang hanya 1,3 mm yang terbukti mampu menangkap emisi sinkrotron dari bayangan lubang hitam. Namun gelombang pendek ini terkenal sensitif akan uap air di atmosfer Bumi karena bisa diserap. Sehingga cuaca di masing-masing fasilitas teleskop radio harus benar-benar sempurna sebelum observasi diselenggarakan. Prakiraan cuaca berketelitian tinggi pun menjadi kebutuhan mutlak.

Konsekuensi lainnya, teknik interferometri membutuhkan sinkronisasi pada seluruh fasilitas teleskop radio yang berpartisipasi dalam kolaborasi EHT. Maka setiap teleskop harus dilengkapi dengan jam atom yang supersinkron satu dengan yang lain. Untuk itulah setiap fasilitas teleskop radio dalam konsorsium EHT dilengkapi dengan jam atom Maser Hidrogen, yang hanya akan berselisih 1 detik jika telah berjalan selama 100 juta tahun. Maser merupakan teknik penguatan/amplifikasi gelombang mikro dengan metode yang mirip Laser. Dan karena masing-masing teleskop radio mampu menghasilkan data digital amat sangat besar sementara kecepatan jaringan internet global saat ini terbatas, data dari setiap teleskop disimpan dalam harddisk berkapasitas tinggi. Selanjutnya setiap harddisk diterbangkan ke fasilitas Observatorium Haystack milik MIT (Massachusetts Institute of Technology) di Westford, negara bagian Massachussets (Amerika Serikat) dan fasilitas MPIfR (Max Planck Intstitute fur Radioastronomie) di Bonn (Jerman) untuk diolah.

Sifat

Dengan resolusi sudut gabungan teleskop konsorsium EHT yang mencapai 25 mikrodetik busur, maka pada obyek sejauh 55 juta tahun cahaya tingkat resolusinya setara 63,4 milyar kilometer (setara 424 SA). Dengan kata lain, benda-benda langit yang dimensinya kurang dari 63,4 milyar kilometer yang terletak pada jarak 55 juta tahun cahaya itu akan sulit dilihat teleskop virtual ini. Dengan kemampuan tersebut maka selama empat hari terpisah pada 5 hingga 17 April 2017 TU silam, konsorsium EHT mengamati galaksi Messier 87 (M 87) secara simultan. Secara keseluruhan 8 teleskop radio bergabung dalam aktivitas observasi ini dan secara keseluruhan menghasilkan sedikitnya 5 Petabyte data.

Jumlah datanya sangat besar untuk bisa dikirim memlalui jaringan internet global. Sehingga seluruh harddisk berisi data-data tersebut lantas diterbangkan ke Bonn (Jemran) dan selanjutnya Massachusetts (Amerika Serikat) untuk diolah. Superkomputer khusus bernama korelator dibangun di kedua lokasi tersebut. Sebuah tim beranggotakan 200 ilmuwan yang berasal dari 59 institusi penelitian dari 20 negara yang berbeda pun dibentuk. Pengolahan data meliputi pembersihan data dari derau (noise) akibat gangguan aktivitas manusia maupun sumber alamiah di Bumi, kalibrasi dengan algoritma tertentu, protokol validasi dan disusul dengan rekonstruksi citra dengan menyertakan teknik klasik maupun inovasi baru yang dikembangkan tim EHT.

Pada akhirnya lubang hitam raksasa M-87* yang ada di pusat galaksi Messier 87 pun berhasil ditampilkan. Dari citra ini dapat diketahui bahwa diameter lubang hitam raksasa ini, yakni ukuran horizon peristiwanya, adalah 39,8 milyar kilometer atau 266 SA (setara 1/200 ukuran tata surya kita). Dimensi yang besar menunjukkan bahwa lubang hitam raksasa ini tidak berperanan sebagai lubang cacing.

Gambar 4. Simulasi bagaimana jika awan gas raksasa bergerak terlalu dekat dengan lubang hitam raksasa di pusat sebuah galaksi. Lubang hitam raksasa menempati koordinat (0, 0). Awan gas raksasa npak berpilin dan terjebak di sekeliling lubang hitam raksasa hingga membentuk komponen piringan akresi. Sumber : Anninos dkk, 2012.

Dari citra yang sama pula massa lubang hitam raksasa M-87* dapat diketahui, yakni 6,5 milyar kali Matahari kita. Dilihat dari Bumi, lubang hitam raksasa M-87* berotasi searah jarum jam, menjadikannya bagian kelompok lubang hitam Kerr. Dan sebagai monster di pusat galaksi, ia tergolong rakus dengan melahap massa dalam jumlah tak kurang dari 90 massa Bumi kita per harinya. Massa yang disedot masuk ke lubang hitam raksasa ini hanyalah 10 % dari total massa yang ditarik-paksa dari lingkungan bintang-gemintang di sekelilingnya. Sisanya dipaksa berputar-putar tanpa daya dalam cakram akresi raksasa, sebelum dilemparkan kembali menjauhi sang lubang hitam raksasa. Dengan demikian dapat diperkirakan lubang hitam raksasa ini menyedot massa dalam jumlah tak kurang dari 900 massa Bumi kita per harinya ke dalam cakram akresinya.

Referensi :

The Event Horizon Telescope Collaboration. 2019. First M87 event Horizon Telescope result. I. The Shadow of Supermassive Blackhole. The Astrophysical Journal Letter, vol 875 no.L1 (17 halaman), 10 April 2019.

Gempa Luwuk 12 April 2019, Gempa Bumi Laut Tanpa Tsunami

Gambar 1. Beberapa dari sesar aktif di daratan pulau Sulawesi yang telah diidentifikasi dalam Peta Sesar Aktif Indonesia 2017. Nampak posisi sumber Gempa Luwuk 12 April 2019 dan sesar Peleng. Sumber: Kemen PUPR, 2017.


Sebuah gempa tektonik kuat kembali mengguncang pulau Sulawesi pada Jumat 12 April 2019 ini. Gempa meletup pada di dasar Laut Banda di sisi selatan Pulau Peleng pada pukul 19:40 WITA. Rilis pendahuluan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat gempa ini merupakan gempa kuat (magnitudo 6,9) dengan sumber sangat dangkal (kedalaman sumber 10 km). Karena kota Luwuk menjadi kota terdekat dengan sumber gempa, maka gempa ini dinamakan Gempa Luwuk 12 April 2019.

Besarnya magnitudo gempa dan demikian dangkal sumbernya menyebabkan sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) segera aktif. Maka status Waspada (kode kuning) pun terbit untuk sebagian pesisir timur pulau Sulawesi yang menghadap Laut Banda, khususnya yang bertatapan langsung dengan sumber gempa. Dalam status Waspada semacam ini pemodelan matematis InaTEWS memperlihatkan gempa bumi tersebut berpotensi menghasilkan tsunami kecil setinggi maksimum 50 cm.

Status Waspada dicabut sejam pascagempa, setelah pemantauan paras air laut berdasarkan marigram dari stasiun-stasiun pasangsurut BIG (Badan Informasi Geospasial) di pelabuhan-pelabuhan terdekat dengan sumber gempa seperti Luwuk dan Kendari. Marigram itu tidak memperlihatkan tanda-tanda khas tsunami. Tiadanya tsunami dari gempa bumi ini juga ditunjang hasil analisis mekanisme fokus sumber gempanya. Mekanisme fokus sangat penting guna menentukan apakah sebuah gempa bumi tektonik dengan sumber di dasar laut bisa menghasilkan tsunami ataukah tidak.

Mekanisme fokus Gempa Luwuk 12 April 2019 merupakan produk pematahan mendatar (strike-slip) ke arah timur laut. Sebaliknya tsunami hanya bisa terjadi apabila sumber gempa dasar lautnya merupakan pematahan naik (thrust) maupun turun (normal). Disini harus digarisbawahi bahwa produk mekanisme fokus sebuah gempa bumi hanya bisa diperoleh dalam beberapa belas menit pascagempa. Yakni kala data dari beragam seismometer pada berbagai jejaring mulai masuk dan dianalisis. Disisi lain, apabila gempa ini betul-betul memproduksi tsunami, maka waktu yang tersedia bagi penduduk pesisir timur pulau Sulawesi hanya beberapa belas menit sebelum gelombang pertama datang menerjang.

Ketimbang potensi tsunaminya, sesungguhnya potensi dampak yang lebih besar dari gempa bumi ini terletak pada getaran tanah yang diakibatkannya. Badan Geologi Amerika Serikat atau USGS (United States Geological Survey) memiliki program evaluasi cepat dampak getaran gempa bumi global yang disebut PAGER (Prompt Assessment of Global Earthquake for Response). PAGER dirancang untuk membantu para pengambil keputusan penanganan pasca bencana agar bisa menentukan tingkat keparahan yang berkemungkinan terjadi akibat guncangan gempa dengan mengacu pada besarnya intensitas getaran tanah pada kawasan tertentu.

Menurut rilis pendahuluan USGS PAGER, getaran Gempa Luwuk 12 April 2019 dirasakan oleh 17,4 juta jiwa penduduk pulau Sulawesi. Dari jumlah tersebut sebanyak 17,1 juta jiwa merasakan getaran yang lemah (dengan intensitas hingga 4 MMI). Sementara 230 ribu jiwa lainnya merasakan getaran sedang (intensitas 5 MMI). Dan 140 ribu jiwa menderita getaran kuat (intensitas 6 MMI). USGS PAGER juga memprakirakan terdapat korban jiwa akibat guncangan gempa ini, yakni di antara 1 – 10 orang (pada probabilitas 95 %). Sedangkan potensi kerugian material diperkirakan berada pada angka 1 hingga 10 juta dollar (probabilitas 95 %).

Jika mengacu pada peta sesar aktif Indonesia 2017, sumber Gempa Luwuk 12 April 2019 berasal dari lokasi dengan sesar yang belum terpetakan. Namun di sisi utara sumber Gempa Luwuk 12 April 2019 ini, tepatnya di daratan Pulau Peleng, terdapat sejumlah sesar darat yang aktif dan telah teridentifikasi. Salah satu diantaranya adalah sesar Peleng, sesar sepanjang 44 km dengan orientasi baratdaya – timurlaut dan merupakan sesar mendatar. Andaikata sesar ini diperpanjang ke selatan menyusuri dasar laut, maka posisi sumber Gempa Luwuk 12 April 2019 akan tepat berimpit dengannya.

Sumber Gempa Luwuk 12 April 2019 dan sesar Peleng merupakan satu dari sekian banyak torehan sesar aktif pada kerak bumi pulau Sulawesi. Mereka terpahat sebagai akibat dari proses pembentukan pulau Sulawesi yang unik dan sangat kompleks. Pulau besar yang bentuknya menyerupai huruf K ini dibentuk oleh desak-mendesak antara empat lempeng tektonik sekaligus. Masing-masing mikrolempeng Sunda (bagian dari lempeng Eurasia yang besar), mikrolempeng Maluku, mikrolempeng Laut Banda dan mikrolempeng Kepala Burung Irian. Interaksi mereka menyebabkan pulau Sulawesi sangat menarik dan sangat kaya akan mineral bahan tambang. Namun di sisi lain pulau ini juga dianugerahi oleh sesar-sesar aktif sumber potensial gempa bumi tektonik. Baik di darat maupun di dasar laut. Potensi ini tak perlu ditakuti. Sebaliknya kita umat manusia yang harus mempelajarinya dan menyesuaikan diri dengannya. Menyesuaikan diri dengan alam yang terus berproses selama jutaan tahun terakhir.

Melacak Jejak Asteroid yang Jatuh di Atas Laut Bering

Sebuah asteroid-tanpa-nama telah jatuh di atas perairan Laut Bering, bagian dari Samudera Pasifik bagian utara yang berdekatan dengan lingkar Kutub Utara, pada Rabu 19 Desember 2018 TU (Tarikh Umum) tengah hari waktu setempat. Ini disebut Peristiwa Bering 2018. Energinya sungguh besar, totalnya mencapai 173 kiloton TNT atau 8,5 kali lipat lebih dahsyat ketimbang bom nuklir yang dijatuhkan di Nagasaki. Sebanyak 96 kiloton TNT diantaranya dilepaskan sebagai airburst, satu fenomena mirip ledakan di ketinggian udara yang khas bagi asteroid/komet yang memasuki atmosfer Bumi. Saat airburst terjadi, kilatan cahaya yang diprodusinya demikian benderang hingga mencapai sekitar 70 % kecerlangan Matahari. Siang hari Laut Bering saat itu laksana berhias dua Matahari meski hanya untuk sesaat.

Perhitungan menunjukkan asteroid-tanpa-nama itu relatif padat, dengan massa jenis sekitar 4.000 kg/m3. Garis tengahnya, jika dianggap berbentuk bola, adalah 8,8 meter dan memiliki massa 1.400 ton. Umumnya asteroid seukuran ini jika masuk ke atmosfer Bumi akan berubah menjadi boloid karena berkemampuan memproduksi meteorit. Dimana massa meteoritnya minimal 0,1 % dari massa awal asteroid, yang setara dengan 1,4 ton.


Gambar 1. Ketampakan bola api airburst sebagai puncak dari Peristiwa Bering 2018 yang direkam radas MISR pada satelit Terra. Tumbuh kembangnya bola api airburst diiringi dengan pelepasan energi sekitar 96 kiloton TNT, bagian dari energi total 173 kiloton TNT yang dibawa asteroid-tanpa-nama yang memasuki atmosfer Bumi di atas perairan Laut Bering. Sumber: NASA, 2019.

Berdasarkan tingkat energinya, Peristiwa Bering 2018 adalah peristiwa jatuhnya benda langit terdahsyat kedua yang pernah terukur di Bumi sepanjang seperempat abad terakhir. Peringkat pertama diduduki Peristiwa Chelyabinsk 2013 (580 kiloton TNT), yang berdampak kerusakan ringan pada area cukup luas disertai korban luka-luka ringan dan sedang yang berjumlah hingga ribuan orang. Peristiwa yang terjadi di kawasan Chelyabinsk dan sekitarnya, sisi barat Pegunungan Ural (Russia). Sementara peringkat ketiga ditempati Peristiwa Bone 2009 (60 kiloton TNT) yang terjadi di atas Kab. Bone, Sulawesi Selatan (Indonesia). Kejadian ini tidak menyebabkan kerusakan, namun satu korban jiwa jatuh sebagai akibat tak langsung.

Selain problema dampaknya, jatuhnya meteoroid berupa asteroid/komet dalam ukuran tertentu menggamit minat untuk menelusuri asal-usulnya. Penelusuran dapat dilakukan bilamana tersedia informasi lokasi titik jatuh (dalam koordinat geografis), kecepatan awal meteoroid (berupa infinity velocity) serta tinggi (sudut lintasan meteoroid terhadap bidang horizontal) dan azimuth meteoroid tersebut. Untungnya semua itu tersedia bagi asteroid-tanpa-nama penyebab Peristiwa Bering 2018.

Asteroid kelas Apollo

Satelit mata-mata rahasia milik Amerika Serikat merekam kilatan cahaya Peristiwa Bering 2018 melalui radas bhangmeter-nya. Dari sini diperoleh data koordinat titik jatuh (56º 54′ LU 172º 247 BT) dan kecepatan jatuh meteoroid (32 km/detik) yang setara dengan infinity velocity 30 km/detik. Data lebih lengkap diperoleh dari satelit observasi Terra yang dikelola badan antariksa Amerika Serikat (NASA). Satelit Terra menyajikan citra yang lebih tajam dan kontras ketimbang satelit cuaca Himawari 8. Radas MISR (Multi-angle Imaging Spectro Radiometer) pada satelit ini berhasil merekam jejak lintasan asteroid kala menerobos lapisan atmosfer bagian atas dan saat-saat awal tumbuhkembangnya bola api airburst. Lewat mata tajam MISR satelit Terra dapat diketahui meteoroid penyebab Peristiwa Bering 2018 datang dari arah barat laut. Atau dari sekitar azimuth 315º.

Gambar 2. Orbit asteroid-tanpa-nama penyebab Peristiwa Bering 2018 di dalam sistem tata surya kita bagian dalam. Terlihat jelas orbit asteroid ini mengikuti karakter orbit asteroid dekat-Bumi kelas Apollo. Sumber: Sudibyo, 2019.

Berbekal data-data tersebut asal-usul asteroid-tanpa-nama penyebab Peristiwa Bering 2018 dapat dilacak. Memanfaatkan spreadsheet Calculation of a Meteor Orbit yang dikembangkan Marco Langbroek dari Dutch Meteor Society, akhirnya diketahui asteroid itu merupakan bagian kelompok asteroid dekat-Bumi khususnya kelas Apollo. Asteroid kelas Apollo adalah kelompok asteroid dekat Bumi yang beredar mengelilingi Matahari demikian rupa sehingga orbit lonjongnya radius rata-rata (a) lebih dari 1 SA (satuan astronomi), perihelion kurang dari 1,017 SA dan bidang orbitnya memotong orbit Bumi.

asteroid-tanpa-nama penyebab Peristiwa Bering 2018 memiliki orbit cukup lonjong dengan eksentrisitas (kelonjongan orbit) 0,365. Perihelionnya hanya 0,911 SA atau lebih dekat ke Matahari dibanding orbit Bumi. Akan tetapi aphelionnya melambung hingga 1,96 SA atau menjangkau kawasan Sabuk Asteroid Utama. Praktis orbit asteroid ini melintasi orbit Bumi dan orbit Mars, meski dengan inklinasi orbit sebesar 51,26º sesungguhnya hanya orbit Bumi saja yang dipotong oleh orbit asteroid ini. asteroid-tanpa-nama itu membutuhkan 1,72 tahun untuk bisa menyusuri orbitnya dalam sekali putaran.

Asteroid mencapai titik perihelionnya pada 21 Januari 2019 TU silam sekitar pukul 22:00 WIB. Dalam 36,7 hari kemudian asteroid tiba di titik nodal orbitnya, yakni titik potong antara orbit asteroid dengan bidang orbit Bumi. Pada saat yang sama Bumi pun sedang berada di titik nodal itu. Sehingga tak terelakkan, asteroid pun menjadi meteoroid, lalu memasuki atmosfer dan menjadi Peristiwa Bering 2018. Bila dilihat dari lokasi titik jatuh, maka meteoroid seakan-akan berasal dari titik dengan deklinasi 66,9º dan Ascensio Recta 14 jam 36 menit yang terletak dalam gugusan bintang Ursa Minor.

Hasil ini memberikan gambaran bahwa, sekali lagi, Bumi menderita ancaman permanen dari langit. Salah satunya dari populasi asteroid dekat-Bumi, kawanan asteroid yang semula menghuni Sabuk Asteroid Utama di antara orbit Mars dan Jupiter namun kemudian terlontar mendekati Matahari oleh beragam sebab. Mereka berjibun banyaknya dan bergentayangan di dekat atau bahkan memotong orbit Bumi kita. Dengan energi berbanding lurus terhadap pangkat tiga dimensinya, maka semakin besar ukuran suatu asteroid dekat-Bumi akan semakin beresiko Bumi terhadapnya. Tidak usah jauh-jauh melambung ke masa 65 juta tahun silam, kala dunia dicekam kengerian akibat hantaman asteroid raksasa yang memicu punahnya dinosaurus beserta 75 % kelimpahan makhluk hidup lainnya, abad ke-20 dan 21 TU memiliki contohnya masing-masing. Mulai dari Peristiwa Tunguska 1908 (15 megaton TNT) yang menumbangkan pepohonan di area seluas 2.000 km2 hingga Peristiwa Chelyabinsk 2013. Memitigasi potensi bencana dari langit ini merupakan tantangan bagi umat manusia masakini, agar mampu mereduksi dampak katastrofik sejenis atau bahkan mengeliminasi potensi ancamannya.

Referensi:

Langbroek. 2004. A Spreadsheet that Calculates Meteor Orbits. Journal of IMO, vol. 32 (2004) no. 4 hal 109-110.