Biru Gerhana Bulan Perigean 31 Januari 2018

Dua fenomena alam yang berbeda akan terjadi pada saat yang hampir bersamaan pada Rabu 31 Januari 2018 TU (Tarikh Umum). Yang pertama adalah Gerhana Bulan yang selalu mempesona. Dan yang kedua adalah Bulan purnama perigean atau dkenal juga dengan nama supermoon. Ini melahirkan sebuah istilah baru, Gerhana Bulan Total Perigean.

Gambar 1. Wajah Bulan dalam Gerhana Bulan 7-8 Agustus 2017 yang lalu, yang berjenis Gerhana Bulan Sebagian. Panorama semacam ini akan bisa disaksikan lagi dalam peristiwa Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018. Sumber: Sudibyo, 2017.

Konfigurasi

Pada dasarnya Gerhana Bulan terjadi tatkala Matahari, Bulan dan Bumi tepat berada dalam satu garis lurus, konfigurasi yang normalnya menghasilkan fase Bulan purnama. Namun kali ini konfigurasi tersebut bersifat syzygy, yakni segaris lurus ditinjau dari segenap arah tiga dimensi. Di tengah-tengah konfigurasi tersebut bertenggerlah Bumi. Sementara Bulan menempati salah satu dari dua titik nodal, yakni titik potong orbit Bulan dengan ekliptika (bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari). Akibatnya pancaran sinar Matahari yang seharusnya tiba di paras Bulan menjadi terhalangi Bumi.

Mengingat diameter Matahari jauh lebih besar ketimbang Bumi kita, yakni 109 kali lipat lebih besar, maka Bumi tak sepenuhnya menghalangi pancaran cahaya Matahari. Sehingga terbentuk umbra dan penumbra. Umbra adalah kerucut bayangan inti, yakni kerucut imajiner di belakang Bumi yang sepenuhnya tak mendapat pencahayaan Matahari. Sedangkan penumbra adalah kerucut bayangan samar/tambahan, yakni kerucut imajiner di belakang Bumi kita yang ukurannya jauh lebih besar ketimbang umbra dan masih mendapatkan cukup banyak pencahayaan Matahari.

Gambar 2. Bulan dalam fase umbra Gerhana Bulan 7-8 Agustus 2017 yang lalu, dalam citra overeksposur untuk memperlihatkan bagian umbra pada cakram Bulan yang berwarna kemerah-merahan. Pemandangan yang lebih memukau akan kita saksikan pada Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018. Sumber: Sudibyo, 2017.

Dalam Gerhana Bulan Total, cakram Bulan sepenuhnya berada dalam lingkup umbra Bumi. Namun bukan berarti ia sepenuhnya menghilang. Ia masih ada meski kehilangan pancaran sinar Matahari yang menuju padanya. Ia tidak ‘menghilang’ di gelap malam, melainkan nampak nampak kemerah-merahan (merah darah). Sebab meskipun tak terpapar cahaya Matahari secara langsung, sepanjang saat puncak gerhana terjadi Bulan tetap menerima pencahayaan tak langsung dari sinar Matahari yang dibiaskan atmosfer Bumi. Khususnya cahaya dalam spektrum warna merah atau inframerah.

Sementara Bulan purnama perigean adalah peristiwa dimana fase Bulan purnama terjadi berdekatan dengan saat Bulan menempati titik perigee, yakni titik terdekat ke Bumi dalam orbit Bulan yang ellips. Bulan purnama perigeaan merupakan fenomena tahunan, yang selalu terjadi dalam dua atau tiga purnama di setiap akhir tahun dan berlanjut pada awal tahun Tarikh Umum. Bupan purnama perigeaan kali ini terjadi karena Bulan berada di titik perigee pada Selasa 30 Januari 2018 TU pukul 16:55 WIB, yakni dengan jarak 358.995 kilometer (dari pusat Bumi ke pusat Bulan). Sebaliknya fase Bulan purnama terjadi pada Rabu 31 Januari 2018 TU pukul 20:30 WIB, atau berselang 27 jam kemudian. Fenomena ini merupakan penutup dari trio Bulan purnama perigeaan yang telah bermula sejak awal Desember 2017 TU lalu.

Musim Gerhana 2018

Gambar 3. Perbandingan ukuran Bulan antara saat Bulan purnama perigean (supermoon) dengan saat purnama jelang Gerhana Bulan 7-8 Agustus 2017. Diabadikan dengan instrumen yang sama. Nampak Bulan saat purnama perigean sedikit lebih besar. Sumber: Sudibyo, 2017.

Tidak setiap kejadian Bulan purnama bersamaan dengan peristiwa Gerhana Bulan. Sebaliknya suatu peristiwa Gerhana Bulan pasti bersamaan waktunya dengan Bulan purnama. Musababnya adalah orbit Bulan yang tak berimpit dengan bidang edar Bumi mengelilingi Matahari, melainkan menyudut sebesar 5o. Hanya ada dua titik dimana Bulan berpeluang tepat segaris lurus syzygy dengan Bumi dan Matahari, yakni di titik nodal naik (ascending) dan titik nodal turun (descending). Dan dalam kejadian Bulan purnama, mayoritas terjadi tatkala Bulan tak berdekatan ataupun berada dalam salah satu dari dua titik nodal tersebut. Inilah sebabnya mengapa tak setiap saat Bulan purnama kita bersua dengan Gerhana Bulan.

Bagaimana Bulan berperilaku terhadap umbra dan penumbra Bumi menentukan jenis gerhananya. Ada tiga jenis Gerhana Bulan. Pertama Gerhana Bulan Total (GBT), terjadi kala cakram Bulan sepenuhnya memasuki umbra Bumi tanpa terkecuali. Kedua Gerhana Bulan Sebagian (GBS), terjadi kala umbra tak sepenuhnya menutupi cakram Bulan. Akibatnya pada puncak gerhananya Bulan hanya akan lebih redup (ketimbang saat GBT) dan ‘robek’ di salah satu sisinya. Dan yang terakhir adalah Gerhana Bulan Penumbral (GBP) atau gerhana Bulan samar, yang bisa terjadi kala hanya penumbra Bumi yang menutupi cakram Bulan baik sepenuhnya maupun hanya separuhnya. Tiada umbra Bumi yang turut menutupi. Dalam gerhana Bulan yang terakhir ini, Bulan masih tetap mendapatkan sinar Matahari sehingga sekilas nampak tak berbeda dibanding Bulan purnama umumnya.

Gambar 4. Parameter dua dari lima gerhana yang menjadi bagian dari Musim Gerhana 2018.

Gerhana Bulan 31 Januari 2018 ini adalah peristiwa Gerhana Bulan Total. Ia menjadi babak pembuka dari musim gerhana tahun 2018 TU ini. Musim Gerhana 2018 TU terdiri dari lima peristiwa gerhana, masing-masing tiga Gerhana Matahari dan dua Gerhana Bulan. Semua peristiwa Gerhana Bulan itu dapat disaksikan dari Indonesia mengingat negeri ini berada dalam cakupan wilayah gerhana-gerhana tersebut. Kabar baiknya, kedua gerhana tersebut merupakan Gerhana Bulan Total. Sebaliknya seluruh Gerhana Matahari di musim 2018 ini tak berkesempatan disaksikan manusia Indonesia.

Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018 merupakan Gerhana Bulan Total pertama yang menyentuh wilayah Indonesia dalam tiga tahun terakhir, pasca Gerhana Bulan Total 4 April 2015. Akan tetapi gerhana ini merupakan Gerhana Bulan Total Perigean pertama kali bagi Indonesia dalam 35 tahun terakhir. Terakhir kali peristiwa langit kombinasi semacam ini terjadi adalah pada Gerhana Bulan Total 30 Desember 1982 silam.

Tahap Gerhana dan Wilayah Gerhana

Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018 terdiri atas tujuh tahap. Tahap pertama adalah awal gerhana yang berupa kontak awal penumbra (P1), diperhitungkan akan terjadi pada pukul 17:51 WIB. Lalu tahap kedua adalah awal gerhana kasat mata yang berupa kontak awal umbra (U1), diperhitungkan akan terjadi pukul 18:48 WIB. Lantas tahap ketiga, yang adalah awal totalitas gerhana yang berupa kontak awal total (U2), diperhitungkan akan terjadi pukul 19:52 WIB.

Sebagai puncaknya adalah puncak gerhana, diperhitungkan akan terjadi pada pukul 20:30 WIB. Usai puncak gerhana berlangsung, maka Bulan berangsur-angsur ‘membuka’ diri dengan berakhirnya totalitas gerhana melalui tahap kelima berupa kontak akhir total (U3), yang diperhitungkan akan terjadi pada pukul 21:08 WIB. Berikutnya disusul dengan tahap keenam berupa akhir gerhana kasat mata, dalam bentuk kontak akhir umbra (U4) pada pukul 22:11 WIB. Dan yang terakhir adalah tahap ketujuh, berupa akhir gerhana yang berupa kontak akhir penumbra (P4), diperhitungkan akan terjadi pada pukul 23:08 WIB.

Bulan Biru Toska

Satu aspek istimewa Gerhana Bulan adalah bahwa tahap-tahap gerhananya secara umum terjadi pada waktu yang sama pada titik-titik manapun yang tercakup dalam wilayah gerhana. Jika ada perbedaan antara satu titik dengan titik lainnya hanyalah dalam orde detik. Dengan demikian durasi gerhana Bulan di setiap titik pun dapat dikatakan adalah sama. Dengan tahap-tahap tersebut maka kita tahu bahwa Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018 memiliki durasi gerhana 5 jam 17 menit. Dari durasi sepanjang itu, durasi kasat mata terjadi selama 3 jam 23 menit. Dan dari durasi kasat mata tersebut, durasi totalitas gerhana adalah selama 1 jam 16 menit. Durasi totalitas ini tergolong yang cukup panjang untuk abad ke-21 TU ini.

Sedikit berbeda dengan Gerhana Matahari, Gerhana Bulan memiliki wilayah gerhana cukup luas meliputi lebih dari separuh bola Bumi yang sedang berada dalam situasi malam hari. Wilayah Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018 melingkupi seluruh benua Asia, Australia, sebagian Amerika, sebagian kecil Afrika dan sebagian besar Eropa. Wilayah gerhana terbagi menjadi tiga, yakni wilayah yang mengalami gerhana secara utuh, wilayah yang mengalami gerhana secara tak utuh (saat Bulan mulai terbenam maupun mulai terbit) dan yang terakhir wilayah yang tak mengalami gerhana sama sekali.

Gambar 5. Peta wilayah Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018 dalam lingkup global. Perhatikan bahwa segenap Indonesia merupakan bagian dari wilayah yang mengalami gerhana secara utuh. Sehingga seluruh tahap gerhana bisa disaksikan, sepanjang langit cerah. Sumber: Sudibyo, 2018 dengan basis NASA, 2018.

Segenap tanah Indonesia juga tercakup ke dalam wilayah gerhana ini. Kabar baiknya, segenap Indonesia merupakan bagian dari wilayah yang mengalami gerhana secara utuh, kecuali sebagian pulau Jawa dan segeap pulau Sumatra. Di kedua tempat tersebut, gerhana (tepatnya kontak awal penumbra) telah dimulai selagi Bulan belum terbit setempat (karena Matahari belum terbenam).

Satu hal yang menjadi pembeda antara peristiwa Gerhana Bulan Total dengan Gerhana Bulan yang lainnya adalah (potensi) munculnya Bulan berwarna kebiruan. Bukan, ini bukan blue moon sebagaimana yang acap disematkan sejumlah kalangan menjelang Gerhana Bulan Total ini. Blue moon hanyalah anggapan untuk Bulan purnama kedua yang terjadi dalam satu bulan Tarikh Umum yang sama. Sementara gejala fisisnya tak ada sama sekali. Bagi Januari 2018 TU ini blue moon terjadi karena purnama pertama telah berlangsung pada 2 Januari 2018 TU pukul 09:00 WIB silam.

Namun Bulan kebiruan ini adalah fenomena fisis. Ia berpotensi terjadi beberapa saat menjelang awal totalitas, ataupun sebaliknya dalam beberapa saat setelah akhir totalitas gerhana. Warna kebiruan pada Bulan di saat itu merupakan hasil pembiasan cahaya Matahari pada lapisan Ozon, sehingga menghasilkan warna biru toska tipis yang khas.

Shalat Gerhana

Gerhana Bulan Total ini bertepatan dengan tanggal 14 Jumadal Ula 1439 H dan merupakan gerhana Bulan yang kasat mata. Sehingga dapat kita amati tanpa bantuan alat optik apapun, sepanjang langit cerah. Namun penggunaan alat bantu optik seperti kamera dan teleskop akan menyajikan hasil yang lebih baik. Sepanjang dilakukan dengan pengaturan (setting) yang tepat sesuai dengan tahap-tahap gerhana. Detail teknis pemotretan untuk mengabadikan gerhana ini dengan menggunakan kamera DSLR (digital single lens reflex) tersaji berikut ini :

Bagi Umat Islam terdapat anjuran untuk menyelenggarakan shalat gerhana baik di kala terjadi peristiwa Gerhana Matahari maupun Gerhana Bulan. Hal tersebut juga berlaku dalam kejadian Gerhana Bulan Total ini. Musababnya Gerhana Bulan ini dapat diindra dengan mata manusia secara langsung. Sementara dasar penyelenggaraan shalat gerhana adalah saat peristiwa tersebut dapat disaksikan (kasat mata), seperti dinyatakan dalam hadits Bukhari, Muslim dan Malik yang bersumber dari Aisyah RA. Pendapat ini pula yang dipegang oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul ‘Ulama dan Muhammadiyah.

Mengingat durasi gerhana yang kasatmata adalah dari tahap U1 hingga tahap U4, yakni dari pukul 18:48 WIB hingga pukul 22:11 WIB, maka shalat Gerhana Bulan seyogyanya juga diselenggarakan pada rentang waktu tersebut. Dari sudut pandang fikih, pelaksanaan shalat Gerhana Bulan hanya bisa diselenggarakan jika gerhana benar-benar bisa disaksikan secara kasat mata dari lokasi pelaksanaan shalat. Atau, apabila gerhana tak bisa disaksikan, maka terdapat kabar / informasi yang sahih dan berterima bahwa gerhana memang benar-benar disaksikan di tempat lain oleh saksi mata yang tepercaya.

Berikut adalah infografis tatacara pelaksanaan shalat gerhana

Dalam peristiwa Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan dianjurkan untuk mengerjakan shalat gerhana, karena baik Matahari maupun Bulan merupakan dua benda langit yang menjadi bagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh SWT. Dan peristiwa gerhana merupakan peristiwa langit yang menakjubkan (sekaligus menerbitkan rasa takut) bagi sebagian kalangan. Namun peristiwa ini adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya dan tidak terkait dengan kematian seseorang. Di sisi lain, shalat gerhana mendorong umat Islam untuk lebih dekat dengan-Nya. Terlebih mengingat peristiwa Gerhana pada khususnya (baik Gerhana Bulan maupun gerhana Matahari) serta fase Bulan baru dan Bulan purnama pada umumnya ternyata mampu memicu salah satu gaya endogen dalam sistem kerja Bumi kita, yakni gempa bumi tektonik.

Mengenal Erupsi Gunung Berapi: Freatik, Freatomagmatik dan Magmatik

Gunung Agung akhirnya membuktikan bahwa dirinya tak ingkar dari janjinya sebagai gunung berapi aktif. Setelah lebih dari dua bulan mencekam lewat drama krisis seismik yang ditandai lonjakan kegempaan vulkanik dan tektonik, pada Selasa 21 November 2017 TU (Tarikh Umum) Agung akhirnya meletus.

Gambar 1. Letusan awal Gunung Agung pada Minggu 21 November 2017 TU sore. Tekanan gas vulkanik di letusan ini tergolong sedang, sehingga debu hanya menyembur setinggi 700 meter di atas puncak. Semula dikira erupsi freatik, namun analisis sampel debu produk letusan ini menunjukkan saat itu Gunung Agung sudah memasuki tahap erupsi freatomagmatik. Sumber: PVMBG, 2017.

Letusan awal Agung tergolong sedang. Ia menyemburkan debu vulkanik hingga setinggi maksimal 700 meter di atas puncak, atau 4.100 meter dpl (dari paras air laut rata-rata). Letusan berlangsung singkat dan Gunung Agung kembali tenang hingga 4 hari kemudian. Namun kejadian letusan itu sendiri dipandang mengagetkan bagi sebagian kalangan. Mengingat sejak krisis seismik Gunung Agung dimulai pada 13 September 2017 TU, kegempaan harian Agung justru menunjukkan kecenderungan mulai menurun pada 37 hari kemudian.

Dengan patokan 20 Oktober 2017 TU, bila dicermati sebelum tanggal tersebut jumlah gempa vulkanik-tektonik Gunung Agung melampaui 600 kejadian per hari dan bahkan pada puncaknya sempat menyentuh lebih dari 1.000 kejadian per hari. Namun selepas tanggal itu jumlahnya anjlok secara drastis menjadi di bawah 400 kejadian per hari. Bahkan sehari sebelum letusan, jumlah gempa Gunung Agung sudah anjlok drastis di bawah angka 100 kejadian per hari. Tak heran banyak yang beranggapan Gunung Agung telah melempem, kehabisan tenaga sebelum saatnya meletus.

Gambar 2. Panorama kawah Gunung Agung dalam beberapa hari pasca letusan awal, diabadikan dengan PUNA/pesawat udara nir-awak (drone). Nampak lubang letusan awal (yang merupakan erupsi freatomagmatik) menganga di tengah dasar kawah. Sementara gas belerang nampak mengepul pada zona retakan di sisi timur laut. Sumber: PVMBG, 2017.

Setelah tenang kembali selama 4 hari, Gunung Agung kembali beraksi pada Sabtu 25 November 2017 TU. Kali ini letusannya lebih besar dan durasinya lebih lama karena berlangsung hingga berhari-hari kemudian. Awalnya kolom debu letusan disemburkan setinggi 4.600 meter dpl (lebih dari 15.000 kaki). Namun terus berlangsungnya pasokan magma segar membuat debu vulkanik membumbung kian tinggi hingga akhirnya mencapai ketinggian lebih dari 6.000 meter dpl (hampir 18.000 kaki).

Dengan ketinggian hingga 18.000 kaki itu, maka tebaran debu vulkanik Agung sudah memasuki area lalulintas penerbangan pesawat-pesawat komersial. Larangan terbang di ruang udara sekitar Gunung Agung pun ditegakkan untuk keselamatan penerbangan. Meski konsekuensinya dua bandara, masing-masing Denpasar (Bali) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat), terpaksa ditutup untuk sementara. Akibatnya ratusan penerbangan dari dan ke pulau Bali dan pulau Lombok pun terpaksa dibatalkan. Beruntung penutupan ini tidak berlangsung lama. Di sisi lain, lonjakan ini membuak status Gunung Agung kembali dinaikkan ke Awas (Level IV) mulai 27 November 2017 TU.

Kubah Lava

Gambar 3. Letusan Gunung Agung pada 29 November 2017 TU dinihari. Warna kemerahan pada satu sisi di bagian bawah kolom letusan merupakan cahaya yang dipancarkan dari magma segar yang telah keluar dan mulai mengisi dasar kawah. Inilah pertanda tak langsung letusan Gunung Agung sudah memasuki fase erupsi magmatik yang efusif. Sumber: PVMBG, 2017.

Semenjak itu Gunung Agung terus berkibar dengan aktivitasnya. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMB) mencatat hingga akhir tahun 2017 TU, Gunung Agung telah mengalami 21 kejadian letusan dan 843 kejadian hembusan. Bila dirata-ratakan maka terjadi satu letusan setiap 2 hari dan setiap harinya terjadi 21 hembusan. Kejadian letusan adalah semburan dengan kolom berwarna abu-abu/gelap sebagai pertanda dominasi debu vulkanik. Sementara hembusan adalah semburan yang mirip namun lebih cerah atau putih, indikasi dominannya uap air.

Selain kejadian letusan dan hembusan, sejak letusan beruntun 25 November 2017 juga terdeteksi terjadinya muntahan magma segar. Awalnya berdasarkan indikasi tak langsung, dimana dasar kolom letusan nampak merah membara laksana tersinari sesuatu di malam hari. Indikasi langsungnya baru diketahui berhari-hari kemudian lewat pencitraan satelit sumberdaya Bumi (baik dalam spektrum cahaya tampak maupun radar), terutama manakala tutupan awan di atas Gunung Agung relatif jarang.

Gambar 4. Panorama kubah lava di dasar kawah Gunung Agung, diabadikan dengan PUNA PVMBG dan satelit penginderaan jauh PlanetLab masing-masing pada pertengahan dan awal Desember 2017 TU. Orientasi arah mataangin keduanya adalah sama. Nampak jelas kubah lava yang unik dengan tepian bergelombang dan lubang letusan di bagian tengah. Sumber: PVMBG, 2017 & Planet, 2017.

Magma keluar sebagai lava segar yang terakumulasi di dasar kawah sebagai kubah lava nan unik. Bentuknya melebar datar mirip telur dadar atau martabak. Terdapat pola bergelombang di tepinya, yang mengesankan terbentuk saat lava masih cukup encer dan mendadak terjadi letusan cukup kuat hingga membentuk gelombang di permukaan sebelum kemudian mulai mendingin dan membeku. Bentuknya yang melebar datar menunjukkan lava letusan Agung kali ini relatif encer, setidaknya dibanding lava letusan 1963-1964.

Secara akumulatif terdapat 20 hingga 30 juta meter3 lava di dasar kawah Agung. Volume kawah Agung sendiri adalah 60 juta meter3, sehingga jumlah lava yang keluar dalam letusan ini baru mengisi sepertiga hingga setengah kawah saja. Belum tumpah. Ini membuat fenomena khas letusan gunung berapi bagi lereng gunung seperti aliran lava pijar maupun awan panas guguran tidak terjadi.

Ada perdebatan apakah akumulasi lava Agung merupakan kubah lava atau fenomena lain, misalnya danau lava. Mengutip VolcanoDiscovery.com, sulit menyebutnya sebagai danau lava. Sebab danau lava memerlukan lava yang lebih encer lagi dan mampu mempertahankan diri untuk tetap cair (dalam waktu tertentu) sehingga proses konveksi dapat terjadi. Hal tersebut tak dijumpai pada tumpukan lava Agung saat ini. Maka fenomena dalam kawah Agung lebih merupakan kubah lava. Lavanya relatif lebih encer dibanding lava penyusun kubah-kubah lava lainnya di gunung-gemunung berapi Indonesia. Sehingga bentuknya mendatar. Kubah lava yang mirip dijumpai pula di Gunung Popocatepetl (Meksiko) saat letusan 2015-2016 lalu.

Gambar 5. Panorama kubah lava Agung dan Popocatepetl. Dua kubah lava yang berbeda ini memiliki sejumlah kemiripan, yakni bentuknya relatif datar dan memiliki pola bergelombang di tepinya. Sumber: PVMBG, 2017 & CENAPRED, 2016.

Freatik, Freatomagmatik dan Magmatik

Banyak yang menganggap (termasuk saya) letusan Gunung Agung kali ini dimulai dengan peristiwa erupsi freatik. Tepatnya pada letusan awal 21 November 2017. Namun PVMBG, melalui analisis sampel debu letusan, mementahkan anggapan itu dan menyatakan letusan awal Agung bukan lagi erupsi freatik namun sudah merupakan erupsi freatomagmatik.

Apa sih erupsi freatik dan freatomagmatik itu?

Dalam hal pergerakan magma dari sebelum hingga sesudah keluar dari lubang letusan, dikenal adanya tiga jenis erupsi. Masing-masing erupsi freatik, erupsi freatomagmatik dan erupsi magmatik. Seperti diketahui manakala sebuah gunung berapi hendak meletus maka dapur magmanya mulai mengalirkan magma segar yang telah bertekanan cukup tinggi (oleh sebab apapun) ke atas. Pergerakan ini menciptakan retakan-retakan pada bebatuan yang menyumbat saluran, batuan yang sejatinya merupakan bekuan dari magma tua (magma sisa letusan sebelumnya). Pembentukan retakan ini menghasilkan getaran yang terdeteksi sebagai gempa-gempa vulkanik.

Gambar 6. Skema sederhana erupsi freatik, freatomagmatik dan magmatik. A = Situasi menjelang erupsi freatik, dimana air bawah tanah sekitar puncak (2) terpanaskan intensif oleh magma segar yang masih jauh di kedalaman (5) sehingga membentuk uap air yang terakumulasi (4) di bawah penutup dasar kawah (3). B = saat erupsi freatik terjadi. Erupsi ini menciptakan jalan bebas hambatan bagi magma segar untuk lebih cepat naik, sehingga erupsi freatomagmatik juga berkemungkinan terjadi. C = saat erupsi magmatik terjadi, magma segar sudah keluar dari lubang letusan dan mengalir sebagai lava pijar maupun awan panas di lereng. Sumber: Sudibyo, 2014.

Saat magma segar kian dekat ke paras tanah dan siap memasuki tubuh gunung, mulailah ia berinteraksi dengan air bawah tanah. Gas-gas vulkanik panas yang dilepaskan magma segar di kedalaman bersentuhan dengan air bawah tanah sehingga penguapan terjadi, meskipun magma segar itu sendiri belum menyentuh air. Intensitas penguapan kian meningkat seiring kian naiknya magma segar. Sebagian uap bisa meloloskan diri ke udara melalui retakan-retakan yang sudah ada menuju kawah. Akan tetapi sebagian lagi tetap tersekap, berkumpul kian banyak hingga tekanannya kian meningkat. Erupsi freatik terjadi manakala akumulasi uap air ini memiliki tekanan yang cukup tinggi sehingga mampu membobol bebatuan pembekuan magma tua yang menyumbat kawah. Terciptalah jalur bebas hambatan ke udara.

Karena itu material vulkanik yang disemburkan oleh erupsi freatik lebih didominasi uap air bercampur gas-gas vulkanik lainnya. Sementara debu, pasir hingga kerikil produk pembobolan magma tua merupakan komponen sekunder. Produk letusannya pun relatif dingin. Saat baru keluar dari lubang letusan, material vulkaniknya memiliki suhu kurang dari 200º C dan saat tiba di kaki gunung sudah setara suhu lingkungan. Erupsi freatik sama sekali tidak memuntahkan magma segar. Intensitas erupsinya juga umumnya kecil. Namun ia menghasilkan jalan bebas hambatan yang membuat jenis-jenis erupsi berikutnya menjadi lebih mudah terjadi.

Gambar 7. Suasana panik sesaat setelah erupsi freatik di Kawah Sileri, kompleks vulkanik Dieng, Banjarnegara (Jawa Tengah) pada 2 Juli 2017 TU silam. Uap air nampak mengepul dari kawah, salah satu ciri khas erupsi freatik. Sumber: BNPB/Sutopo Purwo Nugroho, 2017.

Pada letusan Agung kali ini tidak terdeteksi terjadinya erupsi freatik. Erupsi freatik kadangkala menjadi babak pembuka sebuah episode letusan gunung berapi. Misalnya seperti pada Letusan Sinabung 2010. Namun juga dapat berdiri sendiri, yakni langsung berhenti tanpa diikuti jenis letusan yang lain. Misalnya seperti peristiwa Letusan Kawah Sileri 2017.

Jenis erupsi berikutnya adalah erupsi freatomagmatik. Umumnya erupsi ini terjadi setelah erupsi freatik berlalu. Erupsi freatomagmatik terjadi manakala magma segar, yang kian naik saja ke dalam tubuh gunung namun belum mencapai lubang letusan, mulai bersentuhan langsung dengan air bawah tanah. Persentuhan dengan air yang lebih dingin membuat permukaan magma segar sontak mendingin cepat, membentuk butiran-butiran pasir hingga kerikil dengan komposisi khas. Sebaliknya air bawah tanah langsung menguap secara brutal.

Gambar 8. Foto langka yang menunjukkan tahap awal Letusan Krakatau 1883, yakni saat puncak Perbuwatan menyemburkan debu vulkaniknya pada Mei 1883 TU. Letusan ini merupakan erupsi freatomagmatik. Sumber : Simkin & Fiske, 1983.

Produksi uap air yang berlebihan berujung pada letusan. Selain menyemburkan uap air dan gas-gas vulkanik lainnya, erupsi freatomagmatik pun menyemburkan debu, pasir hingga kerikil. Namun kali ini mayoritas berasal dari magma segar yang membeku cepat. Intensitas erupsinya akan lebih besar dari erupsi freatik dan material vulkanik yang dimuntahkannya pun lebih panas. Letusan Agung 21 November 2017 adalah erupsi jenis ini. Demikian halnya erupsi-erupsi awal dari episode Letusan Krakatau 1883.

Gambar 9. Menit-menit awal Letusan Sangeang Api 2014 seperti diabadikan fotografer Sofyan Efendi. Letusan pada 30 Mei 2014 TU ini merupakan contoh erupsi magmatik yang eksplosif. Saat itu Gunung Sangeang Api menyemburkan debu vulkaniknya hingga setinggi sekitar 20.000 meter dpl. Sumber: Effendi, 2014 dalam Mail Online, 2014.

Dan jenis erupsi yang terakhir adalah erupsi magmatik. Erupsi ini adalah pemuncak dari episode letusan gunung berapi, dengan magma segar sudah keluar dari lubang letusan. Erupsi magmatik secara umum terbagi menjadi dua: eksplosif (ledakan) dan efusif (leleran). Erupsi magmatik eksplosif umumnya melibatkan magma segar yang bersifat asam karena banyak mengandung silikat (SiO2). Sehingga ia lebih kental dan lebih banyak menyekap gas-gas vulkanik. Saat hendak keluar atau tepat keluar dari lubang letusan, gas-gas vulkanik ini terbebaskan sehingga menciptakan kolom letusan cukup besar dan menyembur tinggi. Manakala kekuatan semburan gas tak lagi mampu mempertahankan material vulkanik ini di udara maka ia akan berjatuhan kembali ke Bumi. Mayoritas diantaranya (yakni fraksi yang lebih berat) jatuh kembali ke tubuh gunung dan mengalir menuruni lereng sebagai Awan Panas Letusan (APL). Hal ini misalnya bisa disaksikan dalam kejadian Letusan Merapi 2010, Letusan Kelud 2014 dan Letusan Sangeang Api 2014.

Gambar 10. Letusan Sinabung pada 9 Februari 2015 TU, diabadikan fotografer Hendi Syarifuddin. Letusan ini merupakan contoh erupsi magmatik yang efusif, dimana terbentuk awan panas guguran yang mengalir ke lereng. Sumber: Syarifuddin, 2015 dalam geomagz, Maret 2015.

Sebaliknya erupsi magmatik yang efusif terjadi karena magma segar yang lebih bersifat basa (basaltik). Maka ia lebih encer dan kurang mengandung gas. Kurangnya gas vulkanik membuat magma segar cenderung menumpuk disekeliling lubang letusan saat keluar. Membentuk kubah lava. Pasokan magma segar yang berkesinambungan membuat kubah lava kian membesar dan kian takstabil, sehingga bisa longsor sebagian. Longsoran ini menghasilkan Awan Panas Guguran (APG) dan leleran lava pijar. Keduanya bergerak menuruni lereng hingga jarak tertentu. Hal ini misalnya bisa disaksikan pada Letusan Sinabung 2013 yang masih berlangsung hingga kini.

Referensi :

Martanto. 2017. Letusan Gunung Agung 21 November 2017 pukul 17:05 WITA. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, diakses 22 November 2017 TU.

Kasbani. 2017. Perkembangan Terkini Aktivitas Gunung Agung (1 Desember 2017 21:00 WITA). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, diakses 3 Desember 2017 TU.

VolcanoDiscovery. 2017. Gunung Agung volcano (Bali, Indonesia): Flat Lava Dome Occupying Summit Crater. Publikasi 13 Desember 2017 TU, diakses 30 Desember 2017 TU.

VolcanoDiscovery. 2017. Popocatépetl volcano (Mexico): Growing Lava Dome has Filled Inner Crater. Publikasi 29 Januari 2016 TU, diakses 30 Desember 2017 TU.