Meteor di Langit Selatan Yogyakarta

Sebuah meteor-terang terlihat pada altitude rendah di langit selatan Yogyakarta. Perhitungan sederhana yang dikombinasikan pengetahuan meteor menyimpulkan peristiwa itu sesungguhnya terjadi di atas Samudera Indonesia. Sejauh sekitar 250 km di sebelah barat daya kota Yogyakarta.

Sebuah kilatan cahaya terang dengan lintasan yang tampak dari atas (utara) ke bawah (selatan) terlihat di langit selatan Yogyakarta pada Senin 12 Juli 2021 TU (Tarikh Umum) sekitar pukul 21:30 WIB. Puluhan orang menjadi saksi matanya dengan cerita-cerita yang membanjiri media sosial. Mereka bertutur kualitatif, betapa kilatan cahaya terang tersebut memiliki ‘kepala’ kemerahan dengan ‘ekor’ kehijauan.

Mujurnya terdapat citra (foto) beresolusi tinggi yang mengabadikan peristiwa tersebut. Yakni citra berkecepatan rana sangat lambat (long exposure) dari sdr. Aryo Kamandanu. Dia sedang melakukan pemotretan astrofotografi guna menghasilkan citra jejak-bintang (startrail) dengan mengambil lokasi pemotretan tak jauh dari Monumen Perjuangan TNI AU Ngoto, Bantul (DI Yogyakarta).

Gambar 1. Citra berkecepatan rana sangat lambat dari meteor-terang di langit selatan Yogyakarta, diabadikan oleh Aryo Kamandanu. Nampak meteor-terang diliputi oleh pendar warna kehijauan dengan rasi-rasi bintang disekelilingnya. Sumber : Aryo Kamandanu, 2021.

Dalam pemotretan astrofotografi untuk membentuk citra jejak-bintang, kamera dibiarkan mengambil citra langit yang sama secara berulang-ulang dalam jeda waktu tertentu selama beberapa jam. Seluruh citra yang diperoleh kemudian digabungkan menjadi satu melalui proses penumpukan (stacking). Dalam pemotretan tersebut, kamera diarahkan ke selatan dengan jeda waktu setiap 6 menit. Di salah satu citra terdeteksi adanya kilatan cahaya dari sisi kanan atas ke kiri bawah. Hanya satu citra yang merekamnya, sehingga memastikan durasi ketampakan meteor-terang tersebut kurang dari 6 menit.

Citra Ngoto memperlihatkan dengan jelas kilatan cahaya yang melintas di langit selatan Yogyakarta adalah meteor-terang (fireball). Pendar warna kehijauan mengindikasikan meteor-terang tersebut berasal dari meteoroid yang kaya unsur Nikel. Bukan Magnesium seperti yang menjadi asumsi publik. American Meteor Society mencatat kelimpahan Magnesium dalam meteoroid akan mengemisikan warna biru-keputihan pada meteornya. Konsentrasi unsur Nikel yang tinggi umum dijumpai dalam meteoroid-meteoroid yang berasal dari kepingan-kepingan asteroid. Yakni dengan konsentrasi 100 hingga 1.000 kali lipat kadar Nikel pada batuan di Bumi.

Bukti lainnya datang dari laporan saksi-saksi mata, dimana ‘kepala’ meteor dilaporkan memancarkan warna kemerah-merahan. Meteor dengan kecepatan rendah cenderung memancarkan warna kemerah-merahan hingga jingga. Kecepatan rendah di sini tentu dalam perspektif astronomi, yakni pada rentang 12 hingga 25 km/detik. Kecepatan rendah merupakan ciri khas meteor yang berasal dari kepingan-kepingan asteroid.

Identitas lain yang juga terkuak adalah prakiraan tingkat terang (magnitudo) meteor-terang tersebut. Citra Ngoto memperlihatkan kilatan cahaya yang solid dengan kehadiran sedikitnya dua titik turbulensi. Mengindikasikan bahwa meteoroid yang memproduksi meteor-terang tersebut mengalami sedikitnya satu kali peristiwa fragmentasi. Sehingga tergolong berukuran kecil. Tiadanya suara dentuman juga menjadi faktor penguat yang menunjukkan kecilnya ukuran meteoroid.

Di atas Laut Selatan

“Makin besar ukuran meteoroid, makin terang meteor yang diproduksinya dan semakin rendah ketinggian yang bisa dicapainya hingga atmosfer Bumi menghancurkannya.”

Berbekal ketampakan rasi-rasi bintang di langit selatan pada saat pemotretan, maka citra Ngoto memperlihatkan dengan jelas dimana lokasi meteor-terang tersebut dalam sistem koordinat langit. Meteor-terang berawal dari altitude 23º dan azimuth 223º (barat daya). Lalu mengalami fragmentasi pada altitude 11º dan azimuth 217º. Dan akhirnya meteor-terang menghilang di altitude 6º pada azimuth 214º (selatan-barat daya).

Guna memenuhi batasan tiadanya dentuman sonik namun sudah memperlihatkan tanda-tanda fragmentasi, maka magnitudo meteor-terang ini diperkirakan senilai -6. Berdasarkan asumsi kecepatannya 20 km/detik dan komposisinya kondritik, standar untuk meteoroid-meteoroid yang berasal dari kepingan-kepingan asteroid, maka meteor-terang tersebut akan mengalami fragmentasi sekaligus memiliki puncak kecerlangannya pada ketinggian sekitar 50 kmdpl.

Perhitungan trigonometri sederhana dengan berpangkal pada titik Ngoto menunjukkan, dengan sifat demikian dan altitude fragmentasi terukur 11º maka posisi meteor-terang tersebut berjarak 250 kilometer di arah barat daya. Sehingga meteor itu melintas tepat di atas Samudera Indonesia lepas pantai selatan Purworejo. Dengan asumsi meteoroidnya mulai berpijar terang menjadi meteor sejak ketinggian 80 kmdpl, maka panjang lintasan yang ditempuh adalah 85 kilometer dengan membentuk sudut 20º terhadap parasbumi dibawahnya. Pada kecepatan 20 km/detik, maka meteor-terang ini hanya butuh waktu 4 detik guna menempuh lintasan tersebut. Durasi ini sesuai dengan data citra fotografis.

Perhitungan lebih lanjut memperlihatkan dimensi meteoroidnya sekitar 40 sentimeter. Setara dengan dua kali lipat ukuran bola sepak. Massanya sekitar 125 kilogram, tergolong kecil untuk ukuran meteoroid. Dengan massa yang kecil maka dapat diduga bahwa ia menguap sepenuhnya di lapisan atmosfer bagian atas pada ketinggian sekitar 50 kmdpl tersebut. Penguapan disebabkan oleh tingginya suhu dan tekanan akibat terciptanya tekanan ram seiring masuknya meteoroid (sebagai obyek berkecepatan tinggi) ke dalam atmosfer Bumi.

Ketampakan meteor-terang di langit Yogyakarta ini adalah yang kedua dalam satu setengah bulan terakhir setelah peristiwa di dekat puncak Gunung Merapi.

Gambar 2. Penampang kedudukan meteor-terang dan titik Ngoto, dilihat dari sisi timur laut. Nampak bahwa lintasan meteor-terang yang sesungguhnya berada di atas perairan Samudera Indonesia sebelah Purworejo. Sumber : Sudibyo, 2021.

Bukan Hujan Meteor

Apakah meteor-terang di langit selatan Yogyakarta terkait dengan salah satu hujan meteor periodik? Pada saat kejadian, terdapat tiga sumber hujan meteor periodik yang aktif. Masing-masing Southern Delta Aquarids, Piscis Austrinids dan alpha Capricornids. Analisis saya lebih lanjut juga memperlihatkan meteor-terang ini sama sekali tak berhubungan dengan salah satu hujan meteor tersebut.

Terdapat dua alasan yang mendasarinya. Yang pertama, pada saat kejadian kedudukan sumber ketiga hujan meteor tersebut berbeda dengan kedudukan meteor-terang. Ketiga sumber huja meteor itu ada di langit timur. Sehingga logikanya meteor di langit selatan yang berasal dari salah satu hujan meteor tersebut akan melintas dari kiri ke kanan. Yakni dari timur ke barat atau dari timur ke selatan. Sebaliknya lintasan meteor-terang yang teramati justru berkebalikan, yakni dari utara ke selatan. Ketidakkonsistenan lintasan ini menunjukkan meteor-terang tersebut tidaklah berasal dari salah satu hujan meteor yang sedang aktif.

Sedangkan alasan kedua, dengan pendar warna kehijauan maka meteor-terang di langit selatan Yogyakarta cukup kaya akan Nikel. Sehingga lebih memungkinkan sebelumnya merupakan meteoroid yang berasal dari kepingan-kepingan asteroid. Sebaliknya setiap meteor dalam sebuah hujan meteor selalu berasal dari remah-remah komet.

44 ton meteoroid (rata-rata) memasuki atmosfer Bumi dalam setiap harinya. Mereka membentuk meteor dalam jumlah ribuan hingga ratusan ribu buah, dengan beberapa diantaranya merupakan meteor-terang. Setiap 20 jam sekali atmosfer Bumi kita menerima meteoroid yang berkemampuan menghasilkan meteor-terang. Yakni dengan magnitudo -4, atau seterang Venus. Dan dalam setiap 200 jam sekali lapisan udara yang sama menerima meteor-terang dengan magnitudo -6. Dengan kekerapan demikian maka sesungguhnya peristiwa ketampakan meteor-terang adalah hal yang umum dijumpai. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Meteor yang (Seakan) Jatuh di Gunung Merapi

Sebuah meteor-terang terlihat seakan-akan jatuh di sekitar Gunung Merapi. Namun trigonometri sederhana yang dikombinasikan pengetahuan tentang meteor menyimpulkan peristiwa itu sesungguhnya melintas di atas Laut Jawa. Tepatnya pada perairan sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa.

Telah terdeteksi sebuah meteor-terang (fireball) yang seakan-akan memiliki jalur lintasan menumbuk puncak Gunung Merapi pada Kamis 27 Mei 2021 TU (Tarikh Umum) pukul 23:01 WIB. Mujurnya terdapat dua dokumentasi berbeda untuk peristiwa tersebut. Satu diantaranya berupa citra (foto) beresolusi tinggi yang memiliki kecepatan rana sangat lambat (long exposure) dengan lokasi pemotretan di Kaliadem, Desa Kepuharjo oleh sdr. Gunarto. Sementara dokumentasi yang satunya lagi berupa rekaman CCTV beresolusi rendah milik PT Megadata yang berkedudukan di Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo.

Gambar 1. Citra berkecepatan rana sangat lambat dari meteor-terang yang berimpit dengan puncak Gunung Merapi, diabadikan dari titik Kaliadem oleh Gunarto. Nampak meteor-terang diliputi oleh pendar warna kehijauan. Sumber : Gunarto, 2021.
Gambar 1. Citra berkecepatan rana sangat lambat dari meteor-terang yang berimpit dengan puncak Gunung Merapi, diabadikan dari titik Kaliadem oleh Gunarto. Nampak meteor-terang diliputi oleh pendar warna kehijauan. Sumber : Gunarto, 2021.

Kedua lokasi tersebut merupakan bagian dari Kec. Cangkringan Kab. Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta) dan hanya dipisahkan oleh lembah Sungai Gendol yang cukup dalam. Meski demikian karakter kedua lokasi berbeda. Kaliadem terletak di elevasi 875 mdpl dan berjarak 7 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Adapun Kalitengah Kidul berkedudukan pada elevasi 1.110 mdpl dan lebih dekat ke puncak Gunung Merapi, yakni berjarak hanya 5 kilometer. Dari lokasi Kaliadem, altitude meteor-terang tersebut adalah 16,5º (dengan referensi salah satu titik di puncak Gunung Merapi dengan azimuth 352º. Sedangkan pada lokasi Kalitengah Kidul, altitude-nya adalah 16,7º mengacu kaki kerucut Gunung Anyar yang menjadi puncak aktif Gunung Merapi saat ini.

Citra Kaliadem menunjukkan dengan jelas bahwa kilatan cahaya yang melintas seakan-akan berimpit dengan puncak Gunung Merapi adalah meteor. Pendar warna kehijauan mengindikasikan meteoroidnya mengandung unsur Nikel dalam jumlah signifikan. Bukan Magnesium seperti yang tersebar luas. American Meteor Society mencatat adanya Magnesium dalam meteoroid akan mengemisikan warna biru-keputihan pada meteornya. Konsentrasi unsur Nikel yang tinggi umum dijumpai dalam meteoroid-meteoroid yang berasal dari kepingan-kepingan asteroid. Pada meteoroid-meteoroid tersebut kadar Nikelnya mencapai 100 hingga 1.000 kali lipat kadar Nikel pada batuan di Bumi.

Gambar 2. Potongan citra beresolusi rendah dari meteor-terang yang seakan melintas di kaki timur kerucut Gunung Anyar puncak Gunung Merapi. Diabadikan dari titik Kalitengah Kidul oleh CCTV PT Megadata. Sumber : Megadata, 2021.
Gambar 2. Potongan citra beresolusi rendah dari meteor-terang yang seakan melintas di kaki timur kerucut Gunung Anyar puncak Gunung Merapi. Diabadikan dari titik Kalitengah Kidul oleh CCTV PT Megadata. Sumber : Megadata, 2021.

Identitas lain yang terkuak adalah prakiraan tingkat terang (magnitudo) meteor-terang tersebut. Kilatan cahaya nampak solid, tanpa titik-titik turbulensi. Mengindikasikan bahwa meteoroid yang memproduksi meteor-terang tersebut relatif kecil. Kecilnya ukuran meteoroid juga disahihkan oleh tiadanya rekaman seismik maupun terdengarnya suara dentuman pada saat kilatan cahaya tersebut terlihat, baik di kawasan sekitar Gunung Merapi maupun ke sebelah utaranya hingga mencapai pantura Jawa Tengah.

Laut Jawa Selatan Kepulauan Karimunjawa

“Semakin besar ukuran meteoroid, maka semakin terang meteor yang diproduksinya dan semakin rendah ketinggian yang bisa dicapainya sebelum atmosfer Bumi menghancurkannya.”

Dengan altitude hanya 16 hingga 17º, tidak masuk akal jika meteor-terang tersebut jatuh tepat di kawasan Gunung Merapi. Secara umum meteor-terang yang tidak menghasilkan suara dentuman memiliki tingkat terang di antara magnitudo -4 hingga magnitudo -8. Umumnya meteor-terang dengan rentang magnitudo tersebut akan mencapai puncak kecerlangannya di ketinggian antara 45 hingga 50 kmdpl, tepat sesaat sebelum musnah berkeping-keping menjadi partikel-partikel debu yang menyebar di lapisan atmosfer atas.

Gambar 3. Rekonstruksi azimuth meteor-terang yang terdeteksi dari titik Kaliadem dan Kalitengah Kidul, masing-masing dinyatakan dalam garis merah. Perpanjangan kedua garis tersebut akan bertemu di satu titik yang menjadi proyeksi kedudukan meteor-terang di paras Bumi. Sumber : Sudibyo, 2021.
Gambar 3. Rekonstruksi azimuth meteor-terang yang terdeteksi dari titik Kaliadem dan Kalitengah Kidul, masing-masing dinyatakan dalam garis merah. Perpanjangan kedua garis tersebut akan bertemu di satu titik yang menjadi proyeksi kedudukan meteor-terang di paras Bumi. Sumber : Sudibyo, 2021.

Sedangkan ketinggian puncak Gunung Merapi tidak lebih dari 3.000 mdpl. Jika meteor-terang masih tersisa hingga ketinggian ini, maka ia harus sangat sangat terang melebihi terangnya Matahari untuk sesaat (sehingga berkualifikasi boloid). Konsekuensinya ia juga harus melepaskan gelombang kejut dan suara dentuman yang sudah berdampak ke paras Bumi dibawahnya. Ketiga hal itu tidak terlihat dalam kejadian meteor-terang tersebut.

Meteoroid dari kepingan asteroid umumnya memasuki Bumi dengan kecepatan 20 km/detik. Berbekal asumsi tersebut dan dengan asumsi komposisinya identik dengan meteorit kondritik, maka perhitungan menunjukkan meteor akan hancur sepenuhnya pada ketinggian 47 kmdpl. Dimensi meteoroid diperhitungkan antara 15 hingga 75 sentimeter, setara dengan massa antara 7 hingga 815 kilogram. Pada ketinggian tersebut, meteoroid telah berubah menjadi meteor-terang dengan magnitudo -4 hingga -8.

Perhitungan trigonometri sederhana dengan berpangkal pada titik Kaliadem menunjukkan, dengan sifat meteor-terang seperti tersebut di atas dan altitude terukur 16,5º maka posisi meteor-terang tersebut saat terekam kamera dan CCTV adalah berjarak 150 hingga 160 kilometer di arah utara-barat laut (tepatnya di azimuth 352º). Jarak tersebut menempatkan meteor-terang berada di atas perairan Laut Jawa sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa. Perbandingan dengan perhitungan trigonometri sejenis untuk titik Kalitengah Kidul, meskipun resolusinya cukup rendah, mengonfirmasi hasil tersebut.

Gambar 4. Proyeksi kedudukan meteor-terang di paras Bumi sebagai hasil perpanjangan garis azimuth Kaliadem dan Kalitengah Kidul. Area proyeksi tersebut terletak di perairan Laut Jawa di sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa. Sumber : Sudibyo, 2021.
Gambar 4. Proyeksi kedudukan meteor-terang di paras Bumi sebagai hasil perpanjangan garis azimuth Kaliadem dan Kalitengah Kidul. Area proyeksi tersebut terletak di perairan Laut Jawa di sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa. Sumber : Sudibyo, 2021.

Daratan pulau Jawa terdekat ke kedudukan meteor-terang adalah kota Jepara, yang berjarak 60 hingga 65 kilometer. Dari kota Jepara, meteor-terang tersebut ada di arah barat-laut pada altitude 35 – 36º. Meski altitude ini tidak terlalu tinggi terhadap horizon, namun karena peristiwanya terjadi jelang tengah malam sementara mayoritas sistem CCTV didesain untuk mengamati paras Bumi di sekitar titik pemasangan (bukan untuk mengamati langit), maka masuk akal jika tidak ada yang melaporkan terlihatnya meteor-terang ini dari kota Jepara. Demikian pula dari pantura Jawa Tengah disekitarnya, termasuk kota Semarang.

Bukan Hujan Meteor

LAPAN menyebutkan meteor-terang tersebut berkaitan dengan salah satu hujan meteor aktif pada saat itu, yakni Eta Aquarids atau Arietids. Analisis saya lebih lanjut juga memperlihatkan meteor-terang ini sama sekali tak berhubungan dengan salah satu hujan meteor.

Terdapat dua alasan yang mendasarinya. Yang pertama (dan merupakan alasan terkuat), adalah pada saat kejadian, baik sumber hujan meteor Eta Aquarids maupun Arietids belum terbit. Karena masih berada di bawah horizon untuk titik lokasi Gunung Merapi. Suatu sumber hujan meteor aktif hanya bisa menampakkan meteor-meteornya kala ia sudah berada di atas horizon untuk suatu lokasi. Sehingga mustahil hujan meteor Eta Aquarids dan Arietids menjadi sumber meteor-terang yang terekam tersebut.

Lebih spesifik lagi, pada saat meteor-terang itu terlihat sumber hujan meteor Arietids masih berkedudukan 70º di bawah horizon. Maka diperhitungkan masih butuh waktu 5 jam lagi bagi sumber hujan meteor Arietids untuk terbit. Demikian halnya sumber hujan meteor Eta Aquarids masih berkedudukan 10º di bawah horizon. Maka masih butuh waktu sekitar sejam lagi untuk terbit.

Sedangkan alasan kedua, dengan pendar warna kehijauan maka meteor-terang ini mengandung Nikel dalam jumlah signifikan. Konsentrasi Nikel semacam itu tidak dijumpai dalam meteor-meteor yang berasal dari sebuah hujan meteor (dimana meteoroidnya berasal dari remah-remah komet).

Gambar 5. Penampang kedudukan meteor-terang dan titik Kaliadem - Kalitengah Kidul, dilihat dari sisi timur. Altitude ~17º menyebabkan baik titik Kaliadem maupun Kalitengah Kidul tepat menghadap ke puncak Gunung Merapi manakala mendeteksi meteor-terang yang sesungguhnya berada di atas perairan Laut Jawa sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa. Sumber : Sudibyo, 2021.
Gambar 5. Penampang kedudukan meteor-terang dan titik Kaliadem – Kalitengah Kidul, dilihat dari sisi timur. Altitude ~17º menyebabkan baik titik Kaliadem maupun Kalitengah Kidul tepat menghadap ke puncak Gunung Merapi manakala mendeteksi meteor-terang yang sesungguhnya berada di atas perairan Laut Jawa sebelah selatan Kepulauan Karimunjawa. Sumber : Sudibyo, 2021.

Setiap harinya rata-rata 44 ton meteoroid memasuki atmosfer Bumi yang membentuk ribuan hingga puluhan ribu meteor. Beberapa diantaranya merupakan meteor-terang. Dalam setiap 20 jam sekali atmosfer Bumi kita menerima meteoroid yang mampu memproduksi meteor-terang dengan magnitudo -4. Atau seterang Venus. Dan dalam setiap 200 jam sekali lapisan udara yang sama menerima meteor-terang dengan magnitudo -6. Dengan kekerapan demikian maka sesungguhnya peristiwa ketampakan meteor-terang adalah hal yang umum dijumpai. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tumbukan Benda Langit Indonesia (1): Peristiwa Kolang 1 Agustus 2020 TU

Tiga peristiwa tumbukan benda langit terjadi secara berturut-turut di Indonesia dalam 180 hari sejak pertengahan tahun 2020 hingga awal 2021 TU (Tarikh Umum). Meliputi Peristiwa Tapanuli Tengah (1 Agustus 2020 TU), Peristiwa Bali (24 Januari 2021 TU) dan Peristiwa Lampung Tengah (28 Januari 2021 TU). Dua diantaranya menyisakan kepingan-kepingan meteorit. Serial tulisan ini hendak membahas salah satu dari ketiga peristiwa tumbukan tersebut. Yakni Peristiwa Kolang di Kabupaten Tapanuli Tengah.

Desa Satahi Nauli adalah salah satu desa bersahaja di sudut barat propinsi Sumatera Utara. Secara administratif desa ini merupakan bagian dari Kecamatan Kolang, Kabupaten Tapanuli Tengah. Dari kota Pandan (ibukota kabupaten) jaraknya sekitar 35 kilometer menyusuri pantai barat pulau Sumatera. Desa kecil ini menarik perhatian dunia, khususnya dalam ilmu astronomi, karena menjadi lokasi terjadinya tumbukan benda langit yang disebut Peristiwa Kolang.

Gambar 1. Tiga Fragmen meteorit Kolang yang ditemukan di tiga titik berbeda. Fragmen 1 menyajikan detil struktur internal meteorit, yang menampakkan ciri-ciri meteorit kondritik. Pengujian lebih lanjut menyimpulkan meteorit Kolang adalah meteorit karbonan kondritik yang langka dan tergolong ke dalam grup CM. Sumber : Karmaka.de/ 2020.

Peristiwa tumbukan itu terjadi pada Sabtu sore 1 Agustus 2020 TU sekitar pukul 16:00 WIB. Suhu udara 30º Celcius dengan kelembaban udara 80 % dan angin berhembus lambat (17 km/jam) dari arah barat laut. Awalnya terdengar suara dentuman mirip guruh yang sempat membuat kaca-kaca di rumah-rumah setempat bergetar. Sesaat kemudian suara keras terdengar dari atap rumah Josua Hutagalung (33 tahun), sensasinya mirip suara ambruknya pohon. Setelah keluarga itu menginspeksi, ditemukan ada lubang lumayan besar di tepi atap seng di sisi barat. Potongan seng dari lubang itu ditemukan tergolek pada tanah dibawahnya. Bersebelahan dengannya dijumpai lubang kecil yang baru sedalam sekitar 20 sentimeter. Didalamnya, tertutupi sebagian oleh tanah sekitar, tergolek batu hitam aneh seberat 2,1 kg yang ternyata adalah meteorit.

Selain di lokasi kediaman Hutagalung, dua meteorit lainnya ditemukan pada dua lokasi yang berbeda. Lokasi pertama adalah pada lahan persawahan di kelurahan Pasar Onan Hurlang, tak jauh dari jalan raya Sibolga-Barus. Disini meteorit terbenam ke dalam tanah sawah dan terpecah menjadi empat bagian. Dan lokasi ketiga adalah pada satu rumah di tengah lahan persawahan desa Unte Mungkur III. Meteorit disini terpecah menjadi dua bagian. Distribusi lokasi ini mengindikasikan bahwa medan-sebaran (strewndfield) meteorit memiliki sumbu panjang minimal 7 kilometer.

Seluruh temuan meteorit tersebut terletak di kecamatan Kolang, sehingga mendapatkan namanya sebagai meteorit Kolang. Total massanya 2.378 gram. Di kemudian hari meteorit Kolang memantik heboh berskala nasional manakala dijual ke kolektor mancanegara (khususnya pada meteorit pertama). Penjualan tersebut membuahkan hasil dengan angka fantastis. Meskipun UU no. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan mengatur bahwa setiap temuan benda jatuh dari langit musti diserahkan kepada negara. Sayangnya turunan peraturan teknis dari Undang-Undang tersebut belum ada, sementara institusi yang diberi tanggung jawab (yakni LAPAN) belum menganggap temuan meteorit sebagai prioritas.

Maka ibarat harta karun, bagaimana nasib meteorit Kolang terserah kepada penemunya mau diapakan. Dalam sejarah, tanggung jawab seharusnya terletak di pundak institusi–institusi ilmiah khususnya dalam ranah keantariksaan dan kebumian. Mengingat meteorit ini sebenarnya tetap bisa dipreservasi di dalam negeri. ‘Menghilangnya’ meteorit Kolang ke mancanegara juga berarti hilangnya kesempatan putra–putri bangsa ini dalam menguak temuan–temuan ilmiah baru khususnya dalam ranah astrogeologi, astrokimia dan astrobiologi. Kehilangan ini setara dengan raibnya artefak–artefak arkeologis peninggalan nenek moyang dari tanah Nusantara. Yang kini bertengger nyaman di arsip para kolektor pribadi atau museum mancanegara tanpa ada peluang kembali.

Gambar 2. Titik jatuhnya fragmen 1 meteorit Kolang, fragmen yang terberat. Nampak atap seng yang bolong ditembus meteorit (atas) dan cekungan titik mendaratnya meteorit beserta kepingan atap seng didekatnya. Sumber : Karmaka.de, 2020.

Karbonan Kondritik

Analisis sampel meteorit yang dikerjakan secara terpisah pada dua laboratorium berbeda, masing-masing di Arizona State University dan University of New Mexico (keduanya di Amerika Serikat) menyimpulkan meteorit Kolang merupakan meteorit karbonan kondritik grup CM. Meteorit karbonan kondritik terbentuk dari kondrul (butir–butir kecil) yang menggumpal jadi satu lewat proses breksiasi. Kondrul merupakan sisa–sisa planetisimal dari masa pembentukan tata surya kita. Maka usianya sudah cukup tua, rata–rata 4,5 milyar tahun.

Di tata surya, meteorit karbonan kondritik merupakan komponen penyusun asteroid tipe C. Asteroid tipe C mencakup 75 % dari seluruh asteroid yang telah diketahui pada saat ini dan beredar mengelilingi Matahari dalam Sabuk Asteroid khususnya pada orbit di antara 2,7 hingga 3,4 SA (satuan astronomis, 1 SA = 149,6 juta kilometer). Lebih banyak asteroid tipe C yang beredar di tepi jauh Sabuk Asteroid (3,4 SA), yakni hingga 80 %.

Meskipun berasal dari asteroid terbanyak di tata surya, namun populasi meteorit karbonan kondritik yang telah ditemukan di Bumi hingga saat ini adalah yang paling sedikit. hanya 4,6 % dari seluruh meteorit yang merupakan meteorit karbonan kondritik. Penyebabnya adalah massa jenisnya yang rendah, sehingga memiliki ketahanan yang lebih redah. Maka saat ia melintasi atmosfer Bumi sebagai meteor, lebih banyak yang teruapkan dibandingkan dengan meteorit tipe lain. Sehingga Meteorit Kolang tergolong cukup langka.

Ciri khas meteorit karbonan kondritik adalah mengandung cukup banyak unsur Karbon yang bukan Karbon bebas. Sebagai bagian grup CM, maka meteorit Kolang memiliki kandungan unsur Karbon antara 0,6 hingga 2,8 % dan kandungan air antara 4 hingga 18 %. Karbon di dalam meteorit terikat pada senyawa–senyawa karbon kompleks seperti hidrokarbon, senyawa aromatik, glukosa (gugus alkohol dan amida), gugus amina dan asam–asam amino. Sementara air terikat pada mineral–mineral tertentu sebagai air–kristal. Air–kristal hanya bisa keluar dari struktur kristalnya melalui reaksi kimia maupun proses fisika tertentu. Secara fisis meteorit karbonan kondritik memiliki massa jenis rendah dan sangat berpori. Meski sifatnya tak seperti batu apung.

Gambar 3. Sebaran titik jatuh fragmen-fragmen meteorit Kolang yang telah ditemukan hingga saat ini. Sepasang ellips menandakan medan sebaran (strewnfield) meteorit Kolang. Zona merah adalah zona berpeluang tinggi terhadap temuan meteorit sementara zona kuning adalah zona berpeluang lebih rendah. Panah biru muda menunjukkan arah kedatangan meteor-terang. Sumber : Sudibyo, 2021 berdasarkan data Karmaka.de, 2020.

Dengan komposisi kimiawi seperti itu tak heran jika sebagian astrobiolog menganggap meteorit karbonan kondritik adalah petunjuk benih–benih kehidupan telah ada sedari awal tata surya terbentuk. Terutama dicirikan oleh keberadaan asam amino. Singkatnya, nebula yang berkondensasi membentuk proto–tata surya kita juga merupakan ‘sup’ asam amino dan gula yang menjadi salah satu komponen dasar makhluk hidup. Jadi bayangkan, dengan kedudukan sepenting itu, berapa cendekiawan yang bisa dilahirkan dari riset–riset terkait meteorit ini?

Rekonstruksi

Titik-titik jatuhan ketiga meteorit Kolang mengesankan benda langit yang menjadi sumbernya datang dari arah tenggara. Dengan menghubungkan titik jatuhnya meteorit pertama dan ketiga, maka muncul kesan benda langit tersebut datang dari arah tenggara tepatnya dari Azimuth 150º. Mengunakan informasi ini maka asal meteorit tersebut secara garis besar dapat direkonstruksi. Dengan memperhitungkan juga koordinat lokasi, waktu kejadian, rule-of-thumb fraksi meteorit terhadap benda langit induknya dan lokasi populasi asteroid tipe C, .

Meteorit Kolang semula merupakan meteoroid yang melaju secepat antara 15,9 km/detik hingga 16,6 km/detik (57.250 km/jam hingga 59.750 km/jam) saat masih berada di antariksa. Rentang kecepatan tersebut tergolong rendah dalam bagi kecepatan meteoroid–meteoroid yang mengarah ke Bumi, sekaligus menegaskan identitasnya sebagai meteoroid yang berasal dari kepingan asteroid. Rekonstruksi orbit mengindikasikan meteoroid Kolang semula beredar mengelilingi Matahari dalam kelompok asteroid–dekat Bumi kelas Apollo.

Orbit meteoroid Kolang membentuk inklinasi antara 11º hingga 11,6º. Inklinasi orbit adalah kemiringan bidang orbit sebuah benda langit terhadap ekliptika (bidang orbit Bumi dalam mengelilingi Matahari). Periode orbitalnya bervariasi antara 2,5 hingga 3,15 tahun. Tentu saja angka–angka ini hanya perkiraan sangat kasar. Mengingat rekonstruksi orbit meteoroid membutuhkan minimal dua rekaman video ketampakan meteornya yang lantas ditriangulasi. Namun setidaknya memberikan gambaran betapa tamu dari langit ini sebenarnya berasal dari daerah yang tak jauh dari Bumi kita.

Massa meteorit Kolang yang sudah ditemukan 2,4 kg. Tidak diketahui berapa yang belum ditemukan. Menggunakan rule-of-thumb satu perseribu dan pembulatan ke atas maka secara sangat kasar kita dapat mengatakan diameter meteoroidnya ~2 meter (massa ~8,5 ton). Saat memasuki atmosfer Bumi, meteoroid berpijar sangat terang hingga setara terangnya Bulan separuh. Namun masih jauh di bawah terangnya Bulan purnama. Sehingga ia merupakan meteor-terang (fireball) dan belum tergolong boloid. Dengan tingkat terang melebihi Venus, maka meteor-terang Kolang dapat dilihat mata meski muncul di siang hari, dengan syarat pengamat betul–betul memusatkan pandangannya ke langit dan langit dalam kondisi sempurna.

Gambar 4. Prakiraan orbit meteoroid Kolang (zona abu-abu) di antara orbit planet-planet dalam tata surya. Sumber : Sudibyo, 2021.

Rekonstruksi juga mengindikasikan meteor-terang Kolang mulai terpecah–belah pada ketinggian sekitar 70 km di atas paras Bumi. Pemecahbelahan terus berlangsung kian jauhnya meteor masuk menembus lapisan–lapisan udara Bumi. Pada ketinggian sekitar 60 km, brutalnya proses pemecahbelahan mencapai puncaknya sehingga terjadi pelepasan energi yang menyerupai ledakan di udara (airburst). Energi airburst sekitar 0,4 kiloton TNT. Energi tersebut tergolong sangat kecil, jauh lebih kecil ketimbang yang terjadi dalam tumbukan asteroid 2014 AA (1 Januari 2014 TU), tumbukan asteroid 2018 LA (2 Juni 2018 TU) maupun tumbukan asteroid 2019 MO (21 Juni 2019 TU). Maka gelombang kejut dan sinar panas yang dilepaskannya sama sekali tak menyentuh parasbumi dibawah lintasannya. Kecuali gelegar suara dentuman yang merupakan gelombang akustik.

Keping–keping meteor Kolang yang selamat dari peristiwa airburst melanjutkan perjalanannya hingga mencapai paras Bumi. Saat menyentuh tanah, kecepatannya diperkirakan tinggal antara 100 hingga 150 km/jam. Jauh lebih lambat dibanding peluru. Meteorit yang berasal dari meteoroid kecil (massa di bawah 7 ton) selalu menumbuk tanah dengan kecepatan paling lambat akibat besarnya gaya gesek udara. Sehingga kecepatan akhirnya sepenuhnya gerak jatuh bebas.

Epilog

Setiap harinya rata-rata 44 ton meteoroid memasuki atmosfer Bumi membentuk ribuan hingga puluhan ribu meteor. Dari jumlah sebanyak itu, rata-rata 17 meteor diantaranya akan memproduksi meteorit. Namun dua pertiga paras Bumi adalah lautan, sementara seperempat daratan tidak menjadi ajang hunian dan aktivitas manusia. Maka peluang ketampakan sebuah meteor yang memproduksi meteorit dan terlihat dari pemukiman manusia menurun drastis menjadi tinggal 1 meteor / tahun. Secara statistik setiap kilometer persegi paras Bumi akan mendapatkan satu jatuhan meteorit dalam 50.000 tahun.

Jadi, kejadian jatuhnya meteorit cukup langka dan jatuhnya meteorit karbonan kondritik seperti Kolang jauh lebih langka lagi. Sepanjang catatan sejarah, sebelum Kolang hanya ada satu kejadian meteor yang memproduksi meteorit karbonan kondritik di Indonesia. Yakni pada 24 Mei 1933 TU di Banten, dengan massa meteoritnya hanya 600 gram. Kini meteorit Banten pun sudah tak ada lagi jejaknya di bumi Pertiwi. Hanya bisa ditemukan di beberapa museum dan koleksi pribadi.

Gambar 5. Rekonstruksi lintasan akhir meteor-terang Kolang yang berujung pada jatuhnya fragmen-fragmen meteorit. Panah biru menunjukkan arah gerak meteor-terang, garis merah menunjukkan proyeksi lintasan meteor-terang di paras bumi. Sumber : Sudibyo, 2021.

Di sini tak elok bila kita menyalahkan penemu yang lebih memilih menjual temuannya ke mancanegara. Bahwa penemu berkehendak bertransaksi secara ekonomis, itu sah–sah saja. Namun Indonesia dapat mengupayakan agar setiap jatuhan meteorit di negeri ini tetap bisa dipreservasi dengan baik di tanah air. Institusi–institusi keantariksaan dan kebumian seharusnya berperan aktif dalam upaya ekskavasi hingga preservasi setiap kejadian jatuhnya meteorit di Indonesia. Berdasarkan regulasi, peran keantariksaan ini diemban LAPAN. Sementara preservasi selama ini dilakukan oleh Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral RI melalui Museum Geologi Bandung. Kecuali meteorit Tambakwatu Pasuruan yang dipajang di Planetarium dan Observatorium Jakarta, bagian dari Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Dan meteorit Wonotirto disimpan oleh Pemerintahan Kabupaten Temanggung.

Tentu butuh koordinasi dan sinergi para pihak agar kejadian ‘hilangnya’ meteorit Kolang tak lagi terulang. Selain menjadi harta berharga yang patut disimpan untuk dikenang kepada anak cucu kita, preservasi meteorit di tanah air membuka peluang untuk kian mencerdaskan anak–anak bangsa.

Referensi :

Karmaka. 2020-2021. Kolang Meteorite Fall (CM 1/2 2,75 kg) in Sitahan Barat, Pasar Onan Hurlang and Satahi Nauli area, Kolang, Centra Tapanuli Regency (Tapanuli tengah), North Sumatra (Sumatra Utara), Indonesia at ~16:40 WIB (9.40 a.m. UTC) on 1 August 2020. http://karmaka.de/?p=22954 Karmaka Meteorites, Meteoritics & Cosmochemistry. Diakses 6 Maret 2021.

Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.