Awal Waktu Subuh Indonesia Belum Perlu Berubah

Sejak 2010 TU (Tarikh Umum) hingga sekarang telah banyak periset muda yang berkecimpung menyelidiki fenomena cahaya fajar (fajar shadiq) dan hubungannya dengan awal waktu Subuh Indonesia. Hampir semuanya bekerja dalam sunyi dan nyaris tanpa publikasi, didorong sikap ta’zhim pada mayoritas kyai dan ulama falakiyah yang juga relatif tenang dalam menghadapi isu tersebut dalam sedasawarsa terakhir. Meski isu tersebut belakangan terasa kian provokatif. Dari kerja keras mereka, untuk saat ini kita bisa mengetahui bahwa awal waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah. Tinggi Matahari minus 20º yang selama ini menjadi patokan resmi awal waktu Subuh memiliki landasan ilmiahnya.

Gambar 1. Panorama cahaya zodiak bersamaan dengan cahaya fajar, diabadikan dari pantai Laut Bekah, Purwosari, Kab. Gunungkidul (propinsi DIY) pada 25 Desember 2017 pukul 04:22 WIB menggunakan kamera DSLR pada kecepatan rana 30 detik. Nampak cahaya zodiak dan cahaya fajar dengan struktur masing-masing yang khas. Cahaya fajar nampak sudah cukup tebal mengingat ketinggian Matahari telah menyentuh minus 13º. Sumber : Penjelajah Langit/Eko Hadi Gunawan, 2017.

Dua broadcast masuk ke aplikasi perpesanan pada gawai pintar saya di saat berbeda di bulan Desember 2020 TU. Keduanya mempunyai nadanya berbeda akan tetapi tone-nya relatif sama. Yakni seputar awal waktu Subuh di Indonesia. Broadcast pertama setengah provokatif, dengan mencuplik video wawancara Ketua Lembaga Hisab dan Rukyat sebuah ormas Islam sembari menyajikan data awal waktu Subuh di empat kota besar dari negara-negara Islam / berpenduduk mayoritas Muslim. Keduanya diklaim sebagai bukti bahwa waktu Subuh Indonesia terlalu cepat hingga 24 menit.

Belakangan, pada sebuah forum resmi di Kementerian Agama RI, representasi ormas Islam itu membantah apa yang dikatakan ketua Lembaga Hisab dan Rukyatnya. Itu pendapat pribadi. Dan tidak pernah dikomunikasikan sebagai kebijakan organisasi. Sampai saat ini ormas tersebut secara resmi tidak mempersoalkan awal waktu Subuh. Demikian sanggahannya.

Broadcast kedua masuk berselang beberapa hari kemudian. Nadanya memang lebih kalem. Bertutur keputusan unsur pembantu pimpinan dalam sebuah ormas Islam lain yang lebih besar. Dalam pertemuan tahunan terkini, mereka sepakat mengusulkan perubahan kriteria awal waktu Subuh. Yakni dari yang semula menggunakan ketinggian Matahari minus 20º menjadi minus 18º di bawah kaki langit timur. Jadi terdapat selisih 2º yang setara dengan beda waktu 8 menit bagi Indonesia. Maka meski tak terucapkan, secara implisit usulan perubahan tersebut juga senada dengan broadcast pertama : waktu Subuh di Indonesia terlalu cepat 8 menit.

Beberapa hari kemudian, dalam forum resmi Kementerian Agama RI yang sama, representasi ormas Islam tersebut bersikukuh menyebut ada keliru tafsir di media. Keputusan tersebut masih harus dilaporkan ke pimpinan ormas Islam yang sama untuk di-tanfiz. Jadi masih sebatas usulan, belum menjadi keputusan. Namun mereka berharap agar usulan ini dilihat dengan cermat dan tak buru-buru ditolak. Menarik menelisik harapan ini, mengingat praktik yang berlangsung dalam bertahun-tahun terakhir justru menunjukkan ada potensi ketidakcermatan.

Ketakcermatan itu mewujud melalui sebuah lembaga penelitian di Jakarta bernaung di bawah perguruan tinggi ormas Islam tersebut, yang secara konsisten bersuara tentang ada yang salah pada awal waktu Subuh di Indonesia. Menurut riset mereka, awal waktu Subuh di Indonesia terlalu cepat hingga 24 menit. Bahkan belakangan disebut hingga 26 menit. Hasil itu disampaikan secara terbuka di media dengan nada yang lama-kelamaan kian provokatif. Beberapa sejawat saya bahkan menyebutnya mulai bernada agitatif. Sementara lembaga itu sendiri tak terbuka terkait metodologinya. Dan hasil sementaranya, yang menyebut tak ada pengaruh polusi cahaya lingkungan maupun terangnya cahaya Bulan terhadap ketampakan cahaya fajar, sungguh membuat dahi berkerut. Sebab bertolak-belakang dengan pengetahuan umum astronomi, bahwa di lingkungan kota besar maupun di bawah siraman cahaya Bulan purnama, kita takkan bisa melihat sebagian besar bintang-gemintang di langit.

Fajar Shadiq

Tak sulit menyanggah broadcast pertama. Mari tarik data waktu shalat Subuh dari otoritas resmi setempat untuk 27 Desember 2020 TU bagi lima kota besar di negara Islam / berpenduduk mayoritas Muslim dimaksud. Yakni Jawatan Kemajuan Islam (JAKIM) untuk kota Kuala Lumpur (Malaysia), Egyptian General Authority of Survey (EGAS) untuk kota Cairo (Mesir), Diyanet untuk kota Istanbul (Turki) dan Ummul Qura untuk kota suci Makkah al-Mukarramah (Saudi Arabia). Bandingkan dengan kota Jakarta (Indonesia) yang datanya dipasok Kementerian Agama RI (Kemenag). Hasilnya adalah dalam tabel sebagai berikut :

Perhatikan untuk kota-kota tersebut durasi waktu Subuh (yakni sejak awal waktu Subuh hingga terbitnya Matahari) relatif tak banyak berbeda. Yakni dengan rentang antara 82 menit hingga 93 menit. Tinggi Matahari yang digunakan untuk awal waktu Subuh bagi masing-masing negara juga tak banyak berbeda, yakni antara minus 19º hingga minus 20º. Jika dilihat sekilas, memang terkesan jam awal waktu Subuh dan jam terbitnya Matahari di Jakarta paling dini. Namun hal ini semata akibat dua hal : zona waktu lokal Jakarta dan gerak semu tahunan Matahari. Jakarta tercakup ke dalam zona waktu WIB (GMT + 7), sementara Kuala Lumpur tercakup ke zona waktu Malaysia (GMT + 8). Andaikata zona waktu Jakarta dan Kuala Lumpur disamakan, maka selisih jam di kedua kota akan lebih menyempit lagi.

Sementara setiap bulan Desember, gerak semu tahunan Matahari membawa sang Surya ke atas hemisfer selatan. Konsekuensinya durasi siang hari di belahan Bumi selatan lebih panjang sehingga waktu terbitnya Matahari (dan juga momen fajar) berlangsung lebih dini ketimbang di belahan Bumi utara. Dan Jakarta adalah satu-satunya dari kelima kota tersebut yang terletak di belahan Bumi selatan. Andaikata perhitungan waktu shalat Subuh dilakukan pada momen ekuinoks (yakni 21 Maret atau 22 September), kita akan dapati durasi waktu Subuh di manapun memiliki durasi yang hampir sama (jika menggunakan tinggi Matahari untuk awal waktu yang relatif sama).

Terkait broadcast kedua, ada banyak data cukup menarik. Sepanjang 2010 hingga sekarang telah banyak peneliti cahaya fajar yang mempublikasikan temuan-temuannya. Terdapat sekitar 250 data dari tim peneliti ITB, lalu sekitar 70 data dari jaringan periset Nahdlatul Ulama (NU) dan sekitar 700 data dari lembaga Jakarta itu. Anggaplah semua metode dan analisis datanya dapat diterima. Maka pada saat ini diketahui tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh di Indonesia memiliki rentang sangat lebar, yakni dari minus 13,5º hingga minus 26,7º. Nampak jelas tinggi Matahari minus 20º masih berada dalam rentang tersebut.

Waktu shalat ditentukan kedudukan Matahari. Lebih spesifik lagi berdasarkan pada berkas cahaya Matahari yang kita terima untuk suatu titik di paras Bumi. hal tersebut berlaku pula pada waktu Subuh. Dan berbeda dengan waktu-waktu shalat wajib lainnya, bundaran Matahari tidak dapat dilihat secara langsung dalam waktu Subuh. Hanya pendar cahayanya saja yang menjadi penanda dan mewujud sebagai cahaya fajar atau fajar shadiq (eastern twilight).

Cahaya fajar adalah produk pembiasan cahaya Matahari manakala melintasi lapisan demi lapisan atmosfer. Atmosfer Bumi yang paling rapat berada di lapisan terbawah (troposfer) yang merentang hingga ketinggian 6 km (di atas kutub) dan 18 km (di atas khatulistiwa). Dari pucuk lapisan troposfer itu, jika terus bertambah ketinggiannya maka kerapatan udaranya kian renggang. Di atas lapisan troposfer hingga ke ketinggian 60 km terdapat lapisan stratosfer. Dan diatasnya lagi hingga ketinggian 120 km terdapat lapisan mesosfer. Pada ketinggian lebih dari 120 km secara teknis sudah mirip hampa udara, meski molekul-molekul udara masih ditemukan dengan kerapatan yang sangat rendah hingga ketinggian 600 km. Lapisan ini disebut lapisan termosfer.

Gambar 2. Tiga lapisan utama atmosfer dengan latar depan pesawat antariksa ulang-alik Endeavour yang sedang mendekati stasiun antariksa internasional ISS pada 9 Februari 2010. Perbedaan warna setiap lapisan disebabkan oleh hamburan Rayleigh terhadap cahaya Matahari. Hamburan terkuat terjadi di troposfer (dominan warna jingga), disusul stratosfer (dominan warna keputihan) dan mesosfer (dominan warna kebiruan). Di atas mesosfer praktis sudah hampa udara, meski masih terdapat lapisan termosfer. Sumber : NASA, 2010.

Perbedaan kerapatan antar lapisan-lapisan udara ini membentuk sifat optis tertentu. Di antaranya bisa membiaskan / membelokkan cahaya dengan mematuhi hukum pembiasan. Jadi seberkas cahaya Matahari dengan sudut datang sangat miring (hingga hampir sejajar cakrawala) yang menyentuh pucuk atmosfer akan terbiaskan demikian rupa melewati lapisan demi lapisan udara dibawahnya. Sehingga pada akhirnya berkas cahaya tersebut tiba di satu titik di paras Bumi. Kita akan melihatnya sebagai cahaya yang membentang horizontal (mendatar) mengikuti cakrawala timur. Inilah penanda awal waktu Subuh menurut jumhur ulama.

Ghalas

Dalam awal waktu Subuh terdapat dua pendapat. Pendapat mayoritas adalah kondisi ghalas (taghlis), bermakna gelap. Yakni manakala warna putih (cahaya fajar) mulai tercampur dengan warna hitam (langit malam) di langit timur, namun jalanan dan perumahan masih gelap. Sementara pendapat minoritas adalah kondisi isfar, bermakna terang. Yakni manakala langit timur telah berwarna kekuning-kuningan dengan cahaya yang mulai menerangi jalanan dan pemukiman.

Kondisi ghalas didasarkan pada sabda Rasulullah SAW dari sayyidah Aisyah RA. Dituturkan seseorang yang usai menjalani shalat Subuh di Masjid Nabawi pada saat itu belum bisa mengenali wajah orang-orang di sisi kiri dan kanannya karena masih gelap. Arsitektur Masjid Nabawi di masa itu berupa bangunan persegi berdinding tinggi namun beratapkan langit. Hanya bagian depan, yakni mihrab dan mimbar, yang diberi naungan dari daun-daun kurma. Arsitektur ini menyesuaikan iklim kota suci Madinah yang kering, dengan jumlah hari hujan per tahun hanya 25 hari saja jika mengacu data iklim 1985 – 2010 TU. Karena itu kondisi ghalas merepresentasikan langit yang memang masih gelap, dengan perkecualian di atas cakrawala timur cahaya fajar telah merembang.

Terkait cahaya fajar sesungguhnya ada fenomena lainnya yang tak terpisahkan, yakni cahaya zodiak atau fajar kadzib (zodiacal light). Cahaya zodiak juga berasal dari Matahari, namun ia tiba di paras Bumi setelah melalui proses pemantulan / hamburan oleh debu-debu antarplanet berskala mikro yang bertebaran dimana-mana di penjuru Tata Surya. Berbeda dengan cahaya fajar, ketampakan cahaya zodiak merupakan cahaya lemah memendar membentuk struktur mirip segitiga. Alas segitiga menempel ke cakrawala timur, sementara garis tingginya menjulur ke atas mengikuti sikap garis ekliptika. Cahaya zodiak berwarna keputih-putihan dan berintensitas demikian lemah sehingga dapat disetarakan dengan pendar selempang Bima Sakti yang kerap menghiasi malam di tempat-tempat cukup gelap sepanjang musim kemarau.

Gambar 3. Ilusi bentuk Bulan purnama yang gepeng, diabadikan dari stasiun antariksa internasional ISS pada bulan Mei 2019 TU. Bentuk gepeng ini disebabkan oleh melintasnya cahaya Bulan purnama melalui lapisan-lapisan atmosfer yang berbeda dari titik pandang di antariksa. Masing-masing lapisan memberlakukan pembiasannya sendiri-sendiri. Sehingga secara keseluruhan Bulan purnama terlihat gepeng. Sumber: NASA, 2019.

Ahli falak menyebut cahaya zodiak sebagai fajar semu, lawan kata dari cahaya fajar yang merupakan fajar nyata. Cahaya zodiak tidak menjadi penanda awal waktu Subuh. Mengkarakterisasi cahaya zodiak terhadap cahaya fajar merupakan tugas yang harus dilakukan dalam riset cahaya fajar.

Hasil Riset

Riset cahaya fajar merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian atmosfer Bumi yang sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Ibn Yunus (wafat di Kairo pada 1009 TU), salah satu ahli falak terbesar pada masanya, menyimpulkan tinggi Matahari saat awal waktu Subuh minus 19º berdasarkan risetnya di Mesir. Karya Ibn Yunus sangat menarik perhatian. Dialah salah satu ilmuwan pertama yang mencoba mengukur ketebalan atmosfer Bumi dan mendapatkan angka 16 km. Angka ini tak jauh berbeda dengan ketebalan maksimum lapisan troposfer di zona ekuator (yakni 18 km). Berabad kemudian Ibn Syatir (wafat di Damaskus pada 1375 TU) melalui risetnya di Suriah juga menghasilkan tinggi Matahari minus 19º. Sedangkan al-Hasan al-Marrakushi (wafat di Marrakesh pada 1262 TU) menyebutkan tinggi Matahari saat awal waktu Subuh minus 20º berdasarkan risetnya di Maroko.

Ada sekurangnya 12 pendapat terkait tinggi Matahari untuk awal waktu Subuh yang diproduksi para ahli falak Muslim masa klasik. Namun pekerjaan trio ibn Yunus & ibn Syatir & al-Hasan al-Marrakushi menunjukkan bahwa tinggi Matahari minus 19º hingga minus 20º sudah dikenal sejak masa Abbasiyah. Bukan dicangkokkan dari penjajah Inggris manakala menguasai Mesir di abad ke-19 TU, sebagaimana anggapan satu kelompok.

Diskursus awal waktu Subuh di Indonesia telah berlangsung sejak sedasawarsa silam. Secara resmi mulai dibahas dalam forum Temu Kerja Nasional Hisab Rukyat 2010 di Semarang (Jawa Tengah). Temu kerja tersebut memutuskan untuk tetap berpedoman pada nilai tinggi Matahari minus 20º sembari menunggu hasil-hasil riset terkait.

Sejumlah riset pun digelar di tahun-tahun berikutnya. Jika riset masa lalu hanya mengandalkan ketajaman mata manusia yang sifatnya subyektif, riset masa kini bisa lebih obyektif dan memproduksi data-data kuantitatif melalui aneka instrumen pengindra terang gelapnya langit. Misalnya saja tabung PMT (photomultiplier tube) yang bisa melipatgandakan jumlah foton cahaya yang masuk hingga mencapai level yang bisa dideteksi. Kemudian SQM (sky quality meter) yang mengukur langsung kecerlangan langit menggunakan resistor peka cahaya dan menyatakannya dalam besaran angka-angka. Juga kamera digital dengan sensor CCD (charged couple device) atau CMOS (complementary metal oxide semiconductor) yang memproduksi citra / foto panorama cakrawala timur dengan tiap citra dapat diubah menjadi angka-angka data melalui proses pengolahan tertentu.

Gambar 4. 29 data terseleksi tinggi Matahari pada saat cahaya fajar mulai muncul di Indonesia, berdasarkan riset 2010 hingga sekarang. Dari 29 data ini 19 diantaranya merupakan data persistensi cahaya zodiak-cahaya fajar. Data ideal untuk mengkarakterisasi sifat-sifat cahaya fajar dan membedakannya dari cahaya zodiak.

Salah satu riset yang menonjol adalah upaya Gus Basthoni dan duo KH Muhyidin Hasan – KH Abdul Muid Zahid (Lembaga Falakiyah PCNU Gresik) di P. Bawean (Jawa Timur) pada bulan Juli 2019 TU. Bersenjatakan SQM dan kamera, riset Bawean berhasil menjumpai fenomena cahaya zodiak dan cahaya fajar yang persisten. Beberapa datanya menunjukkan cahaya fajar muncul pada tinggi Matahari di sekitar minus 20º. Selanjutnya Lembaga Falakiyah PCNU Gresik menggelar riset pendahuluan lain dengan lokasi Banyuwangi (Jawa Timur) sepanjang bulan Agustus hingga September 2020 TU. Data melimpah dari SQM dan kamera dalam riset tersebut menunjukkan banyak cahaya fajar mulai terdeteksi pada tinggi Matahari minus 20º. Dua riset ini senada dengan temuan Ning Nihayatur Rohmah (2010 – 2014) dalam riset multilokasi di pulau Jawa dengan menggunakan kamera.

Secara akumulatif dari ratusan data riset cahaya fajar itu terdapat sedikitnya 29 data yang menunjukkan tinggi Matahari dalam rentang minus 19º hingga minus 24º pada saat cahaya fajar mulai nampak. Dari 29 data tersebut terdapat 19 data istimewa yang menunjukkan persistensi cahaya zodiak-cahaya fajar. Data persistensi adalah data yang menunjukkan kesinambungan antara cahaya zodiak dengan cahaya fajar tanpa terputus. Sehingga ideal untuk mengkarakterisasi sifat-sifat cahaya zodiak dibandingkan dengan cahaya fajar.

Dari 19 data persistensi tersebut diketahui cahaya zodiak terdeteksi sebagai peningkatan intensitas cahaya di langit timur (atau penurunan kegelapan langit) yang mengikuti pola linier. Sedangkan cahaya zodiak terdeteksi sebagai peningkatan intensitas cahaya langit timur yang mengikuti pola eksponensial (pangkat)

Gambar 5. Salah satu dari data Banyuwangi yang disajikan sebagai kurva kecerlangan langit malam terhadap sudut depresi (tinggi) Matahari berdasarkan rekaman instrumen SQM. Nampak jelas kurva bersifat mendatar di awal mula, menandakan malam sempurna. Kemudian kurva mulai menurun mengikuti pola linear, menandakan munculnya cahaya fajar. Dan terakhir kurva menurun tajam mengikuti pola eksponensial, menandakan hadirnya cahaya fajar. Sumber: LF PCNU Gresik/Moeid & Hasan, 2020.

Dalam periode 2010 hingga 2020 TU diskursus cahaya fajar dan awal waktu Subuh di Indonesia semula didominasi koridor ilmiah. Namun belakangan nuansa provokatif dan bahkan agitatif mulai terasa. Beberapa waktu silam terdapat laporan betapa pada suatu tempat di pantura Jawa Tengah terdapat satu musala yang secara demonstratif memamerkan aktivitas makan dan minum sahurnya sementara orang-orang lainnya sudah pulang dari shalat berjamaah di masjid. Atmosfer menyalahkan dan menganggap tidak sah bagi orang-orang yang menunaikan shalat Subuh dengan mengacu tinggi Matahari minus 20º juga kian mengental. Bahkan ada indikasi persoalan waktu Subuh menjadi salah satu pembeda antara “kami” dan “mereka” bagi kelompok tertentu.

Akan tetapi data-data penelitian cahaya fajar di Indonesia sebagaimana disajikan di sini mulai menunjukkan bahwa tinggi Matahari minus 20º yang selama ini dipedomani memiliki landasan ilmiah yang kukuh. Maka, mari sudahi agitasi akan waktu Subuh. Sudah waktunya masalah ini kita selesaikan dengan mengusung sikap terbuka, kritis dan menjunjung tinggi kepentingan orang banyak.

Dikembangkan dari tulisan saya di Alif.id dengan perubahan seperlunya.