Banjir Jakarta dan Sekitarnya lewat Mata Satelit

Jakarta dan sekitarnya digenangi banjir tepat pada saat tahun berganti dari 2019 menjadi 2020 TU (Tarikh Umum). Citra satelit radar menunjukkan luasan genangan pada kota-kota di DKI Jakarta sesungguhnya lebih kecil ketimbang luasan genangan di Kota Tangerang. Hal itu mengindikasikan bekerjanya Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur dalam menyalurkan air banjir. Namun titik-titik genangan di DKI Jakarta bertempat di kawasan pemukiman berpenduduk padat dan sejumlah pusat perekonomian. Sehingga dampaknya jelas lebih besar.

Gambar 1. Titik-titik genangan air dalam banjir Jakarta dan sekitarnya pada 2 Januari 2020 TU di wilayah DKI Jakarta, Kota Bekasi, Kab. Bekasi (sebagian besar), Kab. Tangerang (sebagian), Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok dan Kab. Bogor (sebagian) berdasarkan analisis citra radar Sentinel-1. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

InSAR ARIA

Pada 2 Januari 2020 TU siang, manakala banjir di Jakarta dan sekitarnya masih hebat-hebatnya, satelit Sentinel-1 melintas di langit. Satelit milik badan antariksa negara-negara Eropa / ESA (European Space Agency) itu bergerak dari utara menuju ke selatan. Langit Jakarta dan sekitarnya saat itu sepenuhnya tertutupi awan. Namun satelit ini bekerja dalam segala cuaca dan kondisi siang malam tanpa terganggu seiring pemanfaatan gelombang radar, sehingga mampu menembus pekatnya awan dan mencitra apa yang ada di permukaan tanah. Terdiri atas sepasang satelit yang identik (Sentinel-1A dan Sentinel-1B) yang menempati bidang orbit tersinkron Matahari yang sama, satelit Sentinel-1 selalu melintas di atas tempat yang sama setiap 12 hari sekali.

Sifat orbit satelit Sentinel-1 dan gelombang radarnya memungkinkan para cendekiawan Earth Observatory of Singapore (EOS) di Nanyang Technological University (NTU) Singapura bekerja sama dengan tim ARIA (advanced rapid imaging and analysis) untuk menguak apa yang terjadi pada daratan Jakarta dan sekitarnya saat banjir melanda. ARIA adalah kolaborasi antara Jet Propulsion Laboratory NASA dengan California Institute of Technology. Tim EOS dan ARIA memanfaatkan teknik InSAR (interferometry synthetic apperture radar)

Gambar 2. Titik-titik genangan air di Kota Jakarta Barat, Jakarta Utara (sebagian) dan Jakarta Pusat pada 2 Januari 2020 TU dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Sederhananya, teknik InSAR mencoba membandingkan dua citra radar pada daerah yang sama yang diambil pada dua kesempatan berbeda. Sehingga perubahan yang terjadi pada daratan di daerah tersebut dalam skala besar, baik yang bersifat temporer maupun permanen, dapat dikuak. Teknik InSAR umum digunakan untuk mengevaluasi terjadinya deformasi daratan dalam peristiwa gempa bumi tektonik, atau letusan gunung berapi, maupun penurunan daratan (subsidence) akibat eksploitasi air bawahtanah yang berlebihan. Namun belakangan juga berkembang penggunaan teknik ini untuk memonitor bencana banjir.

Dalam menganalisis banjir Jakarta dan sekitarnya, tim EOS dan ARIA memanfaatkan dua citra radar Sentinel-1. Masing-masing citra 21 Desember 2019 TU yang ditetapkan sebagai citra pra-banjir dan citra 2 Januari 2020 TU yang dinyatakan sebagai citra saat banjir. Sebagai pembanding adalah data lapangan yang ditampilkan Peta Bencana. Resolusi citra adalah 30 meter per pixel mencakup seluruh DKI Jakarta, kota Depok, kota Tangerang Selatan, kota Tangerang dan kota Bekasi. Sementara Kab. Tangerang, Kab. Bekasi dan Kab. Bogor hanya dicitra separuhnya saja.

Seperti apa hasilnya?

Gambar 3. Titik-titik genangan air di Kota Jakarta Utara (sebagian), Jakarta Pusat dan Jakarta Timur (sebagian) pada 2 Januari 2020 TU dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Titik-titik Genangan

Secara umum banjir Jakarta dan sekitarnya memang terjadi di dataran rendah. Berdasarkan luasan daerah yang tergenang, Kab. Bekasi menduduki peringkat pertama daerah yang tergenangi banjir paling luas. Disusul kemudian Kab. Tangerang, Kota Tangerang, DKI Jakarta (khususnya Jakarta Barat dan Jakarta Timur) serta terakhir Kota Bekasi.

Banjir di dataran rendah ini konsisten dengan curah hujan 24 jam (sepanjang 31 Desember 2019 TU 07:00 WIB – 1 Januari 2020 TU 07:00 WIB), yang tergolong ekstrim bagi Kab. Bekasi dan Kota Bekasi (intensitas maksimum 151 mm/hari yang tercatat di Lemah Abang) serta sebagian DKI Jakarta (intensitas maksimum 377 mm/hari yang tercatat di Jakarta Timur). Sementara bagi Kab. Tangerang, hujan dikategorikan sangat lebat. Intensitas hujan maksimum di DKI Jakarta dinyatakan sebagai yang tertinggi sepanjang 1,5 abad terakhir. Meskipun jika dilihat dalam kacamata yang lebih lebar, selama 48 jam intensitas hujan maksimum akumulatif yang tercatat berkisar 400 mm. Ini serupa dengan intensitas hujan maksimum akumulatif pada peristiwa Banjir Kebumen 2013 (di bulan Desember 2013 TU) dan juga banjir Jakarta 2014 (di bulan Januari 2014 TU).

Gambar 4. Titik-titik genangan air di Kota Jakarta Timur dan Bekasi (sebagian) pada 2 Januari 2020 TU dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Di kota Jakarta Barat, titik genangan luas menempati sebelah-menyebelah Jl. Daan Mogot hingga mendekati perbatasan Kota Tangerang. Ke arah utara, titik-titik genangan menyebar hingga ke bagian kota Jakarta Utara. Uniknya titik-titik genangan tersebut adalah berada di sebelah barat dari alur Kanal Banjir Barat dan tidak banyak dijumpai di sisi timur kanal.

Selain di sisi barat Kanal Banjir Barat, titik-titik genangan di kota Jakarta Utara dapat dijumpai di dua pelabuhan : Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Namun yang paling menyolok adalah di bagian timur, yakni di Rorotan. Lagi-lagi genangan luas di sini berimpit dengan kanal banjir, yakni di sisi barat Kanal Banjir Timur. Meski genangan di Rorotan tak separah di Tarumajaya (Kab. Bekasi) yang berada di sebelah timur kanal.

Gambar 5. Titik-titik genangan air di Kota Jakarta Selatan pada 2 Januari 2020 TU dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Kota Jakarta Pusat tak separah Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Meski terdapat pula titik-titik genangan, namun tidak banyak yang menonjol. Salah satunya di Gunung Sahari, yang menggenangi baik jalan raya maupun rel KA. Juga di Karet Tengsin, tepat di sisi Kanal Banjir Barat. Sebaliknya kota Jakarta Selatan, meski secara geografis lebih tinggi ketimbang Jakarta Barat – Jakarta Pusat – Jakarta Utara, namun ternyata memiliki titik-titik genangan yang cukup banyak dan tersebar acak dengan masing-masing berukuran relatif kecil. Dua lokasi yang menonjol adalah Kemang dan bantaran barat Sungai Ciliwung.

Dan kota Jakarta Timur pun demikian. Titik-titik genangan juga cukup banyak dan tersebar acak. Titik paling ikonis adalah Bandara Halim Perdanakusuma, sehingga sempat melumpuhkan penerbangan dari dan ke bandara ini. Sejumlah titik di bantaran timur Sungai Ciliwung juga digenangi air. Mayoritas titik genangan di Jakarta Timur berada di sisi selatan Kanal Banjir Timur. Di sisi utaranya hanya dijumpai sedikit.

Gambar 6. Titik-titik genangan air di Kota Tangerang dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Selain DKI Jakarta, genangan banjir juga dijumpai di Kota Tangerang. Bandara Soekarno-Hatta juga tergenangi air di sejumlah titik, namun tidak sempat melumpuhkan operasi bandara ini sebagaimana yang terjadi di Bandara Halim. Titik genangan yang cukup luas dijumpai di Cipondoh di pusat kota. Berikutnya di Panunggangan, di bagian selatan kota. Genangan di Panunggangan berhubungan dengan aliran Sungai Cisadane yang melintas di sini dan meluap. Luapan Sungai Cisadane juga menggenangi bantaran timur di Kota Tangerang Selatan. Selebihnya titik-titik genangan di Tangerang Selatan berukuran kecil-kecil dan tersebar secara acak hingga Bintaro.

Di Kota Bekasi, titik-titik genangan juga tersebar acak. Namun genangan yang luas hanya dijumpai di sisi utara jalan tol Jakarta – Cikampek. Tepatnya di Bekasi Timur dan di pusat kota. Genangan di pusat kota mengesankan berhubungan dengan aliran Sungai Bekasi yang meluap. Dan di Kota Depok, titik-titik genangan relatif sedikit dibandingkan kota-kota lainnya yang telah disebutkan. Selain sedikit, ukurannya juga kecil-kecil. Konsentrasi titik-titik genangan itu terutama di sepanjang alur Jalan Jalan raya Jakarta – Bogor.

Gambar 7. Titik-titik genangan air di Kota Tangerang Selatan dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Sumber Air?

Tujuan EOS dan ARIA menyajikan analisis citra satelit radar ini adalah untuk menunjang respon penanganan dampak bencana banjir di lapangan. Meski demikian secara kasar dapat pula dikatakan bahwa analisis ini cukup membantu dalam memetakan sumber air banjir Jakarta dan sekitarnya. Sungai-sungai besar seperti Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung, Sungai Bekasi dan dua kanal banjir (Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur) yang meluap merupakan salah satu sumber air banjir. Akan tetapi terdapat cukup banyak titik-titik genangan yang cukup berjarak terhadap sungai manapun. Yang menyajikan kesan bahwa genangan tersebut terjadi akibat situasi yang bersifat lokal.

Gambar 8. Titik-titik genangan air di Kota Bekasi dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.


Gambar 9. Titik-titik genangan air di Kota Depok dengan penanda lokasi tertentu. Sumber: EOS & ARIA, 2020.

Jika dibandingkan, secara kasar dapat dikatakan bahwa peringkat pertama luasan genangan dalam banjir Jakarta dan sekitarnya diduduki oleh Kota Tangerang. Menyusul kemudian kota Jakarta Utara dan Jakarta Barat di peringkat kedua. Selanjutnya kota Bekasi di peringkat ketiga. Relatif keringnya kota-kota Jakarta Timur dan Jakarta Pusat mengindikasikan bekerjanya Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Namun titik-titik genangan di DKI Jakarta terjadi pada pemukiman padat penduduk dan pusat-pusat perekonomian sehingga dampaknya lebih besar.

Referensi :

Kasha Patel. 2020. Torrential Rains Flood Indonesia. NASA Earth Observatory, 2 Januari 2020 diakses 5 Januari 2020.

Akankah Stasiun Antariksa Tiangong-1 Jatuh di Indonesia?

Penghujung Maret 2018 TU (Tarikh Umum) menjadi hari-hari terakhir bagi sampah antariksa Tiangong-1 (baca: Tian Gong satu). Bangkai stasiun antariksa pertama milik Cina ini tinggal menunggu waktu saja untuk jatuh memasuki atmosfer Bumi (reentry). Orbitnya kian menurun saja. Hingga Kamis 29 Maret 2018 TU pukul 21:00 WIB, orbit Tiangong-1 sudah turun demikian rupa dengan perigee tinggal 186,7 kilometer dan apogee tinggal 201,7 kilometer, semuanya dari paras air laut rata-rata (dpl). Dan hingga 29 Maret 2018 TU itu prediksi waktu jatuh Tiangong-1 adalah sebagai berikut :

  • Aerospace Corporation = 1 April 2018 TU pukul 17:30 WIB ± 16 jam.
  • US Strategic Command = 1 April 2018 TU pukul 07:52 WIB ± 15 jam.
  • Marco Langbroek = 1 April 2018 TU pukul 16:36 WIB ± 19 jam.
  • Joseph Remis = 1 April 2018 TU pukul 17:40 WIB ± 15 jam.

Dengan nilai ketidakpastian masih cukup besar, yakni antara 15 hingga 19 jam, maka pada dasarnya masih sangat sulit untuk menentukan lokasi titik jatuh Tiangong-1. Ini mengingat bangkai stasiun antariksa itu melejit secepat 7,8 kilometer/detik atau sekitar 28.000 kilometer/jam. Maka ketidakpastian sebesar semenit saja akan setara dengan pergeseran jarak sebesar 467 kilometer.

Gambar 1. Jejak lintasan sampah antariksa Tiangong-1 diabadikan pada Kamis pagi 22 Maret 2018 TU dengan kamera pada waktu papar 8 detik. Tiangong-1 bergerak cukup cepat sehingga saat direkam kamera selama 8 detik nampak sebagai garis bercahaya samar. Sumber: Sudibyo, 2018.

Meski amat menyedot perhatian dunia, Tiangong-1 (massa 8,5 ton) sesungguhnya bukanlah sampah antariksa terberat. Ia masih berada dalam nilai rata-rata massa dari sampah-sampah antariksa signifikan sepanjang satu dekade terakhir. Semenjak tahun 2000 TU hingga saat ini, sampah antariksa terberat masih ditempati oleh wantariksa (wahana antariksa) Phobos-Grunt, yang jatuh ke sisi timur Samudera Pasifik pada 15 Januari 2012 TU silam. Russia meluncurkan Phobos-Grunt (13,5 ton) menuju Mars, namun cacat pada sistem pemrograman membuat sistem komputernya terus bermasalah. Sehingga Phobos-Grunt terperangkap dalam orbit Bumi tanpa daya hingga akhirnya jatuh.

Dalam pandangan ESA (European Space Agency atau badan antariksa gabungan negara-negara Eropa) Tiangong-1 memiliki massa dan dimensi mirip ATV (Automated Transfer Vehicle), wantariksa kargo yang dibangun ESA untuk mengirim muatan ke stasun antariksa internasional ISS. Pasca bertugas di ISS selama jangka waktu tertentu, ATV pun dijatuhkan secara terkendali ke kawasan Samudera Pasifik dengan proses yang terdokumentasi dengan baik (pada ATV Jules Verne). Karena itu apa yang akan terjadi pada Tiangong-1 saat jatuhnya nanti kemungkinan akan mirip dengan ATV.

Tatkala Tiangong-1 mulai menuruni lapisan atmosfer yang lebih padat dengan kecepatan 28.000 kilometer/jam, gesekan dengan udara di sekelilingnya menyebabkan kecepatan Tiangong-1 berkurang dengan pasti. Pengurangan ini mentransfer energi ke udara, menghasilkan tekanan ram yang kian menguat. Awalnya sepasang panel surya Tiangong-1 yang terlepas. Sementara badan Tiangong-1 terus terpanaskan dan ditekan sangat hebat seiring kian memasuki lapisan udara yang lebih padat. Pada ketinggian beberapa puluh kilometer dpl, tekanan hebat itu membuat badan Tiangong-1 terpecah-belah. Pemecah-belahan ini menandai titik mulai punahnya kecepatan asli Tiangong-1 (kecepatan yang dibawanya dari antariksa).

Selanjutnya gravitasi Bumi mengambil-alih sehingga masing-masing pecahan menjalani gerak jatuh bebas pada lintasannya sendiri-sendiri. Keping-keping Tiangong-1, dengan massa total tinggal sekitar 100 kilogram, lantas akan berjatuhan pada wilayah sepanjang sekitar 2.000 kilometer dan lebar sekitar 70 kilometer. Kecepatan jatuhnya (saat menyentuh paras Bumi) tergolong kecil, tinggal sekitar beberapa puluh kilometer per jamnya. Dan tak perlu cemas berlebihan. Peluang keping-keping Tiangong-1 untuk jatuh di kawasan berpenduduk padat sangat kecil. Hanya 1 berbanding beberapa trilyun.

Video berikut dari Aerospace Corporation menyimulasikan proses jatuhnya Tiangong-1 :

Melintas di Indonesia

Sebelum jatuh, sampah antariksa Tiangong-1 masih akan terlihat melayang menyusuri orbitnya. Hanya beberapa lokasi yang berkesempatan menyaksikan Tiangong-1 di langit menjelang kejatuhannya. Misalnya kota Tokyo (Jepang) dan Cape Town (Afrika Selatan), masing-masing berkesempatan menyaksikan Tiangong-1 pada saat fajar dan senja Kamis 29 Maret 2018 TU. Sementara Athena (Yunani) dan Roma (Italia) berpeluang melihat Tiangong-1 pada saat fajar Jumat 30 Maret 2018 TU.

Bagaimana dengan Indonesia?

Peluang terlihatnya Tiangong-1 di langit Indonesia kala fajar ataupun senja telah tertutup. Indonesia berkesempatan menyaksikannya pada minggu lalu tepatnya antara tanggal 19 hingga 24 Maret 2018 TU. Sedikitnya ada dua observasi yang berhasil mengamati Tiangong-1 di langit, misalnya oleh saya sendiri dan oleh Eko Hadi G dari klub astronomi Penjelajah Langit (Yogyakarta).

Gambar 2. Jejak lintasan sampah antariksa Tiangong-1 diabadikan pada Selasa sore 20 Maret 2018 TU oleh Eko Hadi G dengan kamera pada waktu papar 10 detik. Tiangong-1 bergerak cukup cepat sehingga saat direkam kamera selama 8 detik nampak sebagai garis bercahaya samar. Sumber: Penjelajah Langit/Eko Hadi G, 2018.

Namun sejatinya Tiangong-1 tetap melintas di atas wilayah Indonesia meski tak bisa disaksikan lagi. Dalam setiap harinya Tiangong-1 berkesempatan dua kali melintas di atas Indonesia, masing-masing di malam hari dan di siang hari. Perlintasan pada malam hari selalu dari arah barat daya menuju ke timur laut. Sebaliknya perlintasan di siang hari selalu dari arah barat laut menuju tenggara. Dengan luasnya wilayah Indonesia, maka dalam sehari terjadi lima hingga enam kali perlintasan Tiangong-1 dalam setiap harinya.

Perlintasan-perlintasan itu membentuk pola yang khas sebagai berikut :

  • Pulau Sumatra, perlintasan Tiangong-1 terjadi di malam hari pada koridor antara sekitar kota Natal (Sumatra Utara) hingga sekitar kota Bagan Siapi-api (Riau).
  • Pulau Jawa, koridornya adalah di sekitar kota Tulungagung hingga sekitar kota Sumenep (semuanya di propinsi Jawa Timur) dengan perlintasan pada malam hari.
  • Pulau Kalimantan, perlintasan Tiangong-1 terjadi di siang hari dengan koridor antara sekitar kota Pontianak (Kalimantan Barat) hingga sekitar kota Sampit (Kalimantan Tengah).
  • Pulau Sulawesi, koridor perlintasan Tiangong-1 adalah dari sekitar kota Palu (Sulawesi Tengah) hingga sekitar kota Gorontalo (Gorontalo) yang terjadi di malam hari.
  • Pulau Irian memiliki dua koridor perlintasan Tiangong-1. Masing-masing dari sekitar kota Manokwari (Irian Jaya Barat) hingga sekitar kota Merauke (Papua) di siang hari. Dan dari sekitar kota Agats hingga sekitar kota Jayapura (keduanya di propinsi Papua) di malam hari.

Berikut adalah peta perlintasan Tiangong-1 di Indonesia dari hari ke hari semenjak Jumat 30 Maret 2018 TU hingga Senin 2 April 2018 TU :

Gambar 3. Peta proyeksi lintasan sampah antariksa Tiangong-1 di wilayah Indonesia untuk Jumat 30 Maret 2018 TU. Garis putus-putus menandakan perlintasan di malam hari, sementara garis tak terputus untuk perlintasan di siang hari. Berdasarkan data TLE (two line elements) Tiangong-1 per 29 Maret 2018 TU. Sumber: Sudibyo, 2018.

Gambar 4. Peta proyeksi lintasan sampah antariksa Tiangong-1 di wilayah Indonesia untuk Sabtu 31 Maret 2018 TU. Garis putus-putus menandakan perlintasan di malam hari, sementara garis tak terputus untuk perlintasan di siang hari. Berdasarkan data TLE (two line elements) Tiangong-1 per 29 Maret 2018 TU. Sumber: Sudibyo, 2018.

Gambar 5. Peta proyeksi lintasan sampah antariksa Tiangong-1 di wilayah Indonesia untuk Minggu 1 April 2018 TU. Garis putus-putus menandakan perlintasan di malam hari, sementara garis tak terputus untuk perlintasan di siang hari. Berdasarkan data TLE (two line elements) Tiangong-1 per 29 Maret 2018 TU. Sumber: Sudibyo, 2018.

Gambar 6. Peta proyeksi lintasan sampah antariksa Tiangong-1 di wilayah Indonesia untuk Senin 2 April 2018 TU. Garis putus-putus menandakan perlintasan di malam hari, sementara garis tak terputus untuk perlintasan di siang hari. Berdasarkan data TLE (two line elements) Tiangong-1 per 29 Maret 2018 TU. Sumber: Sudibyo, 2018.

Akankah Tiangong-1 jatuh di Indonesia? Peluangnya sangat kecil. Sejauh ini seluruh prediksi yang ada tidak menempatkan prakiraan titik jatuh Tiangong-1 dalam kawasan Indonesia. Namun dengan nilai ketidakpastian yang masih besar, maka peluang jatuh di salah satu koridor perlintasan Tiangong-1 di wilayah Indonesia juga tetap terbuka, meski sangat kecil.

Pembaharuan : Prediksi Terakhir Waktu dan Titik Jatuh

Per 1 April 2018 TU pukul 18:00 WIB, Joseph Remis menyajikan prediksi terakhir waktu dan posisi titik jatuh Tiangong-1. Waktu jatuh adalah pada Senin 2 April 2018 TU pukul 05:46 WIB ± 4 jam. Sehingga waktu jatuh adalah pada saat kapanpun di antara rentang waktu antara pukul 01:46 WIB hingga 09:46 WIB pada 2 April 2018 TU.

Lokasi titik jatuh, jika terjadi pada pukul 05:46 WIB maka akan berada di tengah-tengah Samudera Pasifik pada koordinat 13,23 LS 142,85 BB. Namun dalam rentang waktu antara pukul 01:46 hingga 09:46 WIB, terbuka kemungkinan Tiangong-1 bisa jatuh di daratan dari negara-negara Myanmar, Cina, Jepang, Peru, Argentina, Afrika Selatan, India, Ethiopia, Yaman, Iran, Arab Saudi, Irak, Kazakhstan, Brazil, Italia dan Turki. Berikut petanya :

Pembaharuan 2 : Tiangong-1 Telah Jatuh!

Sampah antariksa yang juga stasiun antariksa Tiangong-1 dipastikan telah jatuh pada Senin 2 April 2018 TU pukul 07:16 WIB ± 1 menit menurut JFSCC (Joint Force Space Component Command) pada Komando Strategis (US Strategic Command/USStratcom) Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. Tiangong-1 jatuh di kawasan Samudera Pasifik bagian selatan, tepatnya di antara koordinat 14 LS 162 BB hingga 24 LS 150 BB. Koridor ini membentang mulai dari sebelah barat daya hingga sebelah selatan Tahiti.

Meski tiada rekaman yang memperlihatkan detik-detik jatuhnya Tiangong-1, namun JFSCC memastikan hal tersebut terjadi melalui pantauan satelit militer Amerika Serikat, kemungkinan SBIRS (Space Based Infra Red System). Satelit mata-mata yang bertumpu pada spektrum sinar inframerah ini ditujukan untuk menyigi jejak inframerah dari aktivitas peluncuran rudal, namun juga bisa mengendus aktivitas lain. Termasuk jatuhnya sampah antariksa berukuran besar.

Rekonstruksi memperlihatkan, saat menempuh orbit terakhirnya sebelum kemudian jatuh, Tiangong-1 lewat di atas benua Amerika bagian selatan (yakni Chile dan Argentina), benua Afrika bagian tengah dan utara (masing-masing Gabon, Kamerun, Republik Afrika Tengah dan Sudan) dan benua Asia (Saudi Arabia, Iran, Kazakhstan, Cina dan Jepang). Di Saudi Arabia, Tiangong-1 lewat di atas kotasuci Madinah. Gambar berikut adalah peta lima lintasan terakhir yang dijalani sampah antariksa Tiangong-1, yakni sejak 7 jam 20 menit sebelum waktu jatuh :

Berikut adalah hasil rekonstruksi lintasan terakhir Tiangong-1 dalam aplikasi pemetaan Google Maps. Nampak 44 menit sebelum jatuh, Tiangong-1 melintas di atas kotasuci Madinah (Saudi Arabia) :


Referensi :

The Aerospace Corporation. 2018. Tiangong-1 Reentry. Diakses pada 29 Maret 2018 TU.

Joseph Remis. 2018. komunikasi pribadi.

Marco Langbroek. 2018. komunikasi pribadi

Mau Jatuh Dimana, (Stasiun Antariksa) Tiangong-1?

Bagaimana perasaanmu jika tahu sebongkah benda seukuran bus tingkat bersiap jatuh dari langit dalam waktu dekat? Namun itulah yang akan dialami Tiangong-1. Sampah antariksa sepanjang 10,5 meter yang bergaris tengah 3,4 meter itu sedang bersiap-siap mengakhiri perjalanannya dan akan memasuki atmosfer Bumi kita, proses yang dikenal sebagai reentry. Lebih menyesakkan lagi, Tiangong-1 bakal jatuh dalam kondisi uncontrolled reentry atau jatuh ke Bumi secara tak terkendali sehingga dimana ia bakal memasuki atmosfer belum bisa ditentukan pada saat ini.

Tiangong-1 diprediksi akan jatuh pada minggu pertama April 2018 TU (Tarikh Umum). Per 16 Maret 2018 TU, Aerospace Corporation (Amerika Serikat) memprakirakan peristiwa tersebut akan terjadi pada 4 April 2018 TU ± 7 hari. Sedangkan Joseph Remis, peneliti sampah antariksa dari Perancis, menempatkan prediksinya pada 3 April 2018 TU ± 7 hari. Dan Marco Langbroek, astronom amatir Belanda yang berspesialisasi pada pengamatan satelit-satelit buatan, memprakirakan akan terjadi pada 4 April 2018 TU ± 4 hari. Besarnya angka ketidakpastian dari prediksi-prediksi ini adalah imbas dari variasi sifat lapisan atmosfer teratas kita dari satu titik ke titik lain. Juga dari tidak diketahuinya posisi aktual dan kecepatan aktual sampah antariksa tersebut. Padahal inilah yang sangat menentukan kapan Tiangong-1 akan jatuh kembali ke Bumi.

Gambar 1. Tiangong-1 di orbitnya, dalam gambaran artis yang dipublikasikan badan antariksa nasional Cina. Nampak pintu labuh dengan sistem penambat APAS di sisi kiri, tempat taikonot memasuki prototip stasiun antariksa ini. Raksasa seberat 8,5 ton inilah yang akan jatuh kembali ke Bumi secara tak terkendali pada awal April 2018 TU kelak. Sumber: CNSA, 2011.

Nilai ketidakpastian tersebut juga berimbas pada lebarnya prediksi titik jatuh Tiangong-1. Dengan inklinasi orbit 42,8º maka pada dasarnya setiap titik di paras Bumi yang ada di antara garis lintang 42,8 LU hingga 42,8 LS berpotensi menjadi titik jatuh Tiangong-1. Berdasarkan pengalaman selama ini, titik koordinat mana yang tepatnya akan menjadi titik jatuh Tiangong-1 baru akan diketahui sehari sebelum terjadi. Akan tetapi karena bentuk orbitnya pula, daerah-daerah yang terletak di sekitar atau di sepanjang garis lintang 42,8 LU dan di garis lintang 42,8 LS memiliki peluang menjadi titik jatuh yang lebih tinggi (yakni sekitar 3 %) dibandingkan dengan daerah-daerah yang berada di lingkungan garis khatulistiwa (yakni kurang dari 0,5 %).

Dengan prediksi demikian maka Indonesia pun tidak dikecualikan. Sepanjang tiga tahun terakhir, Indonesia telah mengalami dua kejadian benda jatuh antariksa (BJA), dimana sisa-sisa sampah antariksa jatuh di dekat rumah penduduk. Yakni di pulau Madura (propinsi Jawa Timur) pada tahun 2016 TU dan di tepi Danau Maninjau (propinsi Sumatra Barat) pada tahun 2017 TU. BJA di pulau Madura adalah sisa upperstage roket Falcon 9 Full Thrust milik perusahaan SpaceX (Amerika Serikat) sementara BJA di tepi danau Maninjau adalah sisa upperstage roket Long March-3A milik pemerintah Cina.


Gambar 2. Dua kejadian benda jatuh antariksa (BJA) di Indonesia akibat jatuhnya sampah antariksa. Masing-masing sisa upperstage Long March-3A di tepi Danau Maninjau (atas) dan sisa upperstage Falcon 9 Full Thrust di pulau Madura (bawah). Sumber: Piliang, 2017 & Tribunnews, 2016.

Spesifikasi

Sebelum menjadi sampah antariksa, Tiangong-1 adalah stasiun antariksa pertama Cina sebagai bagian dari program Tiangong. Stasiun antariksa Tiangong-1 diluncurkan ke orbit pada 30 September 2011 TU lewat dorongan kuat roket Long March 2F/G. Roket dan muatannya lepas landas dari landasan nomor 4/landasan selatan pada kompleks Pusat Peluncuran Jiuquan di sisi barat laut padang pasir Gobi, propinsi otonom Mongolia Dalam. Long March 2F/G menempatkan Tiangong-1 pada orbit sirkular setinggi 343 kilometer.

Begitu mencapai orbit, stasiun antariksa berbobot 8,5 ton itu segera membuka sepasang sayap panel suryanya. Masing-masing panel surya memiliki panjang 10 meter dan lebar 3,1 meter. Arus listrik dengan daya rata-rata 2.500 watt dan daya puncak 6.000 watt pun mengalir deras darinya. Sebagian mengalir ke batere kering perak-seng, catudaya untuk situasi malam orbital, Interior Tiangong-1 terdiri atas dua ruang, masing-masing ruang hunian/orbital dan ruang layanan/sumberdaya.

Ruang hunian memiliki panjang 5 meter dan lebar 3,4 meter dengan volume total 15 meter3 dan berisi udara bertekanan 1 atmosfer. Didalamnya terdapat dua ranjang tidur dilengkapi dapur dan sistem toilet. Ruang ini dilengkapi dengan sistem pembuang panas ke lingkungan, yang mampu melepaskan panas yang diproduksi di dalam ruangan hingga sebesar 2.000 watt termal. Di ujungnya, yang juga adalah ujung Tiangong-1, terpasang pintu masuk dilengkapi sistem penambat APAS (Androgynous Peripheral Attach System). Sistem penambat ini serupa dengan yang digunakan pada stasiun-stasiun antariksa lainnya.

Sementara ruang layanan memiliki panjang 3,3 meter namun lebarnya hanya 2,5 meter. Di pusat pantat ruang ini, yang juga adalah pantat Tiangong-1, terpasang dua mesin roket utama. Selain guna menempatkan diri ke orbit kedua mesin ini juga digunakan untuk keperluan manuver pemulihan orbit. Di sisi luarnya, melingkari mesin roket utama, terpasang 8 mesin roket vernier. Mereka berguna untuk penyesuaian orbit yang sangat halus. Dan di sisi terluar terdapat empat set mesin roket kendali (reaction control system), masing-masing set terpisah 90º antara satu dengan yang lain. Dalam setiap set terdapat dua mesin roket kecil. Mesin roket kendali ini berguna untuk manuver anjak (pitch) dan belok (yaw). Dan bersama-sama dengan mesin roket vernier juga digunakan untuk manuver putaran (roll).

Gambar 3. Liu Yang, taikonot perempuan pertama Cina, mendemonstrasikan salah satu gerakan tai chi untuk pertama kalinya di antariksa saat berada dalam Tiangong-1 pada misi antariksa Shenzou 9 yang berlangsung antara 16 hingga 23 Juni 2012 TU. Gambar dari stasiun televisi nasional Cina (CNTV). Sumber: CNTV, 2012.

Beragam mesin roket tersebut ditenagai bahan bakar Hidrazin dan pengoksid Nitrogen Tetroksida. Mereka disimpan dalam empat tanki berbeda, masing-masing berkapasitas 230 liter yang sanggup memuat 1 ton bahan bakar atau pengoksid. Ada lagi dua buah tanki lebih kecil sferis dengan dinding didesain menahan tekanan tinggi. Takni kecil dengan kapasitas masing-masing 20 liter ini ditujukan untuk menampung gas (mungkin Helium) bertekanan tinggi guna mendorong bahan bakar dan pengoksid ke mesin roket yang dituju.

Hidup di Tiangong-1

Pembangunan dan pengoperasian Tiangong-1 adalah demonstrasi kedigdayaan Cina dalam pentas program antariksa global. Cina merintis program antariksanya bersamaan dengan Indonesia, yakni mulai dasawarsa 1960-an TU. Dalam periode yang sama negeri tirai bambu itu nyaris tenggelam seiring salah urus dalam eksperimen pertanian dan industri khas komunisme lewat program Lompatan Jauh ke Depan yang disusul huruhara Revolusi Kebudayaan. Bencana kelaparan meletup dimana-mana dan merenggut tak kurang dari 30 juta jiwa.

Hingga satu dasawarsa kemudian Cina layaknya ‘planet mati’, diemohi orang dan nampaknya bakal menjadi negara gagal. Namun kini situasinya telah sangat berbeda. Cina telah pulih dan bahkan melesat cukup jauh dalam berbagai bidang, termasuk program antariksanya. Sebaliknya Indonesia hingga kini masih tetap berkutat di titik nol dalam membangun kendaraan untuk menuju ke langit.

Program Tiangong adalah jawaban Cina kepada dunia setelah tawarannya bergabung dengan program stasiun antariksa internasional (ISS) bertepuk sebelah tangan. Sebagian negara partisipan ISS, dimotori Amerika Serikat, tidak ingin Cina bergabung atas alasan politis. Tiangong pun dibangun dan diparalelkan dengan Program Shenzou, program penerbangan antariksa berawak Cina. Tiangong-1 merupakan prototip stasiun antariksa moduler, tipe stasiun antariksa yang bisa bertumbuh/dikembangkan di orbit lewat menggabung-gabungkan aneka modul secara bertahap. Sebagai prototip, tujuan utama Cina adalah menguji coba kemampuan menambat (rendezvous) dan berlabuh antara Tiangong-1 dengan wantariksa (wahana antariksa) lain. Baik wantariksa berawak maupun tidak.

Ujicoba itu terlaksana beberapa bulan kemudian. Pada 31 Oktober 2011 TU wantariksa Shenzou 8 lepas landas dari Pusat Peluncuran Jiuquang menuju Tiangong-1. Dua hari berikutnya Shenzou 8 berhasil berlabuh di Tiangong-1 secara otomatis. Peristiwa ini terjadi dalam situasi malam orbital Tiangong-1 guna menghindari pengaruh gemerlap sinar Matahari terhadap radas navigasi dan penambat yang sensitif. Shenzou 8 berlabuh hingga 11 hari berikutnya, lantas melepaskan diri. Proses tersebut lantas diulangi kembali, tapi kali ini dalam situasi siang hari Tiangong-1. Tujuannya guna mengecek akurasi dan daya pakai radas-radas terkait di lingkungan terang benderang. Hasilnya memuaskan, Shenzou 8 tetap dapat berlabuh hingga hampir 2 hari kemudian ketika ia kembali melepaskan diri.

Misi berawak pertama ke Tiangong-1 berlangsung mulai 16 Juni 2012 TU dengan penerbangan wantariksa Shenzou 9 yang mengangkut tiga taikonot, istilah Cina untuk antariksawan. Yakni Jin Haipeng, Liu Wang dan Liu Yang. Dua hari kemudian Shenzou 9 berhasil berlabuh di Tiangong-1. Ketiga taikonot menghabiskan waktu hampir 4 hari. Liu Yang menyedot perhatian dunia karena selain menjadi taikonot perempuan pertama juga mendemonstrasikan gerak tai chi untuk pertama kalinya di antariksa.

Gambar 4. Tiangong-1 (kiri) dalam proses menambat dengan wantariksa berawak Shenzou (kanan) dalam gambaran artis yang dipublikasikan badan antariksa nasional Cina. Sebagai prototip stasiun antariksa moduler, dimensi Tiangong-1 tidak lebih panjang ketimbang Shenzou. Karena yang diuatamakan adalah ujicoba kemampuan tambat dan berlabuh, baik secara otomatis ataupun manual. Sumber: CNSA, 2012.

Sementara misi berawak kedua terlaksana setahun berikutnya. Pada 11 Juni 2013 TU wantariksa Shenzou 10 lepas landas dengan mengangkut tiga taikonot masing-masing Nie Haisheng, Zhang Xiaoguang dan Wang Yaping. Dua hari kemudian Shenzou 10 berlabuh aman di Tiangong-1 selama 12 hari berikutnya. Pada hari ketujuh Wang Yaiping, taikonot perempuan kedua, menggelar pengajaran dari langit yang disiarkan langsung ke 60 juta siswa-siswi di Cina. Pada pengajaran itu didemonstrasikan empat percobaan, mulai dari penimbangan berat badan, ayunan pendulum, sifat-sifat giroskop hingga tegangan permukaan air. Shenzou 10 adalah kunjungan wantariksa terakhir bagi Tiangong-1. pengajaran tersebut dapat disaksikan dalam video berikut ini :

Peluruhan Orbit

Setiap wantariksa di orbit rendah, yakni antara ketinggian 300 hingga 2.000 kilometer, pada dasarnya menempati pucuk lapisan teratas atmosfer Bumi kita. Yakni lapisan eksosfer. Di sini kondisinya tidak benar-benar hampa, masih terdapat molekul-molekul udara meski kerapatannya sangat kecil apabila dibandingkan lapisan-lapisan atmosfer yang lebih rendah. Gaya gesek molekul-molekul udara nan renggang ini membuat kecepatan wantariksa berkurang dan implikasinya orbitnya pun menurun. Ini disebut peluruhan orbit. Peluruhan orbit tak penting artinya bila misi antariksa berlangsung singkat, dalam beberapa hari hingga minggu. Namun jika misi antariksanya berjangka panjang, hingga bertahun-tahun lamanya, maka peluruhan orbit akan sangat terasa dan bisa berbahaya bila dibiarkan.

Gambar 5. Dinamika ketinggian orbit Tiangong-1 dari sejak diluncurkan hingga Januari 2018 TU sebagaimana dihimpun Aerospace Corporation berdasarkan data dari Celestrak. Garis putus-putus menandakan saat-saat manuver pemulihan orbit/penyesuaian orbit dilakukan. Manuver terakhir terjadi pada 16 Desember 2015 TU. Setelah itu orbit Tiangong-1 terus meluruh. Sumber: Aerospace Corporation, 2018.

Untuk itulah setiap stasiun antariksa yang pernah diterbangkan ke orbitnya selalu dibekali mesin roket. Dalam periode tertentu ia dinyalakan selama beberapa saat, sehingga stasiun antariksa akan bergerak naik kembali ke posisi orbit semula. Aktivitas ini disebut manuver pemulihan orbit. Dampaknya mudah diamati kasat mata lewat perubahan kecil dalam orbitnya. Terutama oleh pengamat langit berpengalaman.

Demikian halnya Tiangong-1. Sejak mulai menempati orbitnya hingga 4 tahun kemudian, tepatnya hingga Desember 2015 TU, Tiangong-1 telah mengalami 14 kali manuver pemulihan orbit. Ini menunjukkan stasiun antariksa tersebut tetap bisa berkomunikasi dua-arah dengan pengendalinya di Bumi. Meskipun tak pernah lagi dikunjungi pasca Shenzou 10. Manuver ini membuat sikap dan orbit Tiangong-1 tetap bisa dikendalikan sembari Cina menyiapkan rencana penjatuhan terkendali baginya.

Situasi berubah dramatis di 2016 TU. Pada 21 Maret 2016 TU pemerintah Cina secara resmi menyatakan komunikasi dengan Tiangong-1 terputus. Pengamatan independen menunjukkan manuver pemulihan orbit terakhir Tiangong-1 terjadi pada 16 Desember 2015 TU. Selepas itu tak ada apa-apa lagi sehingga orbit Tiangong-1 terus meluruh. Maka Tiangong-1 pun akan jatuh tak terkendali. Awalnya pemerintah Cina menyatakan reentry Tiangong-1 akan terjadi antara Juli hingga Desember 2017 TU. Pada Desember 2017 TU prediksi ini direvisi kembali menjadi antara Maret hingga April 2018 TU, yakni dalam jawaban Cina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cina juga menyampaikan komunikasi dengan Tiangong-1 tidaklah terputus total meski sangat bermasalah. Mereka masih bisa mengendalikan sikap Tiangong-1.

Di awal 2018 TU, orbit Tiangong-1 telah meluruh demikian rupa sehingga turun ke ketinggian 280 kilometer dari normalnya 300 kilometer. Dan di awal Maret 2018 TU tinggal setinggi 250 kilometer. Berdasarkan prediksi-prediksi yang tertera di awal tulisan ini dan memperhitungkan ketidakpastiannya, bisa dikatakan bahwa Tiangong-1 masih akan tetap ada di antariksa hingga setidaknya 27 Maret 2018 TU. Cukup menarik bahwa pada rentang waktu 18 hingga 24 Maret 2018 TU, Tiangong-1 diprakirakan akan melintas di atas Indonesia terutama pada saat fajar dan senja. Sehingga memungkinkan melihat saat-saat terakhir Tiangong-1 di langit. Tentu saja sepanjang cuaca cerah.

Peluang Kecil

Jatuhnya Tiangong-1 akan seperti sampah-sampah antariksa lainnya yang telah lebih dulu berjatuhan. Begitu tiba di ketinggian 105 kilometer, udara lebih rapat membuat Tiangong-1 akan sangat diperlambat. Sehingga ia mulai turun dan terus menurun memasuki lapisan atmosfer lebih rapat dan lebih rendah. Kecepatannya yang masih sangat tinggi akan menghasilkan tekanan ram pada kolom udara disekelilingnya, memproduksi suhu tinggi. Komponen-komponen Tiangong-1 akan mulai pecah dan terkikis suhu tinggi. Maka ia akan terlihat mirip meteor dalam jumlah banyak. Sebagian besar komponennya akan menguap habis di atmosfer. Hanya bagian yang paling kuat dengan massa total sekitar 100 kilogram yang akan mendarat di paras Bumi.

Gambar 6. Area yang berpotensi menjadi titik jatuh sampah antariksa Tiangong-1 beserta probabilitas (peluang) jatuh berdasarkan garis lintang menurut badan antariksa gabungan negara-negara Eropa (ESA). Nampak peluang jatuh di sekitar garis lintang 42,8 LU dan 42,8 LS lebih besar. Sumber: ESA, 2018.

Apakah sisa-sisa Tiangong-1 bisa menjatuhi manusia di Indonesia? Peluang itu ada, namun sangat kecil. Seperti dipaparkan di atas, peluang Tiangong-1 jatuh di kawasan khatulistiwa lebih kecil dibanding di sekitar garis lintang 42,8 LU dan 42,8 LS. Hingga saat ini secara global hanya ada satu peristiwa dimana sisa-sisa sampah antariksa menimpuk seseorang. Yakni pada 22 Januari 1997 TU saat Lottie Williams ketimpuk sekeping logam bersisi hangus 15 sentimeter kala berada di taman publik di kota Tulsa, negara bagian Oklahoma (Amerika Serikat). Itu adalah sisa-sisa upperstage roket Delta II 7920-10 yang lepas landas pada 24 April 1996 TU mengangkut satelit militer MSX (Midcourse Space Experiment). Lottie Williams tidak menderita luka-luka karenanya.

Tiangong-1 bukanlah sampah antariksa terberat yang pernah jatuh. Jika kita batasi sampah antariksa hanya pada bekas stasiun antariksa dan yang jatuhnya tak terkendali, masih ada Skylab dan Salyut 7. Skylab adalah stasiun antariksa 74 ton milik Amerika Serikat yang mengorbit mulai 14 Mei 1973 TU. Sempat dihuni selama 171 hari, Skylab akhirnya terjun ke Bumi seiring meningkatnya aktivitas Matahari yang membuat lapisan eksosfer cukup mengembang. Bakal jatuhnya Skylab sempat menjadi insiden internasional yang membikin panik banyak orang, terutama di Filipina. Skylab jatuh pada 11 Juli 1979 TU dengan sisa-sisanya terserak di daratan sepanjang Esperance hingga Rawlina, sebelah timur kota Perth (Australia).

Gambar 7. Proyeksi lintasan Tiangong-1 di paras bumi Indonesia dan sekitarnya pada rentang waktu antara 31 Maret 2018 TU pukul 00:00 WIB hingga 6 April 2018 TU pukul 14:00 WIB menurut SatFlare. Pada rentang waktu itulah Tiangong-1 diprediksi akan jatuh. Nampak proyeksi lintasan Tiangong-1 mengenai pulau Irian bagian barat, kepulauan Bali dan Nusatenggara, pulau Sulawesi, pulau Kalimantan dan pulau Sumatra. Sementara pulau Jawa terbebas darinya. Sumber: SatFlare, 2018.

Salyut 7 lebih dramatis lagi. Stasiun antariksa milik eks-Uni Soviet ini diluncurkan pada 19 April 1982 TU dan sempat dihuni selama 816 hari. Mengikuti nasib nasib Skylab, Salyut 7 pun akhirnya jatuh tak terkendali. Sisa-sisanya menyirami kota Capitan Bermudez di propinsi Santa Fe (Argentina) pada 7 Februari 1991 TU. Beruntung dalam dua kejadian tersebut tak ada bangunan yang terkena secara langsung, apalagi manusia.

Ground track dari stasiun antariksa Tiangong-1 dapat disaksikan misalnya pada peta Lizard Tail.

Referensi:

The Aerospace Corporation. 2018. Tiangong-1 Reentry. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Dickinson. 2017. China’s Tiangong-1 Space Station to Burn Up. Sky and Telescope, 10 November 2017. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Daniel. 2018. Tiangong-1 Frequently Asked Questions. Space Debris Office, European Space Agency. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Spaceflight101. t.t. Tiangong-1 Spacecraft Overview. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

SatFlare. 2018. Tiangong-1 NORAD 37820. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Joseph Remis. 2018. komunikasi pribadi.

Marco Langbroek. 2018. komunikasi pribadi.