Trio Letusan Mirip-Krakatau di Io

Indonesia selalu mengenal Agustus sebagai bulan kalender bercita rasa nasionalis. Inilah bulan dimana manusia Indonesia memperingati kemerdekaan negerinya dari belenggu tirani. Maka Agustus pun senantiasa disongsong dengan penuh gairah dan suka cita. Warga di berbagai pelosok menggelar aneka lomba. Sebagian diantaranya bakal membikin siapapun yang bukan manusia Indonesia mengernyitkan dahi, sebab begitu unik dan takkan pernah terlintas dalam benak atlet-atlet olimpik. Apa mau dikata, lomba-lomba ini memang bukan dirancang untuk mengejar prestasi namun semata bertujuan mengundang rasa geli dan menghibur hati. Pada tanggal 16 malam, banyak pula yang menggelar malam tirakatan disertai tumpengan. Tak sedikit pula yang menghabiskan sisa malam itu dengan membuka mata nyaris semalam suntuk.

Gambar 1. Gunung Krakatau diabadikan pada Mei 188. Nampak debu vulkanik pekat mengepul dari puncak Perbuwatan, menandai mulai terjadinya erupsi magmatik di gunung berapi yang telah lama tidur ini. Dalam tiga bulan kemudian seluruh gunung ini menyemburkan material vulkanik dalam jumlah sangat besar yang ditembuskan hingga berpuluh kilometer ke atmosfer. Akibatnya hampir seluruh tubuh gunung hancur dan ambruk ke dasar laut menjadi kaldera, kecuali sebagian kecil lereng puncak Rakata. Sumber: USGS, 1982.

Gambar 1. Gunung Krakatau diabadikan pada Mei 1883. Nampak debu vulkanik pekat mengepul dari puncak Perbuwatan, menandai mulai terjadinya erupsi magmatik di gunung berapi yang telah lama tidur ini. Dalam tiga bulan kemudian seluruh gunung ini menyemburkan material vulkanik dalam jumlah sangat besar yang ditembuskan hingga berpuluh kilometer ke atmosfer. Akibatnya hampir seluruh tubuh gunung hancur dan ambruk ke dasar laut menjadi kaldera, kecuali sebagian kecil lereng puncak Rakata. Sumber: USGS, 1982.

Namun Agustus juga bakal selalu dikenang sebagai bulan kalender dimana kita seyogyanya menundukkan kepala, memanjatkan doa. Khususnya kepada 36.417 jiwa (angka resmi) atau hampir 120.000 nyawa (angka perkiraan) yang melayang dalam sebuah peristiwa kelam selama tiga hari kelam berturut-turut yang terjadi lebih dari seratus tahun silam. Korban jiwa dalam jumlah yang luar biasa besar ini jatuh terenggut kala Gunung Krakatau dengan puncak-puncak Rakata, Danan dan Perbuwatan meledakkan dirinya dalam sebuah letusan teramat dahsyat. Selama tiga hari berturut-turut pada 27 hingga 29 Agustus 1883 gunung berapi kecil mungil layaknya bisul di tengah-tengah Selat Sunda (kini termasuk propinsi Lampung) itu meletus dengan kedahsyatan tak terperi untuk ukuran manusia. Sebanyak 20 kilometer kubik (20.000 juta meter kubik) material vulkanik dimuntahkan keluar, seperlima diantaranya langsung tersembur ke langit pada kekuatan teramat tinggi sehingga menjangkau ketinggian 40 km lebih dari paras air laut.

Terlepasnya magma dengan volume sangat besar dalam kurun waktu yang cukup singkat membuat kantung magma dangkal di dasar Gunung Krakatau terkuras habis, meninggalkan ruang kosong. Ruang kosong ini tak mampu menahan bobot jutaan ton batuan yang ada diatasnya. Sehingga tubuh gunung pun runtuh, Terbentuklah cekungan besar yang adalah kaldera di dasar Selat Sunda, dengan garis tengah 7 km dan kedalaman hingga 250 meter dari paras air laut. Kombinasi runtuhnya tubuh gunung ke dalam laut dan hempasan awan panas (piroklastika) yang terbentuk kala material vulkanik sangat pekat kembali berjatuhan ke Bumi memproduksi tsunami yang demikian bergelora. Tsunami ini berderap lambat, butuh waktu hampir sejam sebelum bisa menjangkau kedua belah pesisir Selat Sunda yang terdekat ke Krakatau. Namun sebaliknya ia sungguh bergelora dengan ketinggian tak terkira yang tak terbayang di benak manusia. Gelombang setinggi 37 meter menghajar pesisir Merak tanpa ampun. Sementara kawasan Anyer dan Caringin lebur digempur tsunami setinggi hingga 15 meter. Di daratan Sumatra gelora yang menjulang setinggi 22 meter mencukur Teluk Betung. Sementara Blimbing dan Kalianda dihempas gelombang 15 meter. Hampir seluruh korban jiwa yang terenggut dalam tragedi Letusan Krakatau 1883 disebabkan oleh tsunami ini. Terkecuali sekitar 1.000 orang yang meregang nyawa di Katibung akibat hempasan awan panas yang menjalar demikian jauh akibat letusan lateral (mendatar) ke utara dalam salah satu episode amukan Krakatau.

Gambar 2. Jejak kedahsyatan tsunami Letusan Krakatau 1883, yang mencukur habis pesisir Anyer. Atas: bangkai gerbong kereta yang terguling dan terseret jauh dari stasiun oleh air tsunami. Bawah: bongkahan karang gigantis seberat 600 ton lebih, yang terangkat dan terbawa gelora tsunami menuju pantai. Bongkahan karang ini menghantam mercusuar Anyer tepat di kilometer nol jalan raya pos (jalan Daendels), membuat menara setinggi 40 meter itu ambruk. Sumber: History Channel, 2009.

Gambar 2. Jejak kedahsyatan tsunami Letusan Krakatau 1883, yang mencukur habis pesisir Anyer. Atas: bangkai gerbong kereta yang terguling dan terseret jauh dari stasiun oleh air tsunami. Bawah: bongkahan karang gigantis seberat 600 ton lebih, yang terangkat dan terbawa gelora tsunami menuju pantai. Bongkahan karang ini menghantam mercusuar Anyer tepat di kilometer nol jalan raya pos (jalan Daendels), membuat menara setinggi 40 meter itu ambruk. Sumber: History Channel, 2009.

Tsunami Krakatau merupakan bencana alam dengan korban jiwa manusia terbesar di Indonesia semenjak 1883. Rekor ini bertahan hingga 121 tahun kemudian sebelum kemudian dilampaui oleh bencana gempa akbar Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 dengan tsunami dahsyatnya. Sebaliknya Letusan Krakatau 1883 bukanlah letusan gunung berapi terdahsyat yang pernah berlangsung di tanah Nusantara sepanjang sejarah yang tercatat. Letusan ini hanyalah menempati peringkat ketiga, di bawah Letusan Samalas (Rinjani) 1257 dan Letusan Tambora 1815. Skala letusan Krakatau terpaku di angka 6 VEI (Volcanic Explosivity Index), setingkat di bawah skala letusan Samalas dan Tambora yang masing-masing menempati angka 7 VEI. Namun amukan Krakatau menjadi letusan gunung berapi dalam tingkat katastrofik pertama yang terekam dengan baik. Hanya beberapa minggu sebelum letusan ini terjadi kabel laut terakhir yang menautkan media sosial elektronik pertama bagi manusia, yakni telegraf, tersambung sudah. Untuk ukuran masakini media sosial ini tentu sangat primitif dan lambat. Namun pada era meletusnya Krakatau di tahun 1883 itu, ia tergolong cukup cepat dalam menyalurkan informasi. Sehingga sontak Krakatau pun menjadi buah bibir dalam lingkup global. Laporan demi laporan teramatinya gejala mirip tsunami, yang sejatinya adalah dampak gelombang kejut letusan terhadap paras air laut setempat, juga segera bermunculan dari berbagai penjuru. Bandingkan dengan Letusan Tambora 1815 yang kabar terawalnya baru tiba di daratan Eropa enam minggu setelah gunung berapi itu mempertontonkan kedahsyatannya.

Trio Io

Amukan gunung berapi seukuran Letusan Krakatau 1883 tentu menggetarkan dan menakutkan segenap manusia. Termasuk di masa kini. Nah bagaimana jika kita berhadapan dengan tak hanya satu, melainkan tiga letusan yang skala kedahsyatannya menyamai atau bahkan malah melebihi Letusan Krakatau 1883?

Gambar 3. Tiga letusan mirip Letusan Krakatau 1883 di Io sepanjang 15 hingga 29 Agustus 2013. Kiri: letusan Rarog Patera, diobservasi teleskop Keck II pada panjang gelombang 1,59 mikron. Tengah: letusan Rarog Patera dan Heno Patera, diobservasi teleskop Keck II pada panjang gelombang 2,27 mikron. Dan kanan: letusan 201308C dan Rarog Patera, diobservasi teleskop IRTF NASA pada panjang gelombang 3,78 mikron. Nampak bahwa letusan 201308C adalah yang terbesar, diikuti letusan Rarog Patera dan kemudian Heno Patera. Saat 201308C meletus dahsyat, letusan di Rarog Patera dan Heno Patera sudah berakhir. Sumber: NASA & Keck II Observatory, 2014.

Gambar 3. Tiga letusan mirip Letusan Krakatau 1883 di Io sepanjang 15 hingga 29 Agustus 2013. Kiri: letusan Rarog Patera, diobservasi teleskop Keck II pada panjang gelombang 1,59 mikron. Tengah: letusan Rarog Patera dan Heno Patera, diobservasi teleskop Keck II pada panjang gelombang 2,27 mikron. Dan kanan: letusan 201308C dan Rarog Patera, diobservasi teleskop IRTF NASA pada panjang gelombang 3,78 mikron. Nampak bahwa letusan 201308C adalah yang terbesar, diikuti letusan Rarog Patera dan kemudian Heno Patera. Saat 201308C meletus dahsyat, letusan di Rarog Patera dan Heno Patera sudah berakhir. Sumber: NASA & Keck II Observatory, 2014.

Ini bukan kabar burung. Trio letusan mirip Krakatau itu memang benar-benar terjadi. Namun jangan buru-buru cemas dan memacu adrenalin anda. Trio letusan tersebut mengambil lokasi yang sangat jauh dari Bumi, yakni pada sebuah benda langit lain yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dibanding Bulan. Trio letusan itu terjadi di Io yang adalah salah satu satelit alamiah dari planet Jupiter. Demikian dahsyat ketiga letusan itu sehingga kilatan cahayanya dapat disaksikan dari Bumi, meski hanya dapat disaksikan lewat fasilitas teleskop tercanggih. Adalah tiga teleskop berpangkalan di puncak Gunung Mauna Kea, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), yang merekam ketiga letusan tersebut. Ketiganya adalah teleskop Gemini North, Keck II dan IRTF (Infra Red Telecope Facility) NASA. Ketiga letusan terekam dalam rentang waktu antara 15 dan 29 Agustus 2013, saat Io berjarak 865 juta kilometer dari Bumi.

Dua letusan pertama terdeteksi oleh teleskop Keck II (diameter cermin 10 meter) saat diarahkan ke Io pada 15 Agustus 2013 pukul 22:30 WIB. Bekerja pada spektrum sinar inframerah dan dilengkapi sistem optik adaptif untuk mengoreksi gangguan optis akibat turbulensi dalam atmosfer Bumi, teleskop Keck II merekam dua titik berpendar terang di permukaan Io yang tak pernah ada sebelumnya. Titik pendar pertama berimpit dengan posisi Gunung Rarog Patera yang telah dikenal sebelumnya. Sementara titik letusan kedua bertepatan dengan Gunung Heno Patera, yang juga telah dikenali sebelumnya. Dan letusan terakhir terdeteksi dua minggu kemudian, yakni pada 29 Agustus 2013, lewat teleskop Gemini North dan IRTF NASA. Letusan ini terjadi di lokasi yang tak dikenal dan untuk sementara diberi kode sebagai 201308C.

Observasi lanjutan menunjukkan bahwa ketiganya merupakan erupsi eksplosif gunung berapi Io yang khas. Letusan Rarog Patera mengeluarkan lava sepanas hingga sekitar 750 derajat Celcius. Pada puncak letusannya ia melepaskan daya hingga 8 terawatt (8 juta megawatt). Lava lantas membanjir menutupi area seluas hingga 120 kilometer persegi disekeliling lubang letusan. Sementara letusan Heno Patera menyemburkan lava yang sedikit lebih dingin yakni 700 derajat Celcius sehingga daya puncaknya pun sedikit lebih rendah yakni 5 hingga 6 terawatt (5 juta hingga 6 juta megawatt). Namun letusan Heno Patera memuntahkan lava yang menutupi kawasan dua kali lipat lebih luas yakni 300 kilometer persegi. Dan letusan 201308C adalah yang terdahsyat. Pada puncaknya ia melepaskan daya antara 15 hingga 25 terawatt (15 juta hingga 25 juta megawatt) dengan lava panasnya hingga sepanas 1.600 derajat Celcius atau bahkan lebih.

Gambar 4. Peta permukaan Io berdasar citra komposit Voyager 1, Voyager 2 dan Galileo. Nampak lokasi Rarog Patera, Heno Patera dan 201308C, tiga gunung berapi yang terlibat dalam trio letusan besar Agustus 2013. Terlihat juga lokasi Gunung Loki dengan kalderanya yang terbesar di Io. Juga Gunung Pele, gunung berapi luar Bumi yang pertama kali terdeteksi. Sumber: Sudibyo 2014 dengan peta dasar USGS Astrogeology, 2014.

Gambar 4. Peta permukaan Io berdasar citra komposit Voyager 1, Voyager 2 dan Galileo. Nampak lokasi Rarog Patera, Heno Patera dan 201308C, tiga gunung berapi yang terlibat dalam trio letusan besar Agustus 2013. Terlihat juga lokasi Gunung Loki dengan kalderanya yang terbesar di Io. Juga Gunung Pele, gunung berapi luar Bumi yang pertama kali terdeteksi. Sumber: Sudibyo 2014 dengan peta dasar USGS Astrogeology, 2014.

Analisis lebih lanjut memperlihatkan trio letusan ini merupakan letusan besar karena memuntahkan magma dalam jumlah sangat banyak. Jumlah magma yang disemburkan letusan Rarog Patera dan Heno Patera berkisar antara 50.000 hingga 100.000 meter kubik per detik. Sebaliknya berapa magma yang dikeluarkan letusan 201308C belum jelas, namun dapat diduga jauh lebih besar ketimbang Rarog dan Heno Patera. Bandingkan dengan Letusan Krakatau 1883 di Bumi, yang pada puncak letusannya menghamburkan magma sebanyak ‘hanya’ 20.400 meter kubik per detik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecepatan pengeluaran magma Rarog Patera dan Heno Patera adalah antara 2 hingga 4 kali lipat lebih tinggi ketimbang Krakatau. Namun tak demikian dengan dayanya, yakni jumlah energi yang dilepaskan dalam tiap satuan waktu. Jika suhu magma Krakatau 1883 dianggap 800 derajat Celcius, maka daya sebesar 14 terawatt terlepas dalam puncak letusannya. Ini lebih besar ketimbang daya letusan Rarog maupun Heno Patera, namun masih lebih kecil dibanding letusan 201308C.

Io adalah benda langit yang sedikit lebih besar dari Bulan (diameter Io = 3.628 km dan diameter Bulan = 3.474 km). Maka dari itu gravitasinya pun cukup kecil yakni 5,5 kali lebih kecil ketimbang Bumi. Saat terjadi letusan sedahsyat Letusan Krakatau 1883 di Io, gravitasi kecilnya membuat material letusan sanggup tersembur hingga mencapai ketinggian beratus-ratus kilometer. Bandingkan dengan Bumi, dimana letusan gunung berapi terdahsyat sekalipun takkan sanggup menyemburkan debu vulkaniknya hingga melampaui ketinggian 100 km. Debu vulkanik gunung-gemunung berapi di Io bahkan sanggup melesat keluar dari lingkungan pengaruh satelit alamiah Jupiter itu dan lantas berubah haluan menjadi debu bermuatan listrik mengelilingi Jupiter sebagai plasma. Observasi dengan satelit HISAKI milik Jepang, yang dirancang khusus untuk mengamati plasma yang mengedari Jupiter dari kejauhan orbit Bumi, berhasil mendeteksi meningkatnya jumlah debu bermuatan listrik dalam lingkungan plasma tersebut setelah trio letusan ini terjadi.

Tidal

Sekilas adanya gunung berapi di luar Bumi bakal membuat dahi kita berkernyit. Apalagi di lingkungan sekecil Io. Apalagi saat gunung-gemunung berapi tersebut meletus dengan kekuatan yang luar biasa besar hingga menyamai atau bahkan melebihi Letusan Krakatau 1883 yang demikian populer. Gunung berapi aktif di luar Bumi memang baru diketahui eksistensinya pada 1979. Untuk pertama kalinya gunung berapi semacam itu memang ditemukan di Io, dalam satu babak eksplorasi antariksa takberawak yang bergelora.

Io adalah satelit alamiah Jupiter yang cukup populer. Astronom legendaris Galileo Galilei menjadi orang yang pertama kali menyaksikannya lewat teleskop pembias sederhana (perbesaran 20 kali) buatan sendiri pada 7 Januari 1610 malam. Observasi serupa di malam selanjutnya memastikan eksistensi Io. Inilah satu dari empat satelit Galilean Jupiter, sekaligus satelit alamiah terbesar yang berjarak paling dekat dengan planet gas raksasa itu. Io hanya membutuhkan 42 jam untuk beredar mengelilingi sang planet induk sekali putaran. Benda langit ini sejatinya dapat disaksikan mata manusia tanpa menggunakan alat bantu karena magnitudo semunya +5, atau setingkat lebih terang ketimbang ambang batas keterlihatan benda langit lewat mata manusia (yakni magnitudo semu +6). Namun benderangnya Jupiter persis disebelahnya membuat Io takkan dapat disaksikan dengan cara itu.

Gambar 5. Citra resolusi rendah terhadap lingkungan tiga gunung berapi yang terlibat dalam trio letusan besar Agustus 2013 diabadikan oleh wahana Voyager 1 (kiri) dan galileo (kanan). Ketiganya adalah Gunung Rarog Patera (lingkaran hijau), Heno Patera (lingkaran merah) dan 201308C (lingkaran ungu). Jelas terlihat bahwa ketiga gunung berapi ini pada dasarnya adalah kaldera. Sumber: NASA, 1979 & 1999.

Gambar 5. Citra resolusi rendah terhadap lingkungan tiga gunung berapi yang terlibat dalam trio letusan besar Agustus 2013 diabadikan oleh wahana Voyager 1 (kiri) dan galileo (kanan). Ketiganya adalah Gunung Rarog Patera (lingkaran hijau), Heno Patera (lingkaran merah) dan 201308C (lingkaran ungu). Jelas terlihat bahwa ketiga gunung berapi ini pada dasarnya adalah kaldera. Sumber: NASA, 1979 & 1999.

Hingga hampir empat abad kemudian Io hanya terlihat sebagai bintik cahaya mirip bintang. Namun seiring perkembangan zaman yang meningkatkan kemampuan teleskop-teleskop termutakhir, perlahan-lahan Io mulai tampil sebagai cakram redup. Meski demikian ada satu anggapan yang tak berubah merentang abad, yakni aktivitas geologisnya. Dengan ukuran hanya sedikit lebih besar dari Bulan, Io dianggap sebagai benda langit yang telah mati. Artinya, kondisi internalnya telah mendingin (hampir) sepenuhnya sehingga tak lagi tersisa cukup panas yang bisa keluar ke permukaan dalam rupa vulkanisme beserta aktivitas penyertanya. Hingga 1978 pandangan ini masih bertahan meski observasi teleskop inframerah termutakhir saat itu mengungkap adanya hal aneh di Io. Anomali itu sebanding dengan pancaran panas dari obyek bersuhu sekitar 300 derajat Celcius dari area seluas 8.000 kilometer persegi di Io, yang mengesankan sebagai aktivitas vulkanik.

Pandangan tersebut berubah total setelah wahana antariksa takberawak Voyager 1 melintas di dekat Io dalam perjalanannya mengarungi tata surya guna menuju ke planet Saturnus. Voyager 1 memperlihatkan betapa mulusnya permukaan Io, tanpa berhias kawah-kawah tumbukan benda langit (asteroid atau komet) disana-sini. Padahal kawah-kawah tumbukan dalam aneka ukuran amat umum dijumpai pada permukaan benda langit yang telah mati seperti misalnya Bulan dan planet Mars. Maka permukaan Io amat berbeda dibanding Bulan. Io memang memiliki atmosfer namun sangat tipis, sehingga permukaannya yang mulus jelas bukan hasil kerja gaya-gaya eksogen seiring cuaca. Permukaan Io lebih merupakan manifestasi dari gaya endogennya.

Dan heboh besar pun meledak begitu Voyager 1 bersiap meninggalkan lingkungan Io. Untuk kepentingan navigasi optikal guna mengetahui posisi wahana di langit, Voyager 1 mengarahkan kameranya ke Io pada 8 Maret 1979. Hasilnya mengejutkan. Voyager 1 tak hanya menangkap citra Io sebagai benda langit berbentuk sabit lebar mirip Bulan, namun juga merekam sejenis busur setengah lingkaran yang mengembang mirip payung di tepi cakram Io. Selidik punya selidik, bentuk mirip payung ini ternyata material vulkanik yang tersembur hebat dari suatu titik yang kemudian dinamakan Gunung Pele. Semburan material vulkanik yang demikian tinggi menandakan telah terjadi letusan besar. Tertangkap juga sebentuk kaldera raksasa yang di kemudian hari dinamakan Gunung Loki. Observasi selanjutnya dalam waktu yang berbeda melalui wahana Voyager 2 (1979), Galileo (1995-2003), Cassini-Huygens (2000) dan New Horizon (2007) menunjukkan bahwa dunia sekecil Io ternyata dijejali 150 gunung berapi dalam berbagai bentuk. Gunung Pele menjadi gunung berapi Io yang terbesar. Tapi angka itu diyakini hanyalah sebagian dari seluruh populasi gunung berapi di Io yang diduga mencapai 400 buah atau lebih.

Gambar 6. Video detik-detik letusan Gunung Tvashtar Patera seperti diabadikan wahana New Horizon (2007) saat melintas-dekat Jupiter dalam perjalanan menuju planet-kerdil Pluto. Material vulkanik terlihat disemburkan setinggi 330 km dan membentuk busur setengah bola mirip payung raksasa, ciri khas letusan besar. Sumber: NASA, 2007.

Gambar 6. Video detik-detik letusan Gunung Tvashtar Patera seperti diabadikan wahana New Horizon (2007) saat melintas-dekat Jupiter dalam perjalanan menuju planet-kerdil Pluto. Material vulkanik terlihat disemburkan setinggi 330 km dan membentuk busur setengah bola mirip payung raksasa, ciri khas letusan besar. Sumber: NASA, 2007.

Vulkanisme di Io semula diduga lebih menyemburkan magma yang didominasi senyawa-senyawa belerang sehingga suhunya lebih dingin ketimbang lava di Bumi. Namun observasi lebih lanjut menjungkirbalikkan anggapan itu. Banyak gunung berapi Io yang ternyata menyemburkan magma dengan dominasi senyawa-senyawa silikat, layaknya magma di Bumi. Sehingga magmanya setara atau bahkan lebih panas dibanding magma di Bumi. Gunung-gunung berapi Io kerap meletus dalam jangka panjang lewat erupsi efusif. Ini adalah letusan yang melelerkan lava tanpa disertai semburan material vulkanik yang cukup tinggi. Erupsi efusif di Io menghasilkan lava yang bergerak cepat, sehingga mampu menutupi area seluas 12,6 hingga 21,6 hektar dalam setiap jamnya (kasus letusan Prometheus dan Amirani). Sementara lava produk erupsi efusif di Bumi hanya sanggup menutupi area seluas 0,2 hektar saja dalam setiap jamnya (kasus letusan Kilauea di Kepulauan Hawaii). Namun pada saat-saat tertentu, dalam jangka pendek, gunung-gunung berapi ini juga dapat mengalami erupsi eksplosif. Erupsi eksplosif ini sungguh luar biasa. Iasanggup menyemburkan lava panas hingga setinggi 1 km laksana air mancur berapi gigantis. Sementara debu vulkaniknya mampu tersembur jauh lebih tinggi lagi. Kecepatan pengeluaran lavanya pun demikian besar sehingga sebanding dengan letusan gunung berapi model banjir lava basalt di Bumi, seperti misalnya Letusan Laki 1783 (Islandia).

Mengapa dunia kecil Io bisa sedahsyat dan seunik ini? Vulkanisme di Io digerakkan oleh sumber yang berbeda dibanding Bumi. Di Bumi, gunung-gemunung berapi muncul akibat adanya sumber panas internal dimana 90 % diantaranya berasal dari peluruhan radioaktif inti-inti atom berat sementara 10 % sisanya adalah panas-sisa proses pembentukan Bumi purba dari masa remaja tata surya. Panas tersebut menghasilkan sirkulasi dalam lapisan selubung (mantel) Bumi sehingga menggerakkan lempeng-lempeng tektonik di keraknya. Perbenturan dan pemisahan lempeng-lempeng inilah yang memproduksi vulkanisme. Namun hanya 1 % panas internal Bumi yang mewujud sebagai vulkanisme dan tektonisme, 99 % sisanya terlepas keluar melalui proses konduksi di kerak Bumi.

Di internal Io juga terjadi peluruhan radioaktif inti-inti atom berat, namun energi yang dihasilkannya hanya mencakup 0,5 % saja. 99,5 % panas internal Io disumbangkan oleh pemanasan tidal, seiring posisi Io yang unik dalam lingkungan planet Jupiter. Io berjarak relatif dekat dengan planet induknya. Dan dengan 2 satelit Galilean lainnya, yakni Europa dan Ganymede, Io mengalami resonansi orbital dalam bentuk resonansi Laplace. Maka kala Ganymede tepat menyelesaikan revolusinya terhadap Jupiter sekali, Io pun tepat empat kali berevolusi. Demikian halnya saat Europa sekali berevolusi, maka Io tepat dua kali berevolusi. Sifat ini membuat orbit Io sangat stabil dan nyaris berbentuk lingkaran sempurna. Di sisi lain kedekatannya dengan Jupiter membuat Io mengalami gaya tidal (gaya pasang surut) yang sangat besar. Sehingga permukaan Io menggelembung dan mengempis secara teratur dengan perbedaan ketinggian permukaan rata-rata bisa mencapai 100 meter. Bandingkan dengan Bumi, dimana gaya tidal Bulan hanya sanggup menghasilkan perbedaan setinggi 1 meter saja.

Mengembang dan mengempisnya Io pun dirasakan oleh struktur internalnya hingga menciptakan panas yang sangat besar. Panas ini tak bisa dimanifestasikan dalam perubahan orbit Io, akibat resonansi orbitalnya dengan Europa dan Ganymede. Maka panas itu pun akhirnya melelehkan sebagian lapisan selubung Io hingga membentuk lapisan magma (samudera magma) pada kedalaman 50 km dengan ketebalan rata-rata sekitar 50 km. Magma dari samudera magma inilah yang kemudian keluar ke permukaan, menciptakan vulkanisme yang sangat intensif.

Referensi:

de Pater dkk. 2014. Two New, Rare, High-effusion Outburst Eruptions at Rarog and Heno Paterae on Io. Icarus 2014.06.016

de Kleer dkk. 2014. Near-infrared Monitoring of Io and Detection of a Violent Outburst on 29 August 2013. Icarus 2014.06.006

Perry. 2014. Three Major Volcanic Eruptions Observed On Io in the Span of Two Weeks. Planetary Society 2014/08/12.

Antara Letusan Tambora, Waterloo dan Perang Diponegoro

Yogyakarta, Rabu 20 Juli 1825. Matahari kuning kemerah-merahan mengambang rendah di atas kaki langit barat saat jarum jam menunjuk pukul 17:00 setempat. Cahaya keemasannya melaburi langit senja dan juga pucuk-pucuk pepohonan di seantero kota, seakan hendak melipur lara para penduduknya yang menderita di bawah pendudukan Belanda. Namun keindahan senja itu tak sanggup menghapus amarah membara. Di kejauhan sana, di dekat kaki langit sebelah barat, asap mengepul pekat. Inilah saat pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda menyerbu Ndalem Tegalrejo, kediaman Pangeran Diponegoro di pedesaan sisi barat kota. Pasukan gabungan itu datang menghantam dengan satu tujuan: meringkus sang pangeran. Itulah jawaban atas sikap keras Pangeran Diponegoro yang dianggap membangkang karena menolak rencana pelebaran jalan raya (kelak menjadi bagian jalan raya Yogyakarta-Magelang) yang melintasi tapalbatas Ndalem Tegalrejo. Penyerbuan berlangsung kelewat batas. Ndalem Tegalrejo digedor, digeledah, diobrak-abrik dan lantas dibakar. Namun sang buruan tak tertangkap. Bersama sejumlah pengiringnya, Diponegoro meloloskan diri dari kepungan dan lantas menyingkir 10 km ke selatan, ke perbukitan Selarong yang dipenuhi goa-goa kapur.

Diponegoro. Kadang ditulis juga sebagai Dipanegara. Tak satupun orang Indonesia khususnya yang pernah mengenyam bangku sekolah yang asing akan namanya. Diponegoro adalah pahlawan nasional Indonesia. Sosoknya gampang terpatri dalam benak: berpakaian serba putih, bersorban putih pula dan menyandang keris didepan raga. Tak heran jika tampilan ini banyak ditiru khususnya dalam pentas perayaan peringatan kemerdekaan republik ini, baik di sekolah, di karnaval menyusuri jalan-jalan utama maupun di panggung serta layar perak. Tak berbilang pula kota-kota yang menabalkan salah satu ruas jalan utamanya dengan namanya. Namanya pun melekat pada daerah militer di Jawa Tengah (sebagai Kodam IV/Diponegoro), juga pada salah satu lembaga perguruan tinggi prestisius (Universitas Diponegoro). Sejumlah patung bernuansa kepahlawanan yang menggambarkan sosoknya pun berdiri dimana-mana. Bahkan dua buah kapal perang TNI-AL pun menyandang namanya, misalnya yang termutakhir KRI Diponegoro-365.

Gambar 1. Dinding berlubang di pagar sisi barat eks Ndalem Tegalrejo (kini Museum Sasana Wiratama Dipoengoro, Yogyakarta). Di sinilah Pangeran Diponegoro meloloskan diri saat kediamannya diserbu pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda, yang mengawali berkobarnya Perang Diponegoro. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.

Gambar 1. Dinding berlubang di pagar sisi barat eks Ndalem Tegalrejo (kini Museum Sasana Wiratama Dipoengoro, Yogyakarta). Di sinilah Pangeran Diponegoro meloloskan diri saat kediamannya diserbu pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda, yang mengawali berkobarnya Perang Diponegoro. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.

Ya. Diponegoro memang pahlawan besar, sosok sentral dibalik Perang Diponegoro atau yang dikenal juga sebagai Perang Jawa dalam melawan penjajahan Belanda. Perang Diponegoro menjadi peperangan paling berdarah, paling mahal dan paling menguras tenaga sepanjang sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Hanya dalam tempo 5 tahun Belanda harus mengerahkan 50.000 serdadu dengan tak kurang dari 15.000 diantaranya tumpas berkalang tanah. Separuh korban tewas itu adalah pasukan terpilih yang didatangkan langsung dari tanah Eropa. Perkebunan-perkebunan yang selama ini menjadi lumbung uang dibakar dan dirusak. Total kerugiannya pun melangit, mencapai angka 20 juta gulden pada masa itu atau setara milyaran rupiah di masa kini. Dikombinasikan dengan duit yang harus dirogoh dalam perang Napoleon di daratan Eropa yang disusul pemberontakan Belgia dan perang Paderi di Sumatra, Perang Diponegoro membuat pemerintah Belanda maupun satelit seberang lautannya (yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda) mendapati diri mereka bangkrut sebangkrut-bangkrutnya.

Diponegoro sejatinya bukan nama diri. Itu adalah gelar kepangeranan yang bukan main-main. Gelar bagi seorang pangeran yang menyebarkan pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara. Sebelum 1825 gelar ini acapkali dipakai sejumlah putra raja wangsa Mataram masa itu. Pangeran Diponegoro yang kita bicarakan ini lahir sebagai BRM (Bandoro Raden Mas) Mustahar, putra sulung Sri Sultan Hamengku Buwono III, di tahun 1785. Saat beranjak remaja, sesuai tradisi keraton maka namanya bersalin menjadi RM (Raden Mas) Ontowiryo. Dan pada tahun 1812 beliau dinobatkan sebagai pangeran dengan menyandang gelar BPH (Bandoro Pangeran Haryo) Diponegoro. Sebagai putra tertua sang raja yang sedang bertahta, Diponegoro pun memiliki kesempatan untuk menjadi raja berikutnya. Namun Diponegoro tahu diri, ia bukanlah putra permaisuri. Sebaliknya ia justru keluar dari lingkungan keraton dan tinggal di pedesaan untuk mendekatkan diri dengan rakyat Yogyakarta sembari memperdalam ilmu agama (Islam). Dalam saat-saat tertentu sang pangeran, dengan menyamar sebagai wong cilik, bahkan tak segan-segan blusukan ke pelosok tanah Mataram, dua abad sebelum kosakata blusukan menjadi trademark Jokowi.

Namun selepas Perang Diponegoro, tak satupun bangsawan wangsa Mataram baik di Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta maupun Pakualaman dan Mangkunegaran yang bersedia menyandang nama Diponegoro lagi. Nama itu ibarat aib, pembawa kutukan. Bagi Kasultanan Yogyakarta sendiri, Pangeran Diponegoro bahkan dipandang sebagai sosok pengkhianat. Betapa tidak? Perang Diponegoro merenggut korban tak kepalang. Lebih dari seperlima juta orang Jawa meregang nyawa. Populasi warga Yogyakarta pun menyusut hingga tinggal separuh. Seluruh biaya peperangan di pihak Belanda dibebankan ke Kasultanan. Dan begitu perang usai, Belanda melucuti wilayah Kasultanan terutama di Bagelen (sekarang Purworejo), Banyumas dan Panjer (sekarang Kebumen) sebagai pampasan perang. Kasultanan pun nyaris bangkrut, hampir terhapus dari panggung sejarah. Tak heran jika kebencian pun berakar dalam. Bahkan keturunan Diponegoro dilarang untuk memasuki keraton, kapanpun dan atas alasan apapun. Larangan ini baru dicabut lebih dari seabad kemudian pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX, kala zaman sudah berubah. Apalagi setelah Presiden Soekarno berinisiatif menggelar peringatan satu abad wafatnya Pangeran Diponegoro pada 1955.

Faktor

Gambar 2. Pertempuran Nglengkong 30 Juli 1826 dalam sketsa. Pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda berhadapan dengan laskar Diponegoro, yang menghasilkan kemenangan terbesar bagi Pangeran Diponegoro pada saat itu. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.

Gambar 2. Pertempuran Nglengkong 30 Juli 1826 dalam sketsa. Pasukan gabungan Kasultanan Yogyakarta dan Belanda berhadapan dengan laskar Diponegoro, yang menghasilkan kemenangan terbesar bagi Pangeran Diponegoro pada saat itu. Sumber: Amangkuratprastono, 2014.

Buku-buku sejarah di bangku sekolah menyebut penyerbuan Ndalem Tegalrejo itulah penyulut Perang Diponegoro. Ya. Perang Diponegoro memang dimulai dari Tegalrejo. Namun penyerbuan Tegalrejo bukanlah faktor utama penyebab perang. Sang pangeran sendiri dalam Babad Diponegoro, karya sastra biografis yang ditulis Diponegoro selama masa penawanan di pulau Sulawesi dan kini telah diakui secara internasional sebagai salah satu Memory of the World oleh UNESCO, menyebut bibit peperangan besar itu telah bersemi semenjak 12 tahun sebelumnya. Yakni saat kolonialisme Eropa mempertontonkan wajah kurangajarnya dengan mulai mencampuri urusan internal Kasultanan. Inggris, yang saat itu menguasai pulau Jawa sebagai ekses perang Napoleon, mengacak-acak keraton, memprovokasi terbentuknya kadipaten Pakualaman (sebagai pecahan Kasultanan) dan bahkan pada puncaknya melakukan penjarahan akbar pada 1812.

Inggris tak bertahan lama di Yogyakarta. Mulai pertengahan 1816, Belanda kembali dan mengambil-alih seluruh wilayah jajahannya. Dalam keadaan hampir bangkrut, Belanda meneruskan praktik provokasi Inggris. Keraton makin diacak-acak. Minuman keras bergentayangan dimana-mana, membuat para pangeran muda dan tua mabuk tanpa kenal ruang dan waktu. Perselingkuhan opsir-opsir Belanda dengan para putri keraton pun merebak. Sedemikian parah situasinya sehingga Mahandis Y. Thamrin dalam National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014 bahkan menyebut Belanda memperlakukan keraton tak ubahnya seperti tempat pelacuran. Di luar keraton, Belanda melakoni model penjajahan gaya batu dengan membebani setiap orang lewat aneka macam pajak yang mencekik leher. Di wilayah Bagelen saja setiap orang dibebani membayar 13 jenis pajak sekaligus! Zaman pun menjadi edan.

Lambat laun kekurangajaran Belanda di dalam dan di luar keraton laksana menyulut bara dalam sekam. Ketidaksukaan dan kebencian merebak dimana-mana, baik di kalangan bangsawan, prajurit, ulama, bupati, demang, santri, petani maupun rakyat kecil pemberani. Kegemaran blusukannya membuat Diponegoro mampu mencermati ketidaksukaan itu. Dan beliau tidak menulikan diri. Sebaliknya, Diponegoro justru mulai membentuk jaringan rahasia dengan mereka untuk membangun kekuatan. Dana pun mulai mengalir, terutama dari para bangsawan dan dari pencegatan demi pencegatan konvoi logistik Belanda yang sekilas terkesan sebagai tindakan sporadis. Dengan dana tersebut dibangunlah kilang mesiu rahasia di pinggiran Yogyakarta dan tempat-tempat lain. Senapan pun mulai dibeli dari Prusia. Organisasi militer mulai dibentuk dengan mengacu pada struktur tentara imperium Turki Utsmani.

Dengan semua persiapan nan senyap itu Perang Jawa memang benar-benar tinggal menunggu waktu. Dan si pemicu pun datanglah, kala Ndalem Tegalrejo diserbu. Tak heran jika hanya dalam dua minggu pasca penyerbuan Tegalrejo, Diponegoro kembali ke kota Yogyakarta, kali ini bersama 6.000 prajurit. Kota dikepung dari segenap penjuru selama sebulan lebih semenjak 7 Agustus 1825. Tak sekedar mengepung dan memutuskan seluruh akses jalan masuk kota, pasukan Diponegoro secara sistematis juga menghujani Yogyakarta dengan mesiu khususnya ke target-target strategis milik Belanda. Yogyakarta menjadi lautan api. Belanda pun kewalahan dan memilih bertahan sekuat tenaga di dalam Benteng Vredeburg sembari menunggu bala bantuan dari Batavia.

Waterloo

Selain faktor-faktor yang bersifat lokal itu, faktor global turut menjadi penyebab Perang Diponegoro. Seperti berkecamuknya Pertempuran Waterloo (1815) di daratan Eropa dan disusul berjangkitnya penyakit demikian rupa hingga menciptakan wabah berskala besar yang berujung pandemi (1817-1824). Cukup menarik bahwa dua faktor global tersebut nampaknya sangat dipengaruhi sebuah peristiwa alamiah dalam skala yang sungguh luar biasa, yakni Letusan Tambora 1815.

Bagaimana bisa demikian?

Gambar 3. Pertempuran Waterloo dalam lukisan William Sadler. Kekalahan Perancis dalam perang besar ini mengubah geopolitik Eropa dan berpengaruh global, termasuk memicu Perang Diponegoro.

Gambar 3. Pertempuran Waterloo dalam lukisan William Sadler. Kekalahan Perancis dalam perang besar ini mengubah geopolitik Eropa dan berpengaruh global, termasuk memicu Perang Diponegoro.

Pertempuran Waterloo adalah perang yang menentukan kejatuhan kekaisaran Napoleon Bonaparte. Napoleon adalah produk ajaib revolusi Perancis, revolusi yang semula bertujuan meruntuhkan kekuasaan monarki absolut (mutlak) namun belakangan justru berbuah tegaknya kembali kekuasaan monarki absolut yang lain. Selagi menjabat kaisar Perancis, Napoleon berusaha mewujudkan ambisinya menyatukan seluruh daratan Eropa di tangannya. Ambisi ini menyebabkan Perancis terus-menerus bertempur dengan negara-negara tetangganya, terutama Inggris dan Prusia, yang mewujud dalam sejumlah episode Perang Koalisi. Mulai Perang Koalisi Ketiga (1805) hingga Perang Koalisi Kelima (1809), Perancis memetik banyak kemenangan. Sehingga pada 1812 imperium Perancis mencapai puncak kejayaannya dengan wilayah membentang luas meliputi hampir seluruh daratan Eropa barat, kecuali Portugis dan Eropa tenggara menjadi wilayah imperium Turki Utsmani, yang dianggap sekutu Perancis. Sebaliknya Eropa timur sepenuhnya ada di bawah kekaisaran Rusia. Maka Napoleon dan pasukannya pun bermanuver ke timur.

Namun invasi Napoleon ke Rusia justru membuatnya tersungkur telak. Taktik yang salah, musim dingin yang demikian menggigil membekukan dan sengatan wabah tipus membuat Perancis mengalami kekalahan besar-besaran. Napoleon terpaksa pulang dengan memalukan dari Moskow sembari membawa hanya 4 % dari sisa pasukannya, setara 27.000 orang. Sebagian besar lainnya tewas atau malah tertangkap lawan. Demoralisasi pun menyebar di sekujur Perancis. Akibatnya saat koalisi Prusia, Swedia, Austria dan Jerman bangkit mengeroyok Perancis dengan bantuan Rusia dalam Perang Koalisi Keenam (1812-1814), Napoleon dipaksa bertekuk lutut. Setengah juta pasukan koalisi berbaris rapi memasuki kota Paris pada 30 Maret 1814 dan sang kaisar yang terguling dipaksa pergi ke pengasingan di pulau Elba, lepas pantai barat Italia. Koalisi mendudukkan raja Louis XVIII, monarki sebelumnya, sebagai penguasa Perancis yang baru. Bersama Inggris Raya koalisi pun mulai merancang pertemuan di Wina guna menata ulang geopolitik Eropa sesuai monarki-monarki yang ada sebelum meletusnya perang Napoleon. Pertemuan mulai terlaksana setengah tahun kemudian dan lantas populer sebagai Kongres Wina.

Mendadak berhembus kabar Napoleon Bonaparte meloloskan diri dari pulau Elba. Kabar itu ternyata benar dan sejatinya tak mengejutkan seiring lemahnya penjagaan di pulau Elba. Napoleon mendarat di Perancis pada 1 Maret 1815 dan segera memperoleh dukungan luas dari publik untuk merengkuh kembali tahta kekaisarannya. Raja Louis XVIII terpaksa lari terbirit-birit dari Paris. Begitu imperium Perancis kembali, sasaran pertamanya adalah menghabisi seluruh musuhnya. Maka 280.000 prajurit baru pun disiapkan ditambah dengan 250.000 veteran perang. Napoleon juga mengeluarkan dekrit baru yang memungkinkan 2,5 juta penduduk memasuki legiun-legiun Perancis. Di luar sana, koalisi Austria, Prusia, Rusia dan Inggris Raya pun segera mengorganisir diri. Pasukan besar juga dibentuk dan siap dibenturkan. Perang Koalisi Ketujuh pun siap berkobar.

Malang, kali ini Napoleon (kembali) harus jatuh tersungkur. Serangan dadakannya ke pusat konsentrasi pasukan koalisi di Brussels (Belgia) yang belum sempat menata diri berujung petaka di Waterloo. Hujan sangat deras yang salah musim mendadak mengguyur, membuat jalanan menjadi demikian berlumpur sehingga artileri berat yang menjadi tulang punggung pasukan Perancis tak bisa bergerak leluasa. Tak lama kemudian udara kian mendingin, fenomena aneh untuk rentang waktu yang seharusnya adalah musim panas. Udara yang kian mendingin membuat pasukan Perancis terserang radang dingin hingga menyulitkan gerakannya. Demikian dinginnya sehingga pasukan Perancis sampai-sampai terpaksa membakar setiap sepatu tak terpakai sekedar untuk menghangatkan badan. Ambisi Napoleon membuat lawan-lawannya kocar-kacir sembari berharap Inggris pulang kembali ke negerinya dan Prusia keluar dari koalisi pun lenyap laksana kabut dipanggang sinar Matahari. Justru sebaliknya pasukan Perancis yang mendapat pukulan sangat telak hingga segenap sayapnya lumpuh. Korban pun sangat besar, dari 72.000 prajurit Perancis hanya 29 % yang selamat di akhir pertempuran. Bandingkan dengan kekuatan koalisi, yang masih menyisakan 80 % pasukannya dari yang semula berkekuatan 118.000 prajurit.

Akumulasi faktor-faktor yang tak menguntungkan membuat Perancis tak lagi punya keunggulan hingga terpaksa harus bertekuk lutut di bawah kaki pasukan koalisi di akhir pertempuran pada 18 Juni 1815. Sebagai konsekuensinya Napoleon pun mundur dari tahta dan menyerahkan diri ke Inggris. Inggris lantas mengasingkannya ke pulau Saint Helena di tengah-tengah Samudra Atlantik lepas pantai barat Afrika hingga akhir hayatnya. Kongres Wina pun kembali digelar dan menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya adalah dikembalikannya tanah Nusantara ke tangan Belanda sekaligus menegakkan kembali pemerintah kolonial Hindia Belanda menggantikan pemerintahan pendudukan Inggris.

Tambora

Gambar 4. Letusan Gunung Pinatubo pada Juni 1991, menjelang puncak letusan katastrofiknya. Debu vulkanik Pinatubo disemburkan jauh tingga hingga memasuki lapisan stratosfer dan sempat menciptakan tabir surya vulkanik meski tak berdampak besar bagi iklim Bumi. Letusan Tambora 1815 pada dasarnya juga demikian, hanya saja 16 kali lipat lebih dahsyat ketimbang Pinatubo. Sehingga dampaknya pun sangat besar. Sumber: USGS, 1991.

Gambar 4. Letusan Gunung Pinatubo pada Juni 1991, menjelang puncak letusan katastrofiknya. Debu vulkanik Pinatubo disemburkan jauh tingga hingga memasuki lapisan stratosfer dan sempat menciptakan tabir surya vulkanik meski tak berdampak besar bagi iklim Bumi. Letusan Tambora 1815 pada dasarnya juga demikian, hanya saja 16 kali lipat lebih dahsyat ketimbang Pinatubo. Sehingga dampaknya pun sangat besar. Sumber: USGS, 1991.

Tak sulit untuk melihat hujan sangat deras dan udara yang mendadak mendingin adalah salah satu faktor krusial yang menentukan kekalahan Perancis di medan perang Waterloo. Mengapa kedua hal yang tak menguntungkan Perancis itu terjadi? Pertempuran Waterloo berkecamuk pada 15 Juni 1815. Maka tak sulit untuk mengaitkan jalannya pertempuran dengan peristiwa alamiah berskala luar biasa yang terjadi dua bulan sebelumnya mengambil tempat ribuan kilometer dari Waterloo, yakni di kepulauan Nusantara. Itu adalah meletusnya Gunung Tambora, yang mencapai puncak kedahsyatannya dalam kurun 5 hingga 15 April 1815. Letusan ini menyemburkan 160 kilometer kubik (160.000 juta meter kubik) material vulkanik. Milyaran ton debu vulkanik sangat halus menyembur tinggi hingga mencapai lapisan stratosfer. Bersamanya terbawa serta ratusan juta ton gas belerang, yang lantas bereaksi dengan air membentuk tetes-tetes asam sulfat. Paduan keduanya membentuk tabir surya vulkanik yang menyelubungi sekujur penjuru atmosfer Bumi pada ketinggian antara 10 hingga 30 km. Tabir surya ini membuat 25 % cahaya Matahari tereduksi sehingga hanya 75 % saja yang berhasil ditransmisikan ke Bumi. Akibatnya suhu rata-rata permukaan Bumi pun menurun dengan segala akibatnya.

Mudah untuk melihat bahwa hujan salah musim dan sangat deras merupakan bagian dari kacau-balaunya cuaca akibat penurunan suhu rata-rata permukaan. Pun demikian dalam hal udara yang kian mendingin. Hal yang sama juga bertanggungjawab atas terjadinya wabah penyakit berskala global. Udara yang lebih dingin, tebaran debu vulkanik dan cuaca yang kacau membuat sanitasi lingkungan memburuk. Bibit penyakit yang semula hanya endemis di daerah tertentu pun sanggup menyebar lebih jauh. Inilah yang terjadi dengan kolera, yang semula hanya berjangkit di kawasan lembah Sungai Gangga (India). Namun semenjak 1817 kolera mulai tersebar ke kawasan lain. Pada puncaknya hampir seluruh Asia tersapu wabah penyakit mematikan ini, bersama dengan sisi timur Afrika dan sebagian Eropa Timur. Wabah kolera inilah yang menyebabkan kematian massal di tanah Jawa. Demikian banyak penduduk yang meninggal sehingga lahan pertanian tak terurus. Akibatnya bencana kelaparan pun merebak. Wabah ini tak pandang bulu dalam memilih korbannya, kalangan bangsawan dan bahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IV pun turut menjadi sasaran. Tak pelak bencana ini pun berimbas ke ranah sosial-politis, terutama setelah Belanda memilih putra raja (yang baru berusia 3 tahun) menjadi raja selanjutnya bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono V. Karena belum cukup umur, Pangeran Diponegoro ditunjuk sebagai wali raja namun pemerintahan sehari-hari sejatinya dikendalikan Residen Belanda bersama Patih Danurejo IV.

Gambar 5. Kaldera Gunung Tambora yang demikian luas dan dalam. Cekungan air berwarna kehijauan didasarnya adalah Danau Motilahalo. Kaldera ini terbentuk dalam Letusan Tambora 1815 yang dahsyat, hampir 2 abad silam. Kedahsyatannya memicu beragam dampak sosial-politis, termasuk Pertempuran Waterloo dan juga Perang Diponegoro. Sumber: Wahibur Rahman, dalam Geomagz vol. 4 no. 2 (Juni 2014).

Gambar 5. Kaldera Gunung Tambora yang demikian luas dan dalam. Cekungan air berwarna kehijauan didasarnya adalah Danau Motilahalo. Kaldera ini terbentuk dalam Letusan Tambora 1815 yang dahsyat, hampir 2 abad silam. Kedahsyatannya memicu beragam dampak sosial-politis, termasuk Pertempuran Waterloo dan juga Perang Diponegoro. Sumber: Wahibur Rahman, dalam Geomagz vol. 4 no. 2 (Juni 2014).

Kita bisa beranda-andai bagaimana jika pada saat itu Gunung Tambora tak meletus dahsyat? Takdir memang adalah garis nasib yang sepenuhnya menjadi kuasa Allah SWT. Namun jika Letusan Tambora 1815 tak terjadi, jalannya Pertempuran Waterloo mungkin bakal berbeda. Mengingat sebelum pasukan Prusia berhasil berkonsolidasi dengan rekan-rekan koalisinya, kekuatan koalisi di Waterloo hanyalah berjumlah 68.000 prajurit. Sementara Perancis sedikit lebih unggul dengan 72.000 prajurit dan masih dilengkapi artileri berat yang lebih baik. Maka andaikata letusan dahsyat itu tak berlangsung, Perancis mungkin bisa mengungguli kekuatan koalisi. Sejarah berkemungkinan berubah total. Kongres Wina bisa urung mencapai hasilnya dan Belanda dengan penjajahan gaya batunya mungkin takkan datang ke tanah Jawa pada pertengahan 1816 itu.

Referensi:

Djamhari. 2003. Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel-Benteng 1827-1830. Jakarta: Komunitas Bambu.

Penadi. 2000. Riwayat Kota Purworejo dan Perang Bharatayudha di Tanah Bagelen Abad XIX. Purworejo: Lembaga Studi Pengembangan Sosial dan Budaya.

Thamrin. 2014. Kecamuk Perang Jawa. National Geographic Indonesia edisi Agustus 2014, hal. 28-49.

Blog Amangkurat Prastono.

Bila Gunung Slamet Mencicil Letusan

Terhitung mulai Selasa 12 Agustus 2014 pukul 10:00 WIB Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia meningkatkan status Gunung Slamet (propinsi Jawa Tengah) dari semula Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III). Peningkatan ini didasari oleh cenderung meningkatnya aktivitas letusan gunung berapi tertinggi kedua di pulau Jawa itu seperti tercermin dalam ranah kegempaan, ketinggian semburan debu vulkanik letusan, suhu mata air panas di kakinya dan mulai terjadinya leleran lava pijar. Bagi sebagian besar kita peningkatan status ini terasa mengejutkan. Namun bagi saudara-saudara kita yang tinggal di sekitar gunung berapi aktif yang bertubuh terbesar seantero pulau Jawa itu peningkatan status lebih sebagai formalisasi terhadap apa yang mereka saksikan secara langsung pada Gunung Slamet dalam kurun sebulan terakhir.

Gambar 1. Pancuran api Gunung Slamet, yang adalah lontaran material vulkanik berpijar mirip air mancur dari kawah aktif Slamet untuk kemudian berjatuhan kembali ke dalam/sekitar kawah sebagai ciri khas erupsi Strombolian. Pada status Siaga (Level III) kali ini, selain erupsi Strombolian juga telah terjadi leleran lava pijar ke arah barat-barat daya (tanda panah). Sumber: Hendrasto (Kepala PVMBG), 2014.

Gambar 1. Pancuran api Gunung Slamet, yang adalah lontaran material vulkanik berpijar mirip air mancur dari kawah aktif Slamet untuk kemudian berjatuhan kembali ke dalam/sekitar kawah sebagai ciri khas erupsi Strombolian. Pada status Siaga (Level III) kali ini, selain erupsi Strombolian juga telah terjadi leleran lava pijar ke arah barat-barat daya (tanda panah). Sumber: Hendrasto (Kepala PVMBG), 2014.

Ya. Aktivitas Gunung Slamet memang sedang meningkat. Salah satu petunjuknya secara kasat mata nampak sebagai letusan debu. Pada paruh pertama Juli 2014 (yakni dari tanggal 1 hingga 15), Gunung Slamet hanya mengalami 31 letusan debu yang membumbung setinggi 300 hingga 1.500 meter dari puncak. Namun pada paruh kedua Juli 2014 meroket menjadi 148 letusan debu yang setinggi 300 hingga 2.000 meter dari puncak disertai 2 kali suara dentuman berintensitas sedang dan 1 kali pancuran api. Dan pada paruh pertama Agustus 2014 (hingga tanggal 12) telah terjadi 100 kali letusan debu (tinggi kolom letusan 300 hingga 800 meter dari puncak), disertai terdengarnya suara dentuman berintensitas sedang hingga kuat sebanyak 109 kali, terdengarnya suara gemuruh hingga 9 kali dan 37 kali pancuran api serta 2 kali luncuran lava pijar sejauh 1.500 meter ke arah barat-barat daya.

Petunjuk kasat mata ini beriringan dengan meningkatnya kegempaan vulkanik Gunung Slamet. Misalnya gempa letusan. Bila sepanjang Juni 2014 gunung berapi ini hanya menghasilkan 1 gempa letusan/hari (rata-rata), maka pada Juli 2014 meningkat menjadi 43 gempa letusan/hari (rata-rata). Dan pada paruh pertama Agustus 2014 (tepatnya semenjak tanggal 1 hingga 11), jumlah gempa letusannya meroket tajam menjadi 43 gempa letusan/hari (rata-rata). Demikian pula dengan gempa hembusan. Jika sepanjang Juni 2014 hanya terjadi 123 gempa hembusan/hari (rata-rata), maka sepanjang Juli 2014 meningkat menjadi 247 gempa hembusan/hari (rata-rata). Dan dalam paruh pertama Agustus 2014 terus membumbung tinggi sampai menyentuh angka 456 gempa hembusan/hari (rata-rata). Pun demikian dengan gempa vulkanik. Jika pada Juni 2014 hanya terjadi 3 gempa vulkanik dalam dan 4 gempa vulkanik dangkal, maka sepanjang Juli 2014 meningkat sedikit menjadi 6 gempa vulkanik dalam dan 8 gempa vulkanik dangkal.

Petunjuk lainnya datang dari mata air panas di kaki gunung. Pengukuran suhu mata air panas Pandansari dan Sicaya (7,5 km ke arah barat laut dari puncak Slamet) menunjukkan suhu air panas di kedua tempat tersebut cenderung naik dalam kurun sebulan terakhir, meski kenaikannya berfluktuasi. Dan petunjuk lain yang lebih jelas datang dari pengukuran EDM (electronic distance measurement). Semenjak awal Agustus 2014 terdeteksi terjadinya peningkatan tekanan dari dalam tubuh gunung melalui pengukuran EDM di titik Cilik (5,5, km sebelah utara puncak) dan titik Buncis (6 km sebelah barat laut puncak). Peningkatan tekanan tubuh gunung menunjukkan bahwa sepanjang paruh pertama Agustus 2014 ini tubuh Gunung Slamet sedang membengkak/menggelembung atau mengalami inflasi.

Gambar 2. Kegempaan Gunung Slamet sepanjang tahun 2014 (hingga 11 Agustus 2014). Area di antara sepasang garis hitam tegak menunjukkan situasi saat Gunung Slamet berstatus Siaga (Level III) pada periode yang pertama (yakni antara 30 April hingga 12 Mei 2014). Sementara kotak bergaris merah menunjukkan aneka kegempaan semenjak awal Juli 2014, yakni pada saat letusan debu dan gempa letusan kembali mulai terjadi. Dalam kotak merah ini nampak gempa letusan, gempa hembusan dan dua gempa vulkanik cenderung meningkat. Sumber: PVMBG, 2014.

Gambar 2. Kegempaan Gunung Slamet sepanjang tahun 2014 (hingga 11 Agustus 2014). Area di antara sepasang garis hitam tegak menunjukkan situasi saat Gunung Slamet berstatus Siaga (Level III) pada periode yang pertama (yakni antara 30 April hingga 12 Mei 2014). Sementara kotak bergaris merah menunjukkan aneka kegempaan semenjak awal Juli 2014, yakni pada saat letusan debu dan gempa letusan kembali mulai terjadi. Dalam kotak merah ini nampak gempa letusan, gempa hembusan dan dua gempa vulkanik cenderung meningkat. Sumber: PVMBG, 2014.

Dengan data-data tersebut, apa yang yang sebenarnya sedang terjadi di Gunung Slamet? Apakah aktivitasnya bakal terus meningkat? Apakah gunung ini akan meletus? Apakah ia akan meletus lebih besar lagi sebagaimana dahsyatnya letusan Gunung Kelud 13 Februari 2014 maupun letusan Gunung Sangeang Api 30 Mei 2014 lalu? Apakah letusan ini akan memenuhi mitos bahwa Gunung Slamet memang bakal membelah pulau Jawa? Mengapa peningkatan status ini terjadi hanya sehari pasca peristiwa Bulan purnama perigean atau supermoon?

Apakah Gunung Slamet Akan Meletus?

Gunung Slamet sejatinya sudah meletus sejak Maret 2014 lalu yakni kala statusnya ditingkatkan menjadi Waspada (Level II) mulai 10 Maret 2014. Secara kasat mata letusan itu terlihat sebagai semburan debu vulkanik bertekanan lemah sehingga hanya membumbung setinggi maksimum beberapa ratus meter saja di atas puncak. Di malam hari pemandangan semburan debu ini tergantikan oleh pancuran material pijar dari kawah (pancuran api), sebuah ciri khas erupsi strombolian. Pada saat yang sama instrumen seismometer (pengukur gempa) akan merekam getaran khas. Inilah gempa letusan. Di waktu yang lain, seismometer kerap pula merekam getaran yang mirip namun hanya dibarengi semburan asap putih/uap air dari kawah aktif, fenomena yang dikenal sebagai gempa hembusan.

Namun harus digarisbawahi bahwa meskipun letusan sudah terjadi sejak Maret 2014, sepanjang itu melulu berbentuk semburan debu tanpa disertai penumpukan lava. Sehingga tak terbentuk aliran lava pijar atau bahkan malah awan panas (aliran piroklastika). Atas dasar inilah dalam status Waspada (Level II), PVMBG hanya merekomendasikan tak ada aktivitas manusia dalam bentuk apapun di tubuh gunung hingga radius mendatar (horizontal) 2 km dari kawah aktif.

Semenjak dinyatakan berstatus Waspada (Level II) pada Maret 2014 itu Gunung Slamet memang terus memperlihatkan peningkatan aktivitas seperti terlihat pada melonjaknya jumlah gempa letusan dan gempa hembusannya. Belakangan bahkan terjadi deformasi tubuh gunung dalam rupa inflasi atau pembengkakan/penggelembungan tubuh gunung. Inflasi selalu menandai masuknya magma segar ke kantung magma dangkal di dasar tubuh gunung. Besar kecilnya volume magma segar yang diinjeksikan ke dalam kantung magma itu sebanding dengan tinggi rendahnya derajat inflasi tubuh gunung. Inilah yang menjadi alasan PVMBG untuk kembali meningkatkan status Gunung Slamet menjadi Siaga (Level III) mulai 30 April 2014. Konsekuensinya daerah terlarang pun diperluas menjadi radius mendatar 4 km dari kawah aktif.

Namun uniknya status Siaga (Level III) ini hanya disandang Gunung Slamet selama 12 hari. Meski berstatus Siaga (Level III), pasokan magma segar ke dalam tubuh gunung justru menurun seperti diperlihatkan oleh menurunnya gempa vulkanik dalam dan dangkalnya. Dengan letusan demi letusan debu terus berlangsung sementara pasokan magma segar berkurang, maka jumlah magma segar yang masih terkandung dalam kantung magma dangkal di dasar gunung kian menipis. Akibatnya pelan namun pasti letusan debu pun mulai menyurut. Bahkan mulai 6 Mei 2014 sudah tak terjadi letusan debu lagi sehingga gempa letusan pun nihil. Itulah saat hari-hari aktivitas Gunung Slamet ditandai hanya dengan hembusan asap putih/uap air, itu pun dengan kekerapan (jumlah kejadian) yang cenderung menurun. Demikian halnya gempa hembusannya. Atas dasar inilah PVMBG kemudian menurunkan status Gunung Slamet menjadi Waspada (Level II). Status tersebut bertahan hingga 10 Agustus 2014. Meski cenderung menurun, PVMBG tetap melaksanakan pemantauan secara menerus sebagai bagian untuk berjaga-jaga sekaligus mendeteksi kemungkinan ia keluar dari tabiatnya yang telah dikenal secara lebih dini.

Apa yang Terjadi Saat Ini?

Gambar 3. Citra satelit SPOT kanal cahaya tampak akan kawasan puncak Gunung Slamet. Nampak jejak aliran lava masa silam, kemungkinan dari Letusan Slamet 1934 (tanda panah) di sisi barat daya kawah. Sumber: Google Earth, 2014 dengan label oleh Sudibyo.

Gambar 3. Citra satelit SPOT kanal cahaya tampak akan kawasan puncak Gunung Slamet. Nampak jejak aliran lava masa silam, kemungkinan dari Letusan Slamet 1934 (tanda panah) di sisi barat daya kawah. Sumber: Google Earth, 2014 dengan label oleh Sudibyo.

Pada saat ini, di bulan Agustus 2014 ini, Gunung Slamet memang mengalami peningkatan aktivitas kembali. Parameternya cukup jelas, yakni melonjaknya jumlah gempa letusan dan gempa hembusan. Letusan debu mulai terjadi pada awal Juli 2014, sehingga mulai saat itu gempa letusan kembali terjadi di Gunung Slamet. Pada saat yang sama hembusan asap putih/uap air juga cenderung meningkat, meski berfluktuasi. Peningkatan ini jelas terkait dengan naiknya kembali pasokan magma segar dari perutbumi ke dalam tubuh gunung, yang juga mulai terdeteksi pada awal Juli 2014 lewat adanya gempa vulkanik dalam dan dangkal. Saat itu kedua gempa vulkanik tersebut memang tak seriuh gempa yang sama pada paruh pertama Maret 2014 lalu.

Gempa vulkanik merupakan getaran yang terjadi tatkala magma segar yang menanjak naik dari perutbumi mulai meretakkan/memecahkan batuan-batuan yang menghalang dalam saluran magma. Batuan-batuan penghalang itu pun sejatinya magma juga, namun dari periode erupsi sebelumnya (yakni 2009 atau lebih dulu lagi) sehingga adalah magma tua yang telah membeku dan mulai membatu. Begitu batuan-batuan itu terpecahkan maka jalan pun terbuka sehingga magma dapat memasuki kantung magma dangkal di dasar gunung dan kemudian terus bergerak naik hingga menyembur keluar dari kawah aktif di puncak. Saat magma segar yang baru kembali menanjak naik dari perutbumi pada awal Juli 2014 lalu, jalan yang hendak dilaluinya relatif tak terhambat lagi. Sehingga magma segar ini pun tak harus memecahkan lapisan-lapisan batuan penghalang dalam jumlah yang besar. Inilah kemungkinan penyebab kecilnya gempa vulkanik (dalam dan dangkal) Gunung Slamet pada Juli 2014.

Parameter paling jelas bahwa terjadi pasokan magma segar yang baru ke dalam tubuh gunung terlihat pada deformasinya. Dengan Gunung Slamet mengalami inflasi pada saat ini, maka jelas magma segar yang baru dalam volume tertentu telah dipasok ke dalam kantung magma dangkal di dasar Gunung Slamet. Berikutnya sebagian atau bahkan hampir seluruh magma segar ini tentu akan dikeluarkan melalui kawah aktif di puncak. Maka tidaklah mengherankan jika aktivitas letusan Gunung Slamet cenderung meningkat, seperti diperlihatkan oleh meningkatnya letusan debu dan hembusan asap putih/uap airnya.

Satu hal yang membedakan status Siaga (Level III) Gunung Slamet saat ini dengan status sejenis sebelumnya (yakni status periode 30 April hingga 12 Mei 2014) adalah lava. Dalam Siaga (Level III) Gunung Slamet kali ini, lava pijar meleler ke arah barat-barat daya hingga sejauh 1.500 meter dari kawah. Sebaliknya status yang sama di periode sebelumnya tak disertai aksi lava. Lava pijar ini keluar ke barat-barat daya mengikuti aliran lava pijar yang pernah terjadi pada periode erupsi sebelumnya, yang terakhir pada Letusan Slamet 1934. Lava mengalir ke arah barat-barat daya mengikuti lekukan pada bibir kawah aktif Gunung Slamet di sisi barat daya ini. Citra satelit Spot pada kanal cahaya tampak dalam basisdata Google Earth jelas memperlihatkan bagaimana jejak-jejak aliran lava masa silam di puncak sektor barat daya ini.

Belum jelas mengapa kali ini Gunung Slamet melelerkan lava pijar. Bisa jadi aktivitas letusan debu Gunung Slamet selama ini, melalui erupsi strombolian secara terus-menerus dalam kurun hampir setengah tahun terakhir, membuat cekungan kawah aktif dipenuhi material vulkanik sehingga lava mulai ‘tumpah’ lewat sisi yang lebih rendah/berlekuk. Namun bisa juga telah terbentuk lubang letusan yang baru di dekat lekukan dinding kawah aktif ini, sehingga magma yang menyeruak keluar darinya langsung mengalir ke lereng sebagai lava pijar.

Apakah Akan Terjadi Letusan Besar?

Pada saat ini tubuh Gunung Slamet memang sedang mengandung sejumlah magma segar yang baru. Cepat atau lambat, magma segar ini tentu akan dimuntahkan sebagai letusan. Permasalahannya, apakah pengeluaran magma segar yang baru ini bisa berujung pada terjadinya letusan besar? Apakah akan terjadi letusan seperti letusan Gunung Kelud (propinsi Jawa Timur) 13 Februari 2014 maupun letusan Gunung Sangeang Api (propinsi Nusa Tenggara Barat) 30 Mei 2014 ?

Pada saat ini, potensi Gunung Slamet untuk meletus besar adalah kecil dan mungkin bahkan sangat kecil. Sedikitnya ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, seberapa banyak volume magma segar yang memasuki tubuh Gunung Slamet. Dahsyat tidaknya letusan sebuah gunung berapi sangat bergantung pada volume magma segar yang memasuki kantung magma dangkal di dasar tubuh gunung. Semakin banyak magma segarnya maka akan semakin besar dan dahsyat letusannya. Letusan Kelud 2014 menjadi dahsyat karena magma segar yang terlibat mencapai 120 juta meter kubik. Pun demikian Letusan Merapi 2010, yang menghamburkan magma segar hingga 150 juta meter kubik. Gunung Krakatau menjadi legenda dengan kedahsyatannya nan menggetarkan, karena Letusan Krakatau 1883 memuntahkan 20 kilometer kubik (20.000 juta meter kubik) magma segar. Dan Gunung Tambora menciptakan malapetaka berskala global saat menghamburkan tak kurang dari 160 kilometer kubik (160.000 juta meter kubik) magma segar dalam Letusan Tambora 1815.

Seperti tersebut di atas, volume magma segar yang terinjeksi ke dalam tubuh gunung akan berbanding lurus dengan derajat inlfasinya. Dengan kata lain, makin banyak magma segar yang masuk maka tubuh gunung akan kian membengkak/menggelembung. Dalam hal Gunung Slamet memang telah terjadi inflasi dan sejauh ini datanya masih terus dicermati oleh para peneliti Badan Geologi khususnya peneliti PVMBG. Namun melihat kecenderungan yang terjadi pada periode April-Mei 2014 lalu (yakni tatkala tubuh Gunung Slamet juga mengalami inflasi), derajat inflasinya tergolong kecil. Sehingga volume magma segar yang masuk ke dalam tubuhnya pun boleh jadi berkisar beberapa juta meter kubik saja. Untuk ukuran gunung berapi aktif, akumulasi magma segar sebanyak beberapa juta meter kubik itu tergolong menengah dan jauh dari ambang batas yang diperlukan untuk menghasilkan letusan besar.

Alasan kedua terletak pada karakteristik jalan/saluran magma Gunung Slamet. Gunung Slamet memiliki sistem yang terbuka, dimana di antara kantung magma dangkalnya dengan kawah aktif dipuncaknya tak ada penghalang yang berarti. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan Gunung Kelud sebelum letusan 13 Februari 2014, dimana dasar kawahnya disumbat pekat oleh kubah lava produk erupsi 2007 yang mulai membeku/membatu dengan volume 16 juta meter kubik dan bermassa sekitar 23 juta ton. Pun demikian Gunung Merapi sebelum letusan 26 Oktober 2010, yang puncaknya dipenuhi kubah-kubah lava dari beragam periode erupsi semenjak 2 abad sebelumnya. Sehingga praktis Gunung Merapi pra-2010 bahkan tak memiliki kawah, karena seluruhnnya disumbat oleh kubah-kubah lava beragam usia yang telah menua dan membatu. Dengan saluran yang terbuka, maka magma segar dalam tubuh Gunung Slamet pun tak harus tertahan dulu untuk kemudian mengalami peningkatan volume dan tekanan. Maka begitu magma segar memasuki tubuh gunung, dalam tempo yang tak terlalu lama pun ia pun dimuntahkan melalui kawah aktif yang sudah terbuka. Sehingga tak terjadi peningkatan tekanan secara dramatis ataupun akumulasi magma yang siap dimuntahkan.

Gambar 4. Kawasan rawan bencana Gunung Slamet dalam status Siaga (Level III). Lingkaran berangka 4 menunjukkan kawasan beradius mendatar 4 km dari kawah aktif. Sementara area kuning menunjukkan area yang berpotensi terlanda aliran lava dan awan panas. Sumber: digambar ulang oleh Sudibyo, 2014 dengan data PVMBG dan peta Google Maps terrain.

Gambar 4. Kawasan rawan bencana Gunung Slamet dalam status Siaga (Level III). Lingkaran berangka 4 menunjukkan kawasan beradius mendatar 4 km dari kawah aktif. Sementara area kuning menunjukkan area yang berpotensi terlanda aliran lava dan awan panas. Sumber: digambar ulang oleh Sudibyo, 2014 dengan data PVMBG dan peta Google Maps terrain.

Dua alasan tersebut menjadikan potensi terjadinya letusan Gunung Slamet yang lebih besar pun cukup kecil. Maka tak perlu ada kekhawatiran berlebihan. Apalagi dikait-kaitkan dengan mitos bahwa letusan Gunung Slamet kali ini bakal membelah pulau Jawa. Memang pada beberapa ratus tahun silam gunung berapi ini mungkin pernah meletus besar hingga mengubur ibukota kerajaan kecil bernama Kerajaan Pasirluhur di kaki selatannya. Peristiwa itu pula yang mungkin menyebabkan nama gunung berapi aktif ini mengalami transformasi menjadi Gunung Slamet (dari yang semula diduga bernama Gunung Pasir Luhur). Semua itu memang perlu untuk diteliti lebih lanjut, oleh pihak-pihak yang berkompeten. Namun pada saat ini, dalam status Siaga (Level III) Gunung Slamet kali ini, dapat dikatakan bahwa potensi terjadinya letusan besar adalah sangat kecil.

Mencicil

Jelas bahwa gejolak Gunung Slamet kali ini hingga menjadi berstatus Siaga (Level III), status yang untuk kedua kalinya disandang gunung itu dalam tahun 2014 ini, telah dimulai semenjak awal Juli 2014. Maka meski secara formal baru ditetapkan berstatus Siaga (Level III) pada Selasa 12 Agustus 2014 kemarin, dapat dikatakan bahwa gejolak Gunung Slamet kali ini tidak berada dalam pengaruh fenomena astronomis yang disebut Bulan purnama perigean atau supermoon. Tahun 2014 ini memang mencatat terjadinya tiga peristiwa Bulan purnama perigean yang berurutan, masing-masing pada Sabtu 12 Juli 2014, Minggu 11 Agustus 2014 dan kelak pada Selasa 9 September 2014.

Bulan dalam status purnama maupun kebalikannya (yakni Bulan dalam status Bulan baru) memang menempati posisi unik, karena nyaris segaris dengan posisi Bumi dan Matahari. Akibatnya pada saat itu gaya tidal Bulan pun berkolaborasi dengan gaya tidal Matahari, sehingga Bumi merasakan tarikan yang lebih kuat. Air laut adalah bagian Bumi yang paling menderita kolaborasi gaya tersebut, yang mewujud dalam rupa pasang naik yang tertinggi. Namun sejatinya tak hanya air laut yang merasakannya. Kulit Bumi pun demikian, meski tak sekasat mata pasang surut air laut. Naik turunnya kulit Bumi akibat kolaborasi gaya tidal tersebut bisa saja meningkatkan tekanan di dalam kulit Bumi, yang dapat bermanifestasi entah menjadi pemicu gempa bumi ataupun pemicu letusan gunung berapi (pada gunung berapi yang sedang kritis, yakni yang sudah menimbun magma segar dalam tubuhnya). Namun dari data di atas terlihat bahwa lonjakan aktivitas Gunung Slamet sudah terjadi bahkan sebelum Bulan purnama perigean yang pertama (yakni pada Sabtu 12 Juli 2014) terjadi. Sehingga untuk sementara dapat dikatakan bahwa tak ada kaitan peningkatan aktivitas Gunung Slamet dengan supermoon.

Menguat, melemah dan menguatnya lagi aktivitasnya menunjukkan bahwa Gunung Slamet mengeluarkan material vulkaniknya secara mencicil. Ia tak sekonyong-konyong mengeluarkan material vulkaniknya dalam tempo relatif singkat sebagaimana halnya Gunung Kelud (dalam Letusan 2014) maupun Gunung Merapi (dalam Letusan 2010) dan Gunung Sangeang Api (dalam Letusan 2014). Letusan yang dicicil menjadikan aktivitas Gunung Slamet kali ini lebih mirip dengan aktivitas Gunung Sinabung, bedanya material vulkanik yang dimuntahkan Slamet lebih kecil dan didominasi debu vulkanik (bukan lava). Mencicil letusan memang bukan tabiat Gunung Slamet yang kita kenal setidaknya dalam seperempat abad terakhir, namun itu bukannya tak mungkin. Mengingat seperti halnya manusia, tabiat sebuah gunung berapi pun dapat berubah seiring waktu. Pada saat ini Gunung Slamet bisa diibaratkan tidak sedang mengajak kita untuk sprint (berlari jarak pendek) melainkan untuk berlari maraton. Dibutuhkan kesabaran, daya tahan dan waktu yang lebih panjang untuk menyikapi gejolaknya.

Dalam status Siaga (Level III) kali ini kawasan terlarang di Gunung Slamet pun diperluas menjadi radius mendatar 4 km dari kawah aktif. Hanya di kawasan inilah tidak direkomendasikan adanya aktivitas manusia dalam bentuk apapun, entah masyarakat setempat, para pendaki gunung maupun wisatawan. Sebab hanya di kawasan inilah yang berpotensi terbesar bagi terjadinya hujan debu dan kerikil panas Gunung Slamet. Dan hanya di kawasan ini pula leleran lava pijar ataupun awan panas berpotensi melanda. Di luar radius tersebut adalah kawasan yang aman, termasuk sejumlah kota dan lokasi penting di sekitar Gunung Slamet ini seperti kota Purwokerto, Purbalingga dan Bumiayu serta Baturaden dan Guci.

Referensi :

PVMBG. 2014. Peningkatan Tingkat Aktivitas Gunung Slamet Dari Waspada (Level II) ke Siaga (Level III), 12 Agustus 2014.