Indonesia selalu mengenal Agustus sebagai bulan kalender bercita rasa nasionalis. Inilah bulan dimana manusia Indonesia memperingati kemerdekaan negerinya dari belenggu tirani. Maka Agustus pun senantiasa disongsong dengan penuh gairah dan suka cita. Warga di berbagai pelosok menggelar aneka lomba. Sebagian diantaranya bakal membikin siapapun yang bukan manusia Indonesia mengernyitkan dahi, sebab begitu unik dan takkan pernah terlintas dalam benak atlet-atlet olimpik. Apa mau dikata, lomba-lomba ini memang bukan dirancang untuk mengejar prestasi namun semata bertujuan mengundang rasa geli dan menghibur hati. Pada tanggal 16 malam, banyak pula yang menggelar malam tirakatan disertai tumpengan. Tak sedikit pula yang menghabiskan sisa malam itu dengan membuka mata nyaris semalam suntuk.
Namun Agustus juga bakal selalu dikenang sebagai bulan kalender dimana kita seyogyanya menundukkan kepala, memanjatkan doa. Khususnya kepada 36.417 jiwa (angka resmi) atau hampir 120.000 nyawa (angka perkiraan) yang melayang dalam sebuah peristiwa kelam selama tiga hari kelam berturut-turut yang terjadi lebih dari seratus tahun silam. Korban jiwa dalam jumlah yang luar biasa besar ini jatuh terenggut kala Gunung Krakatau dengan puncak-puncak Rakata, Danan dan Perbuwatan meledakkan dirinya dalam sebuah letusan teramat dahsyat. Selama tiga hari berturut-turut pada 27 hingga 29 Agustus 1883 gunung berapi kecil mungil layaknya bisul di tengah-tengah Selat Sunda (kini termasuk propinsi Lampung) itu meletus dengan kedahsyatan tak terperi untuk ukuran manusia. Sebanyak 20 kilometer kubik (20.000 juta meter kubik) material vulkanik dimuntahkan keluar, seperlima diantaranya langsung tersembur ke langit pada kekuatan teramat tinggi sehingga menjangkau ketinggian 40 km lebih dari paras air laut.
Terlepasnya magma dengan volume sangat besar dalam kurun waktu yang cukup singkat membuat kantung magma dangkal di dasar Gunung Krakatau terkuras habis, meninggalkan ruang kosong. Ruang kosong ini tak mampu menahan bobot jutaan ton batuan yang ada diatasnya. Sehingga tubuh gunung pun runtuh, Terbentuklah cekungan besar yang adalah kaldera di dasar Selat Sunda, dengan garis tengah 7 km dan kedalaman hingga 250 meter dari paras air laut. Kombinasi runtuhnya tubuh gunung ke dalam laut dan hempasan awan panas (piroklastika) yang terbentuk kala material vulkanik sangat pekat kembali berjatuhan ke Bumi memproduksi tsunami yang demikian bergelora. Tsunami ini berderap lambat, butuh waktu hampir sejam sebelum bisa menjangkau kedua belah pesisir Selat Sunda yang terdekat ke Krakatau. Namun sebaliknya ia sungguh bergelora dengan ketinggian tak terkira yang tak terbayang di benak manusia. Gelombang setinggi 37 meter menghajar pesisir Merak tanpa ampun. Sementara kawasan Anyer dan Caringin lebur digempur tsunami setinggi hingga 15 meter. Di daratan Sumatra gelora yang menjulang setinggi 22 meter mencukur Teluk Betung. Sementara Blimbing dan Kalianda dihempas gelombang 15 meter. Hampir seluruh korban jiwa yang terenggut dalam tragedi Letusan Krakatau 1883 disebabkan oleh tsunami ini. Terkecuali sekitar 1.000 orang yang meregang nyawa di Katibung akibat hempasan awan panas yang menjalar demikian jauh akibat letusan lateral (mendatar) ke utara dalam salah satu episode amukan Krakatau.
Tsunami Krakatau merupakan bencana alam dengan korban jiwa manusia terbesar di Indonesia semenjak 1883. Rekor ini bertahan hingga 121 tahun kemudian sebelum kemudian dilampaui oleh bencana gempa akbar Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 dengan tsunami dahsyatnya. Sebaliknya Letusan Krakatau 1883 bukanlah letusan gunung berapi terdahsyat yang pernah berlangsung di tanah Nusantara sepanjang sejarah yang tercatat. Letusan ini hanyalah menempati peringkat ketiga, di bawah Letusan Samalas (Rinjani) 1257 dan Letusan Tambora 1815. Skala letusan Krakatau terpaku di angka 6 VEI (Volcanic Explosivity Index), setingkat di bawah skala letusan Samalas dan Tambora yang masing-masing menempati angka 7 VEI. Namun amukan Krakatau menjadi letusan gunung berapi dalam tingkat katastrofik pertama yang terekam dengan baik. Hanya beberapa minggu sebelum letusan ini terjadi kabel laut terakhir yang menautkan media sosial elektronik pertama bagi manusia, yakni telegraf, tersambung sudah. Untuk ukuran masakini media sosial ini tentu sangat primitif dan lambat. Namun pada era meletusnya Krakatau di tahun 1883 itu, ia tergolong cukup cepat dalam menyalurkan informasi. Sehingga sontak Krakatau pun menjadi buah bibir dalam lingkup global. Laporan demi laporan teramatinya gejala mirip tsunami, yang sejatinya adalah dampak gelombang kejut letusan terhadap paras air laut setempat, juga segera bermunculan dari berbagai penjuru. Bandingkan dengan Letusan Tambora 1815 yang kabar terawalnya baru tiba di daratan Eropa enam minggu setelah gunung berapi itu mempertontonkan kedahsyatannya.
Trio Io
Amukan gunung berapi seukuran Letusan Krakatau 1883 tentu menggetarkan dan menakutkan segenap manusia. Termasuk di masa kini. Nah bagaimana jika kita berhadapan dengan tak hanya satu, melainkan tiga letusan yang skala kedahsyatannya menyamai atau bahkan malah melebihi Letusan Krakatau 1883?
Ini bukan kabar burung. Trio letusan mirip Krakatau itu memang benar-benar terjadi. Namun jangan buru-buru cemas dan memacu adrenalin anda. Trio letusan tersebut mengambil lokasi yang sangat jauh dari Bumi, yakni pada sebuah benda langit lain yang ukurannya hanya sedikit lebih besar dibanding Bulan. Trio letusan itu terjadi di Io yang adalah salah satu satelit alamiah dari planet Jupiter. Demikian dahsyat ketiga letusan itu sehingga kilatan cahayanya dapat disaksikan dari Bumi, meski hanya dapat disaksikan lewat fasilitas teleskop tercanggih. Adalah tiga teleskop berpangkalan di puncak Gunung Mauna Kea, Kepulauan Hawaii (Amerika Serikat), yang merekam ketiga letusan tersebut. Ketiganya adalah teleskop Gemini North, Keck II dan IRTF (Infra Red Telecope Facility) NASA. Ketiga letusan terekam dalam rentang waktu antara 15 dan 29 Agustus 2013, saat Io berjarak 865 juta kilometer dari Bumi.
Dua letusan pertama terdeteksi oleh teleskop Keck II (diameter cermin 10 meter) saat diarahkan ke Io pada 15 Agustus 2013 pukul 22:30 WIB. Bekerja pada spektrum sinar inframerah dan dilengkapi sistem optik adaptif untuk mengoreksi gangguan optis akibat turbulensi dalam atmosfer Bumi, teleskop Keck II merekam dua titik berpendar terang di permukaan Io yang tak pernah ada sebelumnya. Titik pendar pertama berimpit dengan posisi Gunung Rarog Patera yang telah dikenal sebelumnya. Sementara titik letusan kedua bertepatan dengan Gunung Heno Patera, yang juga telah dikenali sebelumnya. Dan letusan terakhir terdeteksi dua minggu kemudian, yakni pada 29 Agustus 2013, lewat teleskop Gemini North dan IRTF NASA. Letusan ini terjadi di lokasi yang tak dikenal dan untuk sementara diberi kode sebagai 201308C.
Observasi lanjutan menunjukkan bahwa ketiganya merupakan erupsi eksplosif gunung berapi Io yang khas. Letusan Rarog Patera mengeluarkan lava sepanas hingga sekitar 750 derajat Celcius. Pada puncak letusannya ia melepaskan daya hingga 8 terawatt (8 juta megawatt). Lava lantas membanjir menutupi area seluas hingga 120 kilometer persegi disekeliling lubang letusan. Sementara letusan Heno Patera menyemburkan lava yang sedikit lebih dingin yakni 700 derajat Celcius sehingga daya puncaknya pun sedikit lebih rendah yakni 5 hingga 6 terawatt (5 juta hingga 6 juta megawatt). Namun letusan Heno Patera memuntahkan lava yang menutupi kawasan dua kali lipat lebih luas yakni 300 kilometer persegi. Dan letusan 201308C adalah yang terdahsyat. Pada puncaknya ia melepaskan daya antara 15 hingga 25 terawatt (15 juta hingga 25 juta megawatt) dengan lava panasnya hingga sepanas 1.600 derajat Celcius atau bahkan lebih.
Analisis lebih lanjut memperlihatkan trio letusan ini merupakan letusan besar karena memuntahkan magma dalam jumlah sangat banyak. Jumlah magma yang disemburkan letusan Rarog Patera dan Heno Patera berkisar antara 50.000 hingga 100.000 meter kubik per detik. Sebaliknya berapa magma yang dikeluarkan letusan 201308C belum jelas, namun dapat diduga jauh lebih besar ketimbang Rarog dan Heno Patera. Bandingkan dengan Letusan Krakatau 1883 di Bumi, yang pada puncak letusannya menghamburkan magma sebanyak ‘hanya’ 20.400 meter kubik per detik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kecepatan pengeluaran magma Rarog Patera dan Heno Patera adalah antara 2 hingga 4 kali lipat lebih tinggi ketimbang Krakatau. Namun tak demikian dengan dayanya, yakni jumlah energi yang dilepaskan dalam tiap satuan waktu. Jika suhu magma Krakatau 1883 dianggap 800 derajat Celcius, maka daya sebesar 14 terawatt terlepas dalam puncak letusannya. Ini lebih besar ketimbang daya letusan Rarog maupun Heno Patera, namun masih lebih kecil dibanding letusan 201308C.
Io adalah benda langit yang sedikit lebih besar dari Bulan (diameter Io = 3.628 km dan diameter Bulan = 3.474 km). Maka dari itu gravitasinya pun cukup kecil yakni 5,5 kali lebih kecil ketimbang Bumi. Saat terjadi letusan sedahsyat Letusan Krakatau 1883 di Io, gravitasi kecilnya membuat material letusan sanggup tersembur hingga mencapai ketinggian beratus-ratus kilometer. Bandingkan dengan Bumi, dimana letusan gunung berapi terdahsyat sekalipun takkan sanggup menyemburkan debu vulkaniknya hingga melampaui ketinggian 100 km. Debu vulkanik gunung-gemunung berapi di Io bahkan sanggup melesat keluar dari lingkungan pengaruh satelit alamiah Jupiter itu dan lantas berubah haluan menjadi debu bermuatan listrik mengelilingi Jupiter sebagai plasma. Observasi dengan satelit HISAKI milik Jepang, yang dirancang khusus untuk mengamati plasma yang mengedari Jupiter dari kejauhan orbit Bumi, berhasil mendeteksi meningkatnya jumlah debu bermuatan listrik dalam lingkungan plasma tersebut setelah trio letusan ini terjadi.
Tidal
Sekilas adanya gunung berapi di luar Bumi bakal membuat dahi kita berkernyit. Apalagi di lingkungan sekecil Io. Apalagi saat gunung-gemunung berapi tersebut meletus dengan kekuatan yang luar biasa besar hingga menyamai atau bahkan melebihi Letusan Krakatau 1883 yang demikian populer. Gunung berapi aktif di luar Bumi memang baru diketahui eksistensinya pada 1979. Untuk pertama kalinya gunung berapi semacam itu memang ditemukan di Io, dalam satu babak eksplorasi antariksa takberawak yang bergelora.
Io adalah satelit alamiah Jupiter yang cukup populer. Astronom legendaris Galileo Galilei menjadi orang yang pertama kali menyaksikannya lewat teleskop pembias sederhana (perbesaran 20 kali) buatan sendiri pada 7 Januari 1610 malam. Observasi serupa di malam selanjutnya memastikan eksistensi Io. Inilah satu dari empat satelit Galilean Jupiter, sekaligus satelit alamiah terbesar yang berjarak paling dekat dengan planet gas raksasa itu. Io hanya membutuhkan 42 jam untuk beredar mengelilingi sang planet induk sekali putaran. Benda langit ini sejatinya dapat disaksikan mata manusia tanpa menggunakan alat bantu karena magnitudo semunya +5, atau setingkat lebih terang ketimbang ambang batas keterlihatan benda langit lewat mata manusia (yakni magnitudo semu +6). Namun benderangnya Jupiter persis disebelahnya membuat Io takkan dapat disaksikan dengan cara itu.
Hingga hampir empat abad kemudian Io hanya terlihat sebagai bintik cahaya mirip bintang. Namun seiring perkembangan zaman yang meningkatkan kemampuan teleskop-teleskop termutakhir, perlahan-lahan Io mulai tampil sebagai cakram redup. Meski demikian ada satu anggapan yang tak berubah merentang abad, yakni aktivitas geologisnya. Dengan ukuran hanya sedikit lebih besar dari Bulan, Io dianggap sebagai benda langit yang telah mati. Artinya, kondisi internalnya telah mendingin (hampir) sepenuhnya sehingga tak lagi tersisa cukup panas yang bisa keluar ke permukaan dalam rupa vulkanisme beserta aktivitas penyertanya. Hingga 1978 pandangan ini masih bertahan meski observasi teleskop inframerah termutakhir saat itu mengungkap adanya hal aneh di Io. Anomali itu sebanding dengan pancaran panas dari obyek bersuhu sekitar 300 derajat Celcius dari area seluas 8.000 kilometer persegi di Io, yang mengesankan sebagai aktivitas vulkanik.
Pandangan tersebut berubah total setelah wahana antariksa takberawak Voyager 1 melintas di dekat Io dalam perjalanannya mengarungi tata surya guna menuju ke planet Saturnus. Voyager 1 memperlihatkan betapa mulusnya permukaan Io, tanpa berhias kawah-kawah tumbukan benda langit (asteroid atau komet) disana-sini. Padahal kawah-kawah tumbukan dalam aneka ukuran amat umum dijumpai pada permukaan benda langit yang telah mati seperti misalnya Bulan dan planet Mars. Maka permukaan Io amat berbeda dibanding Bulan. Io memang memiliki atmosfer namun sangat tipis, sehingga permukaannya yang mulus jelas bukan hasil kerja gaya-gaya eksogen seiring cuaca. Permukaan Io lebih merupakan manifestasi dari gaya endogennya.
Dan heboh besar pun meledak begitu Voyager 1 bersiap meninggalkan lingkungan Io. Untuk kepentingan navigasi optikal guna mengetahui posisi wahana di langit, Voyager 1 mengarahkan kameranya ke Io pada 8 Maret 1979. Hasilnya mengejutkan. Voyager 1 tak hanya menangkap citra Io sebagai benda langit berbentuk sabit lebar mirip Bulan, namun juga merekam sejenis busur setengah lingkaran yang mengembang mirip payung di tepi cakram Io. Selidik punya selidik, bentuk mirip payung ini ternyata material vulkanik yang tersembur hebat dari suatu titik yang kemudian dinamakan Gunung Pele. Semburan material vulkanik yang demikian tinggi menandakan telah terjadi letusan besar. Tertangkap juga sebentuk kaldera raksasa yang di kemudian hari dinamakan Gunung Loki. Observasi selanjutnya dalam waktu yang berbeda melalui wahana Voyager 2 (1979), Galileo (1995-2003), Cassini-Huygens (2000) dan New Horizon (2007) menunjukkan bahwa dunia sekecil Io ternyata dijejali 150 gunung berapi dalam berbagai bentuk. Gunung Pele menjadi gunung berapi Io yang terbesar. Tapi angka itu diyakini hanyalah sebagian dari seluruh populasi gunung berapi di Io yang diduga mencapai 400 buah atau lebih.
Vulkanisme di Io semula diduga lebih menyemburkan magma yang didominasi senyawa-senyawa belerang sehingga suhunya lebih dingin ketimbang lava di Bumi. Namun observasi lebih lanjut menjungkirbalikkan anggapan itu. Banyak gunung berapi Io yang ternyata menyemburkan magma dengan dominasi senyawa-senyawa silikat, layaknya magma di Bumi. Sehingga magmanya setara atau bahkan lebih panas dibanding magma di Bumi. Gunung-gunung berapi Io kerap meletus dalam jangka panjang lewat erupsi efusif. Ini adalah letusan yang melelerkan lava tanpa disertai semburan material vulkanik yang cukup tinggi. Erupsi efusif di Io menghasilkan lava yang bergerak cepat, sehingga mampu menutupi area seluas 12,6 hingga 21,6 hektar dalam setiap jamnya (kasus letusan Prometheus dan Amirani). Sementara lava produk erupsi efusif di Bumi hanya sanggup menutupi area seluas 0,2 hektar saja dalam setiap jamnya (kasus letusan Kilauea di Kepulauan Hawaii). Namun pada saat-saat tertentu, dalam jangka pendek, gunung-gunung berapi ini juga dapat mengalami erupsi eksplosif. Erupsi eksplosif ini sungguh luar biasa. Iasanggup menyemburkan lava panas hingga setinggi 1 km laksana air mancur berapi gigantis. Sementara debu vulkaniknya mampu tersembur jauh lebih tinggi lagi. Kecepatan pengeluaran lavanya pun demikian besar sehingga sebanding dengan letusan gunung berapi model banjir lava basalt di Bumi, seperti misalnya Letusan Laki 1783 (Islandia).
Mengapa dunia kecil Io bisa sedahsyat dan seunik ini? Vulkanisme di Io digerakkan oleh sumber yang berbeda dibanding Bumi. Di Bumi, gunung-gemunung berapi muncul akibat adanya sumber panas internal dimana 90 % diantaranya berasal dari peluruhan radioaktif inti-inti atom berat sementara 10 % sisanya adalah panas-sisa proses pembentukan Bumi purba dari masa remaja tata surya. Panas tersebut menghasilkan sirkulasi dalam lapisan selubung (mantel) Bumi sehingga menggerakkan lempeng-lempeng tektonik di keraknya. Perbenturan dan pemisahan lempeng-lempeng inilah yang memproduksi vulkanisme. Namun hanya 1 % panas internal Bumi yang mewujud sebagai vulkanisme dan tektonisme, 99 % sisanya terlepas keluar melalui proses konduksi di kerak Bumi.
Di internal Io juga terjadi peluruhan radioaktif inti-inti atom berat, namun energi yang dihasilkannya hanya mencakup 0,5 % saja. 99,5 % panas internal Io disumbangkan oleh pemanasan tidal, seiring posisi Io yang unik dalam lingkungan planet Jupiter. Io berjarak relatif dekat dengan planet induknya. Dan dengan 2 satelit Galilean lainnya, yakni Europa dan Ganymede, Io mengalami resonansi orbital dalam bentuk resonansi Laplace. Maka kala Ganymede tepat menyelesaikan revolusinya terhadap Jupiter sekali, Io pun tepat empat kali berevolusi. Demikian halnya saat Europa sekali berevolusi, maka Io tepat dua kali berevolusi. Sifat ini membuat orbit Io sangat stabil dan nyaris berbentuk lingkaran sempurna. Di sisi lain kedekatannya dengan Jupiter membuat Io mengalami gaya tidal (gaya pasang surut) yang sangat besar. Sehingga permukaan Io menggelembung dan mengempis secara teratur dengan perbedaan ketinggian permukaan rata-rata bisa mencapai 100 meter. Bandingkan dengan Bumi, dimana gaya tidal Bulan hanya sanggup menghasilkan perbedaan setinggi 1 meter saja.
Mengembang dan mengempisnya Io pun dirasakan oleh struktur internalnya hingga menciptakan panas yang sangat besar. Panas ini tak bisa dimanifestasikan dalam perubahan orbit Io, akibat resonansi orbitalnya dengan Europa dan Ganymede. Maka panas itu pun akhirnya melelehkan sebagian lapisan selubung Io hingga membentuk lapisan magma (samudera magma) pada kedalaman 50 km dengan ketebalan rata-rata sekitar 50 km. Magma dari samudera magma inilah yang kemudian keluar ke permukaan, menciptakan vulkanisme yang sangat intensif.
Referensi:
de Pater dkk. 2014. Two New, Rare, High-effusion Outburst Eruptions at Rarog and Heno Paterae on Io. Icarus 2014.06.016
de Kleer dkk. 2014. Near-infrared Monitoring of Io and Detection of a Violent Outburst on 29 August 2013. Icarus 2014.06.006
Perry. 2014. Three Major Volcanic Eruptions Observed On Io in the Span of Two Weeks. Planetary Society 2014/08/12.