Gempa dan Tsunami Donggala-Palu 2018 (2), Tsunami Tak-Biasa Itu dan Takdir Kebumian Kota Palu

Sepekan pasca peristiwa Gempa Donggala-Palu 2018, apa yang dialami pesisir Kota Palu perlahan-lahan mulai terkuak. Selagi seantero negeri berdebat akan sistem peringatan dini tsunami Indonesia yang (dianggap) memprihatinkan, kepingan demi kepingan data yang mulai terkumpul dari kawasan pesisir Teluk Palu menyajikan hasil tak terduga. Sekaligus menonjok uluhati kita.

Betapa tidak, bahkan andaikata sistem peringatan dini tsunami Indonesia bekerja sempurna dengan segenap infrastruktur pendukungnya, seperti tsunami buoy, stasiun pasangsurut, sirene menara peringatan dini tsunami hingga SMS blasting ke segenap penduduk setempat, para korban tsunami itu (mungkin) tetap takkan selamat. Takdir kebumian Kota Palu mengantar daerah itu berhadapan dengan tsunami mengerikan. Sekaligus mimpi buruk bagi sistem peringatan dini tsunami manapun. Sebab gelombang pembunuh itu adalah tsunami tak-biasa, yang datang terlalu cepat.

Data dan Pembaharuan Informasi

Badan Informasi Geospasial (BIG), yang bertanggungjawab memonitor stasiun-stasiun pasangsurut pada pelabuhan-pelabuhan Indonesia, melansir data penting pada Rabu 3 Oktober 2018 TU (Tarikh Umum) lalu. Yakni data dinamika paras air laut yang terekam stasiun pasangsurut pelabuhan Pantoloan. Pelabuhan ini terletak 20 kilometer sebelah utara Kota Palu. Semula stasiun pasangsurut Pantoloan dikira rusak atau bahkan hancur oleh terjangan tsunami. Namun ternyata hanya perangkat komunikasi datanya saja yang rusak. Sementara sebagian sensor pasangsurutnya sendiri tetap utuh dan bekerja.

Gambar 1. Grafik paras air laut Teluk Palu yang terukur di stasiun pasangsurut pelabuhan Pantoloan, 20 kilometer sebelah utara Kota Palu, pada saat peristiwa tsunami terjadi. Grafik telah dikoreksi terhadap faktor pasang surut harian setempat. Nampak tsunami mulai datang pada pukul 18:08 WITA, hanya dalam 6 menit pascagempa. Tinggi tsunami murni 1,9 meter (murni) atau 3,9 meter (dari lembah gelombang ke bukit gelombang). Sumber: BIG, 2018 diolah oleh Widjo Kongko, 2018.

Datanya mengejutkan. Tsunami tiba di pelabuhan Pantoloan hanya dalam 6 menit pascagempa atau tepatnya pada pukul 18:08 WITA. Ia ditandai oleh gelombang negatif (surut maksimum) yang disusul gelombang positif (pasang maksimum) dalam 2 menit kemudian. Tinggi tsunami maksimum, yakni dari surut maksimum hingga pasang maksimum, adalah 3,9 meter. Sementara periode gelombangnya adalah 3,5 menit, tergolong pendek bila dibanding tsunami bangkitan gempa bumi tektonik pada umumnya. Ia lebih mirip periode tsunami Krakatau 1883, produk injeksi awan panas letusan berskala massif ke dasar Selat Sunda, yang hanya 5 menit.

Pantoloan melengkapi data yang telah dipublikasikan sebelumnya, yakni dari stasiun pasangsurut pelabuhan Majene. Dari data Majene, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyampaikan pembaharuan informasi runtun waktu. Tsunami kecil terdeteksi di pelabuhan Majene pada pukul 18:27 WITA (sebelumnya disebut 18:13 WITA). Tinggi maksimumnya hanya 6 cm. BMKG juga menyampaikan informasi terjangan tsunami di pesisir Kota Palu dimulai pada pukul 18:10 hingga 18:13 WITA, atas dasar analisis rekaman video. Dengan demikian tsunami tiba di pesisir Palu hanya dalam tempo 8 hingga 11 menit pascagempa. Sangat singkat.

Selain pembaharuan informasi, BMKG juga melansir hasil survei lapangan pendahuluan terkait distribusi tinggi tsunami di sekujur Teluk Palu. Tinggi tsunami terbesar ada di Kota Palu, masing-masing Kota Palu bagian tengah (yakni di Jembatan Kuning) dan Kota Palu bagian timur (dekat kampus Universitas Tadulako). Yakni setinggi 10,9 meter dan 11,3 meter! Di sepanjang pesisir Teluk Palu bagian barat dan timur, distribusi tinggi tsunami relatif berimbang. Di pesisir barat, tinggi tsunami bervariasi dari 4 meter di Loli Dondo, Banawa (Kab. Donggala) hingga 9,5 meter di Kota Palu bagian barat. Sementara di pesisir bagian timur, tinggi tsunami bervariasi dari 3,9 meter di Toaya, Sindua (Kab. Donggala) hingga 11,3 meter di Kota Palu bagian timur.

Gambar 2. Distribusi tinggi tsunami di seantero pesisir Teluk Palu dan Selat Makassar berdasarkan survei lapangan pendahuluan oleh BMKG. Nampak tinggi tsunami terbesar berada di pesisir Kota Palu, yakni 10,9 meter (lokasi Jembatan Kuning) dan 11,3 meter (Kota Palu bagian timur). Sumber: BMKG, 2018.

Pembaharuan informasi juga disampaikan lembaga geofisika lainnya, United States Geological Survey (USGS). Analisis gabungan yang melibatkan banyak data dari sejumlah jejaring seismometer dan citra satelit terutama melalui teknik InSAR (interferometry synthethic apperture radar) menghasilkan pembaharuan tentang geometri sumber gempa. Kini sumber Gempa Donggala-Palu 2018 dipahami sebagai persegi panjang yang membentang mulai dari titik episentrum di utara hingga 150 kilometer ke selatan. Persegi panjang ini terbagi menjadi tiga sub-bagian, masing-masing utara, tengah dan selatan. Sub-bagian utara merentang dari episentrum di Lompio (Kab. Donggala) hingga sekitar Pantoloan (Kab. Donggala) dengan panjang 50 kilometer. Sub-bagian tengah membentang dari Teluk Palu melintasi Kota Palu hingga kawasan Dolo Sel (Kab.Sigi), juga sepanjang 50 kilometer. Dan sisanya adalah sub-bagian selatan, yang merentang hingga Kulawi (Kab.Sigi), pun sepanjang 50 kilometer.

Gambaran pergerakan sesar Palu-Koro di sisi barat Kota Palu dapat dilihat berikut ini :

Dalam segenap sumber gempa ini, terdeteksi lentingan / pergeseran total sebesar 5 – 6 meter (rata-rata) yang didominasi pergerakan mendatar ke arah kiri (sinistral strikeslip). Namun ada pula komponen pergerakan vertikal yang nampaknya juga dialami oleh sub-bagian sumber gempa yang terletak di dasar Teluk Palu. Di sepanjang sumber gempa ini terjadi getaran yang amat sangat keras dengan intensitas hingga mencapai intensitas 9 MMI (modified mercalli intensity). Ini jenis getaran yang mampu menggeser bangunan bermutu baik dari pondasinya sekaligus menyebabkan likuifaksi. Dengan demikian getaran di Kota Palu 1.000 kali lebih kuat ketimbang yang semula diduga lewat analisis pendahuluan (yang hanya mencantumkan 6 MMI).

Gambar 3. Sumber Gempa Donggala-Palu 2018, berdasarkan hasil analisis citra satelit menggunakan teknik InSAR (interferometry Synthethic apperture radar). Ia sepanjang 150 kilometer yang terdiri dari 3 sub-bagian, dengan satu sub-bagian diantaranya berada di Teluk Palu. Diolah oleh Sotiris Valkaniotis berbasis citra radar Sentinel-2. Sumber: Valkaniotis, 2018.

Penyebab

Jadi apa penyebab tsunami dalam Gempa Donggala-Palu 2018 ini?

Ada dua pendapat utama. Satu kubu memperkukuhi pergerakan gempa bumi murnilah yang memproduksi tsunami. Sedangkan kubu yang lain beranggapan gempa bumi semata tak cukup sehingga musti ada faktor penyebab tambahan, dalam hal ini adalah longsoran massif di dasar Teluk Palu. Khususnya di area sub-bagian tengah sumber gempa Donggala-Palu 2018.

Aneka simulasi tsunami yang telah dikerjakan sejauh ini juga belum menunjukkan kecocokan mendekati realita. Misalnya simulasi pendahuluan dari EDIM (Earthquake Disaster Information system for the Marmara), proyek penelitian yang menjadi bagian dari University of Karlsruhe (Jerman). Simulasi tsunami EDIM adalah bagian kubu pertama dan dilansir hanya sehari pascagempa. Simulasi EDIM berasumsi sumber gempa Donggala-Palu 2018 berupa persegi sepanjang 100 kilometer dengan beberapa bagiannya berada di dasar Selat Makassar – Teluk Palu. Hasil simulasinya menempatkan tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah sebesar 5,5 meter.

Gambar 4. Simulasi tsunami pendahuluan dari EDIM. Tsunami Palu dianggap murni diproduksi dari kenaikan dasar sebagian Teluk Palu akibat gempa. Tinggi tsunami terbesar berdasarkan simulasi adalah di pesisir Kota Palu bagian tengah, yakni setara 5,5 meter. Ini masih jauh dari realitas. Sumber: EDIM, 2018.

Sementara simulasi pendahuluan lainnya dikerjakan oleh Aditya Gusman, cendekiawan muda gempa dan tsunami yang sedang menempuh program pascadoktoralnya di Selandia Baru. Simulasi ini tergolong ke dalam kubu kedua dan dipublikasikan 2 hari pascagempa. Ia mengambil asumsi sumber gempa Donggala-Palu 2018 sebagai persegi sepanjang 60 kilometer dengan lebar 20 kilometer dan ada bagiannya yang menjorok ke dasar laut Selat Makassar. Aditya juga berasumsi telah terjadi longsoran dasar laut, yang dispekulasikannya berada di mulut Teluk Palu. Longsoran dianggap berbentuk bulat berdiameter 5 kilometer dengan amplitudo 2 meter. Hasil simulasinya menempatkan tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah hanyalah 2,5 meter. Jika faktor longsoran dasar laut diabaikan, simulasi Aditya menjumpai tinggi tsunami di Kota Palu bagian tengah hanyalah 0,25 meter.

Untuk memastikan apa yang menjadi pembangkit tsunami dalam Gempa Donggala-Palu 2018, maka survei lapangan pun bakal digelar. Termasuk diantaranya bakal ‘mengaduk-aduk’ dasar Teluk Palu, tentu dengan teknologi pencitra dasar laut yang berbasis sonar. Dari survei ini bakal diketahui bagaimana sebenarnya bentuk geometri sumber gempa Donggala-Palu 2018 dan bagaimana situasi di dasar Teluk Palu. Sehingga simulasi tsunami yang lebih baik dan lebih dekat ke realita dapat dikerjakan.

Gambar 5. Simulasi tsunami pendahuluan oleh Aditya Gusman. Tsunami Palu dianggap diproduksi dari gabungan kenaikan Selat Makassar akibat gempa dan terjadinya longsoran dasar laut tepat di mulut Teluk Palu. Tinggi tsunami terbesar berdasarkan simulasi adalah di pesisir Kota Palu bagian tengah, yakni setara 2,5 meter. Ini masih jauh dari realitas. Sumber: Gusman, 2018.

Meski hasil simulasi tsunami pendahuluan hingga sejauh ini belum dapat menjawab apa yang sesungguhnya terjadi, akan tetapi mereka mengungkap fakta lain. Simulasi tsunami pada dasarnya adalah pemodelan matematis penjalaran tsunami dengan menggunakan persamaan-persamaan gelombang tertentu yang dihitung secara numerik. Simulasi tsunami memperlihatkan betapa geometri Teluk Palu yang unik menjadi hal fatal manakala berhadapan dengan peristiwa tsunami.

Pada dasarnya tsunami adalah gelombang panjang. Karena sebagai gelombang transversal, ia mempunyai panjang gelombang jauh lebih besar ketimbang kedalaman perairan yang dilintasinya. Kedalaman Teluk Palu mencapai 700 meter, membuat tsunami yang terbentuk di perairan ini mampu melesat secepat sekitar 300 kilometer/jam. Dengan periode hanya 3,5 menit maka gelombang tsunami Palu memiliki panjang gelombang hingga 5.000 kilometer. Sebagai gelombang panjang, tsunami memiliki tinggi sangat kecil khususnya di tengah-tengah perairan samudera terbuka. Di lokasi tersebut tinggi tsunami mungkin hanya beberapa sentimeter hingga semeter saja.

Namun begitu memasuki perairan sempit seperti misalnya muara sungai, selat, teluk dan pantai berteluk rumit mirip pola gigi gergaji (sawtooth), tsunami mengalami proses amplifikasi atau penguatan. Oleh karena kecepatannya berkurang, maka panjang gelombangnya pun memendek dramatis. Dimana bagian depan tsunami melambat sementara bagian belakangnya masih melaju lebih cepat. Ini membuat massa air bertumpuk sehingga tingginya pun meningkat. Proses ini diperparah jika ada pasokan air lain, misalnya dari aliran sungai. Karena itu saat tiba di pesisir perairan sempit, tinggi tsunami telah demikian meningkat.

Teluk Palu pada dasarnya adalah perairan mirip estuaria (muara sungai berbentuk corong) raksasa. Kota Palu tepat berada di ujung dari corong tersebut. Sehingga manakala tsunami memasuki perairan ini, ataupun tepat terbentuk dalam perairan ini, ia akan diperkuat begitu mendekati Kota Palu. Dan saat tiba di pesisir Kota Palu, tingginya telah demikian besar sehingga cukup mampu menghasilkan kerusakan. Dan menelan korban. Inilah yang menjadikan Kota Palu sebagai kawasan paling rawan tsunami di Indonesia.

Takdir Kebumian

Data dari stasiun pasangsurut Pantoloan dan hasil analisis rekaman video tsunami yang menerpa Kota Palu menghasilkan kesimpulan sementara ibarat pisau bersisi dua. Yakni tentang sistem peringatan dini tsunami. Pada sisi yang tajam, sistem peringatan dini tsunami itu terbukti telah bekerja meskipun tak sempurna. Tsunami menerjang Kota Palu hanya dalam tempo paling lama 10 menit dari awal gempa. Meski BMKG menyampaikan peringatan dininya lebih cepat, yakni hanya 4 menit setelah gempa dimulai, namun waktu yang tersedia sangat sempit. Hanya 6 menit kemudian tsunami telah melimbur Kota Palu. Pada sisi yang tumpul disadari bahwa sebagus apapun dan sesempurna apapun sistem peringatan dini tsunami bagi Kota Palu, warga kota itu hanya memiliki peluang yang kecil untuk selamat.

Gambar 6. Peta kontur kedalaman (batimetri) dasar Teluk Palu berdasarkan rilis Badan Informasi Geospasial (BIG). Nampak lokasi Pelabuhan Pantoloan dan Kota Palu serta kandidat lokasi terjadinya longsor dasar laut yang memperparah tsunami. Sumber: BIG, 2018.

Mari kita bayangkan bagaimana menit demi menit situasi Kota Palu yang mendirikan bulu roma pada saat gempa dan tsunami melanda. Begitu gempa mulai, sesar Palu-Koro yang membelah Kota Palu bergeser 5-6 meter dari semula mengikuti prinsip dislokasi elastis. Segenap kota menjadi sub-bagian tengah sumber gempa. Getaran yang amat sangat keras terjadilah dengan intensitas hingga 9 MMI. Tak satupun insan yang sanggup berdiri tegak kala menerima getaran sekeras itu. Hujan reruntuhan mulai terjadi. Bangunan bermutu buruk remuk, sementara bangunan yang lebih baik dibikin rusak berat hingga runtuh. Mereka yang berhasil mengeluarkan diri segera berkumpul di tempat-tempat terbuka.

Selagi gempa mereda dan rasa panik masih meraja di tahta tertingginya, tak satupun menyadari perairan tenang yang selama ini mempercantik wajah kota mulai bergolak. Sebagian dasar Teluk Palu terangkat dan longsor. Laut bergolak, mengirim gelombang panjang yang awalnya kecil. Namun lama kelamaan kian membesar dan meninggi begitu mendekat ke pesisir. Hanya 10 menit setelah awal gempa, gelombang pembunuh itu tiba di pesisir. Kini ia menjadi monster setinggi hingga 11 meter. Melaju secepat (mungkin) 30 kilometer/jam, ia menerjang ke daratan, merayahi kota hingga 500 meter dari garis pantai. Menyapu apa saja yang dilintasinya. Termasuk manusia.

Takdir kebumian Kota Palu, dengan sesar Palu-Koro yang melintasinya dan teluk bergeometri unik dihadapannya, mengantar kota itu berhadapan dengan kengerian tsunami. Sekaligus mimpi buruk bagi sistem peringatan dini tsunami dimanapun. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia adalah sebuah sistem rumit yang melibatkan banyak lembaga. Kendali memang berada di BMKG, sekaligus sebagai pemantau jejaring seismometer. Namun verifikasi terjadi tidaknya tsunami harus melalui bacaan tsunami buoy ataupun stasiun pasangsurut. Tsunami buoy ada di bawah koordinasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sementara stasiun pasangsurut menjadi bagian dari BIG.

Hasilnya lantas disalurkan kepada lembaga-lembaga nasional yang berkepentingan dan pemerintah daerah berpotensi terdampak. Pada titik ini, seharusnya di daerah itu terdapat menara sirene peringatan dini tsunami. Sirene tersebut didesain untuk meraung-raung, suaranya bisa terdengar hingga berkilometer jauhnya. Juga seharusnya terdapat sistem SMS blasting, yang mampu mengirim layanan pesn singkat secara massal ke segenap pemilik telepon seluler di daerah tersebut.

Dalam kejadian tsunami Palu, sistem peringatan dini tsunami itu bekerja tak sempurna. Tak ada tsunami buoy yang memverifikasi ada tidaknya tsunami saat masih menjalar di tengah teluk, karena sudah invalid. Hanya satu stasiun pasangsurut yang melaporkan kejadian usikan khas tsunami di pantai, itupun sejarak 200 kilometer dari episentrum. Tak ada sirene yang meraung-raung dari menara peringatan dini tsunami. Pun tak ada SMS blasting ke penduduk. Meski dua hal terakhir mungkin disebabkan oleh suasana panik yang melanda Kota Palu saat gempa. Atau bahkan bisa jadi infrastrukturnya telah hancur sementara operatornya telah tiada, akibat guncangan gempa.

Akan tetapi andaikata semua bagian tersebut bekerja sempurna sekalipun, dengan tsunami melimpur kota hanya dalam tempo 10 menit pascagempa, kecil peluangnya bagi penduduknya untuk selamat.

Referensi :

Widjo Kongko. 2018. komunikasi pribadi.

Aditya Gusman. 2018. komunikasi pribadi.

Sotiris Valkaniotis. 2018. komunikasi pribadi.