Menyambut Komet Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271), Komet Raksasa Terbesar Sepanjang Sejarah

Sebuah komet raksasa yang terbesar sepanjang sejarah astronomi modern terdeteksi sedang memasuki bagian dalam tata surya kita. Perjalanan ini merupakan bagian dari pengembaraan jutaan tahunnya guna sekali mengedari Matahari. Dalam satu dasawarsa mendatang komet raksasa itu akan tiba di titik terdekatnya ke Matahari, pada lokasi yang setara dengan jarak Matahari–Saturnus. Sang komet raksasa tersebut tidak punya peluang apapun guna berbenturan dengan planet–planet tata surya kita.

Komet raksasa Bernardinelli–Bernstein (C/2014 UN271) mulai menyedot perhatian sejak 19 Juni 2021 TU (Tarikh Umum). Yakni kala informasi terkait dengannya dilansir ke publik oleh para peneliti Dark Energy Survey (DES), saat itu masih dikodekan sebagai benda langit 2014 UN271. Meski telah terdeteksi sejak 2014 TU, namun baru hampir tujuh tahun kemudian identitasnya terkuak. 2014 UN271 memiliki orbit sangat lonjong yang hampir mendekati bentuk orbit parabola, sehingga diduga kuat merupakan intikomet. Profil orbitnya juga cukup menarik, menunjukkan 2014 UN271 memiliki periode revolusi hingga jutaan tahun. Hal menarik berikutnya, 2014 UN271 memiliki dimensi teramat besar. Sempat muncul dugaan diameternya bisa mencapai 400 kilometer dan bisa dikelompokkan ke dalam golongan planet-kerdil.

Gambar 1. Komet raksasa Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271) dalam salah satu citra Dark Energy Survey (DES) dari bulan Oktober 2017 TU. Saat itu komet berjarak 25 SA dari Matahari. Berselang empat tahun kemudian statusnya sebagai komet telah dikonfirmasi. Sumber : NOIRLab, 2021.

Berselang tiga hari kemudian, dua pengamatan astronomi dari lokasi yang berbeda menyimpulkan 2014 UN271 adalah sebuah komet. Pengamatan pertama datang dari Las Cumbras Observatory Global Telescope (LCOGT) yang memanfaatkan fasilitas teleskop South African Astronomical Observatory (SAAO) di Afrika Selatan. Sedangkan pengamatan kedua berasal dari fasilitas SkyGems Remote Observatory di Namibia. Dua pengamatan tersebut menunjukkan 2014 UN271 memiliki tanda–tanda khas aktivitas komet meskipun jaraknya terhadap Matahari masih lebih jauh ketimbang orbit Uranus. Dalam jarak yang demikian yakni 20,18 SA (Satuan Astronomi), hembusan angin Matahari telah mulai membuat permukaan kerak 2014 UN271 menyublim dan mulai mengemisikan gas–gas karbonmonoksida dan karbondioksida. Emisi tersebut membentuk struktur atmosfer temporer yang menyelubungi intikomet sebagai kepala (coma) yang khas. Maka benda langit ini pun diklasifikasikan ulang sebagai komet, yakni komet Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271). Sebuah komet dengan intikomet raksasa (diameter 100 – 200 kilometer).

Dark Energy Survey

Komet Bernardinelli–Bernstein ditemukan lewat kampanye Dark Energy Survey (DES), sebuah program pemetaan langit ambisius guna menyelidiki dinamika dan struktur skala besar jagat raya dalam upaya mengungkap sifat-sifat energi gelap nan misterius. DES mencoba mencapai tujuan tersebut melalu pemetaan kejadian–kejadian supernova tipe Ia, osilasi akustik barionik, populasi gugus galaksi dan fenomena pelensaan gravitasi lemah.
Jagat raya yang mengembang telah menjadi pengetahuan dalam kurun seabad terakhir yang dipelopori pengamatan Vesto Slipher dan kemudian dilanjutkan oleh Edwin Hubble yang melegenda. Pengamatan tersebut bersamaan dengan mencuatnya gagasan relativitas umum yang memesona, dimana salah satu implikasinya adalah jagat raya yang mengembang.

Namun pengembangan jagat raya yang dipercepat baru diketahui pada 1998 TU lalu melalui pengamatan supernova–supernova tipe Ia pada galaksi yang sangat jauh. Sejak saat itu pula istilah energi gelap muncul, energi yang bertanggung jawab terhadap percepatan pengembangan jagat raya sejak awal kelahirannya. Proyek pemetaan DES yang melibatkan pendanaan dan para peneliti dari AS, Australia, Brazil, Inggris Raya, Jerman, Spanyol dan Swiss. Mereka bersenjatakan kamera supersensitif yang dipasang pada teleskop raksasa Victor M Blanco (diameter 4 meter) di kompleks Observatorium CerroTololo–Inter America (Chile) guna memetakan langit selatan dalam spektrum cahaya tampak dan inframerah dekat.

Gambar 2. Wajah komet raksasa Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271) saat telah nyata menunjukkan aktivitas komet dalam pengamatan 22 Juni 2021 TU dari SkyGems Namibia Remote Observatory. Nampak kepala komet (coma) telah terdeteksi dengan baik menyelubungi segenap intikomet. Sumber : SkyGems/Buzzi, Demets & Aletti, 2021.

Selama enam tahun penuh sejak Agustus 2013 TU, DES bekerja memetakan 300 juta galaksi dalam area seluas 5.000 derajat persegi. Bagian langit yang dipetakan dipilih yang berada di luar selempang galaksi Bima Sakti. Dalam periode akumulatif 758 malam observasi dan puluhan juta jam komputasi, DES telah berhasil merekam 16 milyar titik cahaya mirip bintang. Lebih dari 800 diantaranya merupakan obyek transneptunik, yakni sejenis asteroid berukuran besar dengan komposisi mirip intikomet dan bergentayangan mengelilingi Matahari pada aneka orbit lonjong yang lebih jauh ketimbang orbit Neptunus.

Di antara 16 milyar titik cahaya yang terekam DES, 32 titik diantaranya berasal dari satu benda langit yang sama. Yaitu komet raksasa Bernardinelli–Bernstein (C/2014 UN271). Evaluasi yang dilakukan observatorium-observatorium lainnya yang kebetulan merekam bagian langit yang sama menunjukkan komet ini sesungguhnya sudah teramati lebih awal, yakni sejak 14 Agustus 2014 TU. Secara keseluruhan hingga saat ini telah tersedia 58 data pengamatan, yang memungkinkan profil orbit komet Bernardinelli–Bernstein dapat ditentukan.

Orbit

Komet Bernardinelli–Bernstein mengelilingi Matahari dalam orbit sangat lonjong hingga hampir mirip parabola. Perihelionnya hanya 10,95 SA namun aphelionnya membentang hingga sejauh 62.000 SA sehingga memiliki periode revolusi yang sangat panjang. Yakni hingga 5,4 juta tahun. Inklinasi orbitnya 96º sehingga komet raksasa ini bergerak secara retrograde atau berlawanan arah dengan arah gerak planet–planet pada umumnya. Nilai inklinasi itu sangat besar bila dibandingkan anggota tata surya bagian dalam yang umumnya mendekati 0º, namun biasa dijumpai pada populasi komet–komet berperiode panjang–sangat panjang, komet parabolik (orbitnya berbentuk parabola) dan komet hiperbolik (berorbit hiperbola).

Dengan parameter orbit demikian maka tak ada keraguan lagi bahwa komet Bernardinelli–Bernstein (C/2014 UN271) berasal dari awan komet Opik–Oort. Yakni kawasan di tepian tata surya yang membentang dari 2.000 SA hingga 200.000 SA dari Matahari dan menjadi lokasi hunian bakal-bakal intikomet dalam jumlah yang tak terkira banyaknya. Awan komet Opik-Oort dapat dianggap seperti Sabuk Utama Asteroid, hanya saja bentuknya melebar dari cakram pipih di sisi dalam menjadi bulatan bola (globular) di sisi luar. Populasi bakal-bakal intikomet didalamnya juga berlipat kali lebih banyak ketimbang asteroid di Sabuk Utama.

Gambar 3. Orbit komet raksasa Bernardinelli-Bernstein (C/2014 UN271) terhadap orbit planet dan planet-kerdil dalam tata surya kita. Berdasarkan simulasi Starry Night 3.0 dengan titik sejauh 75 SA di atas garis 45º LU dari Matahari dan data dari NASA Solar System Synamics. Sumber : Sudibyo, 2021.

Sebagai komet, dengan magnitudo inti +7,8 yang dimilikinya maka intikomet Bernardinelli–Bernstein memiliki diameter antara 100 hingga 200 kilometer, dengan asumsi permukaannya segelap aspal hingga batubara. Maka intikomet Bernardinelli–Bernstein adalah intikomet terbesar yang pernah disaksikan manusia sepanjang sejarah modern. Melampaui ukuran intikomet Sarabat (C/1729 P1) yang berdimensi ~100 kilometer dan terlihat selama setengah tahun penuh di tahun 1729 TU.

Observasi Namibia menunjukkan telah terbentuk coma (kepala komet) selebar 15” atau setara dengan diameter 200.000 km. Coma tersebut menyelubungi intikomet, sehingga membuat komet raksasa ini menjadi sedikit lebih terang. Perubahan nama dari benda langit 2014 UN271 menjadi komet Bernardinelli–Bernstein (C/2014 UN271) adalah mengikuti tradisi astronomi yang telah berlaku sepanjang empat abad terakhir. Yakni komet mendapatkan namanya dari nama orang/sistem yang pertama kali melihat /mendeteksinya. Dalam kasus komet raksasa ini, adalah Pedro Bernardinelli dan Gary Bernstein yang pertama kali mendeteksinya. Keduanya merupakan bagian dari para cendekiawan yang berada di balik kampanye DES.

Rencana Eksplorasi

Orbit komet raksasa Bernardinelli–Bernstein tidak berpotongan dengan satu pun orbit planet maupun satelitnya. Maka tak ada potensi sama sekali untuk menubruk planet. Dia juga takkan hadir di dekat Bumi. Dengan perihelion sejauh 10,95 SA yang akan terjadi pada 23 Januari 2031 TU kelak, maka jarak terdekat komet raksasa Bernardinelli–Bernstein ke Matahari masih lebih jauh ketimbang orbit Saturnus. Jarak terdekatnya ke Bumi akan dicapai pada awal April 2031 TU kelak. Yakni sebesar 10,12 SA atau lebih jauh ketimbang jarak antara orbit Bumi dan orbit Saturnus. Sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana kedudukan komet terhadap planet -planet tata surya dari waktu ke waktu dapat disaksikan sebagai berikut :

Dengan perihelion demikian jauh, komet raksasa ini bakal tetap nampak redup. Kelak saat tiba di perihelionnya, magnitudo komet Bernardinelli–Bernstein diperhitungkan hanya ada di sekitar +16. Ini lebih redup ketimbang planet-kerdil Pluto (magnitudo +15) dan bisa disetarakan dengan redupnya Charon (satelit Pluto). Butuh teleskop yang mempunyai lensa / cermin obyektif berdiameter minimal 200 mm untuk bisa menyaksikannya. Sehingga untuk publik, komet raksasa Bernardinelli–Bernstein agak mengecewakan.

AKan tetapi bagi astronomi, komet raksasa ini merupakan bonus tak terduga dari langit dalam upaya menyelidiki tata surya bagian luar. Bonus pertama, komet raksasa Bernardinelli–Bernstein akan memiliki rentang magnitudo antara +16 hingga +20 sepanjang dua dasawarsa ke depan. Tepatnya hingga tahun 2041 kelak. Maka tersedia waktu yang cukup panjang guna mengamati komet ini, berbeda dengan komet-komet sebelumnya meski sama-sama berasal dari awan komet Opik-Oort. Sedangkan bonus kedua, ukuran komet ini cukup besar. Sehingga menjanjikan detail yang lebih baik ketimbang komet-komet lainnya.

Kedua bonus tersebut membuka peluang eksplorasi komet Bernardinelli–Bernstein yang lebih baik. Teleskop-teleskop raksasa yang berpangkalan di belahan Bumi bagian selatan akan memiliki peluang lebih baik untuk mengamati sang komet. Diantaranya teleskop raksasa Simonyi (diameter cermin obyektif 8 m) di Observatorium Vera Rubin (Chile) yang sedang dalam proses pembangunan dan diperkirakan dapat mulai beroperasi pada 2022 TU mendatang. Demikian pula Observatorium Nasional Timau di pulau Timor (Indonesia) yang bersenjatakan teleskop dengan cermin obyektif berdiameter 3,8 m. Observatorium Nasional Timau juga masih dalam pembangunan dan diharapkan sudah mulai beroperasi juga di tahun 2022 TU mendatang.

Selain observasi dari Bumi bersenjatakan teleskop-teleskop termutakhir, muncul pula gagasan agar pengamatan komet raksasa Bernardinelli–Bernstein dilakukan dengan menggunakan wantariksa (wahana antariksa) tak berawak. Mengingat kejadian munculnya komet raksasa cukup langka sehingga sayang untuk dilewatkan begitu saja. Salah satu usulannya menggunakan wantariksa Comet Interceptor yang sedang dirancang badan antariksa gabungan negara-negara Eropa (ESA).

Gambar 4. Prakiraan tingkat terang/magnitudo komet raksasa Bernardinelli-Bernstein (garis merah) terhadap jaraknya dari Matahari dalam Satuan Astronomi (garis hijau). Nampak komet akan lebih terang dari +20 hingga dua dasawarsa mendatang. Sumber : Remanzacco Observatory/Guido, 2021.

Comet Interceptor yang berbobot 900 kg dirancang untuk mengangkasa pada 2029 TU mendatang dan diparkir pada orbit Lissajous mengelilingi titik Lagrange 2 Bumi. Yakni titik yang berkedudukan 1,5 juta kilometer di ‘belakang’ Bumi (relatif terhadap Matahari). Dari orbit parkir ini Comet Interceptor kemudian diarahkan untuk bermanuver menuju sasaran. Tapi dalam hal komet Bernardinelli–Bernstein, dengan perihelion 10,95 SA maka butuh energi cukup besar bagi Comet Interceptor untuk dapat menjangkaunya. Faktor penyulit lainnya, pada jarak tersebut efektivitas panel surya sangat rendah sehingga mau tidak mau wantariksa harus menggunakan generator listrik berbasis unsur radioaktif atau RTG (radioactive thermoelectric generator). Peluang untuk bisa membangun wantariksa bertenaga RTG yang cocok dalam kurun kurang dari satu dasawarsa tergolong kecil.

Meski demikian, semua sepakat bahwa komet Bernardinelli–Bernstein tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab komet ini menyajikan peluang untuk mengorek kisah dan dinamika dari awan komet Opik-Oort, halaman belakang tata surya kita. Kawasan yang karakternya hampir sepenuhnya masih tersembunyi di balik tirai kosmik. Kawasan dimana gravitasi Matahari masih memegang pengaruh kuat. Namun gangguan gravitasi dari bintang tetangga yang kebetulan melintas dekat maupun gaya tidal galaktik Bima Sakti mampu merontokkan bakal-bakal intikomet dari orbitnya semula di dalam awan ini. Mereka lalu akan terdorong masuk ke tata surya bagian dalam sebagai komet-komet berperiode panjang maupun parabolik / hiperbolik.

Referensi :

Bernardinelli, Bernstein & Kocz. 2021. Giant Comet Found in Outer Solar System by Dark Energy Survey. National Optical-Infrared Astronomy Research Laboratory – National Science Foundation, 25 Juni 2021. Diakses 30 Juni 2021.

Kokotanekova dll. 2021. Newly Discovered Object 2014 UN271 Observed as Active at 20.18 AU. The Astronomer’s Telegram 22 Juni 2021 ATel #14733. Diakses 30 Juni 2021.

Mau Jatuh Dimana, (Stasiun Antariksa) Tiangong-1?

Bagaimana perasaanmu jika tahu sebongkah benda seukuran bus tingkat bersiap jatuh dari langit dalam waktu dekat? Namun itulah yang akan dialami Tiangong-1. Sampah antariksa sepanjang 10,5 meter yang bergaris tengah 3,4 meter itu sedang bersiap-siap mengakhiri perjalanannya dan akan memasuki atmosfer Bumi kita, proses yang dikenal sebagai reentry. Lebih menyesakkan lagi, Tiangong-1 bakal jatuh dalam kondisi uncontrolled reentry atau jatuh ke Bumi secara tak terkendali sehingga dimana ia bakal memasuki atmosfer belum bisa ditentukan pada saat ini.

Tiangong-1 diprediksi akan jatuh pada minggu pertama April 2018 TU (Tarikh Umum). Per 16 Maret 2018 TU, Aerospace Corporation (Amerika Serikat) memprakirakan peristiwa tersebut akan terjadi pada 4 April 2018 TU ± 7 hari. Sedangkan Joseph Remis, peneliti sampah antariksa dari Perancis, menempatkan prediksinya pada 3 April 2018 TU ± 7 hari. Dan Marco Langbroek, astronom amatir Belanda yang berspesialisasi pada pengamatan satelit-satelit buatan, memprakirakan akan terjadi pada 4 April 2018 TU ± 4 hari. Besarnya angka ketidakpastian dari prediksi-prediksi ini adalah imbas dari variasi sifat lapisan atmosfer teratas kita dari satu titik ke titik lain. Juga dari tidak diketahuinya posisi aktual dan kecepatan aktual sampah antariksa tersebut. Padahal inilah yang sangat menentukan kapan Tiangong-1 akan jatuh kembali ke Bumi.

Gambar 1. Tiangong-1 di orbitnya, dalam gambaran artis yang dipublikasikan badan antariksa nasional Cina. Nampak pintu labuh dengan sistem penambat APAS di sisi kiri, tempat taikonot memasuki prototip stasiun antariksa ini. Raksasa seberat 8,5 ton inilah yang akan jatuh kembali ke Bumi secara tak terkendali pada awal April 2018 TU kelak. Sumber: CNSA, 2011.

Nilai ketidakpastian tersebut juga berimbas pada lebarnya prediksi titik jatuh Tiangong-1. Dengan inklinasi orbit 42,8º maka pada dasarnya setiap titik di paras Bumi yang ada di antara garis lintang 42,8 LU hingga 42,8 LS berpotensi menjadi titik jatuh Tiangong-1. Berdasarkan pengalaman selama ini, titik koordinat mana yang tepatnya akan menjadi titik jatuh Tiangong-1 baru akan diketahui sehari sebelum terjadi. Akan tetapi karena bentuk orbitnya pula, daerah-daerah yang terletak di sekitar atau di sepanjang garis lintang 42,8 LU dan di garis lintang 42,8 LS memiliki peluang menjadi titik jatuh yang lebih tinggi (yakni sekitar 3 %) dibandingkan dengan daerah-daerah yang berada di lingkungan garis khatulistiwa (yakni kurang dari 0,5 %).

Dengan prediksi demikian maka Indonesia pun tidak dikecualikan. Sepanjang tiga tahun terakhir, Indonesia telah mengalami dua kejadian benda jatuh antariksa (BJA), dimana sisa-sisa sampah antariksa jatuh di dekat rumah penduduk. Yakni di pulau Madura (propinsi Jawa Timur) pada tahun 2016 TU dan di tepi Danau Maninjau (propinsi Sumatra Barat) pada tahun 2017 TU. BJA di pulau Madura adalah sisa upperstage roket Falcon 9 Full Thrust milik perusahaan SpaceX (Amerika Serikat) sementara BJA di tepi danau Maninjau adalah sisa upperstage roket Long March-3A milik pemerintah Cina.


Gambar 2. Dua kejadian benda jatuh antariksa (BJA) di Indonesia akibat jatuhnya sampah antariksa. Masing-masing sisa upperstage Long March-3A di tepi Danau Maninjau (atas) dan sisa upperstage Falcon 9 Full Thrust di pulau Madura (bawah). Sumber: Piliang, 2017 & Tribunnews, 2016.

Spesifikasi

Sebelum menjadi sampah antariksa, Tiangong-1 adalah stasiun antariksa pertama Cina sebagai bagian dari program Tiangong. Stasiun antariksa Tiangong-1 diluncurkan ke orbit pada 30 September 2011 TU lewat dorongan kuat roket Long March 2F/G. Roket dan muatannya lepas landas dari landasan nomor 4/landasan selatan pada kompleks Pusat Peluncuran Jiuquan di sisi barat laut padang pasir Gobi, propinsi otonom Mongolia Dalam. Long March 2F/G menempatkan Tiangong-1 pada orbit sirkular setinggi 343 kilometer.

Begitu mencapai orbit, stasiun antariksa berbobot 8,5 ton itu segera membuka sepasang sayap panel suryanya. Masing-masing panel surya memiliki panjang 10 meter dan lebar 3,1 meter. Arus listrik dengan daya rata-rata 2.500 watt dan daya puncak 6.000 watt pun mengalir deras darinya. Sebagian mengalir ke batere kering perak-seng, catudaya untuk situasi malam orbital, Interior Tiangong-1 terdiri atas dua ruang, masing-masing ruang hunian/orbital dan ruang layanan/sumberdaya.

Ruang hunian memiliki panjang 5 meter dan lebar 3,4 meter dengan volume total 15 meter3 dan berisi udara bertekanan 1 atmosfer. Didalamnya terdapat dua ranjang tidur dilengkapi dapur dan sistem toilet. Ruang ini dilengkapi dengan sistem pembuang panas ke lingkungan, yang mampu melepaskan panas yang diproduksi di dalam ruangan hingga sebesar 2.000 watt termal. Di ujungnya, yang juga adalah ujung Tiangong-1, terpasang pintu masuk dilengkapi sistem penambat APAS (Androgynous Peripheral Attach System). Sistem penambat ini serupa dengan yang digunakan pada stasiun-stasiun antariksa lainnya.

Sementara ruang layanan memiliki panjang 3,3 meter namun lebarnya hanya 2,5 meter. Di pusat pantat ruang ini, yang juga adalah pantat Tiangong-1, terpasang dua mesin roket utama. Selain guna menempatkan diri ke orbit kedua mesin ini juga digunakan untuk keperluan manuver pemulihan orbit. Di sisi luarnya, melingkari mesin roket utama, terpasang 8 mesin roket vernier. Mereka berguna untuk penyesuaian orbit yang sangat halus. Dan di sisi terluar terdapat empat set mesin roket kendali (reaction control system), masing-masing set terpisah 90º antara satu dengan yang lain. Dalam setiap set terdapat dua mesin roket kecil. Mesin roket kendali ini berguna untuk manuver anjak (pitch) dan belok (yaw). Dan bersama-sama dengan mesin roket vernier juga digunakan untuk manuver putaran (roll).

Gambar 3. Liu Yang, taikonot perempuan pertama Cina, mendemonstrasikan salah satu gerakan tai chi untuk pertama kalinya di antariksa saat berada dalam Tiangong-1 pada misi antariksa Shenzou 9 yang berlangsung antara 16 hingga 23 Juni 2012 TU. Gambar dari stasiun televisi nasional Cina (CNTV). Sumber: CNTV, 2012.

Beragam mesin roket tersebut ditenagai bahan bakar Hidrazin dan pengoksid Nitrogen Tetroksida. Mereka disimpan dalam empat tanki berbeda, masing-masing berkapasitas 230 liter yang sanggup memuat 1 ton bahan bakar atau pengoksid. Ada lagi dua buah tanki lebih kecil sferis dengan dinding didesain menahan tekanan tinggi. Takni kecil dengan kapasitas masing-masing 20 liter ini ditujukan untuk menampung gas (mungkin Helium) bertekanan tinggi guna mendorong bahan bakar dan pengoksid ke mesin roket yang dituju.

Hidup di Tiangong-1

Pembangunan dan pengoperasian Tiangong-1 adalah demonstrasi kedigdayaan Cina dalam pentas program antariksa global. Cina merintis program antariksanya bersamaan dengan Indonesia, yakni mulai dasawarsa 1960-an TU. Dalam periode yang sama negeri tirai bambu itu nyaris tenggelam seiring salah urus dalam eksperimen pertanian dan industri khas komunisme lewat program Lompatan Jauh ke Depan yang disusul huruhara Revolusi Kebudayaan. Bencana kelaparan meletup dimana-mana dan merenggut tak kurang dari 30 juta jiwa.

Hingga satu dasawarsa kemudian Cina layaknya ‘planet mati’, diemohi orang dan nampaknya bakal menjadi negara gagal. Namun kini situasinya telah sangat berbeda. Cina telah pulih dan bahkan melesat cukup jauh dalam berbagai bidang, termasuk program antariksanya. Sebaliknya Indonesia hingga kini masih tetap berkutat di titik nol dalam membangun kendaraan untuk menuju ke langit.

Program Tiangong adalah jawaban Cina kepada dunia setelah tawarannya bergabung dengan program stasiun antariksa internasional (ISS) bertepuk sebelah tangan. Sebagian negara partisipan ISS, dimotori Amerika Serikat, tidak ingin Cina bergabung atas alasan politis. Tiangong pun dibangun dan diparalelkan dengan Program Shenzou, program penerbangan antariksa berawak Cina. Tiangong-1 merupakan prototip stasiun antariksa moduler, tipe stasiun antariksa yang bisa bertumbuh/dikembangkan di orbit lewat menggabung-gabungkan aneka modul secara bertahap. Sebagai prototip, tujuan utama Cina adalah menguji coba kemampuan menambat (rendezvous) dan berlabuh antara Tiangong-1 dengan wantariksa (wahana antariksa) lain. Baik wantariksa berawak maupun tidak.

Ujicoba itu terlaksana beberapa bulan kemudian. Pada 31 Oktober 2011 TU wantariksa Shenzou 8 lepas landas dari Pusat Peluncuran Jiuquang menuju Tiangong-1. Dua hari berikutnya Shenzou 8 berhasil berlabuh di Tiangong-1 secara otomatis. Peristiwa ini terjadi dalam situasi malam orbital Tiangong-1 guna menghindari pengaruh gemerlap sinar Matahari terhadap radas navigasi dan penambat yang sensitif. Shenzou 8 berlabuh hingga 11 hari berikutnya, lantas melepaskan diri. Proses tersebut lantas diulangi kembali, tapi kali ini dalam situasi siang hari Tiangong-1. Tujuannya guna mengecek akurasi dan daya pakai radas-radas terkait di lingkungan terang benderang. Hasilnya memuaskan, Shenzou 8 tetap dapat berlabuh hingga hampir 2 hari kemudian ketika ia kembali melepaskan diri.

Misi berawak pertama ke Tiangong-1 berlangsung mulai 16 Juni 2012 TU dengan penerbangan wantariksa Shenzou 9 yang mengangkut tiga taikonot, istilah Cina untuk antariksawan. Yakni Jin Haipeng, Liu Wang dan Liu Yang. Dua hari kemudian Shenzou 9 berhasil berlabuh di Tiangong-1. Ketiga taikonot menghabiskan waktu hampir 4 hari. Liu Yang menyedot perhatian dunia karena selain menjadi taikonot perempuan pertama juga mendemonstrasikan gerak tai chi untuk pertama kalinya di antariksa.

Gambar 4. Tiangong-1 (kiri) dalam proses menambat dengan wantariksa berawak Shenzou (kanan) dalam gambaran artis yang dipublikasikan badan antariksa nasional Cina. Sebagai prototip stasiun antariksa moduler, dimensi Tiangong-1 tidak lebih panjang ketimbang Shenzou. Karena yang diuatamakan adalah ujicoba kemampuan tambat dan berlabuh, baik secara otomatis ataupun manual. Sumber: CNSA, 2012.

Sementara misi berawak kedua terlaksana setahun berikutnya. Pada 11 Juni 2013 TU wantariksa Shenzou 10 lepas landas dengan mengangkut tiga taikonot masing-masing Nie Haisheng, Zhang Xiaoguang dan Wang Yaping. Dua hari kemudian Shenzou 10 berlabuh aman di Tiangong-1 selama 12 hari berikutnya. Pada hari ketujuh Wang Yaiping, taikonot perempuan kedua, menggelar pengajaran dari langit yang disiarkan langsung ke 60 juta siswa-siswi di Cina. Pada pengajaran itu didemonstrasikan empat percobaan, mulai dari penimbangan berat badan, ayunan pendulum, sifat-sifat giroskop hingga tegangan permukaan air. Shenzou 10 adalah kunjungan wantariksa terakhir bagi Tiangong-1. pengajaran tersebut dapat disaksikan dalam video berikut ini :

Peluruhan Orbit

Setiap wantariksa di orbit rendah, yakni antara ketinggian 300 hingga 2.000 kilometer, pada dasarnya menempati pucuk lapisan teratas atmosfer Bumi kita. Yakni lapisan eksosfer. Di sini kondisinya tidak benar-benar hampa, masih terdapat molekul-molekul udara meski kerapatannya sangat kecil apabila dibandingkan lapisan-lapisan atmosfer yang lebih rendah. Gaya gesek molekul-molekul udara nan renggang ini membuat kecepatan wantariksa berkurang dan implikasinya orbitnya pun menurun. Ini disebut peluruhan orbit. Peluruhan orbit tak penting artinya bila misi antariksa berlangsung singkat, dalam beberapa hari hingga minggu. Namun jika misi antariksanya berjangka panjang, hingga bertahun-tahun lamanya, maka peluruhan orbit akan sangat terasa dan bisa berbahaya bila dibiarkan.

Gambar 5. Dinamika ketinggian orbit Tiangong-1 dari sejak diluncurkan hingga Januari 2018 TU sebagaimana dihimpun Aerospace Corporation berdasarkan data dari Celestrak. Garis putus-putus menandakan saat-saat manuver pemulihan orbit/penyesuaian orbit dilakukan. Manuver terakhir terjadi pada 16 Desember 2015 TU. Setelah itu orbit Tiangong-1 terus meluruh. Sumber: Aerospace Corporation, 2018.

Untuk itulah setiap stasiun antariksa yang pernah diterbangkan ke orbitnya selalu dibekali mesin roket. Dalam periode tertentu ia dinyalakan selama beberapa saat, sehingga stasiun antariksa akan bergerak naik kembali ke posisi orbit semula. Aktivitas ini disebut manuver pemulihan orbit. Dampaknya mudah diamati kasat mata lewat perubahan kecil dalam orbitnya. Terutama oleh pengamat langit berpengalaman.

Demikian halnya Tiangong-1. Sejak mulai menempati orbitnya hingga 4 tahun kemudian, tepatnya hingga Desember 2015 TU, Tiangong-1 telah mengalami 14 kali manuver pemulihan orbit. Ini menunjukkan stasiun antariksa tersebut tetap bisa berkomunikasi dua-arah dengan pengendalinya di Bumi. Meskipun tak pernah lagi dikunjungi pasca Shenzou 10. Manuver ini membuat sikap dan orbit Tiangong-1 tetap bisa dikendalikan sembari Cina menyiapkan rencana penjatuhan terkendali baginya.

Situasi berubah dramatis di 2016 TU. Pada 21 Maret 2016 TU pemerintah Cina secara resmi menyatakan komunikasi dengan Tiangong-1 terputus. Pengamatan independen menunjukkan manuver pemulihan orbit terakhir Tiangong-1 terjadi pada 16 Desember 2015 TU. Selepas itu tak ada apa-apa lagi sehingga orbit Tiangong-1 terus meluruh. Maka Tiangong-1 pun akan jatuh tak terkendali. Awalnya pemerintah Cina menyatakan reentry Tiangong-1 akan terjadi antara Juli hingga Desember 2017 TU. Pada Desember 2017 TU prediksi ini direvisi kembali menjadi antara Maret hingga April 2018 TU, yakni dalam jawaban Cina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cina juga menyampaikan komunikasi dengan Tiangong-1 tidaklah terputus total meski sangat bermasalah. Mereka masih bisa mengendalikan sikap Tiangong-1.

Di awal 2018 TU, orbit Tiangong-1 telah meluruh demikian rupa sehingga turun ke ketinggian 280 kilometer dari normalnya 300 kilometer. Dan di awal Maret 2018 TU tinggal setinggi 250 kilometer. Berdasarkan prediksi-prediksi yang tertera di awal tulisan ini dan memperhitungkan ketidakpastiannya, bisa dikatakan bahwa Tiangong-1 masih akan tetap ada di antariksa hingga setidaknya 27 Maret 2018 TU. Cukup menarik bahwa pada rentang waktu 18 hingga 24 Maret 2018 TU, Tiangong-1 diprakirakan akan melintas di atas Indonesia terutama pada saat fajar dan senja. Sehingga memungkinkan melihat saat-saat terakhir Tiangong-1 di langit. Tentu saja sepanjang cuaca cerah.

Peluang Kecil

Jatuhnya Tiangong-1 akan seperti sampah-sampah antariksa lainnya yang telah lebih dulu berjatuhan. Begitu tiba di ketinggian 105 kilometer, udara lebih rapat membuat Tiangong-1 akan sangat diperlambat. Sehingga ia mulai turun dan terus menurun memasuki lapisan atmosfer lebih rapat dan lebih rendah. Kecepatannya yang masih sangat tinggi akan menghasilkan tekanan ram pada kolom udara disekelilingnya, memproduksi suhu tinggi. Komponen-komponen Tiangong-1 akan mulai pecah dan terkikis suhu tinggi. Maka ia akan terlihat mirip meteor dalam jumlah banyak. Sebagian besar komponennya akan menguap habis di atmosfer. Hanya bagian yang paling kuat dengan massa total sekitar 100 kilogram yang akan mendarat di paras Bumi.

Gambar 6. Area yang berpotensi menjadi titik jatuh sampah antariksa Tiangong-1 beserta probabilitas (peluang) jatuh berdasarkan garis lintang menurut badan antariksa gabungan negara-negara Eropa (ESA). Nampak peluang jatuh di sekitar garis lintang 42,8 LU dan 42,8 LS lebih besar. Sumber: ESA, 2018.

Apakah sisa-sisa Tiangong-1 bisa menjatuhi manusia di Indonesia? Peluang itu ada, namun sangat kecil. Seperti dipaparkan di atas, peluang Tiangong-1 jatuh di kawasan khatulistiwa lebih kecil dibanding di sekitar garis lintang 42,8 LU dan 42,8 LS. Hingga saat ini secara global hanya ada satu peristiwa dimana sisa-sisa sampah antariksa menimpuk seseorang. Yakni pada 22 Januari 1997 TU saat Lottie Williams ketimpuk sekeping logam bersisi hangus 15 sentimeter kala berada di taman publik di kota Tulsa, negara bagian Oklahoma (Amerika Serikat). Itu adalah sisa-sisa upperstage roket Delta II 7920-10 yang lepas landas pada 24 April 1996 TU mengangkut satelit militer MSX (Midcourse Space Experiment). Lottie Williams tidak menderita luka-luka karenanya.

Tiangong-1 bukanlah sampah antariksa terberat yang pernah jatuh. Jika kita batasi sampah antariksa hanya pada bekas stasiun antariksa dan yang jatuhnya tak terkendali, masih ada Skylab dan Salyut 7. Skylab adalah stasiun antariksa 74 ton milik Amerika Serikat yang mengorbit mulai 14 Mei 1973 TU. Sempat dihuni selama 171 hari, Skylab akhirnya terjun ke Bumi seiring meningkatnya aktivitas Matahari yang membuat lapisan eksosfer cukup mengembang. Bakal jatuhnya Skylab sempat menjadi insiden internasional yang membikin panik banyak orang, terutama di Filipina. Skylab jatuh pada 11 Juli 1979 TU dengan sisa-sisanya terserak di daratan sepanjang Esperance hingga Rawlina, sebelah timur kota Perth (Australia).

Gambar 7. Proyeksi lintasan Tiangong-1 di paras bumi Indonesia dan sekitarnya pada rentang waktu antara 31 Maret 2018 TU pukul 00:00 WIB hingga 6 April 2018 TU pukul 14:00 WIB menurut SatFlare. Pada rentang waktu itulah Tiangong-1 diprediksi akan jatuh. Nampak proyeksi lintasan Tiangong-1 mengenai pulau Irian bagian barat, kepulauan Bali dan Nusatenggara, pulau Sulawesi, pulau Kalimantan dan pulau Sumatra. Sementara pulau Jawa terbebas darinya. Sumber: SatFlare, 2018.

Salyut 7 lebih dramatis lagi. Stasiun antariksa milik eks-Uni Soviet ini diluncurkan pada 19 April 1982 TU dan sempat dihuni selama 816 hari. Mengikuti nasib nasib Skylab, Salyut 7 pun akhirnya jatuh tak terkendali. Sisa-sisanya menyirami kota Capitan Bermudez di propinsi Santa Fe (Argentina) pada 7 Februari 1991 TU. Beruntung dalam dua kejadian tersebut tak ada bangunan yang terkena secara langsung, apalagi manusia.

Ground track dari stasiun antariksa Tiangong-1 dapat disaksikan misalnya pada peta Lizard Tail.

Referensi:

The Aerospace Corporation. 2018. Tiangong-1 Reentry. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Dickinson. 2017. China’s Tiangong-1 Space Station to Burn Up. Sky and Telescope, 10 November 2017. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Daniel. 2018. Tiangong-1 Frequently Asked Questions. Space Debris Office, European Space Agency. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Spaceflight101. t.t. Tiangong-1 Spacecraft Overview. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

SatFlare. 2018. Tiangong-1 NORAD 37820. Diakses pada 15 Maret 2018 TU.

Joseph Remis. 2018. komunikasi pribadi.

Marco Langbroek. 2018. komunikasi pribadi.

Asteroid Phaethon yang Lewat Dekat dan Hujan Meteor Terderas

Harinya hari Minggu 17 Desember 2017 TU (Tarikh Umum), jamnya jam 06:00 WIB. Itulah kala sebongkah batu raksasa yang luar biasa berada pada titik terdekatnya dengan Bumi kita dalam perjalanannya mengembara angkasa sebagai anggota tata surya. Jaraknya ke Bumi kita saat itu adalah 10,3 juta kilometer. Atau nyaris 27 kali lebih jauh ketimbang posisi Bulan (rata-rata). Untuk ukuran kita manusia, jarak ini tergolong jauh. Namun dalam perspektif astronomi, mendekatnya bongkah batu raksasa ini tergolong ‘sangat dekat.’ Untungnya ia tak membawa potensi bahaya (baca : tumbukan kosmik dengan Bumi), setidaknya hingga 400 tahun ke depan.

Gambar 1. Wajah buram asteroid Phaethon saat melintas di dekat Bumi pada 10 Desember 2007 TU silam pada jarak 18 juta kilometer dalam citra radar dari teleskop radio Arecibo di Puerto Rico (AS). Gangguan instrumen dan pendeknya waktu pengamatan membuat resolusi citra cukup rendah dan penuh derau (noise). Garis putus-putus ditambahkan untuk menyajikan kesan bentuk asteroid. Sumber: Arecibo/Cornell, 2007 dalam Sky & Telescope, 2017.

Bongkah batu segedhe gunung itu bernama asteroid Phaethon, formalnya (3200) Phaethon. Angka 3200 adalah nomor urut asteroid tersebut berdasarkan tatanama IAU (International Astronomical Union). Diameternya 5,1 kilometer. Jika bentuknya dianggap berbentuk bola sempurna dan strukturnya batuan (dengan massa jenis antara 2 hingga 4 gram/cm3), maka massanya antara 139 hingga 278 milyar ton. Saat melintas pada titik terdekatnya, asteroid Phaethon melesat dengan kecepatan hampir 115.000 km/jam. Sehingga ia mengangkut energi potensial sebesar antara 19 juta hingga 38 juta megaton TNT. Itu setara dengan 1,3 milyar hingga 2,6 milyar butir bom nuklir Hiroshima yang diledakkan serentak. Beruntung asteroid ini tidak meluncur menuju Bumi dalam perjalanannya, karena pelepasan energi sebesar itu di Bumi akan berujung pada malapetaka kehidupan yang amat kolossal berskala global. Peristiwa semacam itu terakhir terjadi pada 65 juta tahun silam yang menyapu bersih kehidupan kawanan dinosaurus.

Aasteroid Phaethon kerap dijuluki asteroid aneh karena dua alasan. Pertama, karena bentuk orbitnya yang demikian lonjong membuatnya memintas empat orbit planet sekaligus. Dan yang kedua, karena hingga sejauh ini asteroid Phaethon adalah satu diantara hanya dua asteroid yang menjadi induk dari peristiwa hujan meteor utama. Dalam hal ini asteroid Phaethon adalah sumber dari peristiwa hujan meteor Geminids yang aktif setiap bulan Desember. Sementara asteroid satunya lagi, yakni asteroid (196256) 2003 EH, adalah sumber hujan meteor Quadrantids yang aktif setiap bulan Januari.

Asteroid Phaethon ditemukan pada 11 Oktober 1983 TU melalui observasi teleskop landas-antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite). Adalah duo astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang pertama menyaksikannya kala menganalisis citra-citra bidikan IRAS untuk mencari benda-benda langit yang bergerak relatif cepat. Penemuan ini sekaligus menjadikan Phaethon sebagai asteroid pertama yang ditemukan lewat teleskop landas-antariksa. Asteroid-asteroid yang ditemukan sebelumnya melulu merupakan produk observasi landas-bumi.

Sedari awal disadari asteroid Phaethon adalah unik. Orbitnya sangat lonjong dengan kelonjongan orbit (eksentrisitas) sebesar 0,889. Perihelionnya saja hanya sejarak 0,14 SA (satuan astronomi) atau 21 juta kilometer dari Matahari. Ini jauh lebih dekat ke sang surya ketimbang orbit Merkurius (0,4 SA). Sementara aphelionnya menjulur demikian jauh hingga sejarak 2,4 SA (359 juta kilometer) dari Matahari, atau sudah berada di dalam kawasan Sabuk Asteroid Utama yang menjadi kawasan hunian asteroid pada umumnya.

Dengan orbit begitu lonjong, yang tidak umum untuk kalangan asteroid namun sebaliknya banyak dijumpai di kalangan komet, ada dugaan bahwa asteroid Phaethon semula adalah komet. Setelah kehabisan materi mudah menguap ia lantas bertransformasi menjadi asteroid. amun ada pula yang menduga bahwa asteroid ini adalah salah satu bongkahan hasil pemecah-belahan asteroid yang lebih besar, yakni asteroid Pallas purba. Bongkahan terbesar dari asteroid purba itu masih ada pada saat ini sebagai asteroid Pallas (diameter 544 kilometer).

Orbit yang sangat lonjong juga membuat asteroid ini pada dasarnya memintas orbit empat planet sekaligus. Masing-masing orbit Merkurius, Venus, Bumi dan Mars. Untungnya inklinasi orbit Phaethon juga cukup besar, yakni 22,5º terhadap ekliptika. Sementara orbit planet-planet Merkurius, Venus, Bumi dan Mars mengumpul di bidang ekliptika. Karenanya potensi untuk berbenturan dengan salah satu planet tersebut adalah cukup kecil.

Gambar 2. Asteroid Phaethon saat berada di sekitar perihelionnya pada 2009 TU silam, diamati oleh satelit STEREO. Meski resolusinya cukup rendah, dapat dilihat bahwa Phaethon nampak lonjong. Garis-garis memperlihatkan kontur kelonjongan tersebut. Analisis menunjukkan bagian lonjong ini adalah ‘ekor’ Phaethon, yang merentang sepanjang 250.000 kilometer dengan massa total debu didalamnya mencapai 300 ton. Sumber: NASA/STEREO, 2013 dalam Sky & Telescope, 2017.

Asteroid Phaethon membutuhkan waktu 524 hari (1,43 tahun) untuk menyusuri orbitnya sekali putaran. Saat ia berada di sekitar perihelionnya, penyinaran Matahari sangat intensif memanasi pemukaannya demikian hebat hingga suhu parasnya mencapai lebih dari 700º Celcius. Ini hampir menyamai titik leleh beberapa logam tertentu. Sebagai akibatnya paras Phaethon menjadi retak-retak, persis seperti tanah sawah yang mengering retak-retak di musim kemarau. Retakan-retakan ini membuat debu-debu halus yang ada di bawah parasnya tersembur keluar seiring tekanan angin Matahari.

Fenomena inilah yang teramati melalui satelit pengamat Matahari STEREO pada 2009 TU dan 2012 TU silam. Meski digolongkan sebagai asteroid, saat itu Phaethon (yang sedang berada di dekat perihelionnya) menampakkan panorama mirip-komet dengan ekornya yang khas. Analisis memperlihatkan panjang ‘ekor’ Phaethon saat itu adalah 250.000 kilometer dengan massa total ‘ekor’ sekitar 300.000 kilogram (jika tersusun dari butir-butir debu berdiameter 1 mikron). Debu-debu inilah yang kelak di kemudian hari, melalui evolusi orbital nan dinamis, memasuki Bumi sebagai meteor-meteor Geminids.

Geminids

Hujan meteor adalah masuknya meteoroid seukuran debu hingga butir pasir dalam jumlah tertentu ke atmosfer Bumi pada rentang waktu tertentu yang tetap dalam setiap tahunnya. Ukuran meteoroid cukup kecil sehingga kala sudah masuk ke atmosfer Bumi, ia sepenuhnya habis tersublimasi pada ketinggian 70 hingga 90 kilometer sembari menyajikan pemandangan meteor. Kita di permukaan Bumi menyaksikan meteor-meteor tersebut seakan-akan datang dari satu titik yang terletak dalam rasi bintang tertentu. Itulah sebabnya nama hujan meteor mengacu kepada nama rasi bintang yang (seakan) menjadi titik kemunculannya.

Meteoroid-meteoroid dalam suatu hujan meteor umumnya merupakan remah-remah yang dilepaskan suatu komet tatkala mendekati Matahari dalam perjalanan menyusuri orbitnya. Tekanan angin Matahari memanasi paras inti komet sehingga retak-retak di bagian yang paling lemah. Akibatnya materi mudah menguap yang ada dibawahnya tersublimasi menjadi gas dan menyembur keluar sembari mengangkut butir-butir debu dan pasir, kadang malah bongkahan batu. Mekanisme ini serupa dengan letusan gunung berapi.

Gambar 3. Orbit asteroid Phaethon terhadap orbit keempat planet terdalam tata surya kita secara 3-dimensi. Nampak meski orbit asteroid ini memintas orbit keempat planet tersebut, besarnya inklinasi orbit Phaethon membuatnya membentuk sudut yang cukup besar terhadap bidang orbit keempat planet tersebut. Sehingga peluangnya untuk berbenturan dengan satu dari mereka menjadi sangat kecil. Sumber: Sky & Telescope, 2017.

Tekanan angin Matahari membuat gas yang tersembur lantas menuju arah berlawanan dengan Matahari. Sementara butir-butir debu dan pasir yang ikut tersembur terserak di lintasan komet sebagai remah-remah komet. Oleh gangguan gravitasi Bumi dan planet-planet tetangga, remah-remah komet ini lantas berevolusi secara dinamis. Bilamana orbit kometnya berdekatan dengan orbit Bumi, maka terbuka peluang remah-remah komet ini tertarik gravitasi Bumi sehingga memasuki atmosfer menjadi meteor.

Dari dua belas hujan meteor utama pada setiap tahunnya, dua diantaranya bersumber bukan dari remah-remah komet. Melainkan dari remah-remah asteroid. Hujan meteor Geminids adalah salah satunya. Disebut Geminids karena ia (seakan-akan) berasal dari rasi Gemini. Hujan meteor Geminids aktif setiap 4 hingga 17 Desember dengan puncaknya pada 13 dan 14 Desember. Pada puncaknya, meteor-meteor Geminids bisa sebanyak 120 meteor/jam, menjadikannya salah satu hujan meteor paling intensif selain Quadrantids dan Perseids. Meteor-meteor Geminids melesat secepat 35 km/detik. Dengan elemen orbital meteor rata-rata relatif sama dengan elemen orbital asteroid Phaethon, inilah bukti bahwa meteor-meteor Geminids berasal dari remah-remah asteroid tersebut.

Terdekat

Sebagai asteroid yang memintas orbit Bumi, jarak terdekat antara orbit asteroid Phaethon terhadap orbit Bumi atau MOID (minimum orbit intersection distance) adalah sebesar 2,9 juta kilometer. Dengan demikian asteroid Phaethon tergolong ke dalam kelompok asteroid berpotensi Bahaya bagi Bumi atau PHA (potentially hazardous asteroids) karena MOID-nya lebih kecil dari ambang batas 7,5 juta kilometer. Meski demikian dengan orbit yang telah diketahui cukup baik seiring rentang waktu pengamatan yang panjang, yakni 30 tahun lebih, maka telah diketahui bahwa tidak ada potensi bagi asteroid Phaethon untuk berbenturan dengan Bumi hingga kurun 400 tahun mendatang.

Gambar 4. Proyeksi lintasan asteroid Phaethon di paras Bumi pada 16-17 Desember 2017 TU waktu Indonesia, mulai dari pukul 23 WIB hingga 13 WIB hari berikutnya. Nampak titik terdekat asteroid ke Bumi ada di Samudera Atlantik bagian barat berdekatan dengan kawasan Karibia. Sumber: Sudibyo, 2017 berbasis NASA Solar System Dynamics, 2017.

Pada 17 Desember 2017 TU asteroid Phaethon akan berada pada jarak terdekatnya ke Bumi. Ini adalah jarak terdekat kedua bagi asteroid di sepanjang abad ini, setelah jarak terdekat pada 14 Desember 2093 TU kelak dimana saat itu Phaethon hanya berjarak 2,9 juta kilometer dari Bumi. Lintasan Phaethon tidak berpotongan dengan lintasan Bumi, sehingga tidak ada potensi tubrukan antara keduanya. Maka kejadian mendekatnya asteroid Phaethon dikategorikan sebagai perlintasan-dekat atau papasan-dekat (apparition) yang teramat langka. Asteroid ini jauh lebih kecil daripada Bumi, sehingga kala melintas pada jarak 10,3 juta kilometer itu tidak ada dampak yang Bumi rasakan. Sebaliknya Bumi justru mengenakan gravitasi besarnya kepada sang asteroid, membuat orbit asteroid ini bisa sedikit berubah dari semula meski perubahan itu relatif kecil.

Saat berada pada jarak terdekatnya ke Bumi, asteroid Phaethon secara harfiah ada di atas kawasan Samudera Atlantik bagian barat tepatnya di atas titik koordinat 27º 30′ LU 65º 30′ BB. Dalam jarak tersebut, magnitudo semunya diprakirakan sebesar +10,8. Maka ia hanya bisa disaksikan dengan menggunakan teleskop. Itupun dengan diameter lensa obyektif (untuk teleskop reflektor) atau cermin obyektif (untuk teleskop refraktor) minimal 100 mm. Namun pengalaman observasi komet Siding Spring pada 2014 TU silam menunjukkan obyek seredup itu masih bisa difoto oleh kamera DSLR berlensa 80 mm, asal mengikuti gerak langit dan waktu paparannya cukup lama.

Gambar 5. Posisi asteroid Phaethon di langit pada 12-17 Desember 2017 TU pukul 21:00 WIB. Nampak posisi asteroid ke Bumi ada di langit bagian utara, dengan sejumlah bintang terang disekitarnya. Sumber: Sudibyo, 2017 berbasis NASA Solar System Dynamics, 2017 dan Starry Night Backyard 3.0.

Selain bakal diamati dengan teleskop-teleskop optik yang bekerja pada spektrum cahaya tampak, asteroid Phaethon juga bakal menjadi target pengamatan teleskop-teleskop radio yang bekerja pada spektrum gelombang radar. Langkah ini pernah dilakukan melalui teleskop radio Arecibo di Puerto Rico (Amerika Serikat) pada saat asteroid Phaethon juga mendekati Bumi sepuluh tahun silam. Namun saat itu resolusinya cukup rendah. Kini harapan untuk melakukan observasi serupa dengan tingkat resolusi jauh lebih tinggi dibebankan kepada dua teleskop radio, masing-masing teleskop radio Arecibo dan Goldstone. Teleskop Arecibo diharapkan memperoleh citra dengan resolusi hingga 15 m/piksel. Sementara teleskop Goldstone yang menjadi bagian fasilitas NASA di California (Amerika Serikat) dengan antenna parabola 70 meter diharapkan mendapatkan resolusi hingga 75 m/piksel. Kedua teeskop radio ini akan mengamati asteroid Phaethon dalam rentang waktu 11 hingga 21 Desember 2017 TU.

King. 2017. Asteroid 3200 Phaethon: Geminid Parent at Its Closest and Brightest!. Sky & Telescope Online, 29 November 2017, Diakses 1 Desember 2017.