Tahun Gajah, sebagai tahun kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW, kemungkinan besar tidaklah bertepatan dengan tahun 570 Tarikh Umum (TU), 571 TU atau lebih kemudian lagi. Juga tidak mungkin terjadi sebelum tahun 560 TU. Jika kita merekonstruksi Kalender Hijriyyah dekade awal terhadap peristiwa langit dan karakter cuaca di Semenanjung Arabia bagian barat. Lalu meng-crosscheck-kannya terhadap dinamika sejarah di Semenanjung Arabia bagian selatan beserta artefak arkeologinya dan klimatologi Semenanjung Arabia bagian barat. Maka Tahun Gajah mungkin bersesuaian dengan tahun 568 TU. Kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah pada 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, yang bertepatan dengan Senin 27 Februari 568 TU.
Tahun Gajah adalah tahun yang senantiasa dikaitkan dengan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tahun itu mendapatkan namanya dari peristiwa Gajah. Yakni agresi pasukan besar Himyar yang dipimpin langsung oleh raja dan panglima militer Abrahah terhadap kota Makkah al-Mukarramah. Serbuan besar itu membawa serta gajah sebagai simbol dan tunggangan para perwira tingginya. Serbuan ini hancur berantakan dalam peristiwa Ababil di Muzdalifah – Mina, tepat sebelum memasuki kota Makkah. Peristiwa yang demikian mengesankan membuat penduduk Makkah akhirnya menamakan tahun terjadinya peristiwa tersebut sebagai tahun Gajah.
Ada beragam pendapat terkait hubungan tahun Gajah dengan lahirnya kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam pendapat mayoritas, misalnya dari Ibnu Abbas RA dan Qais ibn Makhramah RA, peristiwa kelahiran tersebut terjadi pada tahun Gajah. Sementara dalam pendapat yang lebih lemah, misalnya dari sejarawan Hisyam ibn al-Kalbi (wafat 204 H/819 TU), peristiwa kelahiran itu terjadi 23 tahun setelah peristiwa Gajah. Beberapa pendapat lainnya bahkan menempatkan peristiwa kelahiran tersebut dalam beragam rentang tahun, mulai 10, atau 15, atau 30, atau bahkan 40 tahun setelah peristiwa Gajah.
Bagaimana konversi kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW ke dalam kalender Gregorian (Tarikh Umum) telah dicoba didekati beberapa peneliti. Pendapat populer misalnya dari Mahmud Hamdi Pasya yang dikenal juga sebagai Mahmud Pasya al-Falakiy (wafat 1302 H/1885 TU). Dia mendapatkan Senin 20 April 571 TU bertepatan dengan 9 Rabiul Awal 53 SH (Sebelum Hijriyyah). Peneliti lain seperti Thomas Djamaluddin memperoleh hasil Senin 5 Mei 570 TU yang bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 53 SH.
Tulisan ini mencoba mengeksplorasi konversi serupa, namun dengan pendekatan berbeda.
Abrahah sebagai Tokoh Sejarah
Abrahah adalah tokoh yang terekam dalam sejarah. Dia meninggalkan sedikitnya lima inskripsi (prasasti) selama masa pemerintahannya sebagai raja Himyar yang merdeka. Dalam arkeologi, inskripsi merupakan batu bertulis yang dipahat atas perintah penguasa saat itu, dan bertutur berbagai hal. Mulai dari silsilah penguasa, kemenangan dalam peperangan hingga pembangunan infrastruktur penting. Dua dari lima inskripsi Abrahah ditemukan di seputar Bendungan Ma’rib. Pada setiap inskripsinya, nama Abrahah tercantum sebagai “Abraha Zybmn” atau “Abraha Zabyman” yang menyandang gelar “raja dari Saba dan Dzu Raydan dan Hadramaut dan Yamnat.”
Inskripsi Ma’rib pertama berangka tahun 547 TU, berkisah tentang restrukturisasi Bendungan Ma’rib dan suksesnya penumpasan pemberontakan suku Kindah. Suku Kindah aslinya tinggal di Hijaz, di sebelah timur kota Makkah. Namun pada pertengahan abad kelima TU, di bawah payung perlindungan kerajaan Himyar (sebelum pendudukan Aksumit), suku Kindah berhasil membangun konfederasi Kerajaan Bersatu Kindah yang menempati wilayah cukup luas meliputi Hijaz (Semenanjung Arabia bagian barat) dan Nejed (Semenanjung Arabia bagian tengah). Keluarga kerajaan Himyar adalah musuh Abrahah, sehingga peperangan 547 TU itu mungkin terkait upaya memburu sisa-sisa keluarga kerajaan Himyar.
Sedangkan inskripsi Ma’rib kedua berangka tahun 560 TU dan bertutur tentang pertemuan diplomatik dengan duta-duta dari imperium Aksumit (Etiopia), imperium Romawi (Timur), imperium Parsi Sassanid serta dari Semenanjung Arabia (wilayah kepangeranan al-Harits dan al-Mundzir). Pada bagian lain dari inskripsi ini terbaca pula tentang pemotongan batu-batu dan material berharga lainnya, mengesankan sedang berlangsung proyek infrastruktur berskala besar (pembangunan katedral al-Qulays/Ekklesia ?).
Inskripsi Ma’rib pertama bukanlah satu-satunya yang memuat kemenangan perang Abrahah. Inskripsi Bir Murayghan, juga berangka tahun 547 TU namun baru ditemukan dalam ekspedisi Philby – Ryckmans – Lippens di tahun 1951 TU, bertutur tentang penaklukan suku (bani) Amir di Nejed. Strategi peperangan itu memanfaatkan perseteruan lama yang berkarat antara suku Qahtan dan suku Adnan. Dari inskripsi Bir Murayghan ini, maka arkeolog Perancis J. Ryckmans bersama sepasang filolog Jerman Franz Altheim dan Ruth Stiehl, berpendapat mereka telah menemukan bukti tertulis peristiwa Gajah.
Akan tetapi, tahun penaklukan suku Amir sama dengan tahun peperangan dengan suku Kindah. Kedua suku tersebut pada dasarnya juga menempati wilayah yang hampir sama di Semenanjung Arabia bagian tengah. Maka dapat diduga bahwa operasi militer di tahun itu adalah ekspedisi militer dengan tujuan ganda. Guna memukul kedua suku tersebut, satu demi satu. Dan sepanjang operasi militer itu, pasukan Abrahah tidak pernah mendekati kota Makkah. Kota terdekat yang sempat dilewati pasukan Abrahah saat itu adalah Turabah (Turbah), 150 km jauhnya dari kota Makkah.
Tidak ada inskripsi yang lebih muda dari tahun 560 TU. Sehingga memberikan kesan bahwa kekuasaan Abrahah berakhir dalam beberapa waktu pasca dia memerintahkan pembangunan inskripsi tersebut. Apabila dikaitkan dengan peristiwa Gajah, maka inskripsi Ma’rib kedua berangka tahun 560 TU ini menegaskan bahwa tahun Gajah bukanlah tahun 560 TU atau lebih awal. Karena pada saat itu Abrahah masih hidup. Sehingga pendapat bahwa peristiwa kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW terjadi pada 10, atau 15, atau 30, atau bahkan 40 tahun pasca peristiwa Gajah menjadi gugur. Demikian halnya pendapat Ryckmans, Altheim dan Stiehl tentang peristiwa Gajah di tahun 547 TU pun turut gugur.
(Keturunan) Abrahah dan Perang Himyar-Parsi Sassanid
Di luar lima inskripsi yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Abrahah tersebut, ada inskripsi lainnya yang tak kalah menarik. Inskripsi ini pendek saja, ditemukan pada 2018 TU oleh tim arkeolog gabungan Saudi Arabia dan Perancis yang tergabung dalam Franco-Saudi Mission of Najran. Lokasi penemuan di Bir Hima, 100 km timur laut Najran. Tertulis “Abraha Zabyman, raja.” Empat tahun sebelumnya, tim yang sama menemukan grafiti tiga gajah yang dipahatkan di bongkahan batu besar. Gajah tak pernah terlihat lagi di Semenanjung Arabia sejak 200 ribu tahun silam. Sehingga grafiti dan inskripsi pendek tersebut jelas merujuk pada gajah yang diberdayakan di masa pemerintahan Abrahah.
Selain dari inskripsi-inskripsinya, sosok Abrahah dapat pula dilihat dalam catatan dari para penulis/sejarawan yang semasa. Misalnya Procopius dari Caesarea (wafat sekitar 565 TU). Procopius mencatat, hingga tahun 531 TU penguasa Himyar bukanlah Abrahah, melainkan sosok Sumyafa Ashwa. Dan pada saat itu Himyar masih menjadi salah satu propinsi imperium Aksumit. Di tahun 531 TU itulah imperium Romawi Timur mengirimkan dutanya, terkait peperangan berkepanjangan antara Romawi Timur – Aksumit di Barat dan Parsi Sassanid di Timur. Mungkin inilah sosok yang disebut Aryath menurut tarikh Islam.
Di tahun 535 TU, Abrahah menggulingkan Sumyafa Ashwa sekaligus menyatakan kemerdekaannya dari imperium Aksumit. Jelas Abrahah adalah sosok kuat yang penuh strategi. Karena kaisar Kaleb dari Aksum, sebagai atasan dari raja muda Aksumit di Himyar, sampai mengirim dua ekspedisi militer langsung dari Etiopia untuk upaya kontra-kudeta. Namun kedua pasukan berhasil ditundukan Abrahah. Akhirnya sang kaisar nampaknya lebih memilih mengakui kemerdekaan Himyar dan kekuasaan Abrahah.
Abrahah berputra sedikitnya tiga orang. Dari salah satu istrinya, Abrahah mendapatkan anak-anak yang diberi nama Yaksum dan Masruq. Sedangkan dari istri yang lain Abrahah memperoleh anak bernama Ma’d Karib. Setelah Abrahah tewas (dalam peristiwa Gajah), tahta Himyar berpindah ke Masruq. Akan tetapi Masruq nampaknya adalah sosok lemah. Selama amsa pemerintahannya tak ada satupun inskripsi yang dikeluarkan. Pada akhirnya kekuasaannya dirongrong justru oleh pemberontakan saudara tirinya, Ma’d Karib. Setelah upayanya untuk bersekutu dengan imperium Romawi Timur ditolak langsung oleh kaisar Justin II, Ma’d Karib pergi ke imperium Parsi Sassanid.
Di Ctesiphon, ibukota Parsi Sassanid, maharaja Khosrow I (Anusyirwan) menyetujui permintaan bantuan Ma’d Karib. Sebuah armada berkekuatan hingga 16.000 prajurit dikirim ke Himyar menggunakan kapal-kapal perang di bawah pimpinan panglima Wahriz yang sudah tua. Ekspedisi militer ini dikirimkan pada tahun 570 TU. Dalam Pertempuran Sana’a, Masruq tewas langsung di tangan Wahriz, tepatnya terkena panah yang dilepaskan panglima tua itu. Tewasnya Masruq sekaligus mengakhiri riwayat kekuasaan Abrahah dan keturunannya di Himyar. Himyar lantas menjadi salah satu propinsi imperium Parsi Sassanid.
Bagi peristiwa kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW, meletusnya Perang Himyar-Parsi Sassanid (atau lebih dikenal juga sebagai Perang Aksumit – Parsi Sassanid) ini penting karena terjadi tahun 570 TU. Apabila kita tetap memegang pendapat Djamaluddin & Mahmud al-Falakiy di atas maka terdapat kontradiksi. Yakni raja Abrahah (yang sudah mati sebelum 570 TU dan seharusnya sudah digantikan anaknya) sebagai raja dan panglima militer Himyar (yang sedang berhadapan dengan pemberontakan dan terancam oleh serbuan imperium Parsi Sassanid) memimpin serbuan ke kota Makkah. Logikanya orang yang sudah mati dan dari negara yang sedang kacau tak mungkin memimpin pasukan berkekuatan besar menyerbu negara tetangga.
Dari kontradiksi tersebut, maka peristiwa Gajah seharusnya sudah terjadi sebelum tahun 570 TU.
Tahun Gajah dalam Kalender Suryacandra Makkah
Kalender atau sistem penanggalan Bulan adalah penanggalan yang berlandaskan pada pergerakan Bulan mengelilingi Bumi dengan mengeksploitasi nilai periode sinodis Bulan. Periode sinodis Bulan adalah selang waktu antara dua konjungsi Bulan–Matahari yang berurutan. Periode sinodis Bulan tecermin ke dalam siklus fase Bulan yang mudah disaksikan. Mulai dari sabit muda – perbani (separuh) muda – benjol muda – purnama – benjol tua – perbani tua – sabit tua dan berulang terus. Periode sinodis Bulan rata–rata 29,531 hari menjadi dasar bagi sistem penanggalan dalam berbagai peradaban, baik sebagai kala candra (lunar) atau suryacandra (lunisolar). Pada saat ini (2023 TU), kalender Bulan digunakan oleh sekitar 5 milyar umat manusia, atau 63 % dari populasi manusia.
Kalender Hijriyyah merupakan sistem penanggalan Bulan yang menjadi turunan dari kalender Makkah (Quraisy)–pra Islam. Pada saat ini, tepatnya pasca tahun 10 H, kalender Hijriyyah merupakan kalender candra (lunar). Sementara kalender Hijriyyah pra-10 H dan demikian pula kalender Makkah, terdapat dua pendapat. Antara sebagai kalender candra (lunar) di satu sisi maupun suryacandra (lunisolar) di sisi yang lain.
Penelitian saya menyimpulkan kalender Hijriyyah pra-10 H kemungkinan besar merupakan kalender suryacandra. Sepanjang dasawarsa pertama Hijriyyah kemungkinan terdapat 7 tahun kabisat suryacandra, masing-masing tahun 2 H, 5 H, 6 H, 7 H, 8 H, 9 H dan 10 H. Setahun kabisat suryacandra terdiri atas 13 bulan kalender, jadi berbeda dengan setahun candra yang terdiri atas 12 bulan kalender. Sebagai konsekuensinya 1 Muharram 1 H bertepatan dengan Jumat 10 Desember 622 TU. Lebih awal tujuh bulan ketimbang pendapat umum, misalnya dari Mohd. Ilyas, yang menempatkan 1 Muharram 1 H pada 16 Juli 623 TU.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama pada usia 40 tahun dan hijrah ke kota Madinah 13 tahun setelah berdakwah di kota Makkah. Dengan demikian tahun Gajah adalah bertepatan dengan 53 SH (Sebelum Hijrah). Dengan kata lain, antara tahun Gajah dan peristiwa Hijrah terentang waktu 53 tahun Makkah.
Guna mendeduksi kapan tahun Gajah dalam kalender Gregorian (Tarikh Umum), perlu diketahui tentang tahun nol dan banyaknya kemungkinan tahun kabisat dalam satu siklus kalender Makkah. Yang pertama, tahun nol adalah khas kalender Hijriyyah, yang membatasi tarikh Hijriyyah (H) dan Sebelum Hijriyyah (SH). Jadi sebelum tahun 1 H adalah tahun 0 dan barulah tahun 1 SH. Inilah ciri pembeda dibanding misalnya kalender Gregorian (Tarikh Umum), dimana sebelum tahun 1 TU adalah langsung tahun 1 STU tanpa adanya pembatas.
Dan yang kedua, ada beragam pendapat terkait siklus kalender Makkah. Geografer dan sejarawan al-Mas’udi (wafat 346 H) berpendapat satu siklus kalender Makkah adalah 3 tahun dengan salah satu diantaranya merupakan tahun kabisat suryacandra. Astronom besar al-Biruni (wafat 442 H/1050 TU) menambahkan bahwa kalender Makkah mulai bersifat kala suryacandra sejak sekitar 200 tahun sebelum peristiwa Hijrah akibat pengaruh Yahudi. Dimana satu tahun kabisat suryacandra terjadi setiap 2 atau 3 tahun Makkah. Sedangkan Amir Ali mencatat satu siklus kalender Makkah terdiri atas 19 tahun dengan 7 diantaranya adalah tahun kabisat suryacandra. Pendapat Amir Ali pada dasarnya menggabungkan pendapat al-Mas’udi dan al-Biruni dalam rentang waktu lebih luas.
Merujuk berdasarkan pendapat Amir Ali, maka selama 53 tahun Makkah terdapat 19 atau 20 tahun kabisat suryacandra. Tahun nol sendiri dapat bersifat tahun biasa ataupun tahun kabisat suryacandra. Dengan memperhitungkan hal-hal tersebut maka dapat disusun enam skenario sebagai berikut :
Hasil dari keenam skenario tersebut adalah sebagai berikut :
Seluruh skenario menghasilkan angka tahun yang lebih kecil dibanding 570 TU. Meski demikian hanya dua skenario yang menghasilkan 12 Rabi’ul Awal bertepatan dengan hari Senin. Secara umum produk konversi Kalender Hijriyyah ke Gregorian (Tarikh Umum) juga diiringi dengan ketidakpastian ± 1 tanggal. Sehingga skenario yang memenuhi syarat adalah hanyalah skenario A dan F.
Hingga saat ini kita belum mengetahui nilai batas (imkan) untuk elemen posisi Bulan dalam menentukan awal bulan kalender yang berlaku bagi Kalender Makkah dan Kalender Hijriyyah awal. Akan tetapi siklus fase Bulan dalam kalender tersebut serupa dengan yang berlaku hari ini. Dan basis keterlihatan lengkung sabit Bulan (visibilitas hilal) pada saat itu memang hanya bersandar pada mata tanpa-alat-bantu-optik (naked eye) semata. Sehingga elemen posisi Bulan untuk penentuan awal bulan kalender secara kualitatif adalah besar namun tidaklah terlalu besar.
Pendekatan dari astronom Ya’qub ibn Thariq (wafat 180 H/796 TU), astronom Muslim pertama yang (secara tidak langung) memperkenalkan kriteria visibilitas, menarik disimak. Ibn Thariq menggunakan batas elongasi (jarak sudut Bulan-Matahari) antara 11,25º hingga 15º. Artinya saat elongasi hilal > 15º maka visibilitasnya secara kasatmata sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Sebaliknya pada saat elongasi hilal < 11.25º maka visibilitas hilal secara kasatmata adalah negatif.
Menerapkan pendekatan tersebut pada keempat skenario di atas, maka kita menemukan hanya ada satu skenario yang cocok dengan Senin 12 Rabi’ul Awal. Yakni skenario F, yang bertepatan dengan Senin 27 Februari 568 TU.
Cukup menarik bahwa Sirah al-Halabiyah, karya Nuruddin Ali al-Halabi (wafat 1044 H/1634 M), mencantumkan waktu kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah bertepatan dengan musim semi. Untuk kawasan kota Makkah dan sekitarnya, musim semi berlangsung singkat di antara bulan Maret dan April. Berdasarkan data klimatologi kota Makkah dalam rentang waktu 1986 – 2000 TU, transformasi dari musim dingin ke musim semi ditandai peningkatan suhu udara dan penyinaran Matahari. Peningkatan suhu udara kota Makkah terjadi saat suhu harian rata-rata mulai melampaui batas 25º Celcius dan suhu terendah rata-rata mulai melebihi 20º Celcius. Sedangkan penyinaran Matahari (durasi siang hari) juga mulai menembus batas 9 jam per hari. Skenario F, yang bertepatan dengan akhir Februari, masih konsisten dengan Sirah al-Halabiyah.
Epilog
Berdasarkan pendekatan arkeologi dan dinamika sejarah Himyar – Parsi Sassanid serta sifat kala suryacandra pada Kalender Makkah dan Kalender Hijriyyah awal, maka diperoleh kesimpulan bahwa Tahun Gajah adalah berawal pada 18 Desember 567 TU. Di tahun tersebut terjadi peristiwa Gajah, yang meletus pada sekitar pertengahan bulan pertama tahun Gajah. Atau bertepatan dengan awal Januari 568 TU. Peristiwa Gajah hanya berselisih 8 tahun sejak Abrahah memerintahkan pembangunan inskripsi Ma’rib kedua (berangka tahun 560 TU), yang hingga kini tercatat sebagai inskripsi terakhir dari era kekuasaannya.
Pada peristiwa Gajah inilah Abrahah, raja dan panglima tertinggi militer Himyar yang merdeka, menemui ajalnya. Kekuasaan di Himyar selanjutnya berada di tangan Masruq ibn Abrahah. Masruq tidaklah sekuat dan secakap ayahnya dalam memerintah Himyar. Sehingga stabilitas negara tak pernah tercapai. Pada akhirnya pemberontakan dan perang saudara menggamit imperium Parsi Sassanid meluaskan sayapnya ke Himyar. Berkobarlah perang Aksumit – Parsi Sassanid 570 TU yang berujung pada tewasnya Masruq dan jatuhnya kekuasaan ke Parsi Sassanid.
Peristiwa Gajah tidak mungkin terjadi sebelum tahun 560 TU, karena saat itu Abrahah masih hidup dan sempat memerintahkan pembangunan inskripsi Ma’rib kedua sebagai inskripsi terakhirnya. Peristiwa Gajah juga tak mungkin terjadi di tahun 570 TU atau lebih kemudian lagi, karena saat itu Himyar sudah diserbu dan diduduki imperium Parsi Sassanid. Penguasa terakhirnya, yakni Masruq ibn Abrahah, juga sudah tewas. Jika Masruq saja sudah tiada, tentu Abrahah juga sudah tiada lebih dulu.
Dengan demikian maka peristiwa kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang terjadi pada 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, adalah bertepatan dengan Senin 27 Februari 568 TU. Wallahua’lam.
Referensi :
Ali. 1954. The First Decade in Islam, A Fresh Approach to the Calendrical Study of Early Islam. The Muslim World vol. 44 no. 2, 126-38.
Pridityo. 2021. Menelusuri Jejak Abraha dan Tentara Gajah di Arabia. Medium.com, diakses 1 Oktober 2023 TU.
Nebes. 2004. A New Abraha Inscription from the Great Dam of Marib. Proceedings of the Seminar for Arabian Studies, 34 (2004), hal. 221 – 230.
Sudibyo. 2021. Jejak Suryacandra (Lunisolar) pada Dasawarsa Pertama Kalender Hijriah, Berdasarkan Peristiwa Langit dan Kondisi Cuaca dalam Beberapa Peristiwa Sejarah. Prosiding Seminar Panorama Antariksa 2021, Bandung : AstroPustaka, hal. 147 – 150.