Beagle 2, Korban Terakhir Kutukan Mars

Pendarat itu bernama Beagle 2. Namanya diperoleh dari nama kapal HMS Beagle, kapal legendaris milik Angkatan Laut Inggris Raya yang melakukan perjalanan bersejarah mengarungi lautan mengelilingi Bumi pada 1830-an Tarikh Umum (TU) dengan salah satu penumpangnya adalah Charles Robert Darwin. Persinggahannya di benua Amerika bagian selatan dan Kepulauan Galapagos menjadi pemicu lompatan kuantum akan pengetahuan kita tentang kehidupan di Bumi. Beagle 2 pun menyandang harapan yang sama. Saat diformulasikan oleh tim ilmuwan Universitas Terbuka dan Universitas Leicester (keduanya di Inggris) bertahun silam, Beagle 2 memang ditujukan untuk mencari tanda-tanda kehidupan di Mars, baik di masa silam maupun masa kini. Maka wahana pendarat itu pun dibekali beragam radas (instrumen) untuk menyelidiki aspek-aspek geologi, mineralogi, geokimia, tingkat oksidasi titik pendaratan beserta dengan aspek klimatologi dan meteorologi Mars serta sifat fisis atmosfer dan permukaan tanah Mars. Beagle 2 dirancang untuk dapat beroperasi selama 180 hari. Dan bisa diperpanjang menjadi setahun Mars (687 hari), bila memungkinkan.

Gambar 1. Replika wahana pendarat Beagle 2 seperti dipamerkan di Museum Ilmu Pengetahuan London. Dalam keadaan terbuka penuh, ia terlihat mirip anjing. Tak heran jika Beagle 2 dijuluki sebagai "anjing Inggris." Sumber: London Science Museum, 2008.

Gambar 1. Replika wahana pendarat Beagle 2 seperti dipamerkan di Museum Ilmu Pengetahuan London. Dalam keadaan terbuka penuh, ia terlihat mirip anjing. Tak heran jika Beagle 2 dijuluki sebagai “anjing Inggris.” Sumber: London Science Museum, 2008.

Apa lacur, ambisi itu tak kesampaian. Semenjak melepaskan diri dari wahana induk Mars Express Orbiter pada 19 Desember 2003 TU, Beagle 2 tak terdengar kabarnya lagi. Ia tetap terdiam di pagi hari 25 Desember 20103 TU waktu Inggris, saat dimana Beagle 2 rencananya telah mendarat di permukaan dataran Isidis Planitia. Ia tetap membisu meski ESA (European Space Agency) berkali-kali mencoba mengontaknya, baik lewat teleskop radio Lovell di kompleks observatorium Jodrell Bank, Cheshire (Inggris) maupun melalui wahana pengorbit Mars Odyssey milik NASA (badan antariksa Amerika Serikat). Semuanya gagal. Upaya menjalin komunikasi lebih lanjut mulai 7 Januari 2014 TU hingga lima hari kemudian secara berturut-turut tetap tak sanggup menangkap berkas sinyal Beagle 2Upaya ambisius terakhir, yakni dengan memrogram ulang wahana Mars Express Orbiter agar lewat tepat di atas lokasi pendaratan Beagle 2, pun tidak menuai sukses. Meski Mars Express Orbiter lewat tepat di atas dataran Isidis Planitia pada 2 Februari 2014 TU dan menyalakan auto transmit (sistem komunikasi cadangan), tak ada jawaban dari Beagle 2.

Jelas sudah, Beagle 2 hilang. Ia mengisi peringkat terakhir dalam daftar korban kutukan Mars. Inilah istilah tak resmi yang beredar di kalangan ilmuwan dan teknisi penerbangan antariksa terkait tingginya tingkat kegagalan misi-misi antariksa ke Mars. Meski telah dikenal sebagai satu-satunya planet yang paling mirip dengan Bumi kita dalam tata surya, namun pergi ke Mars bukanlah hal yang mudah. Hingga 2010 TU, dari 38 misi antariksa yang telah dikirimkan ke planet merah ini, hanya 19 yang berhasil merengkuh sukses. Tingkat kegagalannya mencapai 50 %. Diantaranya penyebabnya bahkan tergolong sepele. Peringkat terakhir sebelum kegagalan Beagle 2 diduduki oleh hilangnya dua wahana NASA secara berturut-turut pada 1999 TU, yakni pendarat Mars Polar Lander dan penyelidik Mars Climate Orbiter. Penyebabnya sepele, yakni alpanya teknisi dan ilmuwan dalam mengonversi sistem satuan Inggris ke metrik dan sebaliknya dalam program komputer pendukung saat keduanya sedang dirakit. Yang jelas hilangnya Beagle 2 kontan memusnahkan harapan ESA untuk menyaingi prestasi partnernya di seberang Atlantik: NASA.

Gambar 2. Wajah terakhir Beagle 2 saat wahana pendarat itu baru saja melepaskan diri dari Mars Express Orbiter yang menjadi wahana induknya pada 19 Desember 2003 TU. Ia dijadwalkan akan mendarat di permukaan planet merah dalam enam hari kemudian. Dalam kenyataannya Beagle 2 terus membisu untuk seterusnya. Sumber: ESA, 2003.

Gambar 2. Wajah terakhir Beagle 2 saat wahana pendarat itu baru saja melepaskan diri dari Mars Express Orbiter yang menjadi wahana induknya pada 19 Desember 2003 TU. Ia dijadwalkan akan mendarat di permukaan planet merah dalam enam hari kemudian. Dalam kenyataannya Beagle 2 terus membisu untuk seterusnya. Sumber: ESA, 2003.

Mangkuk

Beagle 2 dikemas dalam ruang mirip mangkuk ceper besar berdiameter 1 meter sedalam 25 sentimeter. Bentuk mangkuk ini dipilih agar Beagle 2 bisa tersimpan aman dalam sepasang cangkang penyekat panasnya, yang mencakup cangkang depan (rear cover) dan cangkang belakang (backshell). Sebab wahana pendarat ini direncanakan harus berjuang melintasi atmosfer Mars pada kecepatan awal 20.000 kilometer/jam. Beagle 2 harus memanfaatkan gesekannya dengan atmosfer Mars untuk memperlambat kecepatannya, layaknya meteor. Jika sudah cukup lambat, barulah penyekat panas dilepaskan dan parasut pengerem bisa dikembangkan.

Bentuk mirip mangkuk ini memang bisa mengecoh. Saat tiba di permukaan targetnya, Beagle 2 akan membuka secara otomatis. Ada lima “daun” yang bakal mekar menghasilkan konfigurasi pentagonal. Jika dilihat dari atas, “daun-daun” yang membuka dan tubuh Beagle 2 terlihat menyerupai bentuk anjing. Tak heran jika beredar lelucon di kalangan ilmuwan, teknisi dan praktisi penerbangan antariksa, yang menyebut Beagle 2 sebagai “anjing Inggris.” Dari kelima “daun” tersebut, empat memuat panel-panel surya guna memasok tenaga listrik ke segenap bagian Beagle 2. Dan “daun” kelima memuat sebuah antena radio UHF (ultra high frequency) serta sebuah lengan robotik. Lengan yang bisa dimulurkan hingga sepanjang 75 sentimeter itu membawa sepasang kamera stereo, mikroskop, spektrometer Mossbauer, spektrometer sinar-X, mesin bor kecil dan sebuah lampu sorot.

Saat mesin bor berhasil mengambil sampel tanah/batuan, ia akan mengantarkannya ke tubuh Beagle 2 yang memuat spektrometer massa dan kromatograf gas. Mereka berdua akan mengukur proporsi relatif isotop-isotop karbon dan metana. Selain dua radas tersebut, di tubuh Beagle 2 juga terdapat baterei, sistem telekomunikasi, sistem komputer, pemanas kecil, sistem telekomunikasi beserta sensor radiasi dan sensor oksidasi. Sistem komunikasi dirancang untuk menyalurkan data pada kecepatan minimal 2 kbit/detik dan maksimal 128 kbit/detik.

Gambar 3. Dataran Isidis Planitia, tempat dimana Beagle 2 mendarat. Dataran ini adalah sebuah cekungan sedimen dengan permukaan relatif datar yang menjadi pembatas antara tinggian (warna kecoklatan) dengan dataran rendah Mars bagian utara (warna keunguan). Titik pendaratan Beagle 2 terdapat dalam lingkungan ellips merah, ditandai dengan anak panah. Sumber: Grindrod, 2015.

Gambar 3. Dataran Isidis Planitia, tempat dimana Beagle 2 mendarat. Dataran ini adalah sebuah cekungan sedimen dengan permukaan relatif datar yang menjadi pembatas antara tinggian (warna kecoklatan) dengan dataran rendah Mars bagian utara (warna keunguan). Titik pendaratan Beagle 2 terdapat dalam lingkungan ellips merah, ditandai dengan anak panah. Sumber: Grindrod, 2015.

Seluruh Beagle 2 memiliki massa 33,2 kilogram pada saat menyentuh Mars. Massa tersebut tergolong rendah. Namun untuk membangun dan membiayai operasional Beagle 2, pemerintah Inggris Raya harus merogoh kocek hingga Rp. 500 milyar (berdasar kurs 2014 TU). Tambahan Rp. 500 milyar lagi harus dicari dari sektor-sektor swasta yang turut berpartisipasi. Sehingga biaya keseluruhan yang disediakan bagi Beagle 2 adalah Rp. 1 trilyun. Tak pelak, inilah “anjing Inggris” termahal untuk saat ini.

Meski telah menelan biaya cukup mahal, hasilnya nihil. Begitu “anjing Inggris” ini didaratkan di Mars, jangankan ‘menggonggong’ (baca: mempertontonkan aktivitasnya), dengusan nafasnya (baca: pancaran sinyal elektronik tanda telah mendarat dengan selamat) tak pernah terdengar. Akhirnya dengan berat hati ESA mengumumkan pada 6 Februari 20104 TU bahwa Beagle 2 telah hilang. Apa penyebabnya tak jelas benar.

ESA hanya menyebut adanya enam kemungkinan penyebab. Pertama, Beagle 2 mungkin terlontar kembali ke langit dan menghilang di kegelapan angkasa akibat kondisi atmosfer Mars saat itu berbeda dengan apa yang diprediksi. Kedua, parasut atau bantalan udara Beagle 2 mungkin gagal berfungsi. Saat Beagle 2 tinggal berjarak 200 meter di atas permukaan Mars, parasut pengeremnya seharusnya dilepaskan. Pada saat yang sama generator gas memproduksi gas-gas yang mencukupi untuk mengembangkan bantalan udara. Sehingga Beagle 2 dapat mendarat dan memantul-mantul di tanah Mars sebelum kemudian benar-benar terdiam. Dapat pula terjadi parasut mungkin mengembang terlalu dini, demikian pula bantalan udaranya. Baik gagal berfungsi ataupun mengembang terlalu dini akan membuat Beagle 2 menghunjam tanah Mars dengan derasnya.

Ketiga, parasut pengeremnya mungkin menjadi kusut akibat terlilit dengan cangkang penyekat panas belakangnya. Bila hal ini terjadi, Beagle 2 pun akan menghunjam tanah Mars dengan keras. Keempat, Beagle 2 mungkin tetap terbungkus dalam bantalan udaranya tanpa bisa melepaskan diri meski telah mendarat. Dalam hal ini Beagle 2 mungkin tetap utuh setibanya di tanah Mars, namun takkan sanggup berkomunikasi. Kelima, Beagle 2 mungkin melepaskan bantalan udaranya terlalu dini sehingga ia bakal terbanting keras ke tanah Mars. Dan keenam, adanya cacat dalam radas akselerometer (pengukur percepatan) sehingga parasut mungkin terbuka lebih dini. Akibatnya Beagle 2 mungkin terbanting keras ke tanah Mars.

Mana di antara keenam kemungkinan penyebab tersebut yang tepat, ESA tak bisa menjawabnya. Jawaban baru muncul 11 tahun kemudian.

Ditemukan

Upaya mencari si “anjing Inggris” ini mendapatkan nafas baru saat NASA berhasil menempatkan wahana penyelidik Mars Reconaissance Orbiter (MRO) mengorbit Mars dengan selamat pada 10 Maret 2006 TU. Ia terus bekerja dengan baik hingga sekarang. Wahana MRO mengangkut kamera HiRISE (High Resolution Imaging Science Experiment). Inilah kamera beresolusi sangat tinggi yang ditopang teleskop reflektor (pemantul) yang cermin obyektifnya berdiameter 50 sentimeter, menjadikannya mampu membidik obyek berdiameter 30 sentimeter saja dari kejauhan jarak 300 kilometer. Di sela-sela tugas utama yang dibebankan padanya, NASA mengirim perintah pada MRO untuk melacak sejumlah perangkat keras yang pernah didaratkan di permukaan planet merah. Baik itu perangkat keras milik Amerika Serikat, ataupun milik (eks) Uni Soviet, maupun Eropa. Maka pencarian Beagle 2 pun dimulai.

Gambar 4. Lokasi penemuan wahana pendarat Beagle 2 dengan sejumlah komponen pendaratnya, di salah satu sudut dataran Isidis Planitia (kiri). Citra lebih detil bagian dalam kotak yang diperbesar, nampak Beagle 2 beserta parasut pengeremnya dan cangkang penyekat panas bagian depannya (kanan). Dibidik oleh wahana penyelidik Mars Reconaissance Orbiter. Sumber: NASA, 2015.

Gambar 4. Lokasi penemuan wahana pendarat Beagle 2 dengan sejumlah komponen pendaratnya, di salah satu sudut dataran Isidis Planitia (kiri). Citra lebih detil bagian dalam kotak yang diperbesar, nampak Beagle 2 beserta parasut pengeremnya dan cangkang penyekat panas bagian depannya (kanan). Dibidik oleh wahana penyelidik Mars Reconaissance Orbiter. Sumber: NASA, 2015.

Upaya pertama dilakukan pada Februari 2007 TU yang berujung dengan kegagalan. Wahana MRO saat itu lewat di atas Isidis Planitia dan kamera HiRISE diarahkan ke sebuah kawah kecil dimana Beagle 2 diprediksikan mendarat. Pada 20 Desember 2005 TU Collin Pillinger, peneliti utama Beagle 2 di Universitas Terbuka, memublikasikan citra beresolusi rendah dari wahana Mars Global Surveyor (juga milik NASA) yang telah diproses. Citra tersebut memperlihatkan adanya sebuah bintik hitam dalam sebuah kawah kecil. Pillinger menafsirkan bintik tersebut sebagai Beagle 2, yang dikelilingi bantalan udara kempis. Namun citra resolusi tinggi dari kamera HiRISE membuyarkan anggapan tersebut. Kawah kecil itu ternyata kosong.

Kegagalan awal ini tak menyurutkan upaya pencarian. Setelah berjalan hampir 8 tahun lamanya, sukses pun akhirnya diraih juga di tahun ini. Pada 16 Januari 2015 TU NASA mengumumkan bahwa Beagle 2, lebih tepatnya rongsokannya, telah ditemukan. Ia ditemukan lewat citra HiRISE wahana MRO, yang diambil per 28 Februari 2013 TU dan 29 Juni 2014 TU. Lewat analisis panjang yang dilakukan NASA bersama dengan Universitas Arizona (Amerika Serikat) dan Universitas Leicester, akhirnya diketahui bahwa si “anjing Inggris” ini ternyata tergolek di tempat yang tepat sesuai rencana pendaratannya. Yakni di dataran Isidis Planitia, tepatnya di sekitar koordinat 11,5 LUM (lintang utara Mars) dan 90,4 BTM (bujur timur Mars). Tiga komponen penting yang terekam dalam citra MRO terkini adalah pendarat Beagle 2 itu sendiri, parasut pengeremnya dan sebagian penyekat panasnya.

Gambar 5. Wahana pendarat Beagle 2 dalam citra Mars Reconaissance Orbiter yang diperbesar. Nampak jelas Beagle 2 tetap utuh namun hanya dua "daun" yang mekar dari tubuhnya. Sementara tiga "daun" sisanya tak terlihat. Sumber: NASA, 2015.

Gambar 5. Wahana pendarat Beagle 2 dalam citra Mars Reconaissance Orbiter yang diperbesar. Nampak jelas Beagle 2 tetap utuh namun hanya dua “daun” yang mekar dari tubuhnya. Sementara tiga “daun” sisanya tak terlihat. Sumber: NASA, 2015.

Pengumuman NASA ini sekaligus membuyarkan semua kemungkinan penyebab hilangnya Beagle 2 yang disusun ESA sebelumnya. Wahana pendarat ini ternyata mendarat dengan baik (soft-landing) di targetnya. Sehingga ia tetap utuh, tak terpecah-belah. Parasut pengeremnya nampaknya bekerja dengan baik. Parasut tersebut mendarat di titik yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi pendaratan Beagle 2. Citra yang sama juga mengungkap kemungkinan baru yang menjadi akar masalah gagalnya misi Beagle 2. Dari kelima “daun”-nya, hanya dua yang membuka. Tiga “daun” sisanya yang semuanya berisikan panel surya tetap terlipat bersama tubuh Beagle 2. Inilah jawaban mengapa Beagle 2 membisu selamanya. “Daun” yang masih terlipat membuat sistem komunikasi Beagle 2 sulit bekerja. Hal yang sama juga membuat pasokan tenaga listrik dari panel-panel surya ke tubuh Beagle 2 terhambat. Sehingga batereinya tak mengalami pengisian ulang dengan baik dan lama-kelamaan pun mati.

Jadi, “anjing” itu sebenarnya sukses mendarat namun kemudian sekarat karena ketiga kakinya masih terlipat.

Referensi :

Webster. 2015. ‘Lost’ 2003 Mars Lander Found by Mars Reconnaissance Orbiter. NASA Jet Propulsion Laboratory, California, 16 Januari 2015.

Grindrod. 2015. Beagle 2 Found on Mars.

Apakah AirAsia Penerbangan QZ8501 Jatuh Oleh Awan Cumulonimbus?

Sangkala sudah berlalu duapuluh enam hari semenjak pesawat jet komersial Airbus A320-216 bernomor PK-AXC milik maskapai AirAsia penerbangan QZ8501 (atau AWQ 8501) menghilang di Minggu subuh 28 Desember 2014 Tarikh Umum (TU). Pesawat jet yang mengangkut 162 orang ini, 155 penumpang dan 7 kru pesawat, tak pernah tiba di bandara Changi (Singapura) yang menjadi tujuannya selepas bertolak dari bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur (Indonesia). Ia lenyap di ruang udara penuh awan tebal nan gelisah di atas Selat Karimata, di antara pulau Belitung dan Kalimantan. Sudah 59 jasad dievakuasi dari laut, sebagian besar ditemukan mengapung yang tersebar mulai dari Selat Karimata ke perairan sebelah timurnya seperti Teluk Kumai, Laut Jawa dan bahkan hingga hampir menjangkau Selat Makassar. Dari jumlah tersebut, 46 jasad diantaranya sudah teridentifikasi dan diserahkan kembali pada keluarganya.

Gambar 1. Pesawat Airbus A320-216 PK-AXC milik maskapai AirAsia saat parkir di landasan sebuah bandara bertahun silam. Inilah pesawat yang menghilang di atas Selat Karimata pada Minggu pagi 28 Desember 2014 TU saat dalam penerbangan QZ8501 (AWQ8501) rute Surabaya-Singapura. Belakangan diketahui pesawat ini jatuh tercebur ke dasar Selat Karimata. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Gambar 1. Pesawat Airbus A320-216 PK-AXC milik maskapai AirAsia saat parkir di landasan sebuah bandara bertahun silam. Inilah pesawat yang menghilang di atas Selat Karimata pada Minggu pagi 28 Desember 2014 TU saat dalam penerbangan QZ8501 (AWQ8501) rute Surabaya-Singapura. Belakangan diketahui pesawat ini jatuh tercebur ke dasar Selat Karimata. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Bersama dengannya ditemukan pula puluhan kepingan komponen pesawat dalam beragam ukuran, dari kecil hingga besar, dari pintu darurat hingga jajaran kursi. Potongan-potongan besarnya pun telah ditemukan. Ekor pesawat dijumpai dalam keadaan patah dan terpisah, demikian pula sayap kirinya. Sebaliknya sayap kanannya dijumpai masih tersambung dengan sebagian badan pesawat. Moncong pesawat pun juga telah ditemukan, terpisah pula dari badan pesawat. Semuanya telah berubah menjadi rongsokan logam berkeping dan terpilin. Kecuali ekor pesawat, yang telah diangkat dan ditarik ke pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), seluruh potongan besar itu masih tergolek dan (sebagian) terbenam dalam lumpur. Diduga para penumpang yang masih belum ditemukan mungkin terjebak dalam rongsokan badan pesawat yang terbenam ini.

Selagi tim SAR berjuang mengevakuasi kepingan-kepingan pesawat dan jasad-jasad korban di laut, bola panas menggelinding di daratan. Bola mulai ditendang dari Kementerian Perhubungan, yang menganggap penerbangan yang naas itu adalah penerbangan illegal, tak sesuai dengan jadwal yang telah disetujui. Ujung-ujungnya izin penerbangan Surabaya-Singapura milik AirAsia pun dibekukan sementara. Sebaliknya pihak masakapai merasa tak ada aturan yang dilanggar. Apalagi ini penerbangan internasional, yang hanya bisa diselenggarakan jika kedua belah negara yang terlibat baik di bandara asal maupun tujuan telah sama-sama memberikan otorisasinya.

Gambar 2. Titik-titik temuan puing-puing Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam Google Earth (garis putus-putus). Puing-puing itu tersebar dalam rentangan lebih dari 650 kilometer dari Selat Karimata hingga tubir Selat Makassar di pulau Sembilan. Garis kuning menunjukkan proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2014-2015.

Gambar 2. Titik-titik temuan puing-puing Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam Google Earth (garis putus-putus). Puing-puing itu tersebar dalam rentangan lebih dari 650 kilometer dari Selat Karimata hingga tubir Selat Makassar di pulau Sembilan. Garis kuning menunjukkan proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2014-2015.

Bola panas pun dioper ke para pihak terkait seperti otoritas bandara dan pengatur lalu lintas udara, yang sama-sama enggan disalahkan dan merasa telah bertindak sesuai prosedur. Bagaimana AirAsia penerbangan QZ8501 ini bisa terselenggara, dimana otoritas Singapura telah memberikan persetujuannya dan logikanya otoritas Indonesia pun demikian namun Kementerian Perhubungan merasa tak melakukan langkah tersebut, masih belum jelas benar. Belakangan tak hanya AirAsia yang ketiban getahnya, namun juga 61 penerbangan lainnya dari sejumlah maskapai seperti Garuda, Lion Air, Susi Air, Wings Air dan TransNusa Air. Semua penerbangan itu dibekukan sementara, juga atas dasar izin yang dianggap illegal atau melanggar. Belakangan hal ini menjadi blunder setelah penerbangan TransNusa Air ternyata telah memenuhi semua izin. Blunder yang mengindikasikan bahwa salah satu masalahnya justru terletak di tubuh Kementerian Perhubungan sendiri.

Bola panas kedua juga ditendang dari Kementerian Perhubungan. Selagi malapetaka yang menimpa AirAsia penerbangan QZ8501 ini bahkan baru mulai diselidiki, Menteri Perhubungan mencoba membereskan apa yang dianggapnya sebagai masalah laten penerbangan murah (low cost carrier/LCC). Kemungkinan berdasar asumsi bahwa AirAsia penerbangan QZ8501 jatuh oleh perawatan yang kurang memadai seiring perang tarif penerbangan murah, Menteri Perhubungan memutuskan untuk menaikkan batas bawah untuk tarif yang bisa dijual penerbangan murah, dari yang semula 30 % tarif termahal menjadi 40 % tarif termahal. Keputusan ini lagi-lagi terasa blunder setelah hanya diberlakukan untuk penerbangan domestik saja, padahal penerbangan murah di Indonesia juga melayani penerbangan internasional. Tak pelak kritikan pun mengalir deras.

Gambar 3. Posisi temuan potongan-potongan besar badan pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 di dasar Selat Karimata, 180 kilometer sebelah timur-tenggara pesisir timur pulau Belitung. Dua kotak hitam, yakni FDR dan CVR, ditemukan telah terlepas dari ekor dan terhimpit di bawah potongan sayap kiri. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2015.

Gambar 3. Posisi temuan potongan-potongan besar badan pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 di dasar Selat Karimata, 180 kilometer sebelah timur-tenggara pesisir timur pulau Belitung. Dua kotak hitam, yakni FDR dan CVR, ditemukan telah terlepas dari ekor dan terhimpit di bawah potongan sayap kiri. Titik QZ8501-ATC adalah titik koordinat terakhir pesawat tersebut menurut radar ATC Jakarta. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth dan data Basarnas, 2015.

Di tengah lontaran bola-bola panas tersebut, pertanyaan mengapa Airbus A320-216 PK-AXC itu terjungkal ke Selat Karimata di Minggu pagi nan gelisah itu terus mengemuka. Kombinasi fakta yang sedikit dan itupun sepotong-sepotong dengan asumsi yang berkeliaran dalam ramuan jurnalisme air mata khas Indonesia membuat sejumlah kambing hitam pun muncul. Salah satunya cuaca. Terutama setelah sejumlah peneliti BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) memublikasikan terdapatnya awan cumulonimbus di lokasi pesawat tersebut melintas. Awan cumulonimbus adalah biang kerok penyebab hujan deras dan bahkan badai. Puncak awan ini sanggup membumbung melampaui batas lapisan troposfer. Pesawat naas tersebut dianggap memasuki awan badai, sehingga mengalami icing (pembentukan es). Pada kondisi tertentu, di dalam awan cumulonimbus bisa terdapat tetes-tetes air superdingin. Begitu menyentuh badan pesawat, segera ia berubah menjadi es yang menyelimuti segenap badan pesawat. Pembentukan es pada sayap bakal membuat aliran udara terganggu berat sehingga daya angkat bisa menghilang. Sementara pembentukan es dalam mesin jet bisa membuat mesin kebanjiran air hingga melampaui batas toleransinya, yang bisa berujung pada matinya mesin.

Kambing hitam kedua, yang juga masih terkait cuaca buruk, adalah pengatur lalu lintas udara (ATC/air traffic controller), khususnya ATC Jakarta. ATC dianggap tidak segera merespon permintaan pilot untuk naik ke altitud 38.000 kaki (11.600 meter dpl) dari semula 32.000 kaki (9.750 meter dpl). Padahal bagi sebagian orang, permintaan itu dianggap sebagai ungkapan tersirat bahwa pilot mengetahui ia dan pesawatnya sedang berhadapan dengan awan cumulonimbus. Dan kambing hitam yang ketiga adalah sang pilot itu sendiri. Ia dianggap gegabah karena terbang tanpa membawa dokumen cuaca, yang baru diambil petugas AirAsia di Surabaya sejam setelah penerbangan QZ8501 menghilang. Belakangan setelah keping-keping badan pesawat dan sejumlah jasad mulai dijumpai di perairan Laut Jawa lepas pantai Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), tudingan baru muncul. Semata atas dasar temuan pintu darurat, pilot dianggap tak cakap dalam mengelola permintaan tolong setelah memutuskan untuk ditching (mendaratkan pesawat secara darurat di permukaan air). Sehingga dianggap pesawat pun perlahan-lahan beserta segenap penumpangnya.

Penyelidikan

Tim Basarnas bersama pasukan TNI telah berhasil mengevakuasi dua radas (instrumen) penting yang merekam segenap aktivitas awak dan pesawat. Lebih dikenal sebagai kotak hitam, meski berwarna orange, kedua radas tersebut adalah perekam data penerbangan (FDR/flight data recorder) dan perekam suara kokpit (CVR/cockpit voice recorder). Keduanya telah diserahkan kepada KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi), sebagai lembaga resmi yang bertugas menyelidiki kecelakaan pesawat di ruang udara Indonesia. FDR merekam 1.200 parameter aktivitas pesawat sejak beberapa ratus jam sebelumnya hingga ke detik-detik terakhir menuju bencana. Beberapa diantaranya adalah status autopilot, kecepatan, percepatan (lateral, longitudinal, vertikal) dan ketinggian. Sementara CVR merekam komunikasi di pesawat, baik antara pesawat dengan pengatur lalu lintas udara/menara bandara dan internal pesawat (pilot dengan kopilot, pilot dengan kabin penumpang dan situasi kabin penumpang).

Gambar 4. Contoh sejumlah parameter hasil rekaman FDR (flight data recorder) yang telah dipublikasikan. Dalam hal ini adalah rekaman FDR Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 TU. Rekaman dibatasi dalam 130 detik terakhir sebelum bencana. Publikasi sejenis juga bakal dilakukan KNKT dalam laporan akhir analisis kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 kelak. Sumber: KNKT, 2008.

Gambar 4. Contoh sejumlah parameter hasil rekaman FDR (flight data recorder) yang telah dipublikasikan. Dalam hal ini adalah rekaman FDR Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 TU. Rekaman dibatasi dalam 130 detik terakhir sebelum bencana. Publikasi sejenis juga bakal dilakukan KNKT dalam laporan akhir analisis kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 kelak. Sumber: KNKT, 2008.

Sesuai aturan, KNKT bekerja secara tertutup dalam menyelidiki seluruh kecelakaan pesawat, termasuk kecelakaan AirAsia penerbangan QZ8501 ini. Tapi jika kita rajin menyimak film-film serial bergenre kecelakaan seperti “Seconds from Disaster” atau lebih spesifik lagi “Air Crash Investigation,”kita dapat menebak apa yang bakal dilakukan tim penyelidik KNKT. Dari dua film serial yang sarat informasi dan edukatif, meski sayangnya bukan jenis film yang disukai televisi Indonesia dengan jurnalisme air matanya (ANTeve pernah menayangkan “Seconds from Disaster” musim pertama pada 2005 TU namun hanya bertahan tiga bulan), pertama-tama penyelidik KNKT akan fokus pada FDR dan CVR. Mereka akan menekuni rekaman suara dalam kokpit dan 1.200 data parameter pesawat khususnya dalam menit-menit terakhir sebelum bencana.

Tapi rekaman FDR dan CVR pun kadang tak membantu. Dalam beberapa kasus, rekaman suara dan data pesawat kerap dijumpai terputus begitu saja tepat saat bencana tanpa adanya tanda-tanda peringatan apapun. Bila hal ini terjadi, penyelidik harus melihat ke bangkai pesawat. Beberapa komponen kunci seperti mesin, sayap, kendali permukaannya (rudder, elevator dan aileron), ekor serta panel-panel radas di kokpit harus ditelaah lebih lanjut. Bilamana jawaban tak kunjung ditemukan, maka segenap bangkai pesawat harus diperika secara menyeluruh. Bahkan jika perlu keping demi keping komponen pesawat dirangkai ulang, layaknya menyusun sebuah jigsaw puzzle raksasa. Dari rongsokan logam yang telah disusun ulang ini harus dicari apakah ada anomali pada bagian tertentu. Dan harus dicari pula bagaimana anomali tersebut menyebar kemana-mana yang berujung pada bencana.

Penyelidikan kecelakaan pesawat terbang penting artinya dan luas implikasinya. Sebuah kecelakaan pesawat tak pernah melibatkan penyebab tunggal. Selalu ada sejumlah faktor yang saling berkaitan dan berkembang bersama-sama yang berujung pada bencana. Mengetahui faktor-faktor tersebut merupakan tujuan penyelidikan kecelakaan pesawat terbang. Dari faktor-faktor tersebut akan diketahui apakah kecelakaan akibat kesalahan desain atau kesalahan manusia? Jika kesalahan desain, implikasinya luas sekali karena pabrikan pesawat tersebut harus segera melakukan perbaikan dan memberi jaminan armada pesawat-pesawat yang sama jenisnya untuk tetap aman. Jika akibat kesalahan manusia, maka harus ada perbaikan prosedur bagi kru pesawat, atau bagi pengatur lalu lintas udara, atau bahkan bagi otoritas penerbangan untuk memastikan bencana serupa ini takkan terjadi lagi.

Gambar 5. Grafik dinamika altitud beserta kecepatan menanjak-menukik pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya (atas). Sebagai pembanding adalah dinamika altitud serta kecepatan menukik pesawat Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 (bawah). Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015. Data Adam Air dari KNKT, 2008.

Gambar 5. Grafik dinamika altitud beserta kecepatan menanjak-menukik pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya (atas). Sebagai pembanding adalah dinamika altitud serta kecepatan menukik pesawat Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW Adam Air penerbangan DHI574 (bawah). Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015. Data Adam Air dari KNKT, 2008.

Saat ini KNKT fokus membaca dan mentranskrip data-data dari FDR dan rekaman suara CVR. Di akhir Januari 2015 TU ini mereka siap memublikasikan laporan sementara sesuai ketentuan ICAO (International Civil Aviation Organisation). Namun penyelidikan menyeluruh diperkirakan bakal memakan waktu setahun lamanya sebelum laporan akhirnya dipublikasikan. Laporan akhir juga bakal ditembuskan kepada para pihak terkait: manajemen AirAsia, pengatur lalu lintas udara, otoritas bandara dan direktorat perhubungan udara Kementerian Perhubungan. Bagi kita, khususnya bagi jurnalisme air mata a la Indonesia, waktu setahun ini tentu terlalu lama sementara debu sudah terlanjur mengendap. Namun bagi penyelidikan kecelakaan pesawat terbang di manapun, waktu tersebut masih wajar. Jika mengacu pada kinerja KNKT, bahkan sebelum tenggat waktu setahun mereka beberapa kali sudah memublikasikan laporan akhir penyelidikan kecelakaan pesawat. Misalnya dalam kasus jatuhnya Sukhoi SuperJet100 di Gunung Salak (Jawa Barat) pada 9 Mei 2012 TU, yang laporan akhirnya sudah dipublikasikan tujuh bulan kemudian tepatnya di bulan Desember tahun yang sama.

Awan atau Kendali?

Sejauh ini fakta yang sudah diketahui adalah potongan-potongan besar badan pesawat dijumpai terpisah-pisah di dasar Selat Karimata pada kedalaman sekitar 30 meter dpl. Jarak terjauh antar potongan besar badan pesawat, yakni antara ekor dengan reruntuhan moncong/kokpit pesawat, adalah sekitar 3.900 meter. Keempat sudut penting pesawat, yakni ekor, kedua ujung sayap (kiri dan kanan) serta moncong pesawat, juga sudah ditemukan. Meski baru ekor yang sudah diangkat. Potongan-potongan besar badan pesawat ini cukup berat, sehingga kecil kemungkinannya untuk bisa bergeser jauh oleh terpaan arus laut. Tersebarnya potongan-potongan besar badan pesawat dalam rentang jarak yang cukup besar menjadi indikasi bahwa badan pesawat mungkin sudah tak utuh lagi kala menyentuh permukaan laut. Sehingga kemungkinan terjadinya pendaratan darurat di permukaan laut bisa dikesampingkan. Hal tersebut juga diperkuat dengan temuan jasad sejumlah penumpang, yang masih terikat dengan sabuk pengaman di kursinya masing-masing.

Gambar 6. Grafik dinamika posisi lintang dan bujur pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya. Lintasan yang seharusnya ditempuh pesawat naas itu digambarkan dalam garis hitam putus-putus. Lintasan yang sesungguhnya dilalui pesawat digambarkan dalam garis merah tak terputus. Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015.

Gambar 6. Grafik dinamika posisi lintang dan bujur pesawat Airbus A320-216 PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 dalam menit-menit terakhirnya. Lintasan yang seharusnya ditempuh pesawat naas itu digambarkan dalam garis hitam putus-putus. Lintasan yang sesungguhnya dilalui pesawat digambarkan dalam garis merah tak terputus. Sumber: Sudibyo, 2015 berdasar data radar yang dipublikasikan Kemenhub, 2015.

Badan pesawat yang sudah tak utuh saat tercebur ke laut juga menjadi penyebab banyaknya kepingan berukuran kecil/ringan dan sejumlah jasad penumpang terserak keluar. Kuatnya arus laut seiring kencangnya hembusan angin di lokasi membuat keping-keping dan jasad-jasad tersebut lantas bergeser secara konsisten ke arah timur. Maka tak mengherankan jika temuan pertama keping pesawat dan jasad penumpang justru terjadi di perairan Laut Jawa lepas pantai Pangkalan Bun dan Taman Nasional Tanjungputing (Kalimantan Tengah). Belakangan jasad dan kepingan pesawat bahkan ditemukan hingga sejauh lebih dari 650 kilometer di sebelah timur titik serakan potongan besar badan pesawat. Yakni di perairan pulau Sembilan (Kalimantan Selatan), yang terletak di perbatasan perairan Laut Jawa dengan Selat Makassar.

Pada 16 Januari 2015 TU KNKT mengumumkan penyelidik telah selesai mengunduh percakapan berdurasi 124 menit yang terekam dalam CVR hingga detik-detik terakhir sebelum bencana. Terungkap bahwa dalam menit-menit terakhir AirAsia penerbangan QZ8501 tidak terdengar suara ledakan maupun suara keras mirip ledakan lainnya. Yang terdengar hanyalah komunikasi dalam kokpit, dimana pilot dan kopilot berjuang mengendalikan pesawat hingga detik-detik akhir. Maka kemungkinan jatuhnya pesswat akibat detonasi bahan peledak dapat dicoret. Aksi terorisme pun dapat ditepis. Meski demikian kemungkinan ledakan oleh sebab lain, misalnya ledakan tanki bahan bakar akibat oleh pendek sebagaimana yang merontokkan Boeing 747-131 Trans World Airlines (TWA) penerbangan 800 pada 17 Juli 1996 TU, belum bisa dikesampingkan. Mengingat ledakan tersebut berhubungan dengan sistem kelistrikan pesawat yang juga menyuplai arus listrik ke CVR dan FDR. Sehingga tatkala hubungan pendek terjadi, arus listrik terputus yang membuat CVR dan FDR berhenti merekam sehingga suara dentuman takkan terekam.

Fakta menarik lainnya yang baru saja dipublikasikan adalah liarnya gerakan pesawat dalam detik-detik terakhirnya. Dalam rapat kerja Menteri Perhubungan dengan Komisi V DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), data radar dan transponder ADS-B (automatic dependent surveilance-broadcast) menunjukkan awalnya pesawat Airbus A320-216 PK-AXC itu melaju stabil di altitud 32.000 kaki (9.750 meter dpl). Anomali terjadi mulai pukul 06:17:16 WIB saat pesawat mendadak menanjak hingga mencapai altitud 9.800 meter dpl dalam tempo 6 detik, dengan tingkat kenaikan 1.400 kaki/menit. 15 detik setelahnya pesawat kian meninggi saja hingga menyentuh altitud 10.270 meter dpl, dengan tingkat kenaikan lebih besar lagi yakni 6.000 kaki/menit. 5 detik kemudian pesawat bahkan sudah menjangkau altitud 10.480 meter dpl dengan tingkat kenaikan yang fantastis, yakni 8.400 kaki/menit. Puncak ketinggian pesawat dalam rangkaian anomali ini tercipta pada pukul 06:17:54 WIB saat ia menjangkau altitud 36.700 kaki (11.190 meter dpl) dengan tingkat kenaikan sebesar 11.100 kaki/menit.

Segera setelah puncak ketinggiannya tercapai, pesawat mulai menukik dengan kecepatan tukik yang tak kalah fantastisnya. Dalam 6 detik, pesawat telah kehilangan ketinggian 460 meter sehingga anjlok ke altitud 10.700 meter dpl. Tingkat penurunannya 15.000 kaki/menit. Berselang 25 detik kemudian pesawat sudah merosot ke altitud 29.000 kaki (8.840 meter dpl) dengan tingkat penurunan masih sebesar 14.880 kaki/menit. Penurunan yang dramatis terus berlanjut hingga pukul 06:18:44 WIB saat pesawat sudah menyentuh altitud 24.000 kaki (7.315 meter dpl) dengan tingkat penurunan 15.790 kaki/menit. Di titik ini pesawat menghilang dari radar, hanya dalam 88 detik sejak anomali bermula. Pergerakan yang sangat liar dalam waktu yang sangat singkat mungkin menjadi penyebab mengapa pilot maupun kopilot tidak sempat menyalakan sinyal distress (kode squawk) secara elektronik, ataupun mewartakan permintaan tolong secara oral.

Gambar 7. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal inframerah yang diambil pada 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis hitam adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Warna gelap menunjukkan posisi awan-awan cumulonimbus. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya, pertanda sedang terjadi badai. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Gambar 7. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal inframerah yang diambil pada 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis hitam adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Warna gelap menunjukkan posisi awan-awan cumulonimbus. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya, pertanda sedang terjadi badai. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Selain menanjak dan menukik demikian fantastis, Airbus A320-216 PK-AXC itu juga menikung ke kiri dengan gerakan yang tak kalah liarnya. Tepat saat anomali mulai terjadi, pesawat itu pun membelok ke kiri. Begitu anomali mencapai puncaknya, pesawat telah berbalik arah menuju ke selatan setelah membentuk putaran setengah lingkaran yang cukup tajam. Tak cukup sampai di situ. Pesawat masih terus berbelok ke kiri, kali ini demikian tajamnya. Sehingga membentuk putaran dengan radius yang jauh lebih kecil dibanding sebelumnya. Bila dilihat dalam perspektif tiga dimensi, yakni tak hanya dalam perubahan posisi lintang dan bujurnya namun juga pada altitud-nya, jelas terlihat pesawat ini berspiral meluncur ke bawah begitu lepas dari puncak anomali.

Mengapa AirAsia penerbangan QZ8501 berperilaku seliar itu? Aksi menanjak-menukik dan berbelok sangat tajam seperti itu sangat tidak lazim bagi sebuah pesawat jet komersial. Jet komersial tidak dirancang seperti pesawat tempur, yang memang harus mampu menanjak dan menukik dengan cepat. Pada umumnya pesawat jet komersial hanya dirancang untuk menanjak atau menukik sebesar antara 1.000 hingga 2.000 kaki/menit saja. Perilaku AirAsia penerbangan QZ8501 jauh melebihi angka tersebut. Perilakunya justru mengingatkan kembali pada tingkah laku Boeing 737-4Q8 nomor PK-KKW, yang jatuh di Selat Makassar 1 Januari 2007 TU sebagai AdamAir penerbangan DHI574. Saat itu Boeing 737-4Q8 PK-KKW menukik secepat antara 24.000 hingga 53.000 kaki/menit sebelum jatuh.

Sehingga dugaan terjadinya aerodynamic stall, yakni kehilangan daya angkat akibat peningkatan altitud yang terlalu tajam yang membuat aliran udara di atas permukaan sayap berubah dari laminar menjadi turbulen, pun menyeruak. Aerodynamic stall bisa terjadi akibat kerusakan sistem kendali pesawat, faktor eksternal seperti hempasan angin kencang ke atas (updraft) ataupun aksi pilot. Namun pesawat jet komersial modern sekelas Airbus A320 ini sudah dilengkapi dengan sistem komputer canggih dengan sejumlah faktor pengaman yang secara otomatis mencegah pilot melakukan aksi yang berpotensi aerodynamic stall. Di sisi lain, mesin jet pesawat komersial juga tak memiliki kemampuan menanjak dan menukik secepat itu.

Maka tersisa dua kemungkinan, yakni hempasan angin kencang ke atas dan kerusakan sistem kendali pesawat. Dalam hal hempasan angin kencang ke atas, menarik untuk dicermati bahwa dalam detik-detik terakhirnya AirAsia penerbangan QZ8501 melewati awan cumulonimbus. Citra satelit cuaca, misalnya dari MTSAT-2, memang menunjukkan bahwa ruang udara dimana pesawat naas ini terbang melintas dipenuhi awan cumulonimbus. Beberapa awan cumulonimbus tersebut bahkan menunjukkan tanda-tanda overshooting top, sembulan mirip kubah di puncak awan yang menembus ke lapisan stratosfer bawah. Sembulan itu menjadi pertanda pergerakan massa udara vertikal ke atas yang membentuk badai. Dan overshooting top yang muncul cukup lama (lebih dari 10 menit) mengindikasikan badainya adalah parah. Overshooting top berdurasi lama memang terdeteksi pada sejumlah awan cumulonimbus di sekitar lintasan AirAsia penerbangan QZ8501. Overshooting top ini ditandai dengan suhu sangat dingin, hingga minus 90 derajat Celcius, dan terletak pada ketinggian melebihi 16.500 meter dpl dan mungkin mengandung air superdingin. Apakah AirAsia penerbangan QZ8501 terhanyut ke dalam aliran massa udara vertikal dalam badai ini?

Problem utama bagi kemungkinan ini adalah bahwa AirAsia penerbangan QZ8501 bukanlah satu-satunya pesawat yang melewati awan cumulonimbus. Sedikitnya ada tiga pesawat lain yang berbeda pada saat itu. Yang pertama adalah adalah AirAsia penerbangan AWQ502 yang melayani rute Denpasar-Singapura. Pesawatnya pun mirip dengan pesawat naas, yakni Airbus A320-214. Bedanya ia melintas pada altitud lebih tinggi yakni 37.795 kaki (11.520 meter dpl). Sementara yang kedua adalah Emirates penerbangan UAE409 yang melayani rute Melbourne-Kuala Lumpur. Pesawatnya adalah Boeing 777-31H yang melintas pada altitud 36.000 kaki (10.970 meter dpl). Dan yang ketiga adalah Garuda Indonesia penerbangan GIA500 yang melayani rute Jakarta-Pontianak. Pesawatnya Boeing 737-8U3 dan melaju pada altitud 35.000 kaki (10.670 meter dpl).

Gambar 8. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal visual (cahaya tampak) yang diambil 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis putih adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

Gambar 8. Citra satelit cuaca MTSAT-2 dalam kanal visual (cahaya tampak) yang diambil 28 Desember 2014 TU pukul 06:32 WIB, 14 menit pasca AirAsia penerbangan QZ8501 menghilang. Garis putih adalah proyeksi lintasan penerbangan pesawat naas itu dalam menit-menit terakhirnya berdasarkan transponder ADS-B yang dipublikasikan FlightRadar24.com. Tanda panah menunjukkan awan-awan cumulonimbus dengan overshooting top (sembulan) di puncaknya. Selain pesawat yang naas, terlihat juga posisi tiga penerbangan lainnya yang sama-sama menembus awan cumulonimbus namun sampai di tujuan dengan selamat. Sumber: CIMSS, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2015.

AirAsia penerbangan AWQ502 dan Emirates penerbangan UAE409 ada di depan pesawat AirAsia penerbangan QZ8501 yang naas. Mereka bertiga melewati awan cumulonimbus yang sama di tenggara pulau Belitung. Sedangkan Garuda Indonesia penerbangan GIA500 bahkan melintasi awan cumulonimbus yang lebih parah di timur laut pulau Belitung, ditandai dengan overshooting top lebih besar. Namun dari keempat pesawat tersebut, hanya AirAsia penerbangan QZ8501 yang bernasib naas. Pesawat-pesawat lainnya tiba di tujuannya dengan selamat. Memang harus dievaluasi lagi apakah ketiga pesawat tersebut juga merasakan naik-turunnya ketinggian pesawat tatkala melintasi awan cumulonimbus? Sebab aliran massa udara vertikal selalu melibatkan luasan yang besar. Logikanya aliran tersebut tentu dirasakan sejumlah pesawat yang lewat di luasan tersebut lewat naik-turunnya ketinggiannya meski magnitud-nya berbeda-beda bagi tiap pesawat.

Gambar 9. Bagian ekor pesawat Airbus A320-216 PK-AXC yang jatuh di Selat Karimata sebagai AirAsia penerbangan QZ8501. Nampak perangkat rudder, auto rudder trim limiter dan elevator. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Gambar 9. Bagian ekor pesawat Airbus A320-216 PK-AXC yang jatuh di Selat Karimata sebagai AirAsia penerbangan QZ8501. Nampak perangkat rudder, auto rudder trim limiter dan elevator. Sumber: Nikolay Ustinov, t.t dalam FlightRadar24.com, 2014.

Kemungkinan kerusakan sistem kendali juga mengemuka. Dalam buku catatan perawatannya, pesawat Airbus A320-216 PK-AXC tercatat berkali-kali mengalami masalah pada auto rudder trim limiter flight control. Rudder adalah perangkat kendali permukaan di belakang sirip tegak di ekor pesawat, yang berfungsi untuk mengendalikan gerakan pesawat ke kiri dan kanan (yaw) secara horizontal. Dalam praktiknya rudder bekerja bersama dengan elevator, yakni perangkat kendali di bagian belakang sayap ekor pesawat. Elevator berfungsi mengendalikan gerakan berputar (roll) pesawat. Dengan kata lain ia mengendalikan gerak miring ke kiri atau ke kanan. Kombinasi penggunaan rudder dan elevator membuat pesawat dapat berbelok dengan leluasa.

Auto rudder trim limiter merupakan radas kecil mirip rudder yang berada dalam rudder dan langsung terhubung dengannya. Radas kecil ini berfungsi untuk menjaga rudder tetap dalam posisi yang telah dipilih, tanpa pilot harus terus-menerus mengerahkan tenaga untuk menjaga stabilitasnya. Masalah pada auto rudder trim limiter flight control Airbus A320-216 PK-AXC telah terjadi hingga sembilan kali sepanjang 2014 TU sebelum bencana di Selat Karimata. Bahkan tiga hari sebelum bencana, pesawat harus mengalami return to apron atau kembali ke apron sebanyak dua kali. Apakah kembali terjadi masalah pada auto rudder trim limiter flight control yang berujung pada kegagalan rudder secara keseluruhan? Apakah masalah pada auto rudder trim limiter flight control berkembang dan merembet pula ke kendali permukaan lainnya?

Kegagalan pada rudder bukanlah hal sederhana. Sejarah mencatat betapa sepanjang 1991 hingga 2002 TU pesawat Boeing 737dihantui serangkaian kecelakaan mematikan akibat rudder gagal berfungsi. Antara lain kecelakaan United Airlines penerbangan 585 yang jatuh di Colorado (Amerika Serikat) pada 3 Maret 1991 TU (korban tewas 25 orang). Lalu USAir penerbangan 427 yang jatuh di Pittsburgh (Amerika Serikat) pada 8 September 1994 TU (korban tewas 132 orang). Salah satu kecelakaan pesawat yang cukup mematikan di Indonesia pun, yakni SilkAir penerbangan MI185 yang jatuh menghunjam delta Sungai Musim (Sumatra Selatan) pada 19 Desember 1997 TU (korban tewas 104 orang), pun diduga akibat hal yang sama. Patut ditambahkan pula kasus Eastwind Airlines penerbangan 517 (9 Juni 1996 TU), yang juga sempat mendadak berputar ke kanan hingga dua kali saat melaju di udara. Namun ajaibnya pesawat tersebut mampu pulih lagi dengan selamat tanpa berujung pada kecelakaan. Pada pesawat-pesawat itu radas PCU (power control unit) yang menggerakkan rudder didapati macet akibat pembebanan panas. Yakni kala PCU yang sangat dingin, akibat suhu udara luar yang juga sangat dingin kala pesawat melaju di altitud tinggi, mendadak dialiri cairan hidrolik panas saat pilot memerintahkan pesawat berbelok kiri/kanan. Akankah Airbus A320-216 PK-AXC juga mengalami problem serupa?

Jadi, apa penyebab jatuhnya AirAsia penerbangan QZ8501 ini? Berdasar data yang telah dirilis, kehilangan daya angkat (aerodynamic stall) akibat menanjak terlalu tajam menjadi salah satu faktor potensial yang menduduki peringkat pertama. Tidak utuhnya badan pesawat saat menubruk permukaan Selat Karimata mungkin terjadi akibat tukikan yang juga terlalu tajam setelah tanjakan yang fantastis itu. Tukikan yang terlalu tajam mungkin menghasilkan percepatan yang lebih besar dari 2,5g (g = percepatan gravitasi Bumi di permukaan laut), yakni percepatan maksimum yang diperkenankan untuk menjaga badan pesawat tetap utuh. Ini kembali mengingatkan pada kasus AdamAir penerbangan DHI574, yang menukik dengan percepatan sampai 3,5g hingga membuat badan pesawat kemudian terpecah-belah selagi masih melaju di udara.

Apa penyebab kehilangan daya angkat ini? Kemungkinan aliran massa udara vertikal dalam awan cumulonimbus tak bisa dikesampingkan. Demikian halnya kemungkinan kerusakan sistem kendali. Namun faktor lain pun masih perlu dipertimbangkan. Mari kita tunggu hasil penyelidikan KNKT sepenuhnya. Termasuk rekomendasinya untuk para pihak terkait. Mengingat sebelum musibah AirAsia penerbangan QZ8501 terjadi pun penerbangan sipil Indonesia sedang dalam sorotan ICAO. Penerbangan sipil Indonesia kali ini bahkan disebut-sebut lebih buruk ketimbang situasi tahun 2007 TU silam, dimana maskapai-maskapai Indonesia dilarang terbang ke Eropa. Saat ini penerbangan sipil Indonesia berada dalam kategori 2 (cat 2). Tanpa upaya perbaikan yang sungguh-sungguh, hanya menunggu waktu bagi kita untuk terperosok lebih jauh lagi ke kasta terendah kategori 3 (cat 3) dengan segala konsekuensinya.

Referensi :

Hakim. 2014. Apa yang Terjadi dengan Air Asia Penerbangan 8501? Blog Chappy Hakim.

CIMSS. 2014. Did Weather Play a Role in the Disappearance of AirAsia Flight 8501? Coopoerative Institute of Meteorological Satellite Studies, University of Wisconsin, 27 Desember 2014.

Tempo. 2015. Dua Sebab AirAsia Meroket Tiba-tiba Sebelum Jatuh. Laman Tempo.co, reportase Ursula Florene Sonia & Ali Hidayat, 22 Januari 2014.

Mengabadikan Komet Lovejoy, Tamu Purba dari Tepi Tata Surya

Tamu itu bernama Lovejoy. Tidak. Namanya tidaklah beraroma romantis yang berkelindan di seputar cinta (love) maupun kegembiraan (joy). Ia mendapatkan nama megahnya dari sesosok Australia paruh baya bernama lengkap Terry Lovejoy, orang pertama yang menyaksikan eksistensinya. Terry Lovejoy adalah seorang insinyur informatika yang tak kepalang tanggung menceburkan diri dalam jagat astronomi di waktu senggangnya. Sebagai astronom amatir, yakni astronom yang tak berlatar-belakang pendidikan astronomi secara formal, nama Terry Lovejoy mendunia melalui modifikasinya terhadap kamera-kamera digital untuk keperluan pemotretan/pencitraan astronomi (astrofotografi). Modifikasi tersebut membuat para astronom amatir mampu memuaskan hasratnya mengabadikan benda-benda langit khususnya obyek jauh seperti galaksi, gugus bintang (cluster) dan awan gas (nebula) dengan leluasa tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.

Selain inovasi tersebut, dalam jagat astronomi nama Terry Lovejoy juga dikenal sebagai penemu komet. Menyapu langit secara rutin dari kawasan pedesaan negara bagian Queensland (Australia), sejauh ini sosok Terry Lovejoy telah menemukan lima buah komet baru semenjak 2007 Tarikh Umum (TU). Prestasi ini layak diacungi jempol, mengingat upaya penemuan komet-komet baru pada masa kini harus bersaing dengan sejumlah sistem penyigian langit semi-otomatis seperti Spacewatch, LINEAR (Lincoln Near Earth Asteroids Research), Catalina Sky Survey, Siding Spring Survey maupun Pan–STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System). Sesuai dengan tatanama komet yang diberlakukan IAU (International Astronomical Union), sebuah komet baru akan diberi nama sesuai dengan nama penemunya ataupun nama sistem penyiginya. Dengan demikian kelima komet baru yang ditemukan Terry Lovejoy pun menyandang nama Lovejoy.

Gambar 1. Komet C/2014 Q2 Lovejoy dalam observasi hari pertama di tengah gelimang cahaya Bulan pasca purnama dan awan-awan tipis yang berarak-arak. Atas: kedudukan komet (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Waluku. Bawah: detil posisi komet dan bintang-bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra diatasnya. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 1. Komet C/2014 Q2 Lovejoy dalam observasi hari pertama di tengah gelimang cahaya Bulan pasca purnama dan awan-awan tipis yang berarak-arak. Atas: kedudukan komet (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Waluku. Bawah: detil posisi komet dan bintang-bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra diatasnya. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Untuk membedakan satu dengan lainnya, komet-komet yang bernama serupa tersebut juga memiliki identitas tersendiri sesuai dengan sistem penandaan yang diberlakukan IAU bagi komet. Dalam hal komet Lovejoy, kelima komet tersebut beridentitas sebagai C/2007 E2 Lovejoy (ditemukan 15 Maret 2007 TU), C/2007 K5 Lovejoy (ditemukan 26 Mei 2007 TU), C/2011 W3 Lovejoy (ditemukan 27 November 2011 TU), C/2013 R1 Lovejoy (ditemukan 7 September 2013 TU) dan yang terakhir C/2014 Q2 Lovejoy (ditemukan 17 Agustus 2014 TU).

Tamu purba dari tepi tata surya yang kita bicarakan di sini adalah komet C/2014 Q2 Lovejoy. Saat pertama kali disaksikan Terry Lovejoy melalui teleskop reflektor Schmidt-Cassegrain 20 cm, komet ini masih demikian redup hingga lebih redup ketimbang planet-kerdil Pluto. Pada 17 Agustus 2014 TU itu sang komet masih melata pelan di latar depan rasi Cetus. Ia berjarak 423 juta kilometer dari Bumi kita, atau di antara orbit Mars dan Jupiter. Observasi demi observasi berikutnya menghasilkan segudang data yang memperlihatkan bahwa komet C/2014 Q2 Lovejoy ini adalah komet periodik yang berperiode sangat panjang. Orbitnya sangat lonjong (sangat ellips) dengan perihelion sejarak 193 juta kilometer (orbit Bumi = 149,6 juta kilometer). Sementara aphelionnya lebih jauh lagi, yakni terletak pada jarak 172,9 milyar kilometer, atau hampir 30 kali lipat lebih besar ketimbang jarak rata-rata Matahari ke planet-kerdil Pluto. Dengan profil orbit sedemikian, jelas bahwa komet C/2014 Q2 Lovejoy merupakan komet yang bersumber dari awan komet Opik-Oort di tepian tata surya kita. Butuh waktu hingga 13.900 tahun lamanya bagi sang komet untuk menyelesaikan sekali putaran mengelilingi Matahari dalam orbitnya.

Komet Terang

Gambar 2. Komet C/2014 Q2 Lovejoy dalam observasi hari kedua dalam kondisi langit sempurna. Kiri: kedudukan komet (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Waluku. Kanan: detil posisi komet dan bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra sebelah kiri. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 2. Komet C/2014 Q2 Lovejoy dalam observasi hari kedua dalam kondisi langit sempurna. Kiri: kedudukan komet (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Waluku. Kanan: detil posisi komet dan bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra sebelah kiri. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Dapat kita bayangkan pada saat komet ini melintasi perihelionnya sebelum kali ini, ia melihat Bumi dalam situasi 13.900 tahun silam. Yakni Bumi yang (setengah) mengigil kedinginan di tengah periode dingin Older Dryas penghujung zaman es terakhir yang juga penghujung kala Pleistosen dalam skala waktu geologi. Leluhur kita saat itu, yakni generasi Homo sapiens, memang sudah ada namun masih melakoni kehidupan berburu dan meramu serta masih berpindah-pindah tempat tinggal. Kebudayaan mereka masih berkutat di kebudayaan batu paleolitikum atas akhir. Kini saat komet yang sama kembali ke lingkungan dekat Bumi dalam perjalanannya menuju perihelionnya, ia mungkin akan tercengang demikian rupa menyaksikan planet biru kita telah berubah demikian dramatis.

Sedari awal ditemukannya disadari komet C/2014 Q2 Lovejoy memang berpotensi menjadi komet terang. Perhitungan astronomis menunjukkan komet ini bakal tiba di titik perihelionnya pada 30 Januari 2015 TU mendatang. Namun komet bakal tiba di titik terdekatnya ke Bumi pada 7 Januari 2015 TU pukul 15:27 WIB. Saat ini komet C/2014 Q2 Lovejoy ini berjarak 70 juta kilometer dari Bumi kita dan melejit dengan kecepatan relatif 43,2 kilometer/detik (~155.500 kilometer/jam) terhadap Bumi kita. Pada jarak tersebut, tak ada potensi tumbukan antara komet ini dengan Bumi. Sebaliknya sang komet bakal menyajikan pemandangan langit yang mengesankan. Pada awalnya diprediksikan bahwa sepanjang Januari 2015 TU ini komet C/2014 Q2 Lovejoy bakal berbinar dengan magnitudo semu +6.

Magnitudo semu +6 adalah batas kemampuan penglihatan mata manusia khususnya di kawasan yang betul-betul gelap (bukan pedesaan, apalagi perkotaan) di bawah langit yang cemerlang sempurna (tanpa awan sama-sekali) dan tidak sedang Bulan purnama. Pada magnitudo tersebut, komet C/2014 Q2 Lovejoy mudah untuk disaksikan dengan alat bantu sederhana seperti binokuler ataupun teleskop kecil, asal diarahkan ke posisi yang tepat. Namun prediksi demikian tidak selalu menghasilkan kenyataan. Pengalaman menunjukkan sebuah komet dapat saja lebih terang dibanding prediksi awalnya, namun bisa pula terjadi sebuah komet justru lebih redup dibanding prediksi awal.

Gambar 3. Kiri: komet C/2014 Q2 Lovejoy (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Eridanus. Kanan: detil posisi komet dan bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra sebelah kiri. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 3. Kiri: komet C/2014 Q2 Lovejoy (tanda panah) dalam citra bidang lebar rasi bintang Taurus dan Eridanus. Kanan: detil posisi komet dan bintang disekelilingnya, sebagai perbesaran dari kotak kuning dalam citra sebelah kiri. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Posisi Indonesia terhadap kedudukan komet ini sungguh unik dan menjanjikan. Kombinasi sudut antara orbit komet dan ekliptika (bidang edar Bumi dalam mengelilingi Matahari) yang sebesar 80 derajat dengan sejumlah kekhasan lainnya dan posisi Indonesia membuat komet ini akan muncul di langit timur dalam kedudukan cukup tinggi segera setelah mentari terbenam. Dan ia baru menghilang (terbenam) pada waktu dinihari, beberapa jam jelang Matahari terbit kembali. Dengan demikian tersedia waktu hingga berjam-jam lamanya untuk mencermati sang komet. Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan komet-komet lain yang pernah singgah di lingkungan dekat Bumi dan diamati sebelumnya. Komet-komet tersebut umumnya hanya bisa diamati dalam tempo sangat singkat di Indonesia. Yakni hanya berpuluh menit jelang Matahari terbit ataupun beberapa puluh menit setelah sang surya kembali ke peraduan, masing-masing pada ketinggian yang cukup rendah dari kaki langit.

Namun keunggulan dari segi posisi ini harus berhadapan dengan prediksi pesimistik yang tak terkait benda langit secara langsung, namun sangat menentukan kualitas pengamatan. Yakni cuaca. Umumnya bulan Januari di Indonesia adalah bulan kalender dimana langit selalu diselimuti awan. Awan hujan atau bahkan awan badai pun kerap terbentuk pada saat-saat ini, yang menghasilkan hujan dengan intensitas cenderung deras. Dampak ikutannya seperti bencana banjir atau gerakan tanah/longsor pun kerap terjadi. Awalnya Januari 2015 TU pun disangka bakal demikian. Sehingga meski komet C/2014 Q2 Lovejoy sedang cantik-cantiknya di langit, astronom amatir dan profesional di Indonesia mungkin bakal gigit jari dengan awan dan hujan dari hari ke hari.

Tetapi realitas kerap bertolak belakang dibanding prediksi, terlebih pada peristiwa sekompleks cuaca. Setelah dihajar hujan relatif deras di hari-hari Desember 2014 TU yang mendatangkan bencana banjir dan tanah longsor dimana-mana, siapa sangka di dasarian (persepuluhan hari) pertama Januari 2015 TU sebagian Indonesia justru cerah. Khususnya pulau Jawa dan sekitarnya. Tumbuh dan berkembangnya dua pusat tekanan rendah di selatan Indonesia, masing-masing di Australia dan Samudera Indonesia (Hindia) adalah penyebabnya. Dua pusat tekanan rendah itu seakan menyedot sebagian besar uap air di sebagian Indonesia. Akibatnya muncullah situasi unik: hari-hari yang panas terik (dan gerah) mirip kemarau. Dan di malam harinya langit demikian cerah tanpa/dengan sedikit sapuan awan. Inilah kesempatan untuk menyaksikan tamu purba dari tepi tata surya yang menjanjikan.

Observasi

Gambar 4. Komet C/2014 Q2 Lovejoy bersama dengan gugus bintang Pleiades atau Tujuh Dara. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 4. Komet C/2014 Q2 Lovejoy bersama dengan gugus bintang Pleiades atau Tujuh Dara. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Saya mempersiapkan dua instrumen sederhana guna menyambut tamu ini. Instrumen pertama adalah teleskop pembias (refraktor) yang memiliki lensa obyektif berdiameter 70 mm dengan penyangga (mounting) ekuatorial manual. Dan yang kedua adalah sebuah kamera DSLR kelas konsumen bermerek Nikon D60 dengan lensa bawaannya. Adapter kamera-teleskop juga disiapkan, namun tidak diniatkan untuk digunakan. Musababnya dengan posisi komet yang cukup tinggi di langit pada saat pengamatan, yakni di sekitar titik zenith, penggabungan kamera DSLR dengan teleskop menimbulkan kesulitan teknis tersendiri mengingat bobot kamera yang relatif besar. Karena itu kamera dipasang tersendiri pada tripodnya, dengan lensa diatur pada bukaan terbesar (f-ratio terkecil) untuk setiap panjang fokus antara 18 mm hingga 55 mm. Fokus diatur secara manual. ISO dipilih pada nilai yang cukup besar, dalam hal ini saya menggunakan ISO 1600. Waktu penyinaran (pencahayaan) diatur antara 20 detik hingga 30 detik.

Observasi dilakukan dari halaman belakang rumah antara Jumat (9 Januari 2015 TU) hingga Minggu (11 Januari 2015 TU) malam, untuk kemudian dilanjutkan kembali pada Kamis 15 Januari 2015 TU. Semuanya berlangsung pada selang waktu antara pukul 21:00 hingga 00:00 WIB. Di hari pertama observasi terganggu oleh terangnya langit akibat pencahayaan Bulan yang baru saja lepas dari status purnama. Selain itu gangguan juga datang dari awan-awan tipis yang berarak-arak. Namun di hari kedua dan seterusnya, kedua gangguan tersebut relatif sangat berkurang. Sehingga observasi bila dilangsungkan dengan leluasa. Meski terletak di pinggiran kota, namun polusi cahaya relatif minimal sehingga tidak mengganggu.

Gambar 5. Komet C/2014 Q2 Lovejoy menggantung di langit barat dengan latar depan pohon mangga, pada observasi hari ketiga. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 5. Komet C/2014 Q2 Lovejoy menggantung di langit barat dengan latar depan pohon mangga, pada observasi hari ketiga. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Komet C/2014 Q2 Lovejoy relatif mudah ditemukan. Patokannya adalah rasi bintang Waluku (Orion), rasi bintang yang sangat populer dalam masyarakat agraris Indonesia sebagai penanda musim tanam padi di sawah/ladang pada waktu-waktu tertentu. Tepat di sebelah barat Waluku ini berdampingan dengan rasi bintang lain yang tak kalah populernya, yakni Taurus. Selain mengandung bintang raksasa merah Aldebaran yang menggetarkan (dimensinya 100 kali lipat lebih besar ketimbang Matahari dengan pelepasan energi 1.000 kali lipat lebih tinggi), Taurus juga dikenal dengan Tujuh Dara-nya atau Pleiades. Inilah gugus bintang yang secara kasat mata terdiri dari tujuh bintang lumayan terang, namun jika ditelaah lebih lanjut dengan teleskop termutakhir ternyata berisikan tak kurang dari 500 buah bintang. Posisi komet C/2014 Q2 Lovejoy tepat berada di rasi Taurus, sembari berangsur-angsur menjauhi Waluku.

Komet C/2014 Q2 Lovejoy terabadikan dalam kamera DSLR meski cukup redup. Ia hanya nampak sebagai bintik cahaya mirip bintang, namun bintik tersebut baur seakan berselimutkan kabut. Ini sangat berbeda dibandingkan bintang-bintang umumnya, yang tampil sebagai bintik cahaya tegas. Kabut tersebut menjadi penanda atmosfer temporer (coma) sang komet. Ciri menonjol lainnya adalah warnanya yang kehijauan, bertolak belakang dengan bintang-bintang umumnya yang putih kebiruan hingga kemerahan. Warna kehijauan ini merupakan produk dari eksitasi elektron-elektron dalam molekul karbon diatom (C2) dan sianogen (CN) di coma akibat pengaruh cahaya Matahari.

Gambar 6. Kiri: komet C/2014 Q2 Lovejoy pada observasi hari keempat, nampak menggantung di langit barat dengan latar depan pohon mangga. Kanan: perbesaran citra untuk area komet dan sekitarnya. Dibanding hari-hari sebelumnya, observasi di hari keempat ini menunjukkan komet berada dalam kondisi paling terang. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 6. Kiri: komet C/2014 Q2 Lovejoy pada observasi hari keempat, nampak menggantung di langit barat dengan latar depan pohon mangga. Kanan: perbesaran citra untuk area komet dan sekitarnya. Dibanding hari-hari sebelumnya, observasi di hari keempat ini menunjukkan komet berada dalam kondisi paling terang. Diabadikan dengan Nikon D60 dan diolah dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2015.

Pun demikian dalam teleskop. Komet C/2014 Q2 Lovejoy terlihat kasat mata menyerupai awan/kabut kecil yang tipis kehijauan, kontras dengan bintang-bintang umumnya yang selalu terlihat sebagai titik cahaya tegas. Perbandingan dengan bintang-bintang disekitarnya, baik dalam kamera DSLR maupun teleskop, mengindikasikan komet C/2014 Q2 Lovejoy memiliki magnitudo semu berkisar antara +5 (hari pertama) hingga +4 (hari terakhir). Sebagai pembanding, observasi Ehsan Rostamizadeh di Bidkhoun (Iran) pada 15 Januari 2015 TU menunjukkan komet C/2014 Q2 Lovejoy memiliki magnitudo semu +3,8. fakta ini menunjukkan bahwa komet C/2014 Q2 Lovejoy ternyata sedikit lebih terang dibanding apa yang semula diprediksikan.

Observasi komet C/2014 Q2 Lovejoy yang saya lakukan memang belum sanggup menguak ciri khas terpenting komet, yakni ekor baik dalam rupa ekor gas maupun debu. Komet C/2014 Q2 Lovejoy merupakan salah satu komet dengan ekor lumayan panjang, yang merentang sepanjang hingga 10 derajat di langit. Namun ekor ini sangat redup. Butuh teknik astrofotografi tersendiri untuk memunculkannya, yang tidak bisa dilakukan hanya dalam bingkai (frame) tunggal seperti yang saya lakukan. Terlepas dari keterbatasan tersebut, hasil-hasil observasi ini menunjukkan bahwa dengan instrumen yang sederhana dan biaya yang relatif terjangkau, komet C/2014 Q2 Lovejoy ternyata dapat diamati dengan baik dari hari ke hari.

Gambar 7. komet C/2014 Q2 Lovejoy (warna hijau) dalam sketsa, berdampingan dengan sebuah bintang redup anggota rasi bintang Taurus saat diamati dengan teleskop pada observasi hari keempat. Sumber: Sudibyo, 2015.

Gambar 7. komet C/2014 Q2 Lovejoy (warna hijau) dalam sketsa, berdampingan dengan sebuah bintang redup anggota rasi bintang Taurus saat diamati dengan teleskop pada observasi hari keempat. Sumber: Sudibyo, 2015.

Dalam catatan saya pribadi, komet C/2014 Q2 Lovejoy merupakan komet kedua yang pernah saya amati baik melalui teleskop maupun kamera DSLR setelah komet ISON (C/2012 S1) pada November 2013 TU silam.