Inilah kecelakaan pesawat terbang besar ketiga di Indonesia hanya dalam sepuluh bulan kalender terakhir terhitung sejak Desember 2014 Tarikh Umum (TU). Kecelakaan tersebut melibatkan pesawat turboprop (berbaling-baling) ATR 42-300 nomor registrasi PK-YRN yang telah berumur 27 tahun (terbang perdana 28 Mei 1988 TU). Pesawat milik maskapai Trigana Air Service dalam penerbangan TGN267 atau IL267 yang melayani rute perintis Jayapura-Oksibil itu ditemukan hancur terbakar di lereng curam berhutan perawan di salah satu sudut Pegunungan Jayawijaya kala Indonesia dalam euforia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Dari 54 orang yang ada didalamnya, mencakup 49 penumpang dan 5 awak pesawat, dipastikan tak ada satupun yang selamat.
Dunia penerbangan Indonesia pun kembali berduka, setelah sebelumnya diharu-birukan kecelakaan AirAsia Penerbangan QZ8501 28 Desember 2014 TU yang menewaskan 166 orang dan kecelakaan Hercules C-130 A-1310 TNI-AU 30 Juni 2015 TU dengan korban tewas 139 orang. Dua kecelakaan tersebut pun sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan. KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) rencananya baru akan menyampaikan laporan final penyelidikan kecelakaan AirAsia Penerbangan QZ8501 pada Oktober 2015 TU mendatang. Sebaliknya belum ada informasi kapan PPKPT (Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang) atau tim penyelidik ad-hoc sejenis yang dibentuk TNI-AU bakal menyampaikan laporan kecelakaan Hercules C-130 A-1310, meski tak ada keharusan untuk memaparkannya ke publik karena faktor rahasia militer.
Apa yang terjadi dengan Trigana Penerbangan IL267?
Jatuh di Celah
Pesawat berbaling-baling bermesin dua ini lepas landas dari bandara Sentani, kota Jayapura (propinsi Papua) pada Minggu 16 Agustus 2015 TU pukul 14:21 WIT. Ia melesat ke arah selatan melewati bentanglahan pucuk-pucuk Pegunungan Jayawijaya untuk mendarat di bandara Oksibil, kabupaten Pegunungan Bintang (propinsi Papua). Seharusnya pesawat ini sudah tiba di Oksibil pada pukul 15:16 WIT. Namun 21 menit sebelum dijadwalkan tiba, tepatnya pada pukul 14:55 WIT, menara bandara Oksibil kehilangan komunikasi dengan pesawat. Setelah menanti waktu hingga prakiraan habisnya bahan bakar pesawat dan tidak mendapat kabar pendaratan darurat di bandara-bandara perintis lainnya di kawasan Pegunungan Jayawijaya, Trigana Air Service penerbangan IL267 pun dinyatakan hilang.
Tanpa membuang waktu, BASARNAS (Badan SAR Nasional) lewat Kantor SAR Jayapura segera menggelar pencarian melalui udara sejak pukul 15:30 WITA. Pencarian hari itu tak membuahkan hasil seiring turunnya kabut tebal yang menyelimuti hutan di area pencarian. Di hari berikutnya, barulah pencarian udara menemukan titik terang. Pada koordinat 4°49’26” LS 140°29’4″ BT terdeteksi adanya bagian hutan yang terbakar seluas sekitar 20 x 100 meter persegi pada elevasi 2.700 meter dpl (dari paras laut rata-rata). Didalamnya terlihat sejumlah keping berserakan. Titik ini terletak di lereng curam (kemiringan sekitar 45°) dalam jarak 19 kilometer (10 nautical mil) sebelah barat laut bandara Oksibil. Lokasi ini masih menjadi bagian dari lembah memanjang yang menerus ke arah bandara Oksibil. Lembah ini merupakan celah yang menjadi jalan masuk bagi pesawat-pesawat yang hendak mendarat di bandara maupun yang hendak keluar darinya. Tim evakuasi yang menyusuri jalur darat dari bandara Oksibil baru mencapai lokasi reruntuhan pada Selasa 18 Agustus 2015 TU. Didapati pesawat telah hancur total dan tak ada satupun penumpang/awaknya yang selamat.
Selain para korban, tim evakuasi juga telah menemukan kedua komponen kotak hitam pesawat. Komponen pertama berupa CVR (cockpit voice recorder) atau perekam suara kokpit ditemukan pada Rabu 19 Agustus 2015 TU. Sementara komponen kedua yakni FDR (flight data recorder) atau perekam data penerbangan menyusul ditemukan sehari kemudian. BASARNAS telah menyerahkan kedua temuan ini kepada KNKT. Selanjutnya menjadi tugas KNKT untuk menguak faktor-faktor penyebab jatuhnya pesawat ATR 42-300 ini. Selain mengandalkan kotak hitam, idealnya penyelidikan juga melibatkan analisa kepingan-kepingan pesawat. Namun dengan lokasi kejadian di belantara Pegunungan Jawawijaya yang sulit dijangkau, hampir tak mungkin untuk mengangkut kepingan-kepingan pesawat ATR 42-300 yang naas itu ke bandara terdekat. Kecuali komponen-komponen kunci. Sehingga penyelidikan KNKT mungkin akan lebih bertumpu pada hasil analisis CVR dan FDR.
Tanpa bermaksud mendahului kerja KNKT, umumnya analisis kecelakaan pesawat terbang melibatkan analisis cuaca setempat saat kejadian. Sayangnya kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil tidak tercakup dalam layanan informasi cuaca penerbangan yang disajikan Kantor BMKG Jayapura. Padahal sebagai kawasan pegunungan, sistem cuaca di sini kerap terlokalisir atau hanya terjadi pada satu kawasan sempit saja. Misalnya kabut, yang kerap hanya menutupi lembah-lembah pegunungan saja tanpa menutupi puncaknya, Padahal kabut sangat membatasi jarak pandang disana. Secara umum, citra satelit cuaca dalam kanal inframerah seperti disajikan RealEarth menunjukkan kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil pada saat kejadian tidak ditutupi awan tebal. Tutupan awan tipis memang terdeteksi di kawasan Pegunungan Jayawijaya (termasuk Oksibil) hingga ke dataran rendah di sebelah selatannya. Namun satelit cuaca tidak berkemampuan mendeteksi kabut, apalagi yang terlokalisir di lembah pegunungan.
Selain cuaca setempat saat kejadian, sejarah pesawat yang naas umumnya juga menjadi bahan penyelidikan tim KNKT. Dan sejarah pesawat ATR 42-300 ini menarik. Sebelum dimiliki maskapai Trigana Air Service dan menyandang nomor registrasi PK-YRN semenjak 21 Januari 2005 TU, pesawat ini sehari-harinya bertugas di daratan Amerika Serikat. Ia melayani penerbangan domestik dengan nomor registrasi N421TE dan dimiliki oleh maskapai Trans States Airlines semenjak 1 Oktober 1989 TU. Dalam catatan AviationSafetyNetwork, selama dioperasikan Trans States Airlines pesawat ini telah mengalami enam kali insiden.
Pada 13 Desember 1990 TU, dua rodanya meletus kala pesawat mendarat tak mulus di bandara Madison (negara bagian Wisconsin). Selanjutnya pada 16 Juni 1997 terjadi kebocoran pada saluran udara bertekanan dari mesin kiri saat pesawat hendak mengudara dari bandara St. Louis (negara bagian Missouri). Kebocoran mengecoh alarm peringatan dini kebakaran, sehingga memaksa penumpang dievakuasi. Mesin kiri pesawat ini kembali bermasalah pada 8 Agustus 199 TU saat alarm peringatan menyala akibat rendahnya tekanan oli mesin. Sehingga mesin kiri terpaksa dimatikan dan pesawat dialihkan untuk mendarat di Springfield (negara bagian Illinois). Pada 23 Juli 200 TU, pesawat dipaksa mendarat darurat kembali setelah kru pesawat mengalami kesulitan dalam mengemudikan pesawat. Penyelidikan menunjukkan terjadi kegagalan pada aileron akibat kontaminasi bahan asing. Pendaratan darurat lagi-lagi terjadi pada 5 Februari 2003 TU di bandara Bloomington (negara bagian Illinois). Kali ini setelah kru pesawat melihat kepulan asap dan mencium baunya. hanya setengah bulan kalender kemudian, tepatnya pada 23 Februari 2003 TU, pesawat kembali mengalami insiden. Kala bersiap terbang dari bandara St. Louis, poros roda depan pesawat mendadak pecah hingga roda kanannya pun mencelat lepas.
Pembanding: Merpati
19 kilometer sebelah timur laut dari lokasi jatuhnya pesawat ATR 42-300 PK-YRN ini terdapat titik jatuhnya pesawat lain dalam kecelakaan di masa silam. Yakni pesawat turboprop DHC-6 Twin Otter nomor registrasi PK-NVC milik maskapai Merpati Nusantara Airline. Pada Minggu 2 Agustus 2009 TU, pesawat yang sedang dalam Penerbangan MZ9760D dari bandara Sentani menghilang di tengah perjalanan hanya sekitar 15 menit sebelum tiba di bandara Oksibil. Dua hari kemudian reruntuhannya ditemukan di hutan belantara pada ketinggian 2.800 meter dpl sejarak 23 kilometer sebelah utara bandara Oksibil. Seluruh 15 orang didalamnya tewas.
Pesawat Twin Otter naas itu tak dilengkapi FDR. Ia hanya mengangkut CVR, mengikuti peraturan yang ditetapkan di Indonesia. Meski hanya bertumpu pada CVR ini, investigasi KNKT berhasil menguak mengapa Twin Otter PK-NVC ini jatuh. Penerbangan menuju bandara Oksibil pada dasarnya berbasis aturan penerbangan visual (mengandalkan mata). Sebab kinerja radas (instrumen) bantu pengingat ketinggian jelajah seperti EGPWS (enhanced ground proximity warning systems) yang berbasis radar, GPS (global positioning system) yang berbasis satelit navigasi maupun altimeter radio (radar) tidak efektif di sini. Penerbangan MZ9760D yang naas itu pun merupakan penerbangan visual.
Rekaman suara CVR menunjukkan sekitar 20 menit sebelum jatuh, kru Twin Otter PK-NVC berkomunikasi dengan pesawat Hercules C-130 TNI-AU yang baru saja mengudara dari Oksibil. Kru Hercules menginformasikan sebagian langit Oksibil ditutupi awan, dengan dasar awan pada ketinggian 1.800 hingga 2.100 meter dpl. Mereka juga menginformasikan celah di utara Oksibil pun ditutupi awan mengingat pucuk awan yang menutupi Oksibil menjulang hingga ketinggian 3.800 meter dpl. Praktis Penerbangan MZ9760D saat itu akan memasuki awan. Kru Hercules menyarankan agar Twin Otter PK-NVC memutar melalui waypoint Kiwirok yang langitnya relatif lebih cerah. 10 menit kemudian pilot Twin Otter PK-NVC memutuskan akan melewati waypoint Kiwirok bila mereka gagal menemukan celah secara visual. Akan tetapi hingga 8 menit kemudian kopilot masih kesulitan menemukan lokasi celah seiring tutupan awan dan kabut. Kepungan awan juga nampaknya membuat kru Twin Otter PK-NVC kesulitan menentukan posisi mereka. Hanya 50 detik sebelum jatuh, pilot memutuskan berbelok ke kiri dan lantas naik ke ketinggian jelajah 3.050 meter dpl. Eksekusinya dilaksanakan hanya dalam 13 detik sebelum jatuh, ditandai dengan mengerasnya suara mesin. Keputusan diambil tanpa menyadari bahwa pesawat sebenarnya langsung mengarah ke tebing. Dari jejak reruntuhannya, terlihat Twin Otter PK-NVC ini memang sedang menikung ke kiri pada saat menubruk tebing.
KNKT mengkategorikan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Penerbangan MZ9760D ini sebagai kasus controlled flight into terrain. Yakni kecelakaan dimana kru pesawat (khususnya pilot dan kopilot) masih tetap sepenuhnya mengendalikan pesawatnya namun secara tak sengaja justru mengarahkan pesawatnya ke tanah, gunung, perairan atau penghambat (obstacles) tertentu. Kru pesawat umumnya baru sadar akan terjadi kecelakaan pada detik-detik terakhir, atau malah tak pernah menyadarinya sama sekali. Dalam kecelakaan controlled flight into terrain ini, pesawat sepenuhnya laik terbang dan sama sekali tak mengalami kerusakan teknis. Kru pesawat juga tak melakukan kesalahan insani. Contoh kecelakaan controlled flight into terrain di Indonesia adalah saat pesawat Airbus A300 B4-220 nomor registrasi PK-GAI Garuda Indonesia Penerbangan GA152 menubruk bukit di Buah Nabar, dekat Medan (propinsi Sumatra Utara) pada 26 September 1997 TU. Sampai saat ini kecelakaan tersebut masih menjadi kecelakaan pesawat paling mematikan di Indonesia dengan korban jiwa 234 orang. Kasus terkini kecelakaan controlled flight into terrain adalah saat pesawat Sukhoi SuperJet-100 RRJ-95B nomor registrasi 97004 yang menubruk puncak Gunung Salak di dekat Bogor (propinsi Jawa Barat) pada 9 Mei 2012 TU dengan korban jiwa 45 orang.
KNKT menyimpulkan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara penerbangan MZ9760D terjadi akibat pesawat, yang terbang dalam aturan penerbangan visual, melaju ke dalam awan saat hendak memulai prosedur pendaratan ke bandara Oksibil yang terletak pada lembah di tengah-tengah Pegunungan Jayawijaya. Selagi di dalam awan, kru pesawat tidak mempertahankan prosedur penerbangan visual secara cermat, terlebih pesawat sedang melaju ke arah celah yang menjadi pintu masuk ke bandara Oksibil.
Apakah kecelakaan ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service penerbangan IL267 serupa dengan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara penerbangan MZ9760D? KNKT lah yang akan menjawabnya. Yang jelas kecelakaan ini kembali mengingatkan pada sejumlah rekomendasi KNKT dalam menyikapi kejadian kecelakaan Twin Otter PK-NVC penerbangan MZ9760D. Di antaranya karakteristik penerbangan sipil di Papua yang khas. Banyak distrik/daerah di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan lalu lintas udara. Dan di distrik/daerah tersebut hanya tersedia landasan udara yang sangat sederhana dan menantang. Ada yang memiliki landasan pendek dan miring pada elevasi yang cukup tinggi dipagari bukit-bukit yang puncaknya kerap tertutupi awan. Ada pula yang terletak di dalam sebuah ceruk berlereng dipagari bukit-bukit di kanan-kirinya. Ada juga yang terletak di dalam lembah antar pegunungan. Karakteristik demikian memaksa penerbangan yang melayaninya bertumpu pada aturan penerbangan visual, yang membutuhkan cuaca cerah. Salah satu rekomendasi KNKT adalah untuk menyediakan layanan informasi cuaca pada segenap area yang dilayani penerbangan sipil. Termasuk kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil.
Di sisi lain, kecelakaan Trigana Air Service penerbangan IL267 kembali mengingatkan bahwa dunia penerbangan sipil di Indonesia masih berada di bawah nilai rata-rata keselamatan global. Tingkat insiden dan kecelakaan disini tergolong tinggi. Dalam catatan Arnold Barnet, statistikawan MIT (Massachussetts Institute of Techology), dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kematian penumpang penerbangan sipil di Indonesia adalah 25 kali lipat lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat. Yakni rata-rata seorang per sejuta penumpang. Catatan lain yang disodorkan Tony Tyler dari IATA (International Air Transport Association) tak kalah mengenaskannya. Dikatakan, Indonesia kehilangan sedikitnya satu pesawat berukuran besar dalam setiap tahunnya terhitung sejak 2010 TU. Langkah-langkah perbaikan tentu harus dilakukan. Bagi Trigana Air Service sendiri, kecelakaan ini adalah yang paling mematikan sepanjang sejarah berdirinya maskapai tersebut dalam kurun seperempat abad terakhir. Sedangkan bagi pesawat ATR 42 dan variannya, kecelakaan ini juga menjadi kecelakaan yang paling mematikan semenjak ATR 42 mulai mengudara 31 tahun silam.
Referensi :
AviationSafetyNetwork. 2015. ASN Aircraft Accident ATR 42-300 PK-YRN Oksibil.
CNN. 2015. Trigana Plane Crash, How Safe are Indonesian Airlines? Reportase Tiffany Ap, 17 Agustus 2015.
KNKT. 2010. Aircraft Accident Investigation Report, PT Merpati Nusantara Airline De Haviland DHC6 Twin Otter PK-NVC, Near Ambisil/Okbibab Papua, Republic of Indonesia, 2 August 2009.