Pesawat ATR 42 Trigana Terhempas di Jayawijaya

Inilah kecelakaan pesawat terbang besar ketiga di Indonesia hanya dalam sepuluh bulan kalender terakhir terhitung sejak Desember 2014 Tarikh Umum (TU). Kecelakaan tersebut melibatkan pesawat turboprop (berbaling-baling) ATR 42-300 nomor registrasi PK-YRN yang telah berumur 27 tahun (terbang perdana 28 Mei 1988 TU). Pesawat milik maskapai Trigana Air Service dalam penerbangan TGN267 atau IL267 yang melayani rute perintis Jayapura-Oksibil itu ditemukan hancur terbakar di lereng curam berhutan perawan di salah satu sudut Pegunungan Jayawijaya kala Indonesia dalam euforia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Dari 54 orang yang ada didalamnya, mencakup 49 penumpang dan 5 awak pesawat, dipastikan tak ada satupun yang selamat.

Gambar 1. Pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service, saat diparkir di apron bandara Mutiara, Labuhan Bajo (propinsi Nusa Tenggara Timur) pada 29 September 2008 TU usai bertugas (atas). Inilah pesawat yang mengangkut 54 orang dan jatuh di salah satu sudut Pegunungan Jayawijaya pada 16 Agustus 2015 TU. Lokasi jatukecelakaan ditemukan sehari kemudian, namun tim SAR darat baru bisa menjangkaunya dalam dua hari kemudian (bawah). Sumber: AviationSafetyNetwork, 2015 & Agence France-Presse, 2015.

Gambar 1. Pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service, saat diparkir di apron bandara Mutiara, Labuhan Bajo (propinsi Nusa Tenggara Timur) pada 29 September 2008 TU usai bertugas (atas). Inilah pesawat yang mengangkut 54 orang dan jatuh di salah satu sudut Pegunungan Jayawijaya pada 16 Agustus 2015 TU. Lokasi jatukecelakaan ditemukan sehari kemudian, namun tim SAR darat baru bisa menjangkaunya dalam dua hari kemudian (bawah). Sumber: AviationSafetyNetwork, 2015 & Agence France-Presse, 2015.

Dunia penerbangan Indonesia pun kembali berduka, setelah sebelumnya diharu-birukan kecelakaan AirAsia Penerbangan QZ8501 28 Desember 2014 TU yang menewaskan 166 orang dan kecelakaan Hercules C-130 A-1310 TNI-AU 30 Juni 2015 TU dengan korban tewas 139 orang. Dua kecelakaan tersebut pun sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan. KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) rencananya baru akan menyampaikan laporan final penyelidikan kecelakaan AirAsia Penerbangan QZ8501 pada Oktober 2015 TU mendatang. Sebaliknya belum ada informasi kapan PPKPT (Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang) atau tim penyelidik ad-hoc sejenis yang dibentuk TNI-AU bakal menyampaikan laporan kecelakaan Hercules C-130 A-1310, meski tak ada keharusan untuk memaparkannya ke publik karena faktor rahasia militer.

Apa yang terjadi dengan Trigana Penerbangan IL267?

Jatuh di Celah

Pesawat berbaling-baling bermesin dua ini lepas landas dari bandara Sentani, kota Jayapura (propinsi Papua) pada Minggu 16 Agustus 2015 TU pukul 14:21 WIT. Ia melesat ke arah selatan melewati bentanglahan pucuk-pucuk Pegunungan Jayawijaya untuk mendarat di bandara Oksibil, kabupaten Pegunungan Bintang (propinsi Papua). Seharusnya pesawat ini sudah tiba di Oksibil pada pukul 15:16 WIT. Namun 21 menit sebelum dijadwalkan tiba, tepatnya pada pukul 14:55 WIT, menara bandara Oksibil kehilangan komunikasi dengan pesawat. Setelah menanti waktu hingga prakiraan habisnya bahan bakar pesawat dan tidak mendapat kabar pendaratan darurat di bandara-bandara perintis lainnya di kawasan Pegunungan Jayawijaya, Trigana Air Service penerbangan IL267 pun dinyatakan hilang.

Gambar 2. Lokasi jatuhnya pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service dalam peta berbasis citra satelit. Di dekatnya juga terdapat lokasi jatuhnya pesawat Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara yang terjadi pada 2 Agustus 2009 TU silam. Garis putus-putus menandakan lintasan yang seyogyanya ditempuh setiap pesawat kala melintasi celah guna mendarat di bandara Oksibil. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth.

Gambar 2. Lokasi jatuhnya pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service dalam peta berbasis citra satelit. Di dekatnya juga terdapat lokasi jatuhnya pesawat Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara yang terjadi pada 2 Agustus 2009 TU silam. Garis putus-putus menandakan lintasan yang seyogyanya ditempuh setiap pesawat kala melintasi celah guna mendarat di bandara Oksibil. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth.

Tanpa membuang waktu, BASARNAS (Badan SAR Nasional) lewat Kantor SAR Jayapura segera menggelar pencarian melalui udara sejak pukul 15:30 WITA. Pencarian hari itu tak membuahkan hasil seiring turunnya kabut tebal yang menyelimuti hutan di area pencarian. Di hari berikutnya, barulah pencarian udara menemukan titik terang. Pada koordinat 4°49’26” LS 140°29’4″ BT terdeteksi adanya bagian hutan yang terbakar seluas sekitar 20 x 100 meter persegi pada elevasi 2.700 meter dpl (dari paras laut rata-rata). Didalamnya terlihat sejumlah keping berserakan. Titik ini terletak di lereng curam (kemiringan sekitar 45°) dalam jarak 19 kilometer (10 nautical mil) sebelah barat laut bandara Oksibil. Lokasi ini masih menjadi bagian dari lembah memanjang yang menerus ke arah bandara Oksibil. Lembah ini merupakan celah yang menjadi jalan masuk bagi pesawat-pesawat yang hendak mendarat di bandara maupun yang hendak keluar darinya. Tim evakuasi yang menyusuri jalur darat dari bandara Oksibil baru mencapai lokasi reruntuhan pada Selasa 18 Agustus 2015 TU. Didapati pesawat telah hancur total dan tak ada satupun penumpang/awaknya yang selamat.

Selain para korban, tim evakuasi juga telah menemukan kedua komponen kotak hitam pesawat. Komponen pertama berupa CVR (cockpit voice recorder) atau perekam suara kokpit ditemukan pada Rabu 19 Agustus 2015 TU. Sementara komponen kedua yakni FDR (flight data recorder) atau perekam data penerbangan menyusul ditemukan sehari kemudian. BASARNAS telah menyerahkan kedua temuan ini kepada KNKT. Selanjutnya menjadi tugas KNKT untuk menguak faktor-faktor penyebab jatuhnya pesawat ATR 42-300 ini. Selain mengandalkan kotak hitam, idealnya penyelidikan juga melibatkan analisa kepingan-kepingan pesawat. Namun dengan lokasi kejadian di belantara Pegunungan Jawawijaya yang sulit dijangkau, hampir tak mungkin untuk mengangkut kepingan-kepingan pesawat ATR 42-300 yang naas itu ke bandara terdekat. Kecuali komponen-komponen kunci. Sehingga penyelidikan KNKT mungkin akan lebih bertumpu pada hasil analisis CVR dan FDR.

Gambar 3. Penampang rupabumi Pegunungan Jayawijaya dalam garis lurus di antara bandara Oksibil hingga lokasi kecelakaan pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service. Angka-angka horizontal menunjukkan jarak dari bandara (dalam meter), sementara angka-angka vertikal adalah elevasi dari paras laut rata-rata (dalam meter). Garis putus-putus menunjukkan prakiraan penurunan ketinggian yang seharusnya dijalani pesawat bila hendak mendarat dengan aman di bandara Oksibil. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth.

Gambar 3. Penampang rupabumi Pegunungan Jayawijaya dalam garis lurus di antara bandara Oksibil hingga lokasi kecelakaan pesawat ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service. Angka-angka horizontal menunjukkan jarak dari bandara (dalam meter), sementara angka-angka vertikal adalah elevasi dari paras laut rata-rata (dalam meter). Garis putus-putus menunjukkan prakiraan penurunan ketinggian yang seharusnya dijalani pesawat bila hendak mendarat dengan aman di bandara Oksibil. Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth.

Tanpa bermaksud mendahului kerja KNKT, umumnya analisis kecelakaan pesawat terbang melibatkan analisis cuaca setempat saat kejadian. Sayangnya kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil tidak tercakup dalam layanan informasi cuaca penerbangan yang disajikan Kantor BMKG Jayapura. Padahal sebagai kawasan pegunungan, sistem cuaca di sini kerap terlokalisir atau hanya terjadi pada satu kawasan sempit saja. Misalnya kabut, yang kerap hanya menutupi lembah-lembah pegunungan saja tanpa menutupi puncaknya, Padahal kabut sangat membatasi jarak pandang disana. Secara umum, citra satelit cuaca dalam kanal inframerah seperti disajikan RealEarth menunjukkan kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil pada saat kejadian tidak ditutupi awan tebal. Tutupan awan tipis memang terdeteksi di kawasan Pegunungan Jayawijaya (termasuk Oksibil) hingga ke dataran rendah di sebelah selatannya. Namun satelit cuaca tidak berkemampuan mendeteksi kabut, apalagi yang terlokalisir di lembah pegunungan.

Selain cuaca setempat saat kejadian, sejarah pesawat yang naas umumnya juga menjadi bahan penyelidikan tim KNKT. Dan sejarah pesawat ATR 42-300 ini menarik. Sebelum dimiliki maskapai Trigana Air Service dan menyandang nomor registrasi PK-YRN semenjak 21 Januari 2005 TU, pesawat ini sehari-harinya bertugas di daratan Amerika Serikat. Ia melayani penerbangan domestik dengan nomor registrasi N421TE dan dimiliki oleh maskapai Trans States Airlines semenjak 1 Oktober 1989 TU. Dalam catatan AviationSafetyNetwork, selama dioperasikan Trans States Airlines pesawat ini telah mengalami enam kali insiden.

Gambar 4. Citra satelit cuaca dalam kanal inframerah untuk pulau Irian pada 16 Agustus 2015 TU antara pukul 04:00 hingga 06:00 UTC (13:00 hingga 15:00 WIT). Nampak Pegunungan Jayawijaya bagian timur ditutupi awan tipis hingga ke dataran rendah di sisi selatannya. Sumber: RealEarth, 2015.

Gambar 4. Citra satelit cuaca dalam kanal inframerah untuk pulau Irian pada 16 Agustus 2015 TU antara pukul 04:00 hingga 06:00 UTC (13:00 hingga 15:00 WIT). Nampak Pegunungan Jayawijaya bagian timur ditutupi awan tipis hingga ke dataran rendah di sisi selatannya. Sumber: RealEarth, 2015.

Pada 13 Desember 1990 TU, dua rodanya meletus kala pesawat mendarat tak mulus di bandara Madison (negara bagian Wisconsin). Selanjutnya pada 16 Juni 1997 terjadi kebocoran pada saluran udara bertekanan dari mesin kiri saat pesawat hendak mengudara dari bandara St. Louis (negara bagian Missouri). Kebocoran mengecoh alarm peringatan dini kebakaran, sehingga memaksa penumpang dievakuasi. Mesin kiri pesawat ini kembali bermasalah pada 8 Agustus 199 TU saat alarm peringatan menyala akibat rendahnya tekanan oli mesin. Sehingga mesin kiri terpaksa dimatikan dan pesawat dialihkan untuk mendarat di Springfield (negara bagian Illinois). Pada 23 Juli 200 TU, pesawat dipaksa mendarat darurat kembali setelah kru pesawat mengalami kesulitan dalam mengemudikan pesawat. Penyelidikan menunjukkan terjadi kegagalan pada aileron akibat kontaminasi bahan asing. Pendaratan darurat lagi-lagi terjadi pada 5 Februari 2003 TU di bandara Bloomington (negara bagian Illinois). Kali ini setelah kru pesawat melihat kepulan asap dan mencium baunya. hanya setengah bulan kalender kemudian, tepatnya pada 23 Februari 2003 TU, pesawat kembali mengalami insiden. Kala bersiap terbang dari bandara St. Louis, poros roda depan pesawat mendadak pecah hingga roda kanannya pun mencelat lepas.

Pembanding: Merpati

19 kilometer sebelah timur laut dari lokasi jatuhnya pesawat ATR 42-300 PK-YRN ini terdapat titik jatuhnya pesawat lain dalam kecelakaan di masa silam. Yakni pesawat turboprop DHC-6 Twin Otter nomor registrasi PK-NVC milik maskapai Merpati Nusantara Airline. Pada Minggu 2 Agustus 2009 TU, pesawat yang sedang dalam Penerbangan MZ9760D dari bandara Sentani menghilang di tengah perjalanan hanya sekitar 15 menit sebelum tiba di bandara Oksibil. Dua hari kemudian reruntuhannya ditemukan di hutan belantara pada ketinggian 2.800 meter dpl sejarak 23 kilometer sebelah utara bandara Oksibil. Seluruh 15 orang didalamnya tewas.

Pesawat Twin Otter naas itu tak dilengkapi FDR. Ia hanya mengangkut CVR, mengikuti peraturan yang ditetapkan di Indonesia. Meski hanya bertumpu pada CVR ini, investigasi KNKT berhasil menguak mengapa Twin Otter PK-NVC ini jatuh. Penerbangan menuju bandara Oksibil pada dasarnya berbasis aturan penerbangan visual (mengandalkan mata). Sebab kinerja radas (instrumen) bantu pengingat ketinggian jelajah seperti EGPWS (enhanced ground proximity warning systems) yang berbasis radar, GPS (global positioning system) yang berbasis satelit navigasi maupun altimeter radio (radar) tidak efektif di sini. Penerbangan MZ9760D yang naas itu pun merupakan penerbangan visual.

Gambar 5. Reruntuhan pesawat Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara, yang jatuh pada 2 Agustus 2009 TU di sudut Pegunungan Jayawijaya dalam jarak sekitar 19 kilometer dari lokasi kecelakaan ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service. Kedua kecelakaan tersebut terjadi tatkala kedua pesawat juga sama-sama sedang memasuki celah yang mengarah ke bandara Oksibil. Kecelakaan Merpati merupakan kasus controlloed flight into terrain. Sumber: KNKT, 2010.

Gambar 5. Reruntuhan pesawat Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara, yang jatuh pada 2 Agustus 2009 TU di sudut Pegunungan Jayawijaya dalam jarak sekitar 19 kilometer dari lokasi kecelakaan ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service. Kedua kecelakaan tersebut terjadi tatkala kedua pesawat juga sama-sama sedang memasuki celah yang mengarah ke bandara Oksibil. Kecelakaan Merpati merupakan kasus controlloed flight into terrain. Sumber: KNKT, 2010.

Rekaman suara CVR menunjukkan sekitar 20 menit sebelum jatuh, kru Twin Otter PK-NVC berkomunikasi dengan pesawat Hercules C-130 TNI-AU yang baru saja mengudara dari Oksibil. Kru Hercules menginformasikan sebagian langit Oksibil ditutupi awan, dengan dasar awan pada ketinggian 1.800 hingga 2.100 meter dpl. Mereka juga menginformasikan celah di utara Oksibil pun ditutupi awan mengingat pucuk awan yang menutupi Oksibil menjulang hingga ketinggian 3.800 meter dpl. Praktis Penerbangan MZ9760D saat itu akan memasuki awan. Kru Hercules menyarankan agar Twin Otter PK-NVC memutar melalui waypoint Kiwirok yang langitnya relatif lebih cerah. 10 menit kemudian pilot Twin Otter PK-NVC memutuskan akan melewati waypoint Kiwirok bila mereka gagal menemukan celah secara visual. Akan tetapi hingga 8 menit kemudian kopilot masih kesulitan menemukan lokasi celah seiring tutupan awan dan kabut. Kepungan awan juga nampaknya membuat kru Twin Otter PK-NVC kesulitan menentukan posisi mereka. Hanya 50 detik sebelum jatuh, pilot memutuskan berbelok ke kiri dan lantas naik ke ketinggian jelajah 3.050 meter dpl. Eksekusinya dilaksanakan hanya dalam 13 detik sebelum jatuh, ditandai dengan mengerasnya suara mesin. Keputusan diambil tanpa menyadari bahwa pesawat sebenarnya langsung mengarah ke tebing. Dari jejak reruntuhannya, terlihat Twin Otter PK-NVC ini memang sedang menikung ke kiri pada saat menubruk tebing.

KNKT mengkategorikan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Penerbangan MZ9760D ini sebagai kasus controlled flight into terrain. Yakni kecelakaan dimana kru pesawat (khususnya pilot dan kopilot) masih tetap sepenuhnya mengendalikan pesawatnya namun secara tak sengaja justru mengarahkan pesawatnya ke tanah, gunung, perairan atau penghambat (obstacles) tertentu. Kru pesawat umumnya baru sadar akan terjadi kecelakaan pada detik-detik terakhir, atau malah tak pernah menyadarinya sama sekali. Dalam kecelakaan controlled flight into terrain ini, pesawat sepenuhnya laik terbang dan sama sekali tak mengalami kerusakan teknis. Kru pesawat juga tak melakukan kesalahan insani. Contoh kecelakaan controlled flight into terrain di Indonesia adalah saat pesawat Airbus A300 B4-220 nomor registrasi PK-GAI Garuda Indonesia Penerbangan GA152 menubruk bukit di Buah Nabar, dekat Medan (propinsi Sumatra Utara) pada 26 September 1997 TU. Sampai saat ini kecelakaan tersebut masih menjadi kecelakaan pesawat paling mematikan di Indonesia dengan korban jiwa 234 orang. Kasus terkini kecelakaan controlled flight into terrain adalah saat pesawat Sukhoi SuperJet-100 RRJ-95B nomor registrasi 97004 yang menubruk puncak Gunung Salak di dekat Bogor (propinsi Jawa Barat) pada 9 Mei 2012 TU dengan korban jiwa 45 orang.
KNKT menyimpulkan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara penerbangan MZ9760D terjadi akibat pesawat, yang terbang dalam aturan penerbangan visual, melaju ke dalam awan saat hendak memulai prosedur pendaratan ke bandara Oksibil yang terletak pada lembah di tengah-tengah Pegunungan Jayawijaya. Selagi di dalam awan, kru pesawat tidak mempertahankan prosedur penerbangan visual secara cermat, terlebih pesawat sedang melaju ke arah celah yang menjadi pintu masuk ke bandara Oksibil.

Gambar 6. Contoh awan yang menutupi lembah antar pegunungan (celah), yang kerap ditemui di lingkungan Pegunungan Jayawijaya. Tutupan awan semacam ini membuat penerbangan visual menuju ke bandara yang (misalnya) terletak dalam lembah tersebut menjadi mustahil dilaksanakan. Sumber: KNKT, 2010.

Gambar 6. Contoh awan yang menutupi lembah antar pegunungan (celah), yang kerap ditemui di lingkungan Pegunungan Jayawijaya. Tutupan awan semacam ini membuat penerbangan visual menuju ke bandara yang (misalnya) terletak dalam lembah tersebut menjadi mustahil dilaksanakan. Sumber: KNKT, 2010.

Apakah kecelakaan ATR 42-300 PK-YRN Trigana Air Service penerbangan IL267 serupa dengan kecelakaan Twin Otter PK-NVC Merpati Nusantara penerbangan MZ9760D? KNKT lah yang akan menjawabnya. Yang jelas kecelakaan ini kembali mengingatkan pada sejumlah rekomendasi KNKT dalam menyikapi kejadian kecelakaan Twin Otter PK-NVC penerbangan MZ9760D. Di antaranya karakteristik penerbangan sipil di Papua yang khas. Banyak distrik/daerah di pedalaman Papua yang hanya bisa dijangkau dengan lalu lintas udara. Dan di distrik/daerah tersebut hanya tersedia landasan udara yang sangat sederhana dan menantang. Ada yang memiliki landasan pendek dan miring pada elevasi yang cukup tinggi dipagari bukit-bukit yang puncaknya kerap tertutupi awan. Ada pula yang terletak di dalam sebuah ceruk berlereng dipagari bukit-bukit di kanan-kirinya. Ada juga yang terletak di dalam lembah antar pegunungan. Karakteristik demikian memaksa penerbangan yang melayaninya bertumpu pada aturan penerbangan visual, yang membutuhkan cuaca cerah. Salah satu rekomendasi KNKT adalah untuk menyediakan layanan informasi cuaca pada segenap area yang dilayani penerbangan sipil. Termasuk kawasan di antara bandara Sentani dan Oksibil.

Gambar 7. Contoh landasan udara khas yang hanya dijumpai di kawasan Pegunungan Jayawijaya, pulau Irian. Mulai dari landasan pendek miring pada elevasi cukup tinggi dan dipagari bukit-bukit yang puncaknya kerap tertutupi awan (kiri). Hingga landasan yang terletak dalam lembah antar pegunungan di tepi sungai (kanan). Sumber: KNKT, 2010.

Gambar 7. Contoh landasan udara khas yang hanya dijumpai di kawasan Pegunungan Jayawijaya, pulau Irian. Mulai dari landasan pendek miring pada elevasi cukup tinggi dan dipagari bukit-bukit yang puncaknya kerap tertutupi awan (kiri). Hingga landasan yang terletak dalam lembah antar pegunungan di tepi sungai (kanan). Sumber: KNKT, 2010.

Di sisi lain, kecelakaan Trigana Air Service penerbangan IL267 kembali mengingatkan bahwa dunia penerbangan sipil di Indonesia masih berada di bawah nilai rata-rata keselamatan global. Tingkat insiden dan kecelakaan disini tergolong tinggi. Dalam catatan Arnold Barnet, statistikawan MIT (Massachussetts Institute of Techology), dalam sepuluh tahun terakhir tingkat kematian penumpang penerbangan sipil di Indonesia adalah 25 kali lipat lebih tinggi ketimbang Amerika Serikat. Yakni rata-rata seorang per sejuta penumpang. Catatan lain yang disodorkan Tony Tyler dari IATA (International Air Transport Association) tak kalah mengenaskannya. Dikatakan, Indonesia kehilangan sedikitnya satu pesawat berukuran besar dalam setiap tahunnya terhitung sejak 2010 TU. Langkah-langkah perbaikan tentu harus dilakukan. Bagi Trigana Air Service sendiri, kecelakaan ini adalah yang paling mematikan sepanjang sejarah berdirinya maskapai tersebut dalam kurun seperempat abad terakhir. Sedangkan bagi pesawat ATR 42 dan variannya, kecelakaan ini juga menjadi kecelakaan yang paling mematikan semenjak ATR 42 mulai mengudara 31 tahun silam.

Referensi :

AviationSafetyNetwork. 2015. ASN Aircraft Accident ATR 42-300 PK-YRN Oksibil.

CNN. 2015. Trigana Plane Crash, How Safe are Indonesian Airlines? Reportase Tiffany Ap, 17 Agustus 2015.

KNKT. 2010. Aircraft Accident Investigation Report, PT Merpati Nusantara Airline De Haviland DHC6 Twin Otter PK-NVC, Near Ambisil/Okbibab Papua, Republic of Indonesia, 2 August 2009.

Ledakan Dahsyat Tianjin, Cina

Empat hari pasca peristiwa ledakan dahsyat di kompleks pelabuhan Tianjin (Cina), korban tewas tercatat mencapai 104 orang. Sementara korban luka-lukanya, baik berat maupun ringan, membengkak menjadi 720 orang lebih. Statistik ini hanyalah sementara dan dikhawatirkan masih akan terus membengkak. Apalagi masih banyak yang dinyatakan hilang, termasuk diantaranya 85 petugas pemadam kebakaran yang berada di lokasi tepat sebelum ledakan kedua. Ribuan penduduk mengungsi, yang membikin macet jalan-jalan raya kota itu pada jam-jam pertama pasca ledakan. Beragam isu khas bencana pun berseliweran. Salah satunya (yang terbukti benar) adalah kebocoran gas sianida, gas beracun yang memiliki reputasi mematikan.

Gambar 1. Pemandangan lokasi ledakan dahsyat di kompleks pelabuhan Tianjin, diabadikan dari udara. Titik pusat ledakan terdahsyat nampak ditandai dengan cekungan (kawah) yang tergenangi cairan. Disekelilingnya terlihat tumpukan petikemas yang berantakan dan jajaran mobil siap ekspor yang berubah menjadi puing-puing. Sumber: News.cn, 2015.

Gambar 1. Pemandangan lokasi ledakan dahsyat di kompleks pelabuhan Tianjin, diabadikan dari udara. Titik pusat ledakan terdahsyat nampak ditandai dengan cekungan (kawah) yang tergenangi cairan. Disekelilingnya terlihat tumpukan petikemas yang berantakan dan jajaran mobil siap ekspor yang berubah menjadi puing-puing. Sumber: News.cn, 2015.

Bencana ini terjadi di distrik Binhai Baru yang menjadi bagian dari kawasan ekonomi khusus terbuka Tanggu di Tianjin. Kompleks pelabuhan tersebut hanya berjarak sekitar 100 kilometer di tenggara Beijing, ibukota Cina. Bencana dimulai pada Selasa malam 12 Agustus 2015 Tarikh Umum (TU). Hingga tiga hari kemudian tercatat telah terjadi sepuluh ledakan di kompleks lapangan petikemas pelabuhan Tianjin ini. Ledakan yang terbesar adalah ledakan ganda pada 12 Agustus 2015 TU pukul 22:30 WIB (23:30 waktu Cina), masing-masing berselisih waktu hanya 30 detik. Ledakan kedua adalah yang terdahsyat, menghasilkan bolaapi ledakan (fireball) sangat besar dan sangat terang. Ia kemudian berkembang menjadi awan jamur (mushroom cloud) yang membumbung tinggi ke langit. Dalam waktu bersamaan Bumi bergetar. Sementara udara tertekan demikian hebat akibat penjalaran gelombang kejut (shockwave), yakni energi ledakan yang ditransfer ke udara sekitar dalam bentuk tekanan dengan kuat tekanan berbanding terbalik terhadap kuadrat jaraknya dari titik pusat ledakan (ground zero).

Gambar 2. Awan jamur (mushroom cloud) terlihat jelas dari kejauhan sesaat setelah ledakan kedua terjadi di kompleks pelabuhan Tianjin. Ketampakan awan jamur berskala relatif besar menjadi salah satu indikasi bahwa ledakan Tianjin melepaskan energi yang besar. Sumber: Anonim, 2015.

Gambar 2. Awan jamur (mushroom cloud) terlihat jelas dari kejauhan sesaat setelah ledakan kedua terjadi di kompleks pelabuhan Tianjin. Ketampakan awan jamur berskala relatif besar menjadi salah satu indikasi bahwa ledakan Tianjin melepaskan energi yang besar. Sumber: Anonim, 2015.

Di sekitar ground zero, gelombang kejutnya demikian bertenaga sehingga mampu memorak-porandakan tumpukan petikemas yang tersusun rapi. Ia juga berkemampuan meremukkan (sebagian) bangunan yang ada di jalurnya. Tak kurang dari 17.000 unit apartemen rusak berat, khususnya yang berjarak hingga 2 kilometer dari ground zero. Di samping itu masih ada sekitar 800 buah mobil baru siap ekspor dari berbagai pabrikan yang hancur menjadi puing-puing karena terparkir tepat di sebelah ground zero. Hingga radius sekitar 10 kilometer dari ground zero, gelombang kejutnya masih sanggup menggetarkan kaca jendela. Jumlah kerugian material pun melangit, diperkirakan mencapai trilyunan rupiah.

Hingga ratusan bahkan ribuan kilometer dari ground zero, gelombang kejut ledakan ini masih sanggup dideteksi oleh radas (instrumen) mikrobarometer. Meskipun kuat tekanannya sudah sangat lemah dan kini menjalar sebagai gelombang infrasonik. Sejumlah radas mikrobarometer ultrasensitif yang terpasang di stasiun-stasiun IMS (International Monitoring System) yang menjadi bagian dari pengawasan larangan ujicoba nuklir global di bawah payung CTBTO (Comprehensive nuclear Test Ban Treaty Organisation) merekam ledakan Tianjin ini. Mikrobarometer terjauh yang mengendusnya berlokasi di Tonga (Samudera Pasifik) dan Kazakhstan, ribuan kilometer jauhnya dari ground zero.

Gambar 3. Beberapa stasiun IMS dalam jejaring CTBTO yang mendeteksi ledakan dahsyat Tianjin pada radas mikrobarometernya. Gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin menjalar demikian jauh hingga sanggup terekam oleh radas-radas mikrobarometer yang berjarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer dari Tianjin. Sumber: CTBTO, 2015.

Gambar 3. Beberapa stasiun IMS dalam jejaring CTBTO yang mendeteksi ledakan dahsyat Tianjin pada radas mikrobarometernya. Gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin menjalar demikian jauh hingga sanggup terekam oleh radas-radas mikrobarometer yang berjarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer dari Tianjin. Sumber: CTBTO, 2015.

Dalam tulisan ini, yang disebut dengan ledakan dahsyat Tianjin adalah peristiwa ledakan terkuat (yakni ledakan kedua) di kompleks pelabuhan Tianjin. Seberapa kuat ledakan dahsyat Tianjin ini?

40 ton TNT

Meski terendus oleh sejumlah stasiun IMS di CTBTO, namun lembaga pengawas larangan ujicoba nuklir global tersebut memastikan bahwa ledakan dahsyat Tianjin tidak mengandung ciri-ciri khas ledakan nuklir. Terutama karena tiadanya emisi gas-gas radioaktif khas produk ledakan nuklir. Ia hanyalah ledakan dari bahan-bahan kimia (ledakan konvensional) semata. Selain produk ledakan nuklir, gelombang infrasonik yang menjalar sangat jauh juga dapat diproduksi dari aksi pelepasan energi tinggi lainnya, seperti detonasi bahan eksplosif (peledak) konvensional maupun bencana alam seperti letusan besar gunung berapi. Hal tersebut dapat dilihat misalnya dalam Letusan Kelud 2014 dan Letusan Sangeang Api 2014, keduanya mengambil lokasi di Indonesia.

Dua ledakan pertama di pelabuhan Tianjin memproduksi getaran di kerak bumi. Getaran ini adalah hasil konversi energi ledakan menjadi energi seismik. Seperti halnya gempa bumi, getaran ini pun terekam dalam seismometer (radas/instrumen pengukur gempa) sebagai seismogram. Sekilas terlihat mirip seismogram gempa bumi umumnya, namun sejatinya sangat berbeda karena mengandung pola khas ledakan. Analisis memperlihatkan kedua ledakan pertama tersebut memiliki magnitudo lokal masing-masing 2,3 dan 2,9 skala Richter.

Pada dasarnya magnitudo gempa adalah ekspresi besarnya energi seismik. Energi seismik dalam peristiwa ledakan dahsyat Tianjin berasal dari konversi energi total ledakan itu sendiri . Dengan mempertimbangkan rasio energi seismik terhadap energi total ledakan yang bernilai (rata-rata) 1 banding 63, maka dapat diprakirakan kedua ledakan tersebut melepaskan energi masing-masing 3 dan 21 ton TNT. Terminologi ton TNT adalah satuan tak-resmi energi dalam kaitannya dengan bahan ledakan ataupun detonasi (peristiwa ledakan). 1 ton TNT merupakan jumlah energi yang setara 4,186 GigaJoule dan (dianggap) setara jumlah energi yang dilepaskan dari pembakaran 1.000 kilogram bahan peledak tingkat tinggi trinitrotoluena (TNT). Satuan ton TNT diderivasikan dari satuan kiloton TNT, yang acap digunakan untuk menggambarkan energi dan dampak ledakan nuklir.

Gambar 4. Rekaman ledakan dahsyat Tianjin pada salah satu seismometer di dalam jejaring pemantau gempa di Cina. Usikan rapat nan kecil di sisi kiri merupakan rekaman ledakan pertama yang menghasilkan getaran bermagnitudo 2,3 skala Richter. Sedangkan usikan rapat yang lebih besar (sisi kanan) dihasilkan dari getaran akibat ledakan kedua, dengan magnitudo 2,9 skala Richter. Sumber: Weibo, 2015.

Gambar 4. Rekaman ledakan dahsyat Tianjin pada salah satu seismometer di dalam jejaring pemantau gempa di Cina. Usikan rapat nan kecil di sisi kiri merupakan rekaman ledakan pertama yang menghasilkan getaran bermagnitudo 2,3 skala Richter. Sedangkan usikan rapat yang lebih besar (sisi kanan) dihasilkan dari getaran akibat ledakan kedua, dengan magnitudo 2,9 skala Richter. Sumber: Weibo, 2015.

Jumlah energi yang dilepaskan pada ledakan dahsyat Tianjin juga dapat diprakirakan dari dampak gelombang kejutnya ke lingkungan sekitar. Hingga radius 10 kilometer dari ground zero, hempasan gelombang kejut diinformasikan masih sanggup menggetarkan kaca jendela bangunan. Efek ini muncul akibat overpressure (tekanan lebih) sebesar 200 Pascal (0,03 psi). Perhitungan sederhana mengacu persamaan-persamaan matematis yang disajikan Kinney dan Graham (Kinney & Graham, 1985) memprakirakan, secara kasar energi ledakan (yield) berkisar 40 ton TNT. Pada tingkat energi ini persamaan serupa memprakirakan di ground zero bakal terbentuk kawah (cekungan) dengan prakiraan garis tengah 50 meter. Cekungan terbentuk sebagai akibat overpressure yang sangat besar, yakni melebihi 25 MegaPascal (362 psi). Cukup mengesankan pemotretan (pencitraan) udara di atas lokasi ledakan dengan menggunakan pesawat udara nir-awak (drone) memperlihatkan memang ada cekungan besar di ground zero. Cekungan tersebut kini tergenangi cairan dan memiliki perkiraan diameter sekitar 50 meter. Sejumlah dampak hempasan gelombang kejut lainnya pun sejauh ini konsisten dengan ledakan non-nuklir yang memiliki yield 40 ton TNT.

Indikasi lain besarnya energi ledakan dahsyat Tianjin datang dari langit. Sedikitnya tiga satelit cuaca yang berpangkalan di orbit geostasioner (ketinggian 35.782 kilometer di atas garis khatulistiwa) dan bertugas meliput dinamika cuaca di kawasan Asia Timur Jauh merekam pemandangan takbiasa di atas Tianjin pada saat bencana. Ketiganya masing-masing adalah satelit Himawari-8 (Jepang), Himawari-7 atau MTSAT-2 (Jepang) dan Chollian atau Coms-1 (Korea Selatan). Ketiga satelit itu merekam apa yang dikenal sebagai fenomena titik-panas (hotspot), tepat di atas pelabuhan Tianjin. Bersamaan dengan hadirnya titik-panas, terekam pula awan-awan yang bergerak menjauh darinya. Titik-panas tersebut merupakan bagian udara yang suhunya lebih tinggi dibanding sekelilingnya dan merupakan produk lebih lanjut dari mengembangnya gas-gas panas yang semula membentuk awan jamur. Sembari mengembang, gas-gas tersebut terus mendingin. Tapi suhunya masih lebih tinggi ketimbang udara sekelilingnya. Terdeteksinya titik-panas oleh satelit dalam waktu bersamaan dengan ledakan dahsyat Tianjin menjadi pertanda besarnya energi ledakan.

Gambar 5. Ledakan dahsyat Tianjin seperti teramati dari satelit cuaca Himawari-8 pada kanal 3,9 mikron dalam selisih waktu 40 menit. Terlihat hotspot (titik-panas) yang menunjukkan lokasi ledakan. Juga awan yang terlihat menyibak menjauhi hotspot , mungkin akibat dorongan gelombang kejut ledakan. Sumber: JMA, 2015.

Gambar 5. Ledakan dahsyat Tianjin seperti teramati dari satelit cuaca Himawari-8 pada kanal 3,9 mikron dalam selisih waktu 40 menit. Terlihat hotspot (titik-panas) yang menunjukkan lokasi ledakan. Juga awan yang terlihat menyibak menjauhi hotspot , mungkin akibat dorongan gelombang kejut ledakan. Sumber: JMA, 2015.

Penyebab ?

Jika ledakan dahsyat Tianjin adalah benar melepaskan energi 40 ton TNT maka kedahsyatannya setara dengan ledakan bom non-nuklir terkuat saat ini. Yakni bom FOAB yang ada dalam arsenal Angkatan Udara Russia. Bila diperbandingkan dengan bom non-nuklir terkuat milik AU Amerika Serikat, yakni GBUI-43/B MOAB (massive ordnance air blast), maka ledakan dahsyat Tianjin adalah empat kali lebih bertenaga. Meski begitu ledakan dahsyat Tianjin bukanlah yang terkuat sepanjang sejarah ledakan non-nuklir. Ia masih kalah jauh ketimbang bencana meledaknya roket N-1 (Russia) pada 3 Juli 1969 TU. N-1 adalah roket raksasa yang ditujukan untuk mendaratkan manusia Russia (saat itu Uni Soviet) di Bulan, namun meledak di landasan dalam penerbangan ujicoba tak-berawak dengan menghempaskan energi 7.000 ton TNT. Bahkan dibandingkan bencana industrial terbesar terakhir, yakni meledaknya gudang penyimpanan kembang api di kota Enschede (Belanda) pada 13 Mei 2000 TU yang melepaskan energi antara 4.000 hingga 5.000 ton TNT, ledakan dahsyat Tianjin masih kalah jauh.

tianjin-blast_modelling-deskripsi

Gambar 6. Atas: deskripsi dampak gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin dan radius maksimum setiap dampaknya berdasarkan pemodelan ledakan non-nuklir berenergi 40 ton TNT. Bawah: Plot sebagian hasil pemodelan radius maksimum dampak gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin ke dalam citra satelit pelabuhan Tianjin dan sekitarnya. Titik biru = ground zero, 2 = radius maksimum kerusakan kaca jendela (1.945 meter dari ground zero), 3 = batas puing-puing dan (1.265 meter dari ground zero) 8 = kerusakan blok beton/dinding bata (276 meter dari ground zero). Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth serta Kinney & Graham, 1985

Gambar 6. Atas: deskripsi dampak gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin dan radius maksimum setiap dampaknya berdasarkan pemodelan ledakan non-nuklir berenergi 40 ton TNT. Bawah: Plot sebagian hasil pemodelan radius maksimum dampak gelombang kejut ledakan dahsyat Tianjin ke dalam citra satelit pelabuhan Tianjin dan sekitarnya. Titik biru = ground zero, 2 = radius maksimum kerusakan kaca jendela (1.945 meter dari ground zero), 3 = batas puing-puing dan (1.265 meter dari ground zero) 8 = kerusakan blok beton/dinding bata (276 meter dari ground zero). Sumber: Sudibyo, 2015 berbasis Google Earth serta Kinney & Graham, 1985

Bagaimana ledakan dahsyat Tianjin bisa terjadi? Inilah yang masih terus diselidiki. Informasi yang berkembang masih simpang-siur. Awalnya peristiwa di pelabuhan Tianjin ini diduga merupakan ledakan gas yang merembet ke gudang penyimpanan bahan kimia mudah meledak milik sebuah perusahaan logistik. Ledakan di bahan kimia itu lantas menyulut cairan gampang terbakar (seperti etanol/alkohol) yang tertimbun dalam jumlah besar disekitarnya. Namun beberapa hari kemudian muncul versi lain. Yakni terjadi kebakaran, dengan sebab yang belum jelas, semenjak 40 menit sebelum ledakan pertama dimulai. Pemadam kebakaran menyemprotkan air dalam jumlah besar ke titik kebakaran dan ke lingkungan sekitar (untuk pendinginan), tanpa menyadari terdapat timbunan karbit (kalsium karbida) dalam jumlah besar hingga ratusan ton. Reaksi air yang berlimpah dengan karbit dalam jumlah besar menghasilkan gas asetilena (etuna) demikian berlimpah. Asetilena adalah gas mudah terbakar yang umum digunakan gas dalam pengelasan. Di Cina, gas asetilena juga dimanfaatkan dalam industri petrokimia khususnya sebagai bahan baku pembuatan polivinil klorida (PVC) yang berbiaya lebih murah ketimbang harus mengimpor minyak mentah. Tak heran jika pertumbuhan penggunaan karbit kian meningkat (mencapai hampir 9 juta ton per 2005 TU). Diduga terjadi pelepasan gas asetilena dalam jumlah besar dan sontak terbakar (meledak) oleh percikan api.

Terakhir muncul versi lain. Selain karbit, pergudangan di kompleks pelabuhan Tianjin juga menyimpan tak kurang dari 40 jenis bahan kimia gampang terbakar lainnya. Salah satunya amonium nitrat, dalam jumlah tak kurang dari 800 ton. Amonium nitrat adalah bahan baku pupuk, namun juga populer sebagai salah satu bahan utama untuk meracik bahan peledak kelas rendah (low explosive). Ada dugaan saat gas asetilen terbakar dan meledak, apinya menyulut amonium nitrat dalam jumlah besar hingga akhirnya meledak dahsyat.

Apapun penyebabnya, ledakan dahsyat Tianjin menjadi indikasi adanya masalah dalam pengelolaan bahan kimi berbahaya di tanah Cina. Dengan pertumbuhan ekonomi yang fantastis, konsumsi bahan-bahan kimia gampang meledak pun meroket. Namun tak diimbangi dengan peningkatan pengawasan maupun pelatihan untuk menanganinya, termasuk dalam situasi kritis seperti terjadinya kebakaran gudang penyimpanan. Sebagai imbasnya, pemerintah Cina mengancam akan memenjarakan siapapun yang bertanggung jawab dalam peristiwa ledakan dahsyat Tianjin. Mereka juga bersiap untuk mulai menginspeksi setiap perusahaan yang mengelola bisnis sejenis di seantero negeri, sebagai langkah preventif.

Referensi :
Kinney & Graham. 1985. Explosive Shocks in the Air. Springer-Verlag, New York, 2nd edition.

Hiroshima, Nagasaki dan Indonesia Merdeka

Pertanyaan ini menggelitik: andaikata kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang tidak dibom nuklir, akankah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 Tarikh Umum (TU)?

Duo proklamator kita Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pada waktu yang sungguh langka dan tepat. Indonesia secara faktual sedang mengalami kekosongan kekuasaan pada saat itu. Tatanan geopolitik regional sedang berubah dramatis akibat pemboman nuklir Hiroshima (6 Agustus 1945 TU) dan Nagasaki (9 Agustus 1945 TU) yang dibarengi invasi Uni Soviet ke pendudukan Jepang di Mansyuria (sejak 9 Agustus 1945 TU). Tiga peristiwa beruntun itu memaksa kaisar Hirohito mengambil langkah tak terduga, berpidato untuk pertama kalinya di radio nasional Jepang. Hirohito memaklumatkan kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, tepatnya kepada Amerika Serikat. Penyerahan diri tersebut efektif per 15 Agustus 1945 TU. Meski secara formal penyerahan diri Jepang baru terlaksana setengah bulan lebih kemudian. Tepatnya pada 2 September 1945 TU dalam sebuah upacara di geladak kapal perang USS Missouri milik Angkatan Laut Amerika yang berlabuh di Teluk Tokyo.

Menyusul penyerahan diri di Teluk Tokyo, pemerintahan pendudukan Jepang di Asia Tenggara pun menyerahkan diri pada 12 September 1945 TU lewat upacara di Singapura. Pasukan Sekutu baru mulai mendarat di Indonesia per 29 September 1945 TU sebagai AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), yang terdiri dari tentara Inggris dan Australia. Belakangan ketahuan tentara Belanda pun membonceng AFNEI secara diam-diam. Praktis sepanjang periode 15 Agustus hingga 29 September 1945 TU terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Ya, secara formal negeri ini saat itu masih berada di bawah cengkeraman pemerintahan pendudukan Jepang. Namun dengan moral prajurit yang ambrol cukup dalam dan hancur lebur akibat kalah perang yang memalukan dan menyesakkan seiring penyerahan diri tanpa syarat, pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia tak bisa berbuat banyak. Sehingga secara faktual Indonesia berada dalam periode kekosongan kekuasaan. Ini yang menjadikan kemerdekaan Indonesia berbeda dibanding negara-negara lain yang memproklamasikan kemerdekaannya pada saat yang hampir sama.

Gambar 1. Awan cendawan raksasa khas ledakan nuklir sedang mengembang di atas udara Nagasaki, hanya beberapa detik setelah bom nuklir berkode Fatman diledakkan di atas kota ini pada 9 Agustus 1945 Tu pukul 11:02 setempat. Sumber: Nagasaki Atomic Bomb Museum.

Gambar 1. Awan cendawan raksasa khas ledakan nuklir sedang mengembang di atas udara Nagasaki, hanya beberapa detik setelah bom nuklir berkode Fatman diledakkan di atas kota ini pada 9 Agustus 1945 Tu pukul 11:02 setempat. Sumber: Nagasaki Atomic Bomb Museum.

Bagaimana jika Hiroshima dan Nagasaki tidak dibom nuklir?

Usai kemenangan di teater peperangan Eropa dengan bertekuk lututnya Jerman tanpa syarat di hadapan Sekutu lewat upacara di Rheims (Perancis) pada 8 Mei 1945 TU, Amerika Serikat bersiap menghabisi Jepang dengan cara apapun. Meski Amerika merasa berat melakukannya karena harus bertempur sendirian di teater peperangan Pasifik. Beruntung Uni Soviet kemudian menawarkan bantuan, siap bersama-sama memerangi kekaisaran Jepang. Meski tawaran bantuan ini kemudian dipandang dengan penuh curiga dan dianggap memiliki maksud terselubung. Tidak seperti Soviet, Amerika tidak tertarik menguasai tanah-tanah pendudukan Jepang terlebih dahulu sebelum menyerang negeri induknya. Termasuk Indonesia. Jenderal Douglas McArthur pernah mengusulkan menyerbu pulau Jawa di tahun 1944-1945 TU sebagai bagian dari taktik lompatan kataknya. Namun usulan ini ditolak presiden Roosevelt. Sehingga balatentara Amerika hanya melipir di pinggiran saja dengan menguasai pulau Irian dan Kepulauan Halmahera sebagai pangkalan untuk menyerbu pendudukan Jepang di Filipina.

Operasi Downfall pun dirancang. Inilah serbuan langsung ke pulau-pulau utama Jepang bergaya perang amfibi. Ia mencoba meniru sukses Operasi Overlord di teater Eropa. Overlord adalah pendaratan pasukan Sekutu secara besar-besaran di pesisir Normandia (Perancis) semenjak 6 Juni 1944 TU yang berlanjut dengan serangan darat ke posisi-posisi Jerman di Perancis, Belanda dan Belgia. Serangan darat tersebut akhirnya berujung pada serbuan langsung ke Jerman terutama ke jantungnya: Berlin. Kemenangan pun diraih lebih cepat setelah Uni Soviet menyerbu ke barat, sehingga Jerman dijepit baik dari timur maupun barat. Nah, Downfall bakal mencoba mereplikasinya. Downfall terdiri dari dua bagian. Pertama, invasi Olympic guna menundukkan pulau Kyushu, yang bakal dilaksanakan 1 November 1945 TU. Dan yang kedua invasi Coronet, yang bakal dieksekusi 1 Maret 1946 TU dengan tujuan menaklukkan pulau Honshu sekaligus menguasai Tokyo. Jika semua berlangsung sesuai rencana, Jepang akan dipaksa menyerah sekitar Mei/Juni 1946 TU.

Amerika membutuhkan kemenangan cepat. Untuk itu Operasi Downfall bakal dilaksanakan dengan balatentara yang berlimpah-limpah, hingga tak kurang dari 39 divisi. Tetapi prakiraan korban yang bakal berjatuhan membikin ngeri. Seperti halnya Jerman dalam menghadapi Overlord, Jepang pun telah lama menanti-nantikan kehadiran Downfall. Namun skala pertempurannya diyakini bakal lebih sengit. Jika Jerman mendirikan tembok Atlantik yang kukuh namun bersiap setengah hati namun cenderung meremehkan kemampuan lawannya, maka Jepang jauh lebih siap dengan merancang pertahanan lewat Operasi Ketsugo. Pertempuran Okinawa memperlihatkan betapa Amerika harus membayar mahal setiap jengkal tanah Jepang yang direbutnya. Dalam pertempuran paling berdarah di teater Pasifik itu Amerika harus kehilangan 20.000 prajuritnya dari total 541.000 tentara yang diterjunkan merebut Okinawa. Selain itu masih ada 55.000 orang yang terluka. Bila hasil ini diekstrapolasikan ke dalam Operasi Downfall, korban jiwa akan mencapai hampir setengah juta orang dan sejuta lainnya luka-luka. Prediksi ini tentu tak menyenangkan jenderal-jenderal Amerika. Termasuk McArthur.

Gambar 2. Bayangan manusia di anak tangga. Saat bom nuklir bertajuk Little Boy meledak di ketinggian udara Hiroshima, sosok paruh baya bertongkat ini sedang berdiri di tepi jalan, di ujung anak tangga sebuah bangunan. Ia terlalu dekat dengan ground zero (episentrum titik ledakan), sehingga menderita paparan panas yang sangat tinggi dan sangat kuat. Demikian kuatnya sehingga bayangannya pun tercetak di anak tangga. Sosok ini menjadi salah satu korban tewas akibat paparan panas berlebihan, yang membuat tubuhnya sontak menjadi arang atau bahkan menjadi abu. Sumber: Hiroshima Atomic Bomb Museum.

Gambar 2. Bayangan manusia di anak tangga. Saat bom nuklir bertajuk Little Boy meledak di ketinggian udara Hiroshima, sosok paruh baya bertongkat ini sedang berdiri di tepi jalan, di ujung anak tangga sebuah bangunan. Ia terlalu dekat dengan ground zero (episentrum titik ledakan), sehingga menderita paparan panas yang sangat tinggi dan sangat kuat. Demikian kuatnya sehingga bayangannya pun tercetak di anak tangga. Sosok ini menjadi salah satu korban tewas akibat paparan panas berlebihan, yang membuat tubuhnya sontak menjadi arang atau bahkan menjadi abu. Sumber: Hiroshima Atomic Bomb Museum.

Di kala para jenderal itu dibikin puyeng dengan upaya persiapan Operasi Downfall sekaligus mereduksi sedikit mungkin korban, solusi tak terduga (dan menggembirakan) datang dari jenderal Leslie R. Grooves. Inilah pucuk pimpinan Proyek Manhattan yang super-rahasia di daratan Amerika, yang telah berlangsung sejak 1942 TU. Kerja keras mereka telah berbuah, Amerika berhasil membangun senjata jenis baru yang bernama bom nuklir. Sebuah pengujian telah dilakukan di Alomogordo (New Mexico) pada 16 Juli 1945 TU dinihari. Bom nuklir berkode Trinity yang terbuat dari 6,5 kilogram Plutonium dan dipermak dalam bentuk bola sempurna diledakkan. Hasilnya memuaskan, sekaligus menggidikkan. Trinity melepaskan energi tak kurang dari 20 kiloton TNT, atau setara dengan 20.000 ton batang dinamit. Kemampuan nan dahsyat ini membuka peluang Amerika untuk menghancurkan infrastruktur dan moral bangsa Jepang tanpa harus melaksanakan Operasi Downfall.

Proyek Manhattan telah menyediakan minimal tiga bom nuklir yang siap pakai. Dua bom pertama pun dikirim ke pulau Tinian, pulau kecil di tengah-tengah Samudera Pasifik bagian barat yang berhasil direbut dan menjadi menjadi landasan utama pemboman intensif ke Jepang. Setelah dirakit dan dimuat ke perut pesawat pembom B-29 Superfortress yang disiapkan khusus, bom pertama yang bertajuk Little Boy (berat 4 ton, mengandung 64 kilogram Uranium) pun diterbangkan ke sasaran utama (kota Hiroshima) pada 6 Agustus 1945 TU pagi buta. Tiga hari kemudian giliran bom kedua yang bernama Fatman (berat 4,6 ton yang mengandung 6,5 kilogram Plutonium) yang dipersiapkan dan diterbangkan ke sasaran utama: kota Kokura. Bila pemboman pertama berlangsung mulus, tidak demikian dengan yang kedua. Kokura ternyata terselubungi awan sepenuhnya sehingga menyulitkan pengeboman. Pesawat B-29 pun beralih ke kota Nagasaki sebagai target cadangan. Awalnya Nagasaki pun tertuttupi awan, namun mendadak sebuah celah menyibak. Di celah itulah Fatman dijatuhkan, lalu meledak.

Kita tahu bagaimana akhir cerita pengeboman nuklir ini. Baik Hiroshima maupun Nagasaki luluh lantak, setelah dihempas ledakan berkekuatan masing-masing 15 kiloton TNT dan 20 kiloton TNT. Tak kurang dari 140.000 warga sipil Hiroshima menjadi korban dan demikian pula 74.000 warga sipil Nagasaki. Digabungkan dengan tak kurang dari 300.000 warga sipil di seantero Jepang yang tewas akibat kampanye pemboman strategis (dengan bom konvensional dan kemudian bom bakar/napalm), tak kurang dari setengah juta warga sipil Jepang yang meregang nyawa sebagai korban serangan udara. Baik pemboman non nuklir maupun nuklir.

Korban jiwa yang melangit tak menggoyahkan keteguhan hati tentara kekaisaran Jepang. Mereka tetap enggan menyerah. Mereka tetap patuh dan bersiap dengan Operasi Ketsugo untuk menangkis serangan amfibi dan pendaratan besar-besaran di pesisir timur. Namun tak demikian dengan kaisar Hirohito. Tergetar oleh demikian besarnya korban jiwa sipil dalam pemboman Hiroshima dan Nagasaki serta ngeri membaca propaganda Amerika yang siap melumat kota-kota Jepang lainnya dengan bom nuklir (padahal stoknya tinggal tersisa sebutir), kaisar pun bersikap. Apalagi setelah Uni Soviet pun menyatakan perang pada Jepang dan mulai menyapu kekuatan darat tentara kekaisaran Jepang di Mansyuria. Pidato radio kaisar pun memerintahkan penghentian tembak menembak dan memastikan Jepang menyerah tanpa syarat. Jenderal-jenderal Amerika pun bersuka cita, sebab Operasi Downfall praktis batal. Dan Amerika tak perlu kehilangan lebih banyak tentaranya lagi. Sementara bagi Hirohito, dihadapkan pada pilihan yang sama-sama tak enak, lebih baik bila Jepang menyerah ke Amerika karena sistem kekaisaran akan tetap terjaga. Sebaliknya jika bertekuk lutut ke Uni Soviet, gaya revolusi mereka akan menghapus sistem kekaisaran sepenuhnya dari muka bumi.

Kita bisa berandai-andai. Jika bom nuklir tak pernah ada di kancah Perang Dunia 2, kekaisaran Jepang masih sangat kuat di pertengahan tahun 1945 TU itu. Operasi Downfall pun mau tak mau harus dilaksanakan, dengan segenap konsekuensinya. Jika berjalan lancar, Jepang baru dapat ditaklukkan di sekitar pertengahan 1946 TU. Rentang waktu setahun (pasca penyerahan diri Jerman) memungkinkan negara-negara Eropa memulihkan kekuatannya dan turut berpartisipasi dalam teater peperangan Pasifik. Termasuk Belanda. Bila hal itu terjadi, jalannya sejarah Indonesia akan mengambil rute yang sangat berbeda dibandingkan apa yang kita lihat pada hari ini. Singkatnya, tanpa pemboman nuklir di Perang Dunia 2, Indonesia merdeka tidak terjadi pada 17 Agustus 1945 TU.