Posisi Bulan dan Ramadhan 1435 H yang (Bakal) Diawali Berbeda

Bagian pertama dari lima tulisan

Bulan suci Ramadhan 1435 H tinggal berbilang hari. Sebagian besar Umat Islam di Indonesia pun sedang bersiap menyambutnya. Dan seperti yang sudah-sudah, perkara penentuan awal bulan kalender Hijriyyah pada umumnya dan awal Ramadhan/dua hari raya pun kembali mengemuka. Layaknya tahun silam, potensi (kembali) berbedanya Umat Islam Indonesia dalam memulai ibadah puasa Ramadhan di tahun 1435 H kali ini pun sangat terbuka.

Pada satu sisi, PP Muhammadiyah telah mengumumkan bahwa bagi mereka 1 Ramadhan 1435 H bertepatan dengan Sabtu 28 Juni 2014. Atas dasar prinsip naklul wujud (harfiahnya peminjaman status wujudul hilaal), yang pada galibnya setara dengan konsep wilayatul hukmi, maka seluruh wilayah Indonesia dianggap telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sementara di sisi yang lain, meski masih menanti hasil sidang itsbat penetapan awal Ramadhan 1435 H yang salah satunya mengagendakan mendengarkan laporan-laporan observasi hilaal dari seluruh penjuru negeri, namun hampir pasti Menteri Agama bakal memutuskan bahwa 1 Ramadhan 1435 H bertepatan dengan Minggu 29 Juni 2014 jika mengacu pada kesepakatan selama ini, kecuali jika menggunakan pendekatan lain yang sama sekali baru.

Di waktu yang telah berlalu, urusan perbedaan dalam mengawali puasa Ramadhan maupun dalam berhari raya telah menyebabkan internal Umat Islam Indonesia bagaikan saling sikut dan sodok. Bagaimana dengan tahun ini? Menteri Agama yang baru memang telah memutuskan bahwa sidang itsbat penetapan awal Ramadhan 1435 H adalah sidang yang tertutup bagi akses media terkecuali pada saat konferensi pers penyampaian hasil sidang. Nampaknya sikap ini diambil untuk menghindari keriuhan yang tak perlu sepanjang Ramadhan seperti yang sudah-sudah. Namun di sisi lain ada juga yang berpendapat sikap demikian sebagai keputusan politis terkait suksesi kepemimpinan nasional dalam pilpres 9 Juli 2014 mendatang. Kali ini partai pak Menteri berada dalam satu kubu yang sama dengan partai yang menjadi saluran politik (tak-resmi) sebagian eksponen pengguna “kriteria” wujudul hilaal. Sehingga friksi di antara sesama eksponen koalisi perlu diredam, terlebih di tengah persaingan elektabilitas antar capres yang semakin ketat. Sebab harus diakui, meski sebagian kecil kita menganggap urusan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya ibarat kaset bernada serupa yang hanya diputar berulang-ulang, namun di kalangan akar rumput masalah perbedaan ini jauh lebih menonjol dan mengemuka dibanding isu panas seperti korupsi sekalipun. Ya, perbedaan dalam mengawali bulan suci Ramadhan maupun hari raya dengan mudah menjadi bagian dalam mengidentifikasi antara “kita” dan “mereka.”

Posisi Bulan

Bagaimana sesungguhnya posisi Bulan pada Jumat senja 27 Juni 2014 sehingga potensi perbedaan awal Ramadhan 1435 H di Indonesia demikian terbuka lebar ?

Salah satu parameter penting bagi penentuan awal bulan kalender Hijriyyah adalah konjungsi Bulan-Matahari (ijtima’). Peristiwa konjungsi Bulan dan Matahari pada hakikatnya adalah peristiwa dimana pusat cakram Matahari tepat berada dalam satu garis bujur ekliptika yang sama dengan pusat cakram Bulan ditinjau dari titik referensi tertentu. Dalam peristiwa ini Bulan bisa saja seakan-akan ‘menindih’ Matahari dalam situasi khusus yang kita kenal sebagai Gerhana Matahari. Namun yang sering dijumpai adalah Bulan berjarak terhadap Matahari sehingga antara Matahari dan Bulan hanyalah berada dalam satu garis lurus. Garis lurus ini tidak harus mendatar (horizontal) ataupun tegak (vertikal). Di Indonesia, konjungsi Bulan dan Matahari lebih sering terjadi saat kedua raksasa langit tersebut terletak pada satu garis lurus yang relatif miring terhadap cakrawala (horizon).

Gambar 1. Posisi Bulan dan Matahari pada saat terjadi konjungsi geosentris Bulan-Matahari 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB, ditinjau dari pantai Logending, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Garis putus-putus menandakan garis bujur ekliptika yang pada saat itu ditempati baik oleh Bulan maupun Matahari. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 1. Posisi Bulan dan Matahari pada saat terjadi konjungsi geosentris Bulan-Matahari 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB, ditinjau dari pantai Logending, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Garis putus-putus menandakan garis bujur ekliptika yang pada saat itu ditempati baik oleh Bulan maupun Matahari. Sumber: Sudibyo, 2014.

Dengan menggunakan sistem perhitungan (sistem hisab) ELP 2000-82 diketahui bahwa jika ditinjau dari titik pusat Bumi (geosentrik), konjungsi Bulan dan Matahari akan terjadi pada Jumat 27 Juni 2014 pukul 15:09 WIB. Sebaliknya bila ditinjau dari titik-titik di permukaan Bumi (toposentrik), konjungsi baru akan terjadi dalam rentang waktu antara pukul 16:56 WIB (bagi kota Medan) hingga pukul 17:03 WIB (bagi kota Jakarta). Konjungsi toposentrik sejatinya lebih realistis, mengingat segenap umat manusia hidup di permukaan Bumi. Namun ia kalah populer, sehingga yang dijadikan patokan dalam perhitungan ilmu falak adalah konjungsi geosentrik.

Konjungsi geosentrik Bulan-Matahari menentukan elemen umur Bulan, yakni selang waktu antara saat konjungsi (geosentrik) terjadi hingga saat Matahari terbenam di masing-masing titik pada satu negara tertentu. Di Indonesia, pada 27 Juni 2014 senja umur Bulan bervariasi antara +0,52 jam yang terjadi di Jayapura (Papua) hingga +3,78 jam di Lhoknga (Aceh).

Gambar 2. Peta umur Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 2. Peta umur Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.

Parameter lainnya yang tak kalah pentingnya adalah tinggi Bulan, yakni tinggi pusat cakram Bulan terhadap garis cakrawala pada saat Matahari terbenam. Di Indonesia, pada saat yang sama tinggi Bulan bervariasi antara -0,83 derajat di Jayapura (Papua) hingga +0,16 derajat di Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Meskipun menjadi titik terbarat di Indonesia, namun geometri posisi Bulan dan Matahari saat ini menyebabkan tinggi Bulan di Lhoknga justru bernilai negatif, yakni hanya -0,17 derajat. Tinggi Bulan bernilai negatif menunjukkan Bulan telah lebih dulu terbenam pada saat Matahari tepat terbenam sepenuhnya.

Gambar 3. Peta tinggi Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 3. Peta tinggi Bulan di Indonesia pada Jumat senja 27 Juni 2014. Sumber: Sudibyo, 2014.

Dan parameter berikutnya yang juga menentukan adalah elongasi Bulan, yakni jarak sudut antara titik pusat cakram Bulan dan Matahari pada saat Matahari terbenam. Pada saat tersebut, elongasi Bulan di Indonesia bernilai antara 4,6 derajat di pulau Rote (NTT) hingga 4,99 derajat di pulau Sabang (Aceh).

Bagaimana cara membaca data-data ini sehingga kita bisa mengetahui bahwa secara teknis awal Ramadhan 1435 H di Indonesia hampir pasti bakal berbeda?

Untuk itu kita harus melihat dinamika Umat Islam Indonesia masa kini. Dari 240 juta penduduk Indonesia, mayoritas adalah Umat Islam dan sekitar 60 juta diantaranya terdaftar sebagai anggota dua ormas Islam terbesar, masing-masing Nahdlatul ‘Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Belum lagi yang tak terdaftar namun bersimpati pada salah satu dari keduanya. Kedua ormas ini memiliki cara berbeda dalam menentukan awal bulan kalender Hijriyyah. Sehingga perbedaan hasil penentuan awal bulan kalender Hijriyyah di antara mereka akan berimbas pada perbedaan di kalangan Umat Islam di Indonesia.

Bagi NU, awal bulan kalender Hijriyyah hanya bisa ditentukan dengan cara rukyat (observasi) hilaal, sementara hisab (perhitungan ilmu falak) hanya dijadikan sebagai faktor pendukung rukyat. Bagi NU, saat rukyat tidak berhasil mendeteksi hilaal atas sebab apapun maka harus dilakukan istikmal, yakni penggenapan bulan kalender Hijriyyah yang telah berjalan menjadi 30 hari. Semenjak beberapa tahun terakhir NU mencoba konsisten untuk melakukan rukyat hilaal pada setiap awal bulan kalender Hijriyyah, tak semata pada awal Ramadhan dan hari raya saja. Seiring beragamnya sistem hisab yang beredar di tubuh NU dengan hasil yang sangat bervariasi pula, maka ormas ini memiliki parameter sendiri untuk menentukan apakah hasil rukyat bisa diterima ataukah tidak. Parameter tersebut adalah “kriteria” Imkan Rukyat yang diformulasikan Kementerian Agama RI, khususnya pada faktor tinggi Bulan minimal dalam sistem hisab kontemporer. “Kriteria” Imkan Rukyat itu sendiri, khususnya bentuk revisi 2011, adalah sebagai berikut :

rmd1435_IRSebaliknya bagi Muhammadiyah, awal bulan kalender Hijriyyah cukup ditentukan dengan cara hisab tanpa perlu melakukan rukyat. Kriteria yang digunakan adalah “kriteria” wujudul hilaal, yang pada saat ini memiliki formulasi sebagai berikut :

rmd1435_WHMaka dengan mudah dapat dilihat bahwa pada Jumat senja 27 Juni 2014, sebagian wilayah Indonesia telah memenuhi “kriteria” wujudul hilaal karena memiliki tinggi Bulan positif (lebih besar dari nol). Sehingga dengan mengaplikasikan prinsip naklul wujud, maka 1 Ramadhan 1435 H bagi Muhammadiyah bertepatan dengan Sabtu 28 Juni 2014. Sebaliknya pada Jumat senja 27 Juni 2014 itu tak satupun lokasi di Indonesia yang memenuhi “kriteria” Imkan Rukyat karena tak ada yang memiliki tinggi Bulan lebih dari atau sama dengan +2,25 derajat. Sehingga, tanpa mendului apa yang akan terjadi pada rukyat hilaal, bulan Sya’ban 1435 H akan digenapkan menjadi 30 hari dan 1 Ramadhan 1435 H bakal bertepatan dengan Minggu 29 Juni 2014. Inilah potensi perbedaan itu.

Referensi :

Sudibyo. 2013. Ramadhan 1435 H (2014), Kertas Kerja dalam Temu Kerja Nasional Hisab Rukyat 2013. Batam (Kepulauan Riau), Juni 2013.

Asteroid dan Komet yang Mendekat dalam Senyap

Tiga buah benda langit yang juga anggota minor dalam tata surya kita melintas dekat Bumi secara berturut-turut semenjak akhir Mei hingga pertengahan Juni 2014. Ketiganya adalah dua buah asteroid dan sebuah komet. Ulah ketiganya memang tak menimbulkan dampak apapun bagi Bumi kita, meski salah satu asteroid bahkan ibaratnya tinggal seujung kuku lagi memasuki selimut udara planet biru kita karena melintas ‘hanya’ dalam jarak 10.000 km dari permukaan Bumi.

Meski melintas dalam jarak yang tergolong sangat dekat dalam ukuran astronomi, ketiganya lewat begitu saja dalam senyap. Tentu, ini adalah tahun 2014. Bukan 2012, tahun yang heboh dengan desas-desus akhir zaman dalam segala rupa versinya. Kini isu kiamat telah jauh menyurut, berganti dengan kompleksitas kehidupan yang dianggap lebih menarik seperti misalnya isu suksesi kepemimpinan nasional di Indonesia. Namun demikian perlintasan-dekat yang senyap ini tetap merogoh perhatian astronomi. Selain guna memahami seluk-beluk asteroid dan komet dengan lebih baik, khususnya yang gemar melintas di dekat Bumi kita, peristiwa ini juga menjadi pijakan untuk pengembangan pengetahuan praktis guna menangkal bencana dari langit. Ya, lubang-lubang besar di permukaan Bumi dan Bulan kita menjadi bukti betapa sepanjang usia tata surya ini kawasan asteroid maupun komet tak hanya gemar melintas-dekat Bumi kita, namun tak jarang pula terjun bebas membentur wajah Bumi dengan dahsyatnya.

Gambar 1. Komet 209 P/LINEAR, diabadikan pada 26 Mei 2014 oleh Gianluca Masi. Komet diabadikan teleskop yang dikunci untuk mengikuti pergerakan komet tersebut dalam waktu tertentu. Citra demi citranya lantas ditumpuk (stack) menjadi satu lewat olah citra fotografis, sehingga bintang-bintang yang ada di latar belakangnya nampak seperti garis-garis lurus. Teknik olah citra ini dilakukan karena komet ini sangat redup, meski ia hendak melintas-dekat ke Bumi. Masi, 2014.

Gambar 1. Komet 209 P/LINEAR, diabadikan pada 26 Mei 2014 oleh Gianluca Masi. Komet diabadikan teleskop yang dikunci untuk mengikuti pergerakan komet tersebut dalam waktu tertentu. Citra demi citranya lantas ditumpuk (stack) menjadi satu lewat olah citra fotografis, sehingga bintang-bintang yang ada di latar belakangnya nampak seperti garis-garis lurus. Teknik olah citra ini dilakukan karena komet ini sangat redup, meski ia hendak melintas-dekat ke Bumi. Masi, 2014.

Telah banyak diceritakan betapa kawanan dinosaurus yang sempat merajai Bumi punah akibat dampak hantaman asteroid seukuran 10 km nun jauh di masa silam, tepatnya pada 65 juta tahun yang lalu. Kisah punahnya dinosaurus ini mungkin sulit kita bayangkan, karena waktunya yang sudah terlalu lama. Namun bagaimana remuk redamnya kawasan Chelyabinsk dan sekitarnya di Rusia pada Jumat 15 Februari 2013 silam menjadi gambaran terkini akan ulah asteroid yang tak terlupakan. Meski diameternya ‘hanya’ 20 meter, asteroid yang remuk dan melepaskan hampir seluruh energinya di udara Chelyabinsk pada ketinggian beberapa puluh kilometer itu mampu menghasilkan kerusakan luas dengan angka kerugian menyentuh US $ 30 juta (Rp 345 milyar, berdasar kurs US $ 1 = Rp. 11.500) selain melukai 1.643 orang.

Komet

Komet 209 P/LINEAR menjadi benda langit yang pertama melintas. Ia melintas hingga hanya sejauh 8,23 juta kilometer dari Bumi kita pada Kamis 29 Mei 2014 pukul 12:51 WIB silam. Dengan demikian pada saat itu komet 209 P/LINEAR masih berjarak 21,6 kali lipat jarak rata-rata Bumi ke Bulan kita. Dalam catatan sejarah, ini adalah perlintasan-terdekat sebuah komet terhadap Bumi dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, terhitung sejak melintasnya komet IRAS-Araki-Alcock yang ‘hanya’ berjarak 5 juta kilometer dari Bumi. Dengan perlintasan-dekatnya di 29 Mei 2014 lalu, maka komet 209 P/LINEAR pun tercatat sebagai komet dari komet dekat Bumi (near-earth comets/NEC) sekaligus sebagai komet ke-17 yang pernah melintas-sangat dekat dengan Bumi kita sepanjang sejarah tercatat umat manusia.

Komet 209 P/LINEAR sempat memantik kegairahan astronomi seiring peranannya sebagai komet induk hujan meteor Camelopardalids. Inilah hujan meteor unik yang hanya akan terjadi di tahun 2014, tidak di tahun-tahun berikutnya maupun di tahun-tahun yang telah terlewat. Selain menjadi hujan meteor baru, Camelopardalids pun ditengarai akan cukup deras dengan intensitas antara 200 hingga 400 meteor/jamnya. Bahkan ada juga kemungkinan ia mencapai intensitas melebihi 1.000 meteor/jam sehingga bakal menyandang status badai meteor, meski peluang itu kecil.

Gambar 2. Kiri: salah satu meteor Camelopardalids sedang melintas di latar depan selempang Bima Sakti, diabadikan oleh Bob King di Minnessota (AS). Kanan: titik sumber (radian) sejumlah hujan meteor yang aktif seperti dipetakan tim CMOR pada 24 Mei 2014. Semakin cerah dan memerah warnanya menunjukkan semakin besar intensitas hujan meteornya. CAMS menandai lokasi titik sumber hujan meteor Camelopardalids, yang mencapai ratusan buah meteor per jamnya. Namun sebagian besar meteornya memiliki magnitudo +6 atau lebih redup lagi, sehingga mustahil dilihat secara kasat mata. Sumber: King, 2014; CMOR, 2014.

Gambar 2. Kiri: salah satu meteor Camelopardalids sedang melintas di latar depan selempang Bima Sakti, diabadikan oleh Bob King di Minnessota (AS). Kanan: titik sumber (radian) sejumlah hujan meteor yang aktif seperti dipetakan tim CMOR pada 24 Mei 2014. Semakin cerah dan memerah warnanya menunjukkan semakin besar intensitas hujan meteornya. CAMS menandai lokasi titik sumber hujan meteor Camelopardalids, yang mencapai ratusan buah meteor per jamnya. Namun sebagian besar meteornya memiliki magnitudo +6 atau lebih redup lagi, sehingga mustahil dilihat secara kasat mata. Sumber: King, 2014; CMOR, 2014.

Dalam kenyataannya hujan meteor Camelopardalids sempat mengecewakan semua yang menantinya penuh harap. Jangankan di Indonesia yang secara teoritis bukan bagin wilayah yang mampu mengamati hujan meteor ini, bahkan di lokasi terbaik seperti Amerika bagian utara pun jumlah meteor Camelopardalids yang bisa terdeteksi sangat sedikit. Pengamat meteor berpengalaman seperti astronom Carl Hergenrother saja hanya bisa mendapati 3 meteor Camelopardalids meski telah memelototi langit selama 2,17 jam penuh. Berdasarkan data observasi dari berbagai penjuru, International Meteor Organization (IMO) menyimpulkan intensitas hujan meteor Camelopardalids pada saat puncaknya hanyalah sebesar 27 meteor/jam. Puncak hujan meteor ini pun berlangsung 2 jam lebih awal dibanding prediksi semula, meski masih tetap berada dalam tanggal 24 Mei 2014. Maka sepertinya bukan hujan (meteor) deras apalagi badai (meteor) yang terjadi, melainkan hanya ada gerimis (meteor).

Namun kekecewaan pupus setelah tim Canadian Meteor Orbit Radar (CMOR) memublikasikan hasil observasinya yang berbasis gelombang radio frekuensi tinggi (HF) dan sangat tinggi (VHF). Ternyata memang ada ratusan meteor Camelopardalids per jam pada saat puncaknya, namun mayoritas mempunyai magnitudo +6 atau lebih redup lagi. Dengan ambang batas penglihatan mata manusia tanpa bantuan alat optik adalah pada magnitudo +6, demikian sebagian besar meteor itu mustahil bisa disaksikan. Pada kecepatan awal 17 km/detik tepat pada saat hendak memasuki atmosfer Bumi, tak terlihatnya sebagian besar meteor Camelopardalids secara visual memperlihatkan bahwa meteoroidnya adalah seukuran debu dengan diameter 1 mm atau lebih kecil lagi. Inilah cerita sukses terkini tentang bagaimana astronomi bekerja dalam memprediksi waktu dan intensitas sebuah hujan meteor tak biasa. Sebuahb pengetahuan yang di masa silam hanya ada di awang-awang.

Berselang lima hari setelah hujan meteor Camelopardalids, komet 209 P/LINEAR melintas di dekat Bumi kita. Meski berjarak relatif dekat, namun uniknya komet ini justru cukup redup. Pada saat berada di titik terdekatnya terhadap Bumi, komet 209 P/LINEAR hanya bersinar pada magnitudo +12 saja, alias hanya 6 kali lipat lebih terang dibanding planet kerdil Pluto. Akibatnya komet ini hanya bisa disaksikan dengan teleskop saja, itupun harus memiliki lensa/cermin obyektif berdiameter minimal 200 mm (20 cm). Jika teleskopnya lebih kecil dari itu, komet mustahil disaksikan meski kita mengerahkan kemampuan observasi hingga ke titik maksimum. Namun dekatnya jarak komet ke Bumi membuat observasi dengan teleskop non-visual menjadi memungkinkan. Di sinilah teleskop radio terbesar di dunia, yakni Teleskop Radio Arecibo (diameter 305 meter) di Puerto Rico, beraksi guna mengamati komet ini lewat gelombang radar.

Gambar 3. Tiga sekuens wajah inti komet 209 P/LINEAR seperti diabadikan oleh Teleskop Radio Arecibo dengan gelombang radar dari sudut pandang yang berbeda-beda seiring rotasinya. Nampak tonjolan-tonjolan membukit dengan lembah-lembah cekungan (kawah) diantaranya, yang kemungkinan terbentuk akibat benturan komet ini dengan benda langit lain nun jauh di masa purba. Sumber: Arecibo Observatory, 2014.

Gambar 3. Tiga sekuens wajah inti komet 209 P/LINEAR seperti diabadikan oleh Teleskop Radio Arecibo dengan gelombang radar dari sudut pandang yang berbeda-beda seiring rotasinya. Nampak tonjolan-tonjolan membukit dengan lembah-lembah cekungan (kawah) diantaranya, yang kemungkinan terbentuk akibat benturan komet ini dengan benda langit lain nun jauh di masa purba. Sumber: Arecibo Observatory, 2014.

Observasi dilakukan secara berulang-ulang dan beruntun antara 23 hingga 27 Mei 2014. Bagi Teleskop Radio Arecibo, komet 209 P/LINEAR bukanlah komet pertama yang disasar karena sebelumnya mereka pun pernah mengamati komet 103 P/Hartley 2 (tahun 2010), komet 8 P/Tuttle (tahun 2007 dan 2008) serta komet 73 P/Schwassmann-Wachmann 3 (tahun 2006). Namun begitu komet 209 P/LINEAR menjadi komet yang dibidik Teleskop Radio Arecibo pada resolusi tertinggi hingga sejauh ini. Arecibo memperlihatkan bahwa inti komet ini berbentuk bongkahan tak beraturan sepanjang 3 km dan lebar 2,4 km. Wajah inti komet ini dipenuhi dengan tonjolan-tonjolan membukit dengan cekungan-cekungan diantaranya, luka-luka yang dihasilkan dari benturan demi benturan dahsyat di masa silam. Yang cukup menarik, meski inti komet ini tergolong relatif besar, namun bagian aktifnya (yakni kawasan yang menyemburkan uap air bercampur debu dan pasir di permukaan inti komet secara kontinu) ternyata relatif sangat kecil, yakni hanya seluas sekitar 10.000 meter persegi. Dengan demikian bagian aktif komet 209 P/LINEAR hanya senilai kurang dari 1 %, angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan komet 1 P/Halley (10 %) maupun komet 103 P/Hartley 2 (50 %). Inilah jawaban kenapa komet 209 P/LINEAR cukup redup meski berada dalam jarak terdekatnya dengan Bumi, karena komet itu nyaris tidak aktif.

Asteroid

Kurang dari seminggu setelah komet 209 P/LINEAR, Bumi kita kembali dihampiri tamu dari bagian lain tata surya kita. Adalah asteroid tanpa nama dengan kode 2014 LY21 yang lewat di beranda planet kita pada Rabu 4 Juni 2014. Asteroid bergaris tengah 5 meter ini bahkan lewat dalam jarak cukup dekat, yakni hanya 10.000 meter dari permukaan Bumi yang terjadi pada pukul 05:27 WIB. Ia ditemukan untuk pertama kalinya hanya dalam 2 hari sebelumnya lewat mata tajam teleskop 150 cm Observatorium Gunung Lemmon, Arizona (AS) sebagai bintik cahaya amat sangat redup (magnitudo +21). Asteroid 2014 LY21 merupakan bagian dari keluarga asteroid Aten, karena jarak rata-ratanya ke Matahari lebih kecil dibanding jarak rata-rata Bumi ke Matahari. Orbit asteroid ini merentang di antara orbit Venus hingga orbit Bumi dengan periode revolusi hanya 210 hari (9,58 tahun).

Gambar 4. Proyeksi lintasan asteroid 2014 LY21 di atas permukaan Bumi pada 4 Juni 2014. Sebelum pukul 05:00 WIB dan setelah pukul 07:00 WIB, titik-titik kuning melambangkan proyeksi posisi asteroid setiap sejam sekali. Sebaliknya antara pukul 05:00 hingga 07:00 WIB, titik-titik kuning merupakan proyeksi posisi asteroid setiap 10 menit sekali. Tanda bintang (*) adalah titik proyeksi saat asteroid berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi. Jelas terlihat bahwa asteroid 2014 LY21 melintas di atas Indonesia antara pukul 02:00 hingga 04:00 WIB. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System Dynamics.

Gambar 4. Proyeksi lintasan asteroid 2014 LY21 di atas permukaan Bumi pada 4 Juni 2014. Sebelum pukul 05:00 WIB dan setelah pukul 07:00 WIB, titik-titik kuning melambangkan proyeksi posisi asteroid setiap sejam sekali. Sebaliknya antara pukul 05:00 hingga 07:00 WIB, titik-titik kuning merupakan proyeksi posisi asteroid setiap 10 menit sekali. Tanda bintang (*) adalah titik proyeksi saat asteroid berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi. Jelas terlihat bahwa asteroid 2014 LY21 melintas di atas Indonesia antara pukul 02:00 hingga 04:00 WIB. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System Dynamics.

Dengan jarak perlintasan hanya 10.000 km dari permukaan Bumi, praktis asteroid 2014 LY21 saat itu lebih dekat ke Bumi ketimbang satelit-satelit telekomunikasi dan cuaca di orbit geostasioner/geosinkron (6.782 km), ataupun orbit satelit-satelit navigasi seperti GPS atau Glonass (18.000 km). Namun dengan ukurannya yang relatif kecil, maka saat berada di titik terdekatnya pun asteroid ini hanya berbinar dengan magnitudo +11. Terlalu redup untuk terlihat secara kasat mata. Pada 4 Juni 2014 tersebut sebagian proyeksi lintasan asteroid 2014 LY21 ini melewati wilayah Indonesia, dengan titik terdekat yang dicapai asteroid ini tepat di atas Kazakhstan, di sisi timur Laut Kaspia.

Meski melintas-sangat dekat, orbit asteroid 2014 LY21 tidaklah berpotongan dengan orbit Bumi. Sehingga peluangnya jatuh ke Bumi adalah nol. Kalaupun orbit asteroid ini berpotongan dengan orbit Bumi, ia takkan berdampak ke kehidupan di permukaan Bumi. Saat memasuki atmosfer, asteroid ini akan melejit secepat 14,3 km/detik atau hampir 51.400 km/jam. Jika massa jenisnya antara 2 hingga 4 gram dalam tiap sentimeter kubiknya, maka energi potensialnya antara 3,2 hingga 6,4 kiloton TNT, alias 1/6 hingga 1/3 kekuatan bom nuklir Hiroshima. Asteroid dengan ukuran dan energi ini masih bisa ditangkal selimut udara yang menyelubungi Bumi kita. Simulasi menunjukkan ia akan hancur berkeping-keping dan melepaskan mayoritas energinya pada ketinggian antara 30 hingga 43 km dari permukaan Bumi. Sebelumnya ia akan sempat berpijar sangat terang sebagai meteor-terang (fireball) dengan perkiraan magnitudo antara -10 hingga -11. Dengan demikian andaikata asteoid 2014 LY21 benar-benar jatuh ke Bumi, ia akan keburu hancur di ketinggian atmosfer tanpa sempat mencium permukaan Bumi. Peristiwa ini akan menampilkan pemandangan mengesankan yang mirip Peristiwa Almahata Sitta (Sudan) pada 8 Oktober 2008 silam.

Gambar 5. Jejak asap yang mulai memudar dan terpahat hembusan angin di keremangan fajar Sudan utara, 8 Oktober 2008. Inilah jejak asap yang ditinggalkan Peristiwa Almahata Sitta, yakni masuknya sebongkah asteroid kecil yang lantas memijar menjadi meteor-terang lalu pecah berkeping-keping di atas Sudan utara sembari melepaskan energi antara 1 hingga 1,6 kiloton TNT. Andaikata asteroid 2014 LY21 memasuki atmosfer Bumi, ia akan menyajikan panorama yang mirip dengan energi yang dilepaskan 2 hingga 4 kali lipat lebih besar. Sumber: ElHasan, 2008.

Gambar 5. Jejak asap yang mulai memudar dan terpahat hembusan angin di keremangan fajar Sudan utara, 8 Oktober 2008. Inilah jejak asap yang ditinggalkan Peristiwa Almahata Sitta, yakni masuknya sebongkah asteroid kecil yang lantas memijar menjadi meteor-terang lalu pecah berkeping-keping di atas Sudan utara sembari melepaskan energi antara 1 hingga 1,6 kiloton TNT. Andaikata asteroid 2014 LY21 memasuki atmosfer Bumi, ia akan menyajikan panorama yang mirip dengan energi yang dilepaskan 2 hingga 4 kali lipat lebih besar. Sumber: ElHasan, 2008.

Empat hari kemudian, Bumi kembali dikunjungi oleh asteroid pelintas-dekat lainnya, yakni asteroid tanpa nama berkode 2014 HQ124. Asteroid ini jauh lebih besar, diameternya sampai 325 meter. Titik terdekatnya ke Bumi dicapainya pada Minggu 8 Juni 2014 pukul 12:56 WIB sejauh 1,25 juta kilometer dari Bumi atau 3,25 kali lebih jauh ketimbang jarak rata-rata Bumi-Bulan. Proyeksi lintasannya pada 8 Juni 2014 itu lagi-lagi melewati wilayah Indonesia, dengan titik terdekat ke Bumi terjadi tepat di atas Samudera Indonesia (Samudera Hindia) di lepas pantai barat pulau Sumatra. Salah satu media di Indonesia sempat mengulas perlintasan-dekat asteroid ini dan kaitannya dengan cahaya bergerak yang teramati di langit Jabodetabek 8 Juni 2014 senja. Meski kemudian terbukti cahaya tersebut hanyalah jejak pesawat. Pada saat berada di titik terdekatnya pun asteroid ini hanya berbinar dengan magnitudo +13 tepat di saat fajar. Ini terlalu redup untuk terlihat secara kasat mata.

Gambar 6. Proyeksi lintasan asteroid 2014 HQ124 di atas permukaan Bumi pada 8 Juni 2014. Titik-titik kuning melambangkan proyeksi posisi asteroid setiap sejam sekali, sementara tanda bintang (*) adalah titik proyeksi saat asteroid berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi. Jelas terlihat bahwa asteroid 2014 HQ124 melintas di atas Indonesia antara pukul 09:00 hingga 13:00 WIB. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System Dynamics.

Gambar 6. Proyeksi lintasan asteroid 2014 HQ124 di atas permukaan Bumi pada 8 Juni 2014. Titik-titik kuning melambangkan proyeksi posisi asteroid setiap sejam sekali, sementara tanda bintang (*) adalah titik proyeksi saat asteroid berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi. Jelas terlihat bahwa asteroid 2014 HQ124 melintas di atas Indonesia antara pukul 09:00 hingga 13:00 WIB. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari NASA Solar System Dynamics.

Asteroid ini baru ditemukan pada 3 April 2014 silam lewat program NEOWISE, yakni program penyigian langit berbasis satelit WISE (Wide-field Infrared Survey Explorer) yang bekerja pada spektrum inframerah. Seperti halnya asteroid 2014 LY21, asteroid 2014 HQ124 ini tergolong keluarga asteroid Aten yang beredar mengelilingi Matahari dalam waktu 287 hari (0,79 tahun). Saat pertama kali dipublikasikan, sejumlah media (secara salah kaprah) menjulukinya sebagai Sang Monster. Julukan tersebut agaknya berpangkal dari perhitungan sederhana, bilamana asteroid ini jatuh ke Bumi maka ia akan melepaskan energi antara 2.558 hingga 2.766 megaton TNT (128.000 hingga 138.000 kali lipat lebih dahsyat dari bom nuklir Hiroshima). Pelepasan energi sebesar itu akan disertai dengan terbentuknya kawah tumbukan berukuran besar, dengan garis tengah antara 5 hingga 6 kilometer. Untungnya orbit asteroid 2014 HQ124 tidak bakal bersinggungan dengan orbit Bumi selama setidaknya 100 tahun ke depan, sehingga potensi tumbukannya terhadap Bumi adalah nihil.

Gambar 7. Tiga sekuens wajah asteroid 2014 HQ124 seperti diabadikan oleh Teleskop Radio Arecibo bersama dengan Teleskop Radio Goldstone dengan gelombang radar dari sudut pandang yang berbeda-beda seiring rotasinya. Nampak cekungan besar (diameter  100 meter) yang adalah jejak yang tersisa dari benturan asteroid ini dengan benda langit lain nun jauh di masa purba. Sumber: Arecibo Observatory, 2014.

Gambar 7. Tiga sekuens wajah asteroid 2014 HQ124 seperti diabadikan oleh Teleskop Radio Arecibo bersama dengan Teleskop Radio Goldstone dengan gelombang radar dari sudut pandang yang berbeda-beda seiring rotasinya. Nampak cekungan besar (diameter 100 meter) yang adalah jejak yang tersisa dari benturan asteroid ini dengan benda langit lain nun jauh di masa purba. Sumber: Arecibo Observatory, 2014.

Perhitungan menunjukkan bahwa jarak perlintasan asteroid 2014 HQ124 ke Bumi kali ini adalah jaraknya yang terdekat dan takkan terulang lagi hingga setidaknya 200 tahun mendatang. Karena dekatnya, maka ia menjadi target ideal observasi non-visual. Teleskop Radio Arecibo pun kembali dikerahkan, kali ini dipasangkan bersama Teleskop Radio Goldstone, California (AS) yang berdiameter 70 meter. Paduan ini bertujuan untuk memperoleh citra beresolusi lebih tinggi. Tekniknya, Goldstone mengirim sinyal radar ke asteroid, sementara Arecibo bertugas menerima sinyal pantulnya (yang dipantulkan 2014 HQ124). Kerja keras Goldstone dan Arecibo mengungkap wajah asteroid 2014 HQ124 ini lebih lanjut. Asteroid tersebut ternyata berbentuk seperti kacang tanah dan diduga berasal dari dua asteroid tua yang berbeda yang bertabrakan dan saling melekat satu dengan yang lain pada suatu waktu di masa lalu. Sebuah cekungan (kawah) besar berdiameter sekitar 100 meter nampak menghiasi salah satu sisi asteroid, sepertinya bekas tubrukan dengan asteroid lain jauh di masa silam pula. Asteroid ini berotasi dengan periode yang relatif lambat untuk ukurannya, yakni 20 jam.

Referensi :

Arecibo Observatory. 2014. High Resolution Radar at Arecibo Observatory Reveals Asteroid As a Beauty, Not a Beast, 12 Juni 2014.

King. 2014. Camelopardalid Meteor Show More a Trickle than a Storm. AstroBob, 24 Mei 2014.

King. 2014. Amazing Radar Images of 209P/LINEAR, The Comet Behind Last Week’s Meteor Shower. AstroBob, 29 Mei 2014.

NASA Solar System Dynamics. 2014.

Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.

Ramadhan dan Bukti Baru Kelahiran Bulan

Kelahiran Bulan? Ya. Ini fakta terbaru yang ditemukan jelang bulan suci Ramadhan 1435 H (2014). Namun kelahiran Bulan di sini tidak terkait dengan hiruk-pikuk seputar penentuan awal bulan suci Ramadhan kali ini, dimana salah satu “kriteria” yang digunakan (sebagian) Umat Islam di Indonesia adalah “kriteria” lahirnya Bulan (wujudul hilaal). Tetapi terkait dengan asal-usul benda langit pengiring setia Bumi kita yang kita beri nama Bulan, yang dilahirkan bermilyar tahun silam di era tata surya muda lewat rangkaian peristiwa menggetarkan yang saling berkait. Kini lebih dari 250 simulasi terbaru yang dilakukan Seth Jacobson dan rekan-rekannya dengan bersenjatakan komputer berkecepatan tinggi menambahkan bukti baru ke dalam saat-saat kelahiran Bulan.

Darimana Bulan berasal telah lama menjadi bahan pemikiran dan pencarian umat manusia. Pernah muncul anggapan bahwa Bulan mungkin saja merupakan benda langit yang terbentuk di bagian lain tata surya kita, lantas kemudian melintas terlalu dekat dengan Bumi purba (proto-Bumi). Kala itu proto-Bumi dianggap sudah memiliki atmosfer dan jauh lebih pekat (lebih tebal) ketimbang atmosfer saat ini. Maka saat Bulan purba melintas terlalu dekat dengan proto-Bumi, kecepatannya sedikit melambat akibat ulah atmosfer yang pekat ini. Akibatnya gravitasi Bumi pun memaksanya berubah haluan menjadi mengedari Bumi kita untuk seterusnya tanpa bisa keluar lagi. Anggapan tentang satelit alami tangkapan ini bukanlah sekedar obrolan ringan di warung kopi, karena eksplorasi antariksa bersenjatakan wahana-wahana penjelajah telah membuktikan bahwa beberapa planet dalam tata surya kita memiliki satelit alami tangkapan. Misalnya Mars, yang bersatelitkan Phobos dan Deimos. Baik Phobos maupun Deimos semula adalah asteroid berukuran lumayan besar yang mengelilingi Matahari kita. Namun saat melintas terlalu dekat dengan Mars di masa silam, gravitasi planet merah menangkapnya dan mengubahnya menjadi satelit alami.

Namun anggapan bahwa Bulan adalah satelit alami tangkapan harus berhadapan dengan sejumlah persoalan serius. Misalnya terkait dinamika jarak satelit terhadap planet induknya. Pengukuran jarak Bumi-Bulan dengan akurasi sangat tinggi menggunakan instrumen yang dipasang di Bulan sebagai bagian program pendaratan manusia di Bulan (lihat di sini) menunjukkan Bulan ternyata terus menjauh dari Bumi setiap tahunnya, meski kecepatan menjauhnya amat sangat lambat dibandingkan laju lari siput, yakni hanya 3,8 cm/tahun. Fakta ini bertolak-belakang bila dibandingkan dengan Phobos dan Deimos, yang justru terus mendekat ke planet induknya sehingga kelak akan jatuh ke Mars. Selain itu komposisi batuan Bulan yang dibawa ke Bumi oleh para astronot Apollo memperlihatkan kemiripan mengagumkan, meski tidak sama persis, dengan batuan yang kita kenal di Bumi. Kemiripan ini menunjukkan pada saat tata surya berusia sangat muda, baik Bumi maupun Bulan terbentuk di lokasi yang relatif sama.

Gambar 1. Ilustrasi bagaimana material yang membentuk Bulan dihasilkan menurut gagasan hantaman akbar, teori pembentukan Bulan terfavorit pada saat ini. Nampak proto-Bumi (ukuran lebih besar) kala dihantam oleh proto-Theia (berukuran lebih kecil). Hantaman akbar ini memencarkan material selubung dan kerak baik dari proto-Bumi maupun proto-Theia ke langit. Di kemudian hari material tersebut menggumpal kembali menjadi Bulan. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Gambar 1. Ilustrasi bagaimana material yang membentuk Bulan dihasilkan menurut gagasan hantaman akbar, teori pembentukan Bulan terfavorit pada saat ini. Nampak proto-Bumi (ukuran lebih besar) kala dihantam oleh proto-Theia (berukuran lebih kecil). Hantaman akbar ini memencarkan material selubung dan kerak baik dari proto-Bumi maupun proto-Theia ke langit. Di kemudian hari material tersebut menggumpal kembali menjadi Bulan. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Karena itu meski sempat difavoritkan hingga dekade 1980-an, pelan namun pasti anggapan bahwa Bulan adalah satelit alami tangkapan mulai ditinggalkan. Di sisi lain, miripnya komposisi batuan Bulan dan Bumi sempat pula melahirkan asumsi baru, dimana Bulan dan Bumi dianggap sama-sama terbentuk di kawasan yang sama dan terus bertahan hingga kini. Meski demikian asumsi ini pun harus berhadapan dengan sejumlah tantangan lain yang sulit dijelaskan. Misalnya, relatif besarnya momentum sudut (momentum angular) dalam sistem Bumi-Bulan. Atau bagaimana bisa Bulan memiliki inti kaya besi yang relatif kecil, yakni hanya 25 % terhadap jari-jari Bulan, dibandingkan dengan inti Bumi kita yang sampai mencapai 50 % terhadap jari-jari Bumi.

Jarak Bumi-Bulan yang terus membesar dan tingginya momentum sudut sistem Bumi-Bulan menjadi indikasi bahwa dalam ratusan juta hingga milyaran tahun silam, Bulan pernah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Bumi kita. Bahkan ada kemungkinan Bulan dan Bumi pernah menjadi satu di kala tata surya masih sangat muda. Anggapan ini pertama kali diapungkan seorang George Darwin pada tahun 1898 dan lantas populer sebagai gagasan fisi (pemecahan). Menurut Darwin, saat tata surya masih sangat muda, proto-Bumi sudah mulai berbentuk membulat namun masih sangat panas sehingga keseluruhannya bagiannya masih bersifat cair. Karena proto-Bumi berotasi sangat cepat maka ada sebagian materialnya yang terlontar keluar ke langit. Inilah yang lambat laun kemudian membulat dan membeku menjadi Bulan. Sementara lokasi dimana material pembentuk Bulan tersebut semula berada menjadi cekungan raksasa yang di kemudian hari digenangi air sebagai Samudera Pasifik.

Gagasan fisi Darwin tak pernah menjadi favorit. Apalagi setelah revolusi ilmiah melanda dunia pengetahuan kebumian kita, yang dipantik Wegener dengan teori pengapungan benua-nya pada 1912 dan berpuncak pada diterimanya teori tektonik lempeng dalam setengah abad kemudian. Teori tektonik lempeng menunjukkan bahwa Samudera Pasifik baru terbentuk dalam kurun 200 juta tahun terakhir, alias masih sangat muda dibanding usia Bulan yang telah bermilyar tahun. Samudera Pasifik juga terbentuk sebagai hasil aktivitas lempeng-lempeng tektonik, khususnya lempeng Pasifik. Dengan demikian gagasan fisi ini pun kehilangan salah satu pijakannya. Namun pada 2010 lalu gagasan ini bangkit kembali lewat tangan Rob de Meijer dan Wim van Estrenen. Kedua ilmuwan kebumian Belanda tersebut memaparkan modifikasi fisi lewat gagasan baru yang tak kalah kontroversialnya: fisi terjadi bukan karena proto-Bumi berotasi terlalu cepat, melainkan akibat ledakan nuklir berkekuatan amat sangat dahsyat dengan mengambil lokasi di kawasan perbatasan inti dan selubung proto-Bumi. Ledakan nuklir tersebut dipicu oleh gelombang tekanan yang dihasilkan tumbukan asteroid raksasa (diameter melebihi 100 km) terhadap proto-Bumi. Akibatnya bahan nuklir seperti Uranium-235, Thorium-232 dan Uranium-238 pun demikian terkonsentrasi hingga mencapai massa kritis, yakni massa yang dibutuhkan bagi bahan nuklir untuk bisa menyelenggarakan reaksi fisi berantai dalam kurun waktu tertentu.

Hantaman Akbar

Berbanding terbalik dengan fisi, gagasan yang lebih difavoritkan semenjak dekade 1980-an hingga saat ini adalah gagasan hantaman akbar (giant impact). Gagasan yang pertama kali diapungkan Reginald Adworth Daly, profesor Harvard (AS) kelahiran Canada, pada 1946. Pada intinya gagasan ini mirip dengan gagasan fisi Darwin, hanya saja penyebab terlontarnya sebagian material proto-Bumi ke langit bukanlah faktor internal seperti rotasi Bumi yang sangat cepat ataupun ledakan nuklir yang amat sangat dahsyat. Melainkan faktor internal, yakni saat Bumi purba ditubruk/dihantam oleh benda langit asing seukuran Mars.

Gambar 2. Simulasi bagaimana proto-Bumi dihantam oleh proto-Theia dan apa yang selanjutnya terjadi hingga 29 jam kemudian. Nampak baik proto-Bumi maupun proto-Theia sudah berbentuk membulat tepat pada saat hantaman akbar terjadi (A). Namun dalam 1,3 jam kemudian, keduanya sontak meleler laksana telur pecah (B). 3 jam kemudian, gravitasi mulai berusaha menyatukan kembali seluruh material yang terpencar-pencar akibat hantaman (C). Sehingga dalam 6 jam pasca hantaman, material yang terpencar dari proto-Theia dan proto-Bumi mulai menyatu kembali dan melonjong, dengan sebagian diantaranya tersembur ke langit seiring tingginya energi (D). 8 jam pasca hantaman, proto-Bumi yang baru mulai terbentuk, namun semburan material ke langit di sekitar Bumi masih terjadi yang menampakkan bentuk 2 lengan (E). Material di dua lengan inilah yang kemudian membentuk dua Bulan. Gravitasi yang terus bekerja membuat proto-Bumi yang baru telah mulai membulat hanya dalam 29 jam pasca hantaman (E). Proto-Bumi yang baru kini dikelilingi oleh cincin pekat produk hantaman. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Gambar 2. Simulasi bagaimana proto-Bumi dihantam oleh proto-Theia dan apa yang selanjutnya terjadi hingga 29 jam kemudian. Nampak baik proto-Bumi maupun proto-Theia sudah berbentuk membulat tepat pada saat hantaman akbar terjadi (A). Namun dalam 1,3 jam kemudian, keduanya sontak meleler laksana telur pecah (B). 3 jam kemudian, gravitasi mulai berusaha menyatukan kembali seluruh material yang terpencar-pencar akibat hantaman (C). Sehingga dalam 6 jam pasca hantaman, material yang terpencar dari proto-Theia dan proto-Bumi mulai menyatu kembali dan melonjong, dengan sebagian diantaranya tersembur ke langit seiring tingginya energi (D). 8 jam pasca hantaman, proto-Bumi yang baru mulai terbentuk, namun semburan material ke langit di sekitar Bumi masih terjadi yang menampakkan bentuk 2 lengan (E). Material di dua lengan inilah yang kemudian membentuk dua Bulan. Gravitasi yang terus bekerja membuat proto-Bumi yang baru telah mulai membulat hanya dalam 29 jam pasca hantaman (E). Proto-Bumi yang baru kini dikelilingi oleh cincin pekat produk hantaman. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Kini, penelitian terbaru berbasis simulasi termutakhir menambahkan bukti terbaru bagaimana hantaman akbar ini terjadi. Saat proto-Bumi mulai terbentuk dari gumpalan planetisimal yang terus membesar pada 4,5 milyar tahun silam, ia tidaklah sendirian di orbitnya. Sebuah protoplanet lainnya pun turut terbentuk dan berbagi orbit yang sama dengan proto-Bumi. Kita menyebutnya sebagai proto-Theia, protoplanet yang seukuran dengan Mars dengan komposisi batuan sedikit berbeda dengan proto-Bumi dan lebih mirip dengan asteroid tipe E. Proto-Bumi dan Theia purba (proto-Theia) mengedari Matahari dalam orbit bersama demikian rupa, sehingga jika dilihat dari arah Matahari maka proto-Theia selalu berjarak sudut (berelongasi) 60 derajat terhadap proto-Bumi. Dan jika antara pusat proto-Bumi, Matahari dan proto-Theia ditarik garis lurus, maka akan terbentuk sebuah segitiga samasisi imajiner. Meski imajiner, segitiga ini sangat penting kedudukannya dalam astronomi karena menjanjikan stabilitas bagi dua benda langit yang berada dalam sebuah orbit yang sama seperti diungkapkan matematikawan Joseph Louis Lagrange pada hampir 2,5 abad silam.

Namun stabilitas Lagrange hanya berlaku jika salah satu benda langit tersebut berukuran sangat kecil dibanding benda langit lainnya. Jika ukurannya cukup besar seperti dalam kasus proto-Theia terhadap proto-Bumi, maka stabilitas tak pernah tercapai. Sebaliknya proto-Theia mulai bergerak mengayun di sepanjang orbitnya dan lama-kelamaan kian liar hingga kian mendekati Bumi pada salah satu ayunannya. Dengan memanfaatkan lebih dari 250 hasil simulasi komputer berkekuatan tinggi yang dipublikasikannya pada April 2014 lalu, Seth Jacobson dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa pada akhirnya proto-Theia pun menghantam proto-Bumi.

Hantaman itu menyebabkan proto-Bumi yang sudah mulai membulat sontak amburadul dan muncrat kemana-mana layaknya telur yang dilemparkan ke dinding. Permukaan Bumi yang mulai memadat kontan mencair kembali akibat paparan suhu tinggi hingga sekitar 10.000 derajat Celcius. Sebagian material proto-Bumi bahkan sampai terlontar ke langit dan kemudian mengembun menjadi debu dan bongkahan batu beraneka ragam ukuran. Bilamana kita telah ada pada masa itu, maka Bumi akan terlihat dikitari oleh cincin yang besar dan jauh lebih padat ketimbang cincin-cincin Saturnus. Lambat laun batu demi batu dan debu demi debu itu dalam cincin mulai terkumpul kembali melalui proses akresi. Hingga terbentulah gumpalan material yang lama kelamaan kian membesar. Tak hanya satu gumpalan, melainkan terbentuk dua dengan salah satunya berukuran lebih kecil. Jadi, berjuta tahun setelah hantaman akbar terjadi, kita akan melihat cincin Bumi kian menipis, berganti dengan pemandangan dua benda langit baru yang mengawal Bumi kita sebagai Bulan pertama dan Bulan kedua.

Laksana proto-Bumi dan proto-Theia, Bulan pertama dan Bulan kedua mengedari proto-Bumi kita pada orbit yang sama dalam konfigurasi Lagrange. Selama berjuta tahun kemudian Bulan pertama dan Bulan kedua ini terus membulat dan memadat. Namun seperti halnya yang dialami proto-Theia, stabilitas Lagrange tak pernah diraih Bulan kedua yang lebih kecil (diameter sekitar 1.000 km). Sehingga perlahan tapi pasti, aksi gravitasi Bumi dan pengaruh gravitasi planet-planet tetangga membuat Bulan kedua mulai berayun-ayun di dalam orbitnya. Ayunannya kian lama kian liar dan pada akhirnya ia pun bertuburukan dengan Bulan pertama yang ukurannya lebih besar. Peristiwa mirip hantaman akbar pun terulang, hanya saja kali ini keduanya menyatu menjadi apa yang kini kita kenal sebagai satu-satunya satelit alami planet biru: Bulan. Penyatuan ini terjadi dalam kurun 50 juta tahun pasca hantaman besar. Penyatuan tersebut membentuk sisi jauh Bulan, juga menyebabkan pusat inti Bulan sedikit bergeser dibanding pusat Bulan dan ketebalan kerak Bulan di sisi dekat Bulan jauh lebih tipis. Sehingga gunung-gemunung berapi Bulan banyak dijumpai di sini.

Setahun 400 Hari

Gambar 3. Simulasi bagaimana kedua Bulan yang dimiliki proto-Bumi pasca hantaman akbar kembali menyatu sekitar 50 juta tahun setelah terjadinya hantaman akbar. Nampak tepat pada saat penyatuan akan terjadi, Bulan pertama sudah berbentuk membulat sementara Bulan kedua relatif lonjong. Saat Bulan kedua menghantam Bulan pertama, energinya tak cukup besar untuk memencarkan sebagian besar material Bulan pertama, sehingga Bulan kedua justru melekat (menyatu) dengan Bulan pertama. Dalam 1,4 jam pasca penyatuan, gravitasi terus bekerja sehingga bentuk Bulan yang baru mulai membulat. Penyatuan ini boleh dikata telah usai hanya dalam 2,8 jam kemudian, saat Bulan yang baru telah hadir dan benar-benar bulat. Material yang melekat dari Bulan kedua membentuk apa yang kita kenal sebagai sisi jauh Bulan. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Gambar 3. Simulasi bagaimana kedua Bulan yang dimiliki proto-Bumi pasca hantaman akbar kembali menyatu sekitar 50 juta tahun setelah terjadinya hantaman akbar. Nampak tepat pada saat penyatuan akan terjadi, Bulan pertama sudah berbentuk membulat sementara Bulan kedua relatif lonjong. Saat Bulan kedua menghantam Bulan pertama, energinya tak cukup besar untuk memencarkan sebagian besar material Bulan pertama, sehingga Bulan kedua justru melekat (menyatu) dengan Bulan pertama. Dalam 1,4 jam pasca penyatuan, gravitasi terus bekerja sehingga bentuk Bulan yang baru mulai membulat. Penyatuan ini boleh dikata telah usai hanya dalam 2,8 jam kemudian, saat Bulan yang baru telah hadir dan benar-benar bulat. Material yang melekat dari Bulan kedua membentuk apa yang kita kenal sebagai sisi jauh Bulan. Sumber: NASA Jet Propulsion Laboratory, 2014.

Bagaimana dengan Bumi? Hantaman akbar membuat inti kaya besi di proto-Theia melesak masuk dan bergabung dengan inti kaya besi proto-Bumi. Inilah yang membuat inti Bumi kita berukuran cukup besar pada saat ini. Hantaman akbar juga menghamburkan sebagian selubung dan kerak proto-Bumi ke langit, bersamaan dengan selubung dan kerak proto-Theia. Diduga kuantitas material yang berasal dari proto-Bumi lebih besar ketimbang material proto-Theia dan inilah yang kemudian membentuk komposisi Bulan kita.

Hantaman akbar juga menyebabkan Bumi miring hingga 23,5 derajat dari sumbu tegaklurus ekliptika. Bermilyar tahun kemudian, kemiringan ini sangat berperan dalam menentukan dinamika iklim di permukaan Bumi sehingga memungkinkan peradaban manusia tumbuh dan berkembang. Hantaman akbar pun membuat proto-Bumi pada awalnya berotasi sangat cepat, dengan periode rotasi hanya 5 jam. Namun begitu penyatuan Bulan terjadi, segera sistem Bumi-Bulan terbentuk dan saling berinteraksi secara gravitasi sehingga terjadilah kuncian gravitasi (gravity locking). Kuncian ini menyebabkan Bulan selalu menghadapkan wajahnya yang sama ke Bumi, membuat kita tak pernah bisa melihat sisi jauh Bulan secara langsung. Lambat laun Bulan pun kian menjauh, yang berimbas pada melambatnya rotasi Bumi. Sehingga pada 620 juta tahun silam, jejak yang terekam pada fosil kerang dan karang memperlihatkan periode rotasi Bumi telah sebesar 21,9 jam, yang berkorespondensi dengan jarak rata-rata Bumi ke Bulan saat itu sebesar 380.900 km. Konsekuensinya setahun Gregorian (Masehi) pada saat itu setara dengan 400 hari, bukan 365 hari.

Hantaman akbar merupakan fenomena teramat dahsyat yang umum dijumpai di saat tata surya berusia sangat muda. Peristiwa sejenis diyakini juga pernah dialami proto-Venus, yang berakibat pada lambatnya rotasi planet Venus saat ini dibanding revolusinya. Merkurius pun, kala masih sebagai proto-Merkurius, diindikasikan juga mengalami hal serupa yang membuat inti planet ini berukuran terlalu besar jika dibandingkan dengan inti-inti planet lainnya.

Referensi :

Choi. 2014. Moon’s Age Revealed, and a Lunar Mystery May Be Solved. Space.com, 2 April 2014.

Tate. 2014. How the Moon Was Made: Lunar Evolution Explained (Infographic). Space.com, 2 April 2014.