Mengenal Erupsi Gunung Berapi: Freatik, Freatomagmatik dan Magmatik

Gunung Agung akhirnya membuktikan bahwa dirinya tak ingkar dari janjinya sebagai gunung berapi aktif. Setelah lebih dari dua bulan mencekam lewat drama krisis seismik yang ditandai lonjakan kegempaan vulkanik dan tektonik, pada Selasa 21 November 2017 TU (Tarikh Umum) Agung akhirnya meletus.

Gambar 1. Letusan awal Gunung Agung pada Minggu 21 November 2017 TU sore. Tekanan gas vulkanik di letusan ini tergolong sedang, sehingga debu hanya menyembur setinggi 700 meter di atas puncak. Semula dikira erupsi freatik, namun analisis sampel debu produk letusan ini menunjukkan saat itu Gunung Agung sudah memasuki tahap erupsi freatomagmatik. Sumber: PVMBG, 2017.

Letusan awal Agung tergolong sedang. Ia menyemburkan debu vulkanik hingga setinggi maksimal 700 meter di atas puncak, atau 4.100 meter dpl (dari paras air laut rata-rata). Letusan berlangsung singkat dan Gunung Agung kembali tenang hingga 4 hari kemudian. Namun kejadian letusan itu sendiri dipandang mengagetkan bagi sebagian kalangan. Mengingat sejak krisis seismik Gunung Agung dimulai pada 13 September 2017 TU, kegempaan harian Agung justru menunjukkan kecenderungan mulai menurun pada 37 hari kemudian.

Dengan patokan 20 Oktober 2017 TU, bila dicermati sebelum tanggal tersebut jumlah gempa vulkanik-tektonik Gunung Agung melampaui 600 kejadian per hari dan bahkan pada puncaknya sempat menyentuh lebih dari 1.000 kejadian per hari. Namun selepas tanggal itu jumlahnya anjlok secara drastis menjadi di bawah 400 kejadian per hari. Bahkan sehari sebelum letusan, jumlah gempa Gunung Agung sudah anjlok drastis di bawah angka 100 kejadian per hari. Tak heran banyak yang beranggapan Gunung Agung telah melempem, kehabisan tenaga sebelum saatnya meletus.

Gambar 2. Panorama kawah Gunung Agung dalam beberapa hari pasca letusan awal, diabadikan dengan PUNA/pesawat udara nir-awak (drone). Nampak lubang letusan awal (yang merupakan erupsi freatomagmatik) menganga di tengah dasar kawah. Sementara gas belerang nampak mengepul pada zona retakan di sisi timur laut. Sumber: PVMBG, 2017.

Setelah tenang kembali selama 4 hari, Gunung Agung kembali beraksi pada Sabtu 25 November 2017 TU. Kali ini letusannya lebih besar dan durasinya lebih lama karena berlangsung hingga berhari-hari kemudian. Awalnya kolom debu letusan disemburkan setinggi 4.600 meter dpl (lebih dari 15.000 kaki). Namun terus berlangsungnya pasokan magma segar membuat debu vulkanik membumbung kian tinggi hingga akhirnya mencapai ketinggian lebih dari 6.000 meter dpl (hampir 18.000 kaki).

Dengan ketinggian hingga 18.000 kaki itu, maka tebaran debu vulkanik Agung sudah memasuki area lalulintas penerbangan pesawat-pesawat komersial. Larangan terbang di ruang udara sekitar Gunung Agung pun ditegakkan untuk keselamatan penerbangan. Meski konsekuensinya dua bandara, masing-masing Denpasar (Bali) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat), terpaksa ditutup untuk sementara. Akibatnya ratusan penerbangan dari dan ke pulau Bali dan pulau Lombok pun terpaksa dibatalkan. Beruntung penutupan ini tidak berlangsung lama. Di sisi lain, lonjakan ini membuak status Gunung Agung kembali dinaikkan ke Awas (Level IV) mulai 27 November 2017 TU.

Kubah Lava

Gambar 3. Letusan Gunung Agung pada 29 November 2017 TU dinihari. Warna kemerahan pada satu sisi di bagian bawah kolom letusan merupakan cahaya yang dipancarkan dari magma segar yang telah keluar dan mulai mengisi dasar kawah. Inilah pertanda tak langsung letusan Gunung Agung sudah memasuki fase erupsi magmatik yang efusif. Sumber: PVMBG, 2017.

Semenjak itu Gunung Agung terus berkibar dengan aktivitasnya. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMB) mencatat hingga akhir tahun 2017 TU, Gunung Agung telah mengalami 21 kejadian letusan dan 843 kejadian hembusan. Bila dirata-ratakan maka terjadi satu letusan setiap 2 hari dan setiap harinya terjadi 21 hembusan. Kejadian letusan adalah semburan dengan kolom berwarna abu-abu/gelap sebagai pertanda dominasi debu vulkanik. Sementara hembusan adalah semburan yang mirip namun lebih cerah atau putih, indikasi dominannya uap air.

Selain kejadian letusan dan hembusan, sejak letusan beruntun 25 November 2017 juga terdeteksi terjadinya muntahan magma segar. Awalnya berdasarkan indikasi tak langsung, dimana dasar kolom letusan nampak merah membara laksana tersinari sesuatu di malam hari. Indikasi langsungnya baru diketahui berhari-hari kemudian lewat pencitraan satelit sumberdaya Bumi (baik dalam spektrum cahaya tampak maupun radar), terutama manakala tutupan awan di atas Gunung Agung relatif jarang.

Gambar 4. Panorama kubah lava di dasar kawah Gunung Agung, diabadikan dengan PUNA PVMBG dan satelit penginderaan jauh PlanetLab masing-masing pada pertengahan dan awal Desember 2017 TU. Orientasi arah mataangin keduanya adalah sama. Nampak jelas kubah lava yang unik dengan tepian bergelombang dan lubang letusan di bagian tengah. Sumber: PVMBG, 2017 & Planet, 2017.

Magma keluar sebagai lava segar yang terakumulasi di dasar kawah sebagai kubah lava nan unik. Bentuknya melebar datar mirip telur dadar atau martabak. Terdapat pola bergelombang di tepinya, yang mengesankan terbentuk saat lava masih cukup encer dan mendadak terjadi letusan cukup kuat hingga membentuk gelombang di permukaan sebelum kemudian mulai mendingin dan membeku. Bentuknya yang melebar datar menunjukkan lava letusan Agung kali ini relatif encer, setidaknya dibanding lava letusan 1963-1964.

Secara akumulatif terdapat 20 hingga 30 juta meter3 lava di dasar kawah Agung. Volume kawah Agung sendiri adalah 60 juta meter3, sehingga jumlah lava yang keluar dalam letusan ini baru mengisi sepertiga hingga setengah kawah saja. Belum tumpah. Ini membuat fenomena khas letusan gunung berapi bagi lereng gunung seperti aliran lava pijar maupun awan panas guguran tidak terjadi.

Ada perdebatan apakah akumulasi lava Agung merupakan kubah lava atau fenomena lain, misalnya danau lava. Mengutip VolcanoDiscovery.com, sulit menyebutnya sebagai danau lava. Sebab danau lava memerlukan lava yang lebih encer lagi dan mampu mempertahankan diri untuk tetap cair (dalam waktu tertentu) sehingga proses konveksi dapat terjadi. Hal tersebut tak dijumpai pada tumpukan lava Agung saat ini. Maka fenomena dalam kawah Agung lebih merupakan kubah lava. Lavanya relatif lebih encer dibanding lava penyusun kubah-kubah lava lainnya di gunung-gemunung berapi Indonesia. Sehingga bentuknya mendatar. Kubah lava yang mirip dijumpai pula di Gunung Popocatepetl (Meksiko) saat letusan 2015-2016 lalu.

Gambar 5. Panorama kubah lava Agung dan Popocatepetl. Dua kubah lava yang berbeda ini memiliki sejumlah kemiripan, yakni bentuknya relatif datar dan memiliki pola bergelombang di tepinya. Sumber: PVMBG, 2017 & CENAPRED, 2016.

Freatik, Freatomagmatik dan Magmatik

Banyak yang menganggap (termasuk saya) letusan Gunung Agung kali ini dimulai dengan peristiwa erupsi freatik. Tepatnya pada letusan awal 21 November 2017. Namun PVMBG, melalui analisis sampel debu letusan, mementahkan anggapan itu dan menyatakan letusan awal Agung bukan lagi erupsi freatik namun sudah merupakan erupsi freatomagmatik.

Apa sih erupsi freatik dan freatomagmatik itu?

Dalam hal pergerakan magma dari sebelum hingga sesudah keluar dari lubang letusan, dikenal adanya tiga jenis erupsi. Masing-masing erupsi freatik, erupsi freatomagmatik dan erupsi magmatik. Seperti diketahui manakala sebuah gunung berapi hendak meletus maka dapur magmanya mulai mengalirkan magma segar yang telah bertekanan cukup tinggi (oleh sebab apapun) ke atas. Pergerakan ini menciptakan retakan-retakan pada bebatuan yang menyumbat saluran, batuan yang sejatinya merupakan bekuan dari magma tua (magma sisa letusan sebelumnya). Pembentukan retakan ini menghasilkan getaran yang terdeteksi sebagai gempa-gempa vulkanik.

Gambar 6. Skema sederhana erupsi freatik, freatomagmatik dan magmatik. A = Situasi menjelang erupsi freatik, dimana air bawah tanah sekitar puncak (2) terpanaskan intensif oleh magma segar yang masih jauh di kedalaman (5) sehingga membentuk uap air yang terakumulasi (4) di bawah penutup dasar kawah (3). B = saat erupsi freatik terjadi. Erupsi ini menciptakan jalan bebas hambatan bagi magma segar untuk lebih cepat naik, sehingga erupsi freatomagmatik juga berkemungkinan terjadi. C = saat erupsi magmatik terjadi, magma segar sudah keluar dari lubang letusan dan mengalir sebagai lava pijar maupun awan panas di lereng. Sumber: Sudibyo, 2014.

Saat magma segar kian dekat ke paras tanah dan siap memasuki tubuh gunung, mulailah ia berinteraksi dengan air bawah tanah. Gas-gas vulkanik panas yang dilepaskan magma segar di kedalaman bersentuhan dengan air bawah tanah sehingga penguapan terjadi, meskipun magma segar itu sendiri belum menyentuh air. Intensitas penguapan kian meningkat seiring kian naiknya magma segar. Sebagian uap bisa meloloskan diri ke udara melalui retakan-retakan yang sudah ada menuju kawah. Akan tetapi sebagian lagi tetap tersekap, berkumpul kian banyak hingga tekanannya kian meningkat. Erupsi freatik terjadi manakala akumulasi uap air ini memiliki tekanan yang cukup tinggi sehingga mampu membobol bebatuan pembekuan magma tua yang menyumbat kawah. Terciptalah jalur bebas hambatan ke udara.

Karena itu material vulkanik yang disemburkan oleh erupsi freatik lebih didominasi uap air bercampur gas-gas vulkanik lainnya. Sementara debu, pasir hingga kerikil produk pembobolan magma tua merupakan komponen sekunder. Produk letusannya pun relatif dingin. Saat baru keluar dari lubang letusan, material vulkaniknya memiliki suhu kurang dari 200º C dan saat tiba di kaki gunung sudah setara suhu lingkungan. Erupsi freatik sama sekali tidak memuntahkan magma segar. Intensitas erupsinya juga umumnya kecil. Namun ia menghasilkan jalan bebas hambatan yang membuat jenis-jenis erupsi berikutnya menjadi lebih mudah terjadi.

Gambar 7. Suasana panik sesaat setelah erupsi freatik di Kawah Sileri, kompleks vulkanik Dieng, Banjarnegara (Jawa Tengah) pada 2 Juli 2017 TU silam. Uap air nampak mengepul dari kawah, salah satu ciri khas erupsi freatik. Sumber: BNPB/Sutopo Purwo Nugroho, 2017.

Pada letusan Agung kali ini tidak terdeteksi terjadinya erupsi freatik. Erupsi freatik kadangkala menjadi babak pembuka sebuah episode letusan gunung berapi. Misalnya seperti pada Letusan Sinabung 2010. Namun juga dapat berdiri sendiri, yakni langsung berhenti tanpa diikuti jenis letusan yang lain. Misalnya seperti peristiwa Letusan Kawah Sileri 2017.

Jenis erupsi berikutnya adalah erupsi freatomagmatik. Umumnya erupsi ini terjadi setelah erupsi freatik berlalu. Erupsi freatomagmatik terjadi manakala magma segar, yang kian naik saja ke dalam tubuh gunung namun belum mencapai lubang letusan, mulai bersentuhan langsung dengan air bawah tanah. Persentuhan dengan air yang lebih dingin membuat permukaan magma segar sontak mendingin cepat, membentuk butiran-butiran pasir hingga kerikil dengan komposisi khas. Sebaliknya air bawah tanah langsung menguap secara brutal.

Gambar 8. Foto langka yang menunjukkan tahap awal Letusan Krakatau 1883, yakni saat puncak Perbuwatan menyemburkan debu vulkaniknya pada Mei 1883 TU. Letusan ini merupakan erupsi freatomagmatik. Sumber : Simkin & Fiske, 1983.

Produksi uap air yang berlebihan berujung pada letusan. Selain menyemburkan uap air dan gas-gas vulkanik lainnya, erupsi freatomagmatik pun menyemburkan debu, pasir hingga kerikil. Namun kali ini mayoritas berasal dari magma segar yang membeku cepat. Intensitas erupsinya akan lebih besar dari erupsi freatik dan material vulkanik yang dimuntahkannya pun lebih panas. Letusan Agung 21 November 2017 adalah erupsi jenis ini. Demikian halnya erupsi-erupsi awal dari episode Letusan Krakatau 1883.

Gambar 9. Menit-menit awal Letusan Sangeang Api 2014 seperti diabadikan fotografer Sofyan Efendi. Letusan pada 30 Mei 2014 TU ini merupakan contoh erupsi magmatik yang eksplosif. Saat itu Gunung Sangeang Api menyemburkan debu vulkaniknya hingga setinggi sekitar 20.000 meter dpl. Sumber: Effendi, 2014 dalam Mail Online, 2014.

Dan jenis erupsi yang terakhir adalah erupsi magmatik. Erupsi ini adalah pemuncak dari episode letusan gunung berapi, dengan magma segar sudah keluar dari lubang letusan. Erupsi magmatik secara umum terbagi menjadi dua: eksplosif (ledakan) dan efusif (leleran). Erupsi magmatik eksplosif umumnya melibatkan magma segar yang bersifat asam karena banyak mengandung silikat (SiO2). Sehingga ia lebih kental dan lebih banyak menyekap gas-gas vulkanik. Saat hendak keluar atau tepat keluar dari lubang letusan, gas-gas vulkanik ini terbebaskan sehingga menciptakan kolom letusan cukup besar dan menyembur tinggi. Manakala kekuatan semburan gas tak lagi mampu mempertahankan material vulkanik ini di udara maka ia akan berjatuhan kembali ke Bumi. Mayoritas diantaranya (yakni fraksi yang lebih berat) jatuh kembali ke tubuh gunung dan mengalir menuruni lereng sebagai Awan Panas Letusan (APL). Hal ini misalnya bisa disaksikan dalam kejadian Letusan Merapi 2010, Letusan Kelud 2014 dan Letusan Sangeang Api 2014.

Gambar 10. Letusan Sinabung pada 9 Februari 2015 TU, diabadikan fotografer Hendi Syarifuddin. Letusan ini merupakan contoh erupsi magmatik yang efusif, dimana terbentuk awan panas guguran yang mengalir ke lereng. Sumber: Syarifuddin, 2015 dalam geomagz, Maret 2015.

Sebaliknya erupsi magmatik yang efusif terjadi karena magma segar yang lebih bersifat basa (basaltik). Maka ia lebih encer dan kurang mengandung gas. Kurangnya gas vulkanik membuat magma segar cenderung menumpuk disekeliling lubang letusan saat keluar. Membentuk kubah lava. Pasokan magma segar yang berkesinambungan membuat kubah lava kian membesar dan kian takstabil, sehingga bisa longsor sebagian. Longsoran ini menghasilkan Awan Panas Guguran (APG) dan leleran lava pijar. Keduanya bergerak menuruni lereng hingga jarak tertentu. Hal ini misalnya bisa disaksikan pada Letusan Sinabung 2013 yang masih berlangsung hingga kini.

Referensi :

Martanto. 2017. Letusan Gunung Agung 21 November 2017 pukul 17:05 WITA. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, diakses 22 November 2017 TU.

Kasbani. 2017. Perkembangan Terkini Aktivitas Gunung Agung (1 Desember 2017 21:00 WITA). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, diakses 3 Desember 2017 TU.

VolcanoDiscovery. 2017. Gunung Agung volcano (Bali, Indonesia): Flat Lava Dome Occupying Summit Crater. Publikasi 13 Desember 2017 TU, diakses 30 Desember 2017 TU.

VolcanoDiscovery. 2017. Popocatépetl volcano (Mexico): Growing Lava Dome has Filled Inner Crater. Publikasi 29 Januari 2016 TU, diakses 30 Desember 2017 TU.

Tinggalkan komentar