Tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala (402)

KRI Nanggala (402) mengundang lara pada 21 April 2021 TU (Tarikh Umum). Satu dari lima kapal selam Indonesia tersebut menghilang ke kedalaman Laut Bali manakala sedang berpartisipasi dalam latihan penembakan torpedo. Setelah drama yang mengharu-biru selama lebih dari 3 hari kemudian, nasib akhir kapal selam ini pun terkuak. Ia tergolek di dasar Laut Bali pada kedalaman 838 meter dan terbelah menjadi tiga bagian besar yang saling berdekatan.

Laut Bali

Perairan Laut Bali yang membentang di antara Pulau Bali dan gugusan kepulauan Kangean pada dasarnya adalah cekungan besar yang membuka ke arah timur, dengan dasar miring ke timur. Bila di ujung timur cekungan ini kedalamannya mencapai 1.400 meter maka di ujung barat jauh lebih dangkal dengan kedalaman kurang dari 200 meter. Di dasar cekungan ini membujur sesar sungkup Flores yang melegenda, fitur geologis yang menjadi produk gejala subduksi sebagai back arc faulting.

Sesar inilah yang membentuk cekungan tersebut sebagai back arc basin. Sesar aktif ini terkenal sebagai pembangkit gempa-gempa kuat/besar dan merusak. Misalnya saja Gempa Flores 12 Desember 1992 (M7,8) dengan kedahsyatan terjangan tsunaminya di sisi timur pulau Flores, menjadikannya bencana tsunami paling mematikan di Indonesia modern (korban jiwa ~2.500 orang) sebelum 2004 TU. Sesar aktif yang sama juga menjadi pembangkit rentetan gempa Lombok 2018 TU silam. Yakni Gempa Lombok 29 Juli 2018 (M6,4), Gempa Lombok 5 Agustus 2018 (M7,0) dan Gempa Lombok 19 Agustus 2018 (M6,5). Ke barat cekungan Laut Bali, sesar Flores bersambung dengan sesar geser Baribis-Kendeng, sesar yang membujur sepanjang hampir segenap pulau Jawa dan melintasi sejumlah kota penting seperti kota Surabaya dan kota Semarang.

Di sisi utara cekungan Laut Bali ini membentang sebuah sesar besar lainnya. Yakni sesar RMKS, akronim dari Rembang-Madura-Kangean-Sakala. Mendapatkan namanya karena karena ia membentang mulai dari pulau Sakala, tepat di sisi utara cekungan Laut Bali, hingga beratus kilometer ke barat dan berujung jauh di Rembang (Jawa Tengah). Aktivitas geologinya di masa silam menjadikan sisi utara cekungan Laut Bali menjadi ladang-ladang minyak dan gas yang cukup produktif.

Gambar 1. Kapal selam KRI Nanggala (402) pada saat mengikuti latihan militer gabungan dwi-tahunan CARAT bersama Angkatan Laut Amerika Serikat, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kampuchea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan timor Leste. Sumber: US Navy / Alonzo M. Archer, 2015.
Gambar 1. Kapal selam KRI Nanggala (402) pada saat mengikuti latihan militer gabungan dwi-tahunan CARAT bersama Angkatan Laut Amerika Serikat, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kampuchea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Timor Leste. Sumber: US Navy / Alonzo M. Archer, 2015.

Cekungan ini berada di tepi jalur arus lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalir dari Samudera Pasifik melewati Selat Makassar dan terus melaju ke Selat Lombok untuk kemudian memasuki Samudera Indonesia. Karenanya terdapat cabang Arlindo yang mengalir di dalam cekungan ini dalam lintasan setengah tertutup. Karakteristik cekungan dengan kedalamannya dan kekuatan arusnya menjadikannya tempat ideal bagi korps Hiu Kencana, nama lain satuan kapal selam TNI AL, sebagai tempat latihan ideal. Termasuk untuk latihan penembakan torpedo pada 21 April 2021 TU dinihari pukul 04:00 WITA.

Kapal selam yang jika menyelam memiliki bobot 1.390 ton dan sanggup melaju secepat 25 knot (46 km/jam) itu menghilang tanpa kontak setelah diijinkan menyelam untuk penembakan torpedo. Turut pergi bersamanya 53 anak buah kapal terlatih. Upaya pencarian berskala besar pun diluncurkan, melibatkan militer mancanegara. Dengan cadangan Oksigen yang tersedia, diperkirakan awak KRI Nanggala (402) dapat bertahan hingga Sabtu 24 April 2021 TU dinihari. Namun setelah ditemukannya bagian puing kapal selam dan pencitraan bawah laut menggunakan sonar, magnetometer dan kamera, dapat dipastikan KRI Nanggala (402) telah tenggelam ke dasar Laut Bali. Peristiwa tenggelamnya kapal selam ini nampaknya terjadi hanya dalam beberapa saat setelah mulai menyelam dan kemungkinan berlangsung cepat. Meski apa yang sesungguhnya terjadi adalah bagian dari tugas penyelidikan yang sedang berlangsung.

Implosi ?

Reruntuhan KRI Nanggala (402) tergolek di kedalaman 838 meter, sejauh sekitar 1.400 meter dari titik dimana kapal selam tersebut terakhir terlihat. Ia patah menjadi tiga bagian besar masing-masing haluan, buritan dan menara. Bagian haluan dan buritan relatif lebih hancur dibanding bagian menaranya. Reruntuhan yang ditemukan dalam jarak saling berdekatan namun telah terbelah mengindikasikan telah terjadinya peristiwa implosi. Meskipun dugaan ini tidak sepenuhnya bulat, karena tak didukung data sonar.

Gambar 2. Peta batimetri dan topografi Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok dan sekitarnya. Nampak sesar-sesar Flores, Baribis-Kendeng dan RMKS. Posisi reruntuhan kapal selam KRI Nanggala (402) dinyatakan dalam (*). Sumber : Sudibyo, 2021 diadaptasi dari GEBCO.
Gambar 2. Peta batimetri dan topografi Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Lombok dan sekitarnya. Nampak sesar-sesar Flores, Baribis-Kendeng dan RMKS. Posisi reruntuhan kapal selam KRI Nanggala (402) dinyatakan dalam (*). Sumber : Sudibyo, 2021 diadaptasi dari GEBCO.

Implosi atau implosion memang jarang kita dengar. Tidak seperti explosion yang menjadi lawan katanya, yang umumnya dipahami sebagai ledakan. Meski explosion sesungguhnya peristiwa pelepasan energi yang mendorong materi ke arah luar (menjauhi titik pusat). Adapun implosion memiliki kelakuan sebaliknya, yakni pelepasan energi yang mendorong materi ke arah dalam (mendekati titik pusat). Jika pada explosion terjadi penyebaran dan penurunan kerapatan materi, maka pada implosion yang terjadi adalah pemampatan dan peningkatan kerapatan materi.

Ilmu astronomi cukup familiar dengan implosi. Pada fase akhir kehidupan bintang-bintang, dimana habisnya bahan fusi menyebabkan reaksi fusi termonuklir berhenti, maka implosi terjadi karena hilangnya keseimbangan antara gaya gravitasi (yang menuju ke pusat bintang) dengan tekanan radiasi (yang mengarah ke luar dari pusat bintang). Implosi bintang dikendalikan sepenuhnya oleh gravitasinya sendiri. Sebagai produk akhirnya adalah bintang-bintang eksotik dalam rupa bintang katai, bintang neutron dan bahkan lubang hitam.

Dalam kasus-kasus tenggelamnya kapal selam, implosi terjadi saat kapal selam sudah terbenam cukup dalam. Sebagai senjata serang dan pertahanan militer, semua kapal selam tidak dirancang menyelam sangat dalam. Melainkan hingga kedalaman tertentu saja sehingga fungsi militernya terpenuhi. Yakni dapat bersembunyi sepenuhnya dari lawannya sembari melancarkan serangan kejutan. Untuk menembakkan torpedonya, kapal selam cukup menyelam hingga kedalaman periskop (yakni beberapa belas meter). Sedangkan guna menembakkan rudal balistik ataupun rudal jelajah yang diangkutnya, kapal selam hanya perlu menyelam hingga kedalaman maksimum 50 meter saja.

Apabila kapal selam mengalami gaya apung negatif sehingga terus meluncur menuju dasar laut, maka hal itu akan menyebabkan masalah sangat serius terhadap ketahanan strukturnya. Meski dibangun berdinding baja, kemampuannya untuk menahan tekanan terbatas. Pada KRI Nanggala (402) kedalaman aman untuk menyelam setelah perbaikan besar-besaran di tahun 2012 TU adalah 257 meter. Sementara kedalaman maksimum yang diperkenankan, untuk kapal selam sejenis, adalah 500 meter.

Jika KRI Nanggala (402) terus meluncur ke dasar dan melewati batas 500 meter ini, maka tekanan hidrostatik pada kedalaman tersebut telah melampaui ambang batas ketahanan baja. Sehingga badan kapal selam diperhitungkan akan mulai retak-retak dan bocor. Peretakan tersebut akan terus berlangsung hingga berujung pada implosi. Manakala terjadi implosi , maka sonar di kapal-kapal permukaan akan menangkap noise berenergi tinggi pada frekuensi rendah yang khas.

Sinyal-sinyal khas implosi seperti ini terdeteksi pada tenggelamnya kapal selam nuklir USS Thresher (SSN-593) milik Amerika Serikat pada 10 April 1963 TU. Juga terdeteksi dalam tenggelamnya kapal selam nuklir USS Scorpion (SSN-593) milik Amerika Serikat pula pada 22 Mei 1968 TU. Dan terdeteksi pula saat kapal selam ARA San Juan milik Argentina pada 15 November 2017 TU. Dalam kasus San Juan, sinyal implosinya bahkan terdeteksi oleh stasiun-stasiun hidroakustik yang berjarak 6.000 kilometer dan 8.000 kilometer. Yakni stasiun-stasiun yang menjadi bagian dari jejaring pengawas penegakan larangan ujicoba senjata nuklir segala matra global CTBTO (the Comprehensive of nuclear Test Ban Treary Organisation).

Menariknya, sinyal implosi yang khas itu ternyata tidak terdeteksi dalam peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala (402). Baik oleh sonar aktif pada kapal-kapal perang di permukaan yang turut berpartisipasi dalam latihan. Maupun oleh stasiun-stasiun CTBTO di sekitar Indonesia. Sementara temuan reruntuhan kapal mengindikasikan terjadinya peristiwa mirip implosi. Apa yang terjadi, biarlah penyelidikan resmi yang menguaknya. Kini meskipun telah bermandikan air laut bertekanan sangat besar (hingga sekitar 850 ton/m²), KRI Nanggala (402) tetap membawa semangat Wira Ananta Rudira. Tabah hingga akhir.

Selamat jalan KRI Nanggala (402) dan segenap awaknya. Terima kasih. Jalesveva Jayamahe!