Beda Lebaran (1) : Waktu yang Diamati

Perbedaan dalam merayakan Lebaran, terutama Idul Fitri, selalu menggamit perhatian. Menjadi hal yang jamak dijumpai saat tiap negara Muslim atau berpenduduk mayoritas Muslim merayakan lebaran pada hari dan tanggal yang berbeda dibanding negara Muslim atau berpenduduk mayoritas Muslim tetangganya. Kecuali untuk negara-negara dalam satu kawasan seperti Asia Barat (Saudi Arabia dan negara-negara disekitarnya) serta Asia Tenggara (khususnya Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam). Pada dua kawasan tersebut umumnya lebaran dirayakan pada hari dan tanggal yang sama.

Namun Indonesia menjadi kasus unik. Hanya di sinilah perbedaan merayakan Lebaran terjadi dalam sisi internal, di dalam negeri. Diskursus perbedaan ini tak hanya sekedar adu gagasan akademik dan fikih, namun ditarik-tarik juga pada keriuhan di ranah sosial dan bahkan politis. Terlebih ketika memasuki masa-masa menjelang tahun pemilihan.

Tulisan berseri ini dibagi ke dalam lima bagian :

  1. Waktu yang diamati, lihat di sini.
  2. Kenapa fobia rukyatul hilal, lihat di sini.
  3. Mengapa alergi sidang isbat, lihat di sini.
  4. Gerhana Matahari 29 Hijriyyah Gerhana Bulan 16 Hijriyyah, lihat di sini.
  5. Sains rukyatul hilal yang telah diketahui sejauh ini, lihat di sini.

Jam Matahari dan Jam Air

Sejak awal peradaban, manusia mengukur waktu dengan cara melihat. Mengamati fenomena yang bekerja secara teratur. Pada awalnya manusia menatap ke langit. Berbagai bangunan besar masa prasejarah dibangun untuk menentukan kedudukan Matahari pada titik istimewanya, umumnya titik balik musim panas (summer solstice). Misalnya Nabta Playa di Mesir (dibangun sekitar 7500 STU/Sebelum Tarikh Umum), lalu lingkaran Goseck di Jerman (dibangun sekitar 4900 STU) hingga yang paling fenomenal adalah Stonehenge di Inggris (dibangun 3000 – 2000 STU). Ada juga bangunan prasejarah yang dibangun untuk mengamati kedudukan Matahari dan Bulan secara bersama-sama, misalnya Mnajdra di Malta (dibangun sekitar 5000 STU).

Gambar 1. Artefak jam Matahari (lebar ~ 16 cm) peninggalan dinasti ke-17 Mesir Kuno. Sumber : University of Basel, 1994.

Untuk unit waktu yang lebih kecil, umat manusia berhutang pada bangsa Mesir Kuno yang menetapkan sepekan setara dengan 7 hari. Mereka juga menetapkan sehari adalah 24 jam. Maka jam menjadi unit waktu terkecil saat itu. Ide Mesir ini akhirnya menyebar kemana-mana.

Guna mengukur jam setiap harinya maka dibangunlah jam Matahari (sundial). Yakni pengukur waktu yang bekerja berdasarkan bayangan pilar (gnomon) yang tersinari cahaya Matahari sepanjang siang. Sehingga merupakan penanda waktu Matahari, sebagai efek dari rotasi Bumi. Artefak arkeologis jam Matahari tertua saat ini berasal dari dinasti ke-17 Mesir Kuno (1580 – 1530 STU). Pada masa yangs ama berkembang pula jam air. Jenis jam yang bahkan jauh lebih kuno sehingga tak terlacak pengguna awalnya. Namun tingkat akurasinya juga bagus, hingga sebanding dengan jam Matahari. Pada praktiknya, jam Matahari digunakan pada siang hari sementara jam air digunakan pada malam hari.

Limabelas abad setelah berkembangnya konsep jam, ilmuwan besar al-Biruni memperkenalkan konsep menit dan detik. Satu jam adalah setara 60 menit sementara satu menit ekivalen dengan 60 detik. Pengembangan ini, terutama konsep menit, mula-mula dimanfaatkan untuk menjawab tantangan terkait waktu shalat. Sebab awal waktu shalat selalu menggunakan pecahan jam, yang kemudian dideskripsikan sebagai menit. Dengan menggunakan jam Matahari, jika ukurannya cukup besar maka tingkat akurasinya bisa mencapai 1 hingga 2 menit. Jam air pada ukuran besar juga mencapai akurasi yang sama.

Jam Pendulum dan Jam Pegas

Jam air mulai ditinggalkan pada 1600an TU saat jam pendulum yang lebih stabil dan praktis mulai muncul lewat penemuan Huygens (Belanda) pada 1656 TU. Berikutnya menyusul jam pegas, yang ditemukan pada 1675 TU oleh Thomas Tompion (Inggris). Dengan kedua jenis jam tersebut maka konsep detik memungkinkan untuk diterapkan dalam praktik, enam abad setelah digagas al-Biruni. Tompion juga yang merintis jam standar, dengan membuat dua jam pendulum yang identik sehingga salah satu jam hanya akan 1 detik lebih cepat setelah berjalan setahun. Jam standar berikutnya dibangun dengan memanfaatkan jalur komunikasi. Jam standar berbasis telegraf mulai berkembang, yang mengakhiri penggunaan jam Matahari. Di abad yang sama, detik dinyatakan sebagai waktu elementer (waktu paling mendasar) dan membentuk sistem standar bersama standar panjang, standar massa dan sebagainya.

Gambar 2. Jajaran teleskop radio Smithsonian Milimeter Array di kompleks Gunung Mauna Kea, Hawaii (Amerika Serikat). Dengan teleskop-teleskop radio semacam ini ditopang teknik VLBI, pengamatan terhadap nilai 1 detik dapat dilakukan astronomi modern. Sumber: Darian, 2010.

Pada abad ke-20 TU, pertanyaan tentang waktu bergeser menjadi berapakah sedetik? Disinilah pengamatan kembali berperan sangat penting.

Semula 1 detik diukur berdasarkan rotasi Bumi. Namun setelah diukur dalam tingkatan detik, rotasi Bumi terbukti tidaklah teratur. Terlalu banyak variasi dalam setiap hari dan bersifat random, sehingga sulit jadi penanda waktu. Manusia lalu beralih ke pengukuran pergerakan Bumi mengelilingi Matahari, yang ternyata jauh lebih stabil. Caranya adalah dengan mengamati kedudukan Matahari melalui teleskop optik yang dirancang khusus, yakni dengan pengamatan posisi Matahari pada garis bujur ekliptika. Pengamatan seperti ini masih berlanjut hingga sekarang dengan berbagai variasinya. Misalnya pengamatan jaringan teleskop radio dengan teknik VLBI (very long baseline interferometry) yang diarahkan ke quasar, benda langit sangat berenergi yang berkedudukan sangat jauh di luar galaksi kita.

Konsep 1 Detik

Sejak awal abad ke-20 TU, 1 detik diukur dengan cara pengamatan astronomis ini. Maka pada 1960 TU diketahui bahwa :

Definisi inilah yang kemudian diadopsi ke dalam pengamatan jenis baru, yakni pengamatan atomik.

Gambar 3. Jam atom Cesium-133 di Observatorium La Silla (Chile) yang telah beroperasi sejak 1975 TU. Sumber: ESO, 2013.

Saat itu mulai berkembang teknologi jam atom, yang berdasarkan getaran atom-atom tertentu saat dirangsang asupan energi tertentu. Maka pada 1967 TU diketahui bahwa 1 detik yang setara dengan panjang tahun tropis 1900 TU adalah setara juga dengan :

Jam standar juga terus berkembang. Jika semula jam-jam yang tergabung ke dalam jam standar mentransmisikan bacaannya melalui jaringan telegraf, di kemudian hari beralih ke jaringan telepon, radio televisi dan akhirnya internet. Inilah rujukan bagi jam-jam sipil dimanapun di seluruh dunia. Jadi saat kita menengok desktop, smartphone atau smartwatch kita, sadarilah bahwa di balik itu ada jaringan teleskop dan jam-jam atom yang bekerja secara rutin untuk memastikan standarnya waktu kita. Manakala pengamatan itu tidak bekerja, maka hancurlah sistem waktu kita.

Bersambung ke bagian kedua.

Satu respons untuk “Beda Lebaran (1) : Waktu yang Diamati

Tinggalkan komentar