Transit Merkurius 2016 di Kala Senja (Bakal Terlihat dari Ujung Barat Indonesia)

Senin 9 Mei 2016 Tarikh Umum (TU). Waktunya pukul 18:30 WIB. Lokasinya di Banda Aceh, ibukota propinsi Aceh sekaligus kotabesar terbarat di Indonesia. Pandangan mengarah ke barat. Langit cerah hingga kaki langitnya. Matahari nampak merembang petang dengan warna merah jingganya yang khas. Sekilas tak ada apa-apa di rona sang surya yang masih menyilaukan itu. Namun tatkala teleskop diarahkan padanya, khususnya dengan tingkat perbesaran minimal 50 kali dan telah dilengkapi dengan filter Matahari sebagaimana yang ditekankan standar pengamatan Matahari yang baik, ada yang berbeda. Wajah Matahari memang berhiaskan jerawat di sana-sini, yang adalah bintik Matahari (sunspot). Namun di pinggir timur cakram Matahari akan nampak satu titik hitam. Ia bukanlah bintik Matahari. Ia merupakan Merkurius. Hari itu Merkurius sedang melakoni satu babak nan langka dalam panggung pertunjukan kosmik, yakni transit. Tepatnya Transit Merkurius 2016.

Gambar 1. Transit Merkurius 1999 yang terjadi pada 19 November 1999 TU seperti diabadikan oleh satelit TRACE milik NASA (Amerika Serikat). Nampak Merkurius sebagai bola kecil kehitaman, melaju di latar depan Matahari yang bergejolak. Sumber: NASA, 1999.

Gambar 1. Transit Merkurius 1999 yang terjadi pada 19 November 1999 TU seperti diabadikan oleh satelit TRACE milik NASA (Amerika Serikat). Nampak Merkurius sebagai bola kecil kehitaman, melaju di latar depan Matahari yang bergejolak. Sumber: NASA, 1999.

Apa itu Transit Merkurius?

Konjungsi dan Transit

Merkurius merupakan planet terkecil sekaligus terdekat dengan Matahari dalam tata surya kita. Diameternya 4.880 kilometer atau hanya sepertiga Bumi kita, atau hanya sedikit lebih besar dibanding Bulan. Ukuran Merkurius bahkan lebih kecil ketimbang dua satelit alamiah seperti Ganymede (satelit alamiah Jupiter, diameter 5.268 kilometer) dan Titan (satelit alamiah Saturnus, diameter 5.150 kilometer). Hanya karena Merkurius beredar mengeliling Matahari-lah yang membuatnya menyandang status planet. Tepatnya planet terdekat ke Matahari. Merkurius hanya butuh waktu 88 hari untuk menyelesaikan revolusinya ke Matahari. Tapi sebaliknya rotasinya sangat lamban. Ia butuh waktu 59 hari untuk menyelesaikan putaran pada porosnya, atau yang dikenal sebagai hari bintang. Namun jika mengacu pada kedudukan Matahari (hari Matahari), maka siang dan malam di Merkurius berlangsung selama 176 hari. Dengan kata lain, setahun di Merkurius (yakni relatif terhadap periode revolusinya) lebih cepat ketimbang sehari di Merkurius (yakni relatif terhadap hari Matahari).

Gambar 2. Merkurius (panah kuning) mengapung di atas kaki langit timur yang masih bergelimang kabut pada kota Gombong yang bermandikan cahaya lampu buatan pada fajar 17 Agustus 2012 TU usai shalat Shubuh. Diabadikan dari lantai dua masjid asy-Syifa kompleks RS PKU Muhammadiyah Gombong, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah). Citra telah diolah dengan bantuan software GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2012.

Bersama Venus, Merkurius dikategorikan sebagai planet dalam. Yakni kelompok planet yang orbitnya lebih dekat ke Matahari ketimbang Bumi. Sebagai implikasinya Merkurius dan Venus akan terkesan berdekatan/berkumpul dengan Matahari pada dua kesempatan berbeda. Yang pertama adalah konjungsi dalam (inferior), terjadi saat Merkurius atau Venus berada di antara Bumi dan Matahari. Dan yang kedua adalah konjungsi luar (superior), dimana konfigurasinya mirip dengan konjungsi dalam namun kali ini Matahari berada di antara Merkurius/Venus dan Bumi. Merkurius akan mengalami konjungsi dengan Matahari, entah inferior maupun superior, setiap 116 hari sekali. Sementara Venus mengalaminya setiap 584 hari sekali.

Pada dasarnya Transit Merkurius adalah peristiwa konjungsi inferior yang khusus, dimana konfigurasinya sama persis dengan kejadian Gerhana Matahari. Sehingga dalam Transit Merkurius pun Matahari, Merkurius dan Bumi terletak dalam satu garis lurus secara tiga dimensi (syzygy). Bedanya jika dalam Gerhana Matahari adalah Bulan yang berada di tengah-tengah, dalam Transit Merkurius digantikan oleh Merkurius. Perbedaan lainnya, diameter sudut (apparent) Bulan hampir menyamai diameter sudut Matahari. Sehingga dalam peristiwa Gerhana Matahari, cakram Matahari akan tertutupi Bulan dalam jumlah yang signifikan. Bahkan bisa tertutupi sepenuhnya seperti dalam kejadian Gerhana Matahari Total. Maka kecerlangan-nampak Matahari akan tereduksi, khususnya di wilayah gerhana. Bahkan dapat tergelapkan sempurna dalam Gerhana Matahari Total. Sebaliknya diameter sudut Merkurius jauh lebih kecil dibanding Matahari, yakni hanya seper 160-nya. Sehingga yang akan terlihat hanyalah sebuah titik kecil yang bergerak melintas di latar depan Matahari selama waktu tertentu yang disebut durasi transit.

Gambar 3. Replika Merkurius berbentuk bola kecil yang parasnya telah dipahat sesuai paras Merkurius berdasarkan hasil pemetaan wantariksa MESSENGER. Merkurius adalah planet terkecil dalam tata surya kita, yang hanya sedikit lebih besar dari Bulan dan bahkan lebih kecil ketimbang Ganymede (satelit alamiah Jupiter) maupun Titan (satelit alamiah Saturnus). Dipahat oleh George Ioannidis di London (Inggris). Sumber: LittlePlanetFactory.com, 2016.

Gambar 3. Replika Merkurius berbentuk bola kecil yang parasnya telah dipahat sesuai paras Merkurius berdasarkan hasil pemetaan wantariksa MESSENGER. Merkurius adalah planet terkecil dalam tata surya kita, yang hanya sedikit lebih besar dari Bulan dan bahkan lebih kecil ketimbang Ganymede (satelit alamiah Jupiter) maupun Titan (satelit alamiah Saturnus). Dipahat oleh George Ioannidis di London (Inggris). Sumber: LittlePlanetFactory.com, 2016.

Dibanding kejadian Gerhana Matahari, yang selalu ada setiap tahun meski wilayah gerhananya berubah-ubah, maka Transit Merkurius jauh lebih jarang terjadi. Dalam satu abad Tarikh Umum hanya akan terjadi 13 hingga 14 kali peristiwa Transit Merkurius saja. Ini pun sudah lumayan apabila dibandingkan dengan peristiwa Transit Venus, yang bahkan jauh lebih jarang lagi. Rata-rata sebuah babak Transit venus terjadi setiap 243 tahun sekali, dengan selisih waktu terpendek 105,5 tahun sekali. Transit Venus terakhir yang kita saksikan terjadi pada 6 Juni 2012 TU lalu dan takkan berulang hingga 11 Desember 2117 TU kelak.

Transit Merkurius selalu terjadi pada bulan Mei atau November. Jika transit terjadi saat Merkurius berada di titik aphelion (titik terjauh ke Matahari)-nya, maka Transit Merkurius terjadi di bulan Mei. Sebaliknya bila saat itu Merkurius menempati titik perihelion (titik terdekat ke Matahari)-nya, maka Transit Merkurius terjadi di bulan November. Peluang Transit Merkurius di bulan Mei lebih kecil dibanding bulan November. Dalam abad ke-21 TU ini akan terjadi 14 kali peristiwa Transit Venus, hanya 5 diantaranya yang terjadi di bulan Mei. Termasuk Transit Merkurius 2016.

Transit 2016

Transit Merkurius 2016 memiliki lima tahap. Tahap pertama adalah kontak I atau awal transit, yakni saat sisi barat cakram Merkurius tepat mulai bersentuhan dengan sisi timur cakram Matahari. Tahap ini terjadi pada pukul 18:12 WIB. Tahap berikutnya adalah kontak II, yang terjadi saat Merkurius tepat sepenuhnya memasuki cakram Matahari, atau teknisnya saat sisi timur cakram Merkurius tepat mulai meninggalkan sisi timur cakram Matahari. Momen ini terjadi pada pukul 18:16 WIB. Selanjutnya adalah tahap puncak transit yang terjadi pukul 21:57 WIB. Lantas diikuti dengan tahap keempat sebagai kontak III, yang terjadi saat sisi barat cakram Merkurius tepat mulai bersentuhan dengan sisi barat cakram Matahari. Ini terjadi pada Selasa dinihari 9 Mei 2016 TU pukul 01:39 WIB. Dan tahap pamungkas, yakni kontak IV yang juga adalah akhir transit, terjadi pada pukul 01:42 WIB. Sehingga secara keseluruhan durasi Transit Merkurius 2016 ini adalah 7 jam 30 menit.

Gambar 4. Peta wilayah Transit Merkurius 2016 dalam lingkup global. Wilayah transit ditandai dengan warna putih. Angka-angka I, II, III dan IV menunjukkan garis kontak I, kontak II, kontak III dan kontak IV. Sumber: Espenak, 2016.

Gambar 4. Peta wilayah Transit Merkurius 2016 dalam lingkup global. Wilayah transit ditandai dengan warna putih. Angka-angka I, II, III dan IV menunjukkan garis kontak I, kontak II, kontak III dan kontak IV. Sumber: Espenak, 2016.

Dengan durasinya yang cukup lama, sebagian besar paras Bumi masuk ke dalam wilayar transit, yakni wilayah yang berkesempatan menyaksikan Transit Merkurius 2016 ini baik dalam segenap tahap maupun sebagian saja. Hanya sebagian Asia Timur Jauh (tepatnya Jepang, Semenanjung Korea dan sebagian Cina), sebagian Asia Tenggara (tepatnya Filipina, Timor Leste, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Singapura serta sebagian Kampuchea, sebagian Malaysia dan sebagian besar Indonesia) dan Australia (Australia, Selandia Baru dan Papua Nugini) yang tak tercakup ke dalam wilayah transit.

Di Indonesia, garis kontak I (garis khayali yang menghubungkan titik-titik yang mengalami kontak I tepat saat Matahari terbenam) melintas di sisi timur kota Pekanbaru (propinsi Riau) dari barat daya ke timur laut. Sementara garis kontak II (garis khayali yang menghubungkan titik-titik yang mengalami kontak II tepat saat Matahari terbenam) tepat melintasi kota Padang (propinsi Sumatra Barat). Ke timur laut, garis kontak II juga tepat melintasi Kuala Lumpur (Malaysia). Hanya daerah-daerah yang ada di sebelah barat garis kontak I yang tercakup ke dalam wilayah transit. Sehingga Transit Merkurius 2016 di Indonesia hanya dapat dinikmati di sebagian pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil disekelilingnya saja. Tepatnya di propinsi Sumatra Barat, Riau, Sumatra Utara dan Aceh. Di seluruh tempat itu, Transit Merkurius 2016 dapat dinikmati kala senja menjelang Matahari terbenam.

Gambar 5. Peta wilayah Transit Merkurius 2016 dalam lingkup Indonesia. Wilayah transit terletak di sebelah barat garis kontak I, yakni meliputi sebagian pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil disekelilingnya. Sumber: Sudibyo, 2016.

Gambar 5. Peta wilayah Transit Merkurius 2016 dalam lingkup Indonesia. Wilayah transit terletak di sebelah barat garis kontak I, yakni meliputi sebagian pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil disekelilingnya. Sumber: Sudibyo, 2016.

Tempat terbaik untuk mengamati Transit Merkurius 2016 di Indonesia adalah kota Banda Aceh (propinsi Aceh) dan sekitarnya. Di kedua tempat tersebut Matahari terbenam pada pukul 18:46 WIB. Sehingga durasi-nampak transit, yakni durasi sejak awal transit hingga terbenamnya Matahari, adalah sebesar 34 menit. Tempat terbaik kedua adalah Medan (propinsi Sumatra Utara) dan sekitarnya. Di sini Matahari terbenam pada pukul 18:30 WIB sehingga durasi-nampak transit sebesar 18 menit.

Cara mengamati Transit Merkurius 2016 adalah sama persis dengan cara mengamati Gerhana Matahari. Bedanya, karena diameter sudut Merkurius yang sangat kecil (yakni hanya seper 158 Matahari) maka mutlak dibutuhkan teleskop dengan perbesaran minimal 50 kali. Teleskop ini diarahkan ke Matahari, bisa dengan dilengkapi filter Matahari yang sepadan dan aman agar bisa dilihat langsung dengan mata kita. Atau dapat pula dengan memanfaatkan teknik proyeksi, dimana hasil bidikan teleskop langsung disalurkan ke sebuah layar proyeksi.

Arti Penting

Transit Merkurius menjadi peristiwa astronomi yang tak sepopuler Gerhana Matahari maupun Gerhana Bulan. Namun ia memiliki sejumlah nilai sangat penting sepanjang sejarahnya.

Misalnya dalam hal penentuan jarak Bumi-Matahari yang lebih akurat. Jarak Bumi-Matahari menjadi komponen fundamental dalam memahami tata surya kita. Hukum Kepler III memperlihatkan hubungan antara jarak rata-rata atau setengah sumbu utama orbit (dinyatakan dalam satuan astronomi) sebuah benda langit pengorbit Matahari dengan periode revolusinya (dinyatakan dalam tahun Bumi atau tahun saja). 1 Satuan Astronomi (SA) adalah jarak rata-rata Bumi-Matahari. Salah satu cara untuk mengetahui nilai 1 SA adalah dengan pengukuran paralaks Matahari, yakni pengamatan Matahari dari minimal dua titik yang berbeda di Bumi (lebih baik jika kedua titik tersebut berselisih jarak sangat besar) pada waktu yang sama. Pengukuran paralaks seperti ini telah dimulai pada 23 abad silam, tepatnya di abad 3 STU oleh Aristarchus. Namun pengukuran yang tak akurat membuat Aristarchus mendapati 1 SA hanyalah sebesar 2,96 juta kilometer. Pengukuran ulang oleh Claudius Ptolomeus dalam seabad kemudian mendapatkan nilai 1 SA hanya 7,97 juta kilometer. Atau hanya 21 kali lipat jarak rata-rata Bumi-Bulan. Nilai 1 SA yang ‘kecil’ ini mungkin turut mendorong Ptolomeus mengapungkan model geosentrik dalam tata surya kita. Model yang bertahan hingga 17 abad kemudian.

Gambar 6. Contoh penggunaan teknik proyeksi teleskopik dengan menggunakan teleskop reflektor (pemantul) Newtonian. Teleskop diarahkan ke Matahari, sementara citra yang dihasilkan langsung disorotkan ke layar proyeksi (dalam hal ini sehelai kertas putih di papan tulis). Fokus okulernya diatur demikian rupa agar citra di layar proyeksi tajam. Payung digunakan untuk melindungi layar proyeksi sehingga kontrasnya lebih besar. Teknik ini digunakan dalam observasi Transit Venus 2012 di Gombong, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah) oleh Forum Kajian Ilmu Falak Gombong. Panah menunjukkan kedudukan Venus. Sumber: Sudibyo, 2012.

Gambar 6. Contoh penggunaan teknik proyeksi teleskopik dengan menggunakan teleskop reflektor (pemantul) Newtonian. Teleskop diarahkan ke Matahari, sementara citra yang dihasilkan langsung disorotkan ke layar proyeksi (dalam hal ini sehelai kertas putih di papan tulis). Fokus okulernya diatur demikian rupa agar citra di layar proyeksi tajam. Payung digunakan untuk melindungi layar proyeksi sehingga kontrasnya lebih besar. Teknik ini digunakan dalam observasi Transit Venus 2012 di Gombong, Kabupaten Kebumen (Jawa Tengah) oleh Forum Kajian Ilmu Falak Gombong. Panah menunjukkan kedudukan Venus. Sumber: Sudibyo, 2012.

Di awal mula berseminya fajar model heliosentrik, Copernicus melakukan pengukuran ulang paralaks Matahari. Ia mendapati nilai 1 SA yang tak jauh berbeda dari masa Ptolomeus, yakni 9,57 juta kilometer. Keadaan tak berubah hingga masa Edmund Halley (ya, sosoknyalah yang diabadikan sebagai nama komet legendaris itu). Memperbaiki gagasan James Gregory dari tahun 1663 TU, pada 1691 TU Halley memperhitungkan bahwa transit Merkurius atau Venus bisa dimanfaatkan untuk mengukur paralaks Matahari dengan akurasi jauh lebih tinggi dibanding era Copernicus. Ide Halley dipraktikkan dalam Transit Venus 1761 dan Transit Venus 1769. Inilah kesempatan dimana Jerome Lalande, setelah menganalisis data pengamatan transit tersebut, mendapatkan 1 SA adalah senilai 153 juta kilometer. Perhitungan ulang dengan memanfaatkan peristiwa transit sejenis yang berlangsung seabad kemudian, masing-masing Transit Venus 1874 dan Transit Venus 1882 membuat Simon Newcomb memperoleh nilai 1 SA yang lebih akurat lagi, yakni 149,59 juta kilometer. Inilah nilai modern untuk 1 Satuan Astronomi, yang telah disahihkan kembali lewat pengukuran-pengukuran berbasis wahana antariksa (wantariksa) yang diterbangkan ke planet-planet tetangga ataupun melanglang buana kita.

Sedikit berbeda dengan Transit Venus, awalnya Transit Merkurius agak sukar untuk diperhitungkan kejadiannya meski jauh lebih sering terjadi. Contoh menarik terjadi pada 1843 TU. Saat itu Urbain Le Verrier, sang penemu planet Neptunus secara matematis, memperlihatkan bahwa akan terjadi Transit Merkurius 1843. Namun kampanye observasi astronomi yang digalakkan tak mendeteksi kejadian tersebut. Transit Merkurius yang sesungguhnya justru baru terjadi dua tahun kemudian, yakni pada 9 Mei 1845 TU (waktu Indonesia) yang teramati di Australia. Keterlambatan ini mendorong Le Verrier mengapungkan gagasannya tentang adanya planet-tak-dikenal yang gravitasinya cukup kuat untuk memperlambat gerak Merkurius. Itulah yang kemudian dikenal sebagai Vulcan. Vulcan akhirnya tak pernah ditemukan (dan memang tak pernah ada), namun keganjilan kecil pada orbit Merkurius memang nyata adanya. Itulah presesi perihelion Merkurius. Kelak barulah setelah Albert Einstein menelurkan gagasan relativitas umumnya yang kesohor, terjadinya presesi perihelion Merkurius bisa dijelaskan. Presesi perihelion tersebut terjadi akibat melengkungnya ruang-waktu di sekeliling Matahari. Karena Merkurius menjadi planet terdekat dengan Matahari, maka ia yang paling merasakannya dibanding planet-planet lainnya.

Di masa kini, peristiwa Transit Merkurius menjadi sarana untuk menguji metode dan radas (instrumentasi) astronomi modern untuk menguak sistem keplanetan di luar tata surya kita. Perubahan sangat kecil yang dalam kecerlangan-nampak Matahari selama berlangsungnya Transit Merkurius akan membantu menemukan perubahan sejenis pada bintang tetangga yang memiliki planet-luartatasurya (eksoplanet) kecil. Demikian halnya pengukuran diameter sudut Merkurius saat transit dan pembandingannya dengan diameter Merkurius yang sesungguhnya akan sangat bermanfaat untuk menentukan ukuran eksoplanet kecil. Dengan kata lain, Transit Merkurius di era modern (seperti Transit Merkurius 2016) menjadi arena ujicoba untuk menemukan eksoplanet-eksoplanet yang lebih kecil di bintang-bintang tetangga kita.

Referensi :

Espenak. 2014. 2016 Transit of Mercury. Observer’s Handbook 2016, Royal Astronomical Society of Canada.

King. 1845. Observations transit of Mercury, May, 8, 1845. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, Vol. 7 (Nov 1845), p.10.

Gunawan dkk. 2012. Kala Bintang Kejora Melintas Sang Surya, Transit Venus 2012. Buku elektronik, KafeAstronomi.com Publisher, 2012.