Menggali Danau Borobudur, Memahat Candi Terbesar di Dunia

Candi Borobudur kembali menarik perhatian. Berdiri pada bukit vulkanik yang dikelilingi sisa-sisa genangan Danau Borobudur, monumen Buddha terbesar di dunia ini bahkan menginspirasi dibangunnya monumen berarsitektur sejenis di mancanegara. Pembatasan jumlah pengunjung yang boleh naik ke Candi Borobudur memang harus dilakukan, karena ancaman aus dan longsor selalu membayang.

Andaikata Rakai Garung, sang penguasa kerajaan Medang (Mataram Kuna) yang bergelar Shri Maharaja Samaratungga di era 819 – 838 TU (Tarikh Umum), masih hidup ia mungkin akan tertegun menyaksikan bangunan besar yang dahulu diresmikannya menjadi pusat kunjungan banyak orang. Bahkan terlalu banyak. Kala bangunan Bhumi Sambhara Buddhara yang berarti bukit peningkatan kebajikan diresmikannya pada sekitar tahun 825 TU, hanya para pemuka dan penganut Buddha mazhab Wajrayana (Tantrayana) yang rutin mengunjunginya. Kini, rata-rata 10.100 orang (data 2019 TU) mengunjungi bangunan besar yang di era kontemporer berjuluk Candi Borobudur.

Jumlah turis modern sesungguhnya bervariasi antara 2.000 sampai 4.000 orang per hari pada hari-hari biasa hingga 40.000 sampai 50.000 orang per hari pada hari-hari libur, seperti dituturkan pak Djulianto Susantio (Susantio, 2016). Dan hampir seluruhnya menaiki tubuh candi, menyusuri lorong-lorongnya hingga mencapai stupa-stupa di tingkat teratas. Turis mancanegara cenderung menghabiskan waktu lebih lama ketimbang turis domestik.

Gambar 1. Sebagian kecil Candi Borobudur dalam siluet, menjelang terbenamnya Matahari. Sumber : Haryono, 2022.

Oleh beban batu-batuan yang menyusunnya dan pondasinya yang relatif labil (karena kedudukannya), maka tambahan beban turis yang mengunjunginya menyebabkan candi raksasa ini kian ‘sakit’. Selain aus di sana-sini dengan tingkat keausan yang mengerikan di sejumlah titik, struktur candi juga sudah ambles. Per 2014 TU taraf keamblesannya sudah hampir 2 sentimeter dari semula. Maka kini tentu sudah lebih dalam lagi. Dinamika pengunjung juga menyebabkan tubuh candi mengembang dan mengempis ke arah mendatar, mengikuti tingkat kepadatan orang-orang diatasnya, sampai beberapa milimeter.

Guna mencegah kerusakan struktur lebih lanjut inilah maka jumlah pengunjung yang diperkenankan naik ke candi harus dibatasi. Semangat pembatasan telah tumbuh dalam seabad terakhir. Tepatnya semenjak restorasi van Erp (1907 – 1911 TU). Kajian terkini menunjukkan tubuh candi hanya bisa dibebani maksimum 120 orang dalam setiap jam-nya. Dengan jam buka 10 jam per hari, maka secara akumulatif hanya 1.200 orang per hari yang boleh naik ke Candi Borobudur. Inilah yang akan dijadikan landasan kebijakan pembatasan pengunjung yang boleh naik ke candi pada saat ini.

Memahat Borobudur

Candi Borobudur berdiri di puncak Gumuk Borobudur (gumuk = bukit). Disekitarnya ada dua gumuk lainnya yang saling berdekatan, yakni Gumuk Ndagi (sisi baratlaut) dan sedikit lebih jauh adalah Gumuk Bakal (sisi barat). Ketiga gumuk tersebut berdiri di kawasan pertemuan antara Sungai Progo dengan dua anak sungai pentingnya, yakni Sungai Elo (timur) dan Sungai Sileng (selatan). Kawasan ini dipagari oleh jajaran Gunung Merapi dan Merbabu (sisi timur), Gunung Sumbing dan Sindoro (sisi baratlaut) dan gunung-gunung berapi purba yang membentuk Pegunungan Menoreh (sisi selatan).

Ketiga gumuk terbentuk pada masa Oligosen melalui aktivitas vulkanisme berupa intrusi diorit. Jadi sekitar 30 juta tahun silam, pada masa-masa aktifnya periode vulkanisme Jawa Tua, magma diorit (yang bersifat asam) mencoba naik ke atas mencari jalan keluar di kawasan Borobudur yang saat itu masih berupa laut. Namun gerakan magma tertahan di kedalaman, untuk kemudian menumpuk dan terus menumpuk hingga membukit sembari membeku perlahan-lahan. Maka terbentuklah tonjolan-tonjolan yang mendorong dasar laut setempat.

Gambar 2. Sebagian besar struktur Candi Borobudur. Nomor-nomor 1 sampai 7 menunjukkan teras-terasnya. Teras 1 dan 2 merupakan pondasi candi, sehingga polos tanpa hiasan. Teras 1 terbuka di sudut tenggara menampilkan bentuk kaki candi yang sesungguhnya beserta sebagian kecil relief Karmawibangga. Teras 3 hingga 7 merupakan bagian dari tingkat Rupadhatu, sehingga penuh ornamen dan relief. Teras 3 di fase pertama pembangunan candi merupakan pondasi, sebelum kemudian dikembangkan menjadi teras Rupadhatu. Sumber: Marsis, 2022.

Kala dasar laut tersebut terangkat seiring pergerakan tektonik yang membentuk pulau Jawa, ketiga tonjolan turut menyembul dan menjadi tiga gumuk. Meskipun diorit merupakan batuan beku yang cukup keras, namun oleh umurnya yang cukup tua membuatnya melapuk. Khususnya di permukaan hingga kedalaman tertentu. Maka Gumuk Borobudur menjadi bukit dengan lapisan tanah permukaan yang cukup tebal.

Sedari pra-Medang, Gumuk Borobudur telah menjadi tempat yang dihormati manusia pada zamannya. Bukit ini mungkin pernah ditata demikian rupa sebagai struktur punden berundak di masa prasejarah. Candi Borobudur pun dipahat mengikuti bentuk struktur punden berundak itu. Sebanyak dua juta balok batuan dengan total volume 55.000 meter3 dilekatkan laksana cangkang pada permukaan puncak gumuk. Pondasi candi berada pada elevasi 297 mdpl. Di fase awal pembangunannya (sekitar tahun 780 TU), Candi Borobudur hanya terdiri dari tiga teras berbentuk bujursangkar. Teras tertinggi mengelilingi tanah asli dari puncak gumuk.

Tanah di puncak gumuk lalu ditutupi pada pembangunan fase kedua, sebagai teras melingkar yang berpusat pada stupa induk. Sementara teras bujursangkarnya ditambahkan dua lagi dengan salah satunya merupakan pondasi baru yang lebar. Sehingga terdapat lima teras. Pondasi diperkuat lagi pada pembangunan fase ketiga seiring dirombaknya teras tertinggi menjadi tiga teras melingkar dengan stupa induk sebagai pusat semuanya. Dalam fase ini, ditambahkan pondasi baru sebagai teras terbawah. Dengan penambahan tersebut maka Candi Borobudur terdiri atas sembilan teras. Pada pembangunan fase keempat dan kelima, ditambahkan lagi pondasi yang berperan sebagai teras terbawah.

Gambar 3. Fase-fase pembangunan Candi Borobudur. Dimulai dari bangunan berteras tiga yang sederhana dan mengesankan merupakan pengembangan konsep punden berundak (fase 1). Hingga bangunan besar dan rumit yang berteras sepuluh (fase 5). Sumber: Marsis, 2022.

Maka secara keseluruhan, Candi Borobudur dipahat sebagai bangunan besar yang terdiri atas sepuluh teras. Ukurannya 121,6 meter x 121,4 meter dengan tinggi 35,4 meter dari dasar teras terbawah. Menjadikannya candi Buddha terbesar di dunia.

Teras-teras Candi Borobudur terbagi atas tiga tingkat mengikuti kosmologi Buddha tentang dunia manusia berdasarkan hawa nafsunya. Tingkat Kamadhatu (teras 1 dan 2) merupakan dunia para manusia pada umumnya, yang masih dikendalikan hawa nafsunya. Sedangkan tingkat Rupadhatu (teras 3, 4, 5, 6 dan 7) adalah dunia para manusia yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya tetapi masih terikat pada rupa dan bentuk. Dan yang teratas adalah tingkat Arupadhatu (teras 8, 9 dan 10), sebagai dunia para manusia yang sudah lepas dari hawa nafsu, rupa dan bentuk.

Pada tingkat Arupadhatu ini terdapat 72 stupa yang berlubang-lubang dengan sebuah stupa induk utuh sebagai yang terbesar. Tetapi secara keseluruhan ada 505 arca Buddha, dimana sebagian besar diantaranya telah kehilangan bagian kepalanya akibat aksi penjarahan kolonial di masa silam. Arca-arca kepala Buddha yang tersebar di museum-museum negara-negara Eropa dan Amerika, sebagian berasal dari Candi Borobudur.

Medang – Khmer

Ada 2.672 panel relief di Candi Borobudur, yang dipahat pada dinding sepanjang 2.900 meter. 1.212 panel adalah relief dekoratif. Sisanya merupakan relief Karmawibangga (160 panel), Lalitasvara (120 panel), Jatakamala (720 panel), Gandhavyuha (388 panel) dan Badracari (72 panel). Relief Karmawibangga dipahatkan pada dinding sepanjang 400 meter yang terkubur di kaki candi sehingga tidak pernah terlihat dunia luar kecuali di kaki candi bagian tenggara.

Tiga teras terbawah berfungsi sebagai pondasi candi, menandakan betapa arsiteknya menaruh perhatian besar terhadap stabilitas struktur. Mengingat dinding candi dibangun pada bidang miring yang beralaskan pada tanah permukaan hasil pelapukan. Tanah yang mudah menjadi bidang gelincir saat terlumasi air hujan. Ditambah dengan faktor bobotnya sendiri, bobot air yang tergenang pada sela-sela batu candi dan bobot pengunjungnya, maka Borobudur membutuhkan pondasi yang kuat, kompak dan lebar guna menjaganya tetap stabil. Ancaman longsor itu dapat dilihat pada rupa candi sebelum restorasi van Erp, dimana lantai dan stupa nampak bergelombang di sana-sini. Mengesankan adanya bakal mahkota longsor, seiring telantarnya bangunan ini dalam kurun sepuluh abad.

Gambar 4. Candi Bakong, sisa-sisa kejayaan masa awal imperium Khmer di Kamboja. Meskipun merupakan candi Hindu, struktur dan detail arsitekturnya mirip dengan Candi Borobudur. Sehingga diinterpretasikan bahwa Candi Borobudur tak hanya menginspirasi, namun juga ‘mengirimkan’ tenaga-tenaga ahli pembangunnya untuk menyusun Candi Bakong. Sumber : n.n.

Suksesnya kerajaan Medang dalam membangun dan mengelola Candi Borobudur sebagai candi negara bagi pemeluk Buddha menginspirasi negara tetangga. Misalnya imperium Khmer di masa awalnya, negara yang berjarak 3.000-an kilometer jauhnya dari Borobudur. Pengaruh tersebut terlihat pada Candi Bakong, yang kini terletak di Hariharalaya (Kamboja). Meskipun bernafaskan Hindu, candi yang diresmikan raja Indravarman 1 di tahun 881 TU ini memiliki lima teras yang detail arsitekturnya mirip Borobudur. Kemiripan itu menunjukkan bahwa Candi Borobudur tak hanya menginspirasi, namun juga menyumbangkan aspek arsitektur dan detail teknis kepada Candi Bakong. Hubungan antar negara telah terjalin erat di masa itu, memungkinkan para pemahat Borobudur mentransfer pengetahuannya ke Khmer. Atau bahkan datang sendiri ke negara tersebut sebagai utusan dan bantuan resmi.

Danau

Salah satu aspek menarik dari lingkungan sekitar Candi Borobudur adalah Danau Borobudur. Sebuah danau purba yang telah ada sejak 119.000 tahun silam untuk kemudian mengering sepenuhnya sekitar lima abad silam. Gagasan tentang Danau Borobudur sesungguhnya sudah bergaung sejak seabad silam. Namun baru menemukan bukti-buktinya secara geologis melalui kajian pak Helmi Murwanto (2004).

Danau Borobudur adalah sebuah konsekuensi dari sejarah geologi Magelang yang unik. Hingga sekitar setengah juta tahun silam, daratan Borobudur masih berupa laut. Tepatnya laguna, bagian dari sistem laguna yang memanjang sejak Borobudur hingga Yogyakarta dan Bantul untuk kemudian bersambungan dengan Samudera Indonesia.

Gambar 5. Estimasi genangan Danau Borobudur manakala menempati area genangan terluasnya jauh di masa prasejarah. Pada saat itu Danau Borobudur menempati area seluas 7.390 hektar. Sumber: Sudibyo, 200 dengan data dari Murwanto, 2004 & Gomez dkk, 2010.

Aktivitas gunung-gunung berapi purba, baik yang membentuk Pegunungan Menoreh maupun Gunung Proto-Merapi menyebabkan Laguna Borobudur terputus dari Laguna Yogyakarta – Bantul. Terbentuklah Danau Borobudur, yang awalnya adalah danau berair asin. Aktivitas vulkanisme terutama dari Gunung Proto-Merapi dan tanah longsor dari Pegunungan Menoreh, menyebabkan Danau Borobudur mengering dan terisi air kembali hingga enam kali. Aktivitas tersebut juga menyebabkan dasar danau kian mendangkal hingga akhirnya menjadi rawa-rawa untuk kemudian mengering sepenuhnya pada lima abad silam.

Jejak Danau Borobudur tecermin dari lapisan lempung hitam tebal (ketebalan 2 hingga 3 meter) khas endapan danau dan tak tembus air. Sehingga mampu menahan air di sisi atasnya. Sebagai akibatnya maka kedalaman muka air tanah di dataran Borobudur dan sekitarnya relatif seragam, yakni maksimum 15 meter. Kecuali di area Candi Mendut, yang sedalam hingga 22 meter.

Letusan dahsyat Proto-Merapi pada 119.000 tahun silam melontarkan demikian banyak material letusan. Hingga mengubur jalur air yang memisahkan kaki Pegunungan Menoreh sisi timur dan kaki Gunung Merapi dengan endapan letusan setebal sedikitnya 20 meter. Terbentuklah bendungan alamiah. Inilah awal mula munculnya Danau Borobudur. Pada puncaknya, jauh di masa prasejarah, Danau Borobudur menggenangi area hingga seluas 7.390 hektar. Kelilingnya (yakni garis pantainya), sepanjang 43 kilometer. Titik terdalam terdapat di bagian tenggara, di kawasan yang kini menjadi pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Elo, Sileng dan Pabelan.

Letusan dahsyat Gunung Proto-Merapi berikutnya terjadi pada 31.000 tahun silam. Meski skala kedahsyatannya lebih kecil ketimbang letusan 119.000 tahun silam. Di antara dua letusan besar tersebut, Danau Borobudur telah mengalami siklus penggenangan – pengeringan hingga lima kali. Aktivitas vulkanik Proto-Merapi dan tetangga-tetangganya (Merbabu Tua dan Sumbing Tua) pada rentang masa tersebut tergolong intensif. Sehingga secara akumulatif menghasilkan endapan vulkanik setebal 2 meter.

Siklus penggenangan – pengeringan Danau Borobudur yang terakhir terjadi sejak 27.000 tahun silam hingga lima abad silam. Siklus keenam ini meliputi masa sejarah. Di masa pembangunan Candi Borobudur, area genangan danau telah menyusut jauh. Candi Borobudur dibangun pada masa yang sama dengan Candi Mendut. Sementara Candi Mendut berdiri pada elevasi 240 mdpl. Maka cukup beralasan untuk mengatakan bahwa di masa pembangunan kedua candi tersebut, elevasi paras air Danau Borobudur telah turun di bawah 240 mdpl.

Gambar 5. Estimasi genangan Danau Borobudur manakala menempati area genangan terluasnya jauh di masa prasejarah. Pada saat itu Danau Borobudur menempati area seluas 7.390 hektar. Sumber: Sudibyo, 200 dengan data dari Murwanto, 2004 & Gomez dkk, 2010.

Karena itu cukup masuk akal untuk mengatakan pada masa Candi Borobudur dibangun dan dipergunakan, dimensi genangan Danau Borobudur telah demikian menyusut. Sehingga hanya tinggal sekitar sepertujuhnya saja. Luas genangan Danau Borobudur pada saat itu sekitar 1.020 hektar dengan panjang garis pantai sekitar 25 kilometer. Genangan itu meliputi hanya lembah Sungai Sileng dan Sungai Progo dari sekeliling Gumuk Borobudur menerus ke tenggara. Yakni ke area pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Sileng dan Sungai Pabelan. Dari 1.020 hektar genangan danau, diduga yang berada di sekeliling Gumuk Borobudur telah berbentuk rawa-rawa karena sedemikian dangkalnya. Inilah yang nampaknya membuat aneka prasasti Medang di kawasan ini tak menjelaskan soal Danau Borobudur.

Pengeringan terakhir terjadi berabad-abad setelah berdirinya Candi Borobudur. Pasca abad ke-10 TU, lebih intensifnya aktivitas Gunung Merapi menyebabkan sisa Danau Borobudur yang masih ada menjadi kian dangkal. Hingga akhirnya mengering sepenuhnya menjadi daratan di pertengahan abad ke-15 TU.

Referensi :

Djulianto Susantio. 2016. Konservasi Candi Borobudur, ‘Membuang-buang Duit’ Demi Pariwisata. 21 November 2016.

Dani Irwanto. 2015. Telaga Purba Borobudur dan Awalmula Peradaban. 20 Oktober 2015.

Timbul Haryono. 2022. Memahami Candi Borobudur. Jagongan Sigarda, 8 Juni 2022.

Marsis Sutopo. 2022. Candi Borobudur, Antara Pelestarian dan Pariwisata. Jagongan Sigarda, 8 Juni 2022.

Gomez dkk.2010. Borobudur, A Basin Under Volcanic Influence : 361.000 BP to Present. Journal of Volcanology and Geothermal Research, vol. 196 (2010) hal. 245 – 264.