Penyelidikan kecelakaan pesawat Airbus A320-216 AirAsia nomor registrasi PK-AXC yang jatuh di Selat Karimata pada 28 Desember 2014 Tarikh Umum (TU) silam saat menjalani rute Surabaya-Singapura sebagai penerbangan QZ8501 (AWQ 8501) telah usai. Laporan finalnya telah dipublikasikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada Selasa sore 1 Desember 2015 TU. Penyelidikan ini tergolong cepat, mengingat laporan final telah dipublikasikan dalam waktu tak sampai setahun pasca kecelakaan. Bertulangpunggungkan pada pembacaan dan analisis terhadap data-data yang direkam sepasang kotak hitam pesawat, masing-masing perekam data penerbangan (flight data recorder/FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder/CVR), apa yang terjadi pada AirAsia QZ8501 pada saat-saat terakhirnya terkuak sudah.
Pesawat naas itu lepas landas dari bandara Juanda, Sidoarjo (propinsi Jawa Timur) pada pukul 05:35 WIB dalam penerbangan rutinnya menuju bandara Changi, Singapura. Pesawat Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC mengangkut 162 orang, terdiri dari 156 penumpang, 2 pilot dan 4 kru udara (pramugari/pramugara). Dari 162 orang itu 83 diantaranya berjenis kelamin perempuan. Dan dari 162 orang tersebut 22 diantaranya masih berusia di bawah 15 tahun. Penerbangan QZ 8501 dikemudikan kopilot Remi Plesel. Sedangkan pilot Kapten Iriyanto bertugas sebagai pengawas sekaligus menjaga komunikasi radio dengan darat dan pesawat lain. Baik pilot maupun kopilot merupakan penerbang-penerbang senior. Kapten Iriyanto adalah penerbang TNI-AU yang telah berdinas selama satu dekade penuh. Ia berpengalaman memiloti beragam pesawat tempur, mulai dari bermesin jet seperti jet tempur F-5, Boeing-737 dan Airbus A320 hingga berbaling-baling seperti AS-202, T-34C dan Fokker F27. Pasca kontraknya dengan TNI-AU usai, Kapten Iriyanto menjadi pilot di beragam maskapai seperti AdamAir, Merpati Nusantara Airlines dan Sriwijaya sebelum bergabung dengan Indonesia AirAsia. Total jam terbang yang telah diakumulasikan Kapten Iriyanto mencapai 20.537 jam terbang. Sementara Remi Plesel, yang berkewarganegaraan Perancis, telah mengumpulkan 2.247 jam terbang, mayoritasnya dalam pesawat Airbus A320.
Pesawat Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC yang baru mengudara itu relatif masih muda. Ia baru dibuat pada tahun 2008 TU. Hingga hari yang naas itu, pesawat telah mengumpulkan 23.039 jam terbang dalam 13.610 siklus. Layaknya armada pesawat dalam sebuah maskapai penerbangan, Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC ini pun menjalani pemeriksaan secara berkala. Pemeriksaan besar terakhir dijalaninya pada September 2014 TU. Sedangkan pemeriksaan minor terakhir pada 16 November 2014 TU. Pada hari naas tersebut pesawat Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC mengangkut 14.220 kilogram beban dan 7.725 kilogram bahan bakar. Bobot saat tinggal landas adalah 64.825 kilogram. Ini masih masih jauh di bawah nilai ambang batas bobot maksimal sebesar 73.500 kilogram.
Sebagai jet komersial modern, kendali pesawat Airbus A320-216 bertumpu pada konsep fly by wire, konsep yang ditujukan agar penerbangan sipil menjadi lebih aman, lebih efektif dan lebih menyenangkan. Dengan konsep ini maka dalam hampir segenap penerbangannya pesawat Airbus A320-216 dikemudikan oleh sistem komputer sementara pilot dan kopilot lebih merupakan pemantau instrumen. Terdapat tujuh komputer pengendali penerbangan yang bekerja secara simultan dan harmonis. Masing-masing 2 komputer ELAC (elevator aileron computer) untuk elevator (perangkat kendali terbang di sisi belakang sayap ekor pesawat, berfungsi mengendalikan gerakan ke atas dan ke bawah), 3 komputer SEC (spoiler elevator computer) untuk spoiler (perangkat kendali terbang di sisi belakang sayap pesawat, berfungsi sebagai rem udara) dan 2 komputer FAC (flight augmented computer) untuk rudder (perangkat kendali permukaan di sisi belakang sirip tegak pada ekor pesawat, berfungsi mengendalikan gerakan ke kiri dan kanan). Adanya komputer-komputer ini membuat pesawat mampu terbang secara otomatis (autopilot).
Segera setelah mengudara, penerbangan QZ8501 menanjak ke ketinggian jelajah di altitud 32.000 kaki dari paras air laut rata-rata (dpl), atau setara 9.750 meter dpl. Ia menempuh rute M635 yang langsung menuju Singapura. Saat itu cuaca tak bersahabat dan cenderung memburuk. 29 menit setelah lepas landas, pilot meminta ijin ke pengatur lalu lintas udara Ujung Pandang Upper West (yang mengawasi ruang udara Laut Jawa bagian timur) untuk bergeser 24 kilometer di sisi barat dari rute M635. Mengingat cuaca yang mulai tak bersahabat. Permintaan ini dikabulkan. Citra satelit cuaca memang memperlihatkan pertumbuhan awan Cumulonimbus yang intensif di atas perairan Laut Jawa bagian barat dan Selat Karimata.
Pukul 06:21 WIB, 46 menit setelah mengudara, penerbangan QZ8501 jatuh terhempas keras di perairan Selat Karimata. Tak ada tanda bahaya yang diudarakan sebelumnya. Tak ada pula permintaan tolong dari pilot kepada pengatur lalu lintas udara terdekat. Tragedi pun terjadi di Selat Karimata. Seluruh penumpang dan awak pesawat tewas. Yang memilukan, hingga masa pencarian dinyatakan berakhir baru 116 jasad korban yang ditemukan. Dan hanya 100 diantaranya yang dapat dikenali, terdiri dari 54 laki-laki dan 46 perempuan. Kewarganegaraan jasad-jasad yang terdidentifikasi terdiri dari 93 warganegara Indonesia, 1 warganegara Perancis, 1 warganegara Malaysia, 1 warganegara Singapura, 1 warganegara Inggris dan 3 warganegara Korea.
Komputer Pengendali
Kini apa yang menjatuhkan pesawat Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC AirAsia penerbangan QZ8501 terkuak sudah. Bukan awan Cumulonimbus penyebabnya, seperti yang jadi gorengan ramai media-media Indonesia dengan bumbu-bumbu bombastis lezatnya di awal mula bencana. Juga bukan karena pengatur lalu lintas udara (air traffic controller/ATC) Jakarta yang lamban merespon permintaan pilot untuk naik ke altitud 38.000 kaki (11.600 meter) dpl. Juga bukan karena kesilapan pilot dan kopilot yang terbang tanpa membawa dokumen cuaca secara fisik. Juga bukan karena penerbangan ini merupakan penerbangan tak berijin sebagaimana ditudingkan Menteri Perhubungan RI. Tetapi kombinasi kesalahan teknis yang diikuti dengan kesalahan manusiawi pilot dan kopilot lah yang membuat AirAsia penerbangan QZ8501 ini terjungkal menjumpai naasnya di Selat Karimata.
Biang keladi tragedi ini boleh dikata adalah komputer FAC. Inilah komputer yang fungsinya mengatur rudder travel limiter unit (RTLU). Rudder dan elevator merupakan dua buah perangkat kendali permukaan bagi pesawat. Keduanya terletak di bagian ekor dan bekerja bersama-sama untuk mengendalikan gerakan berputar (roll) sehingga pesawat bisa berguling ke kiri atau kanan dengan leluasa. Kombinasi rudder dan elevator membuat pesawat modern leluasa berbelok. Nah dalam rudder terdapat RTLU, sebuah radas kecil yang berfungsi menjaga rudder tetap dalam posisi yang telah dipilih tanpa pilot harus terus-menerus mengerahkan tenaganya untuk menjaga stabilitasnya. Pendek kata, dengan RTLU maka pilot/kopilot bisa melemaskan otot-ototnya dan lebih memusatkan perhatiannya menjaga pesawat tetap melintas di rutenya. RTLU inilah yang terhubung dan dikendalikan oleh sepasang komputer FAC.
Pada pesawat Airbus A320-216 PK-AXC ini sepasang komputer FAC-nya telah berkali-kali bermasalah. Bahkan sejak lama hal tersebut terjadi. Sepanjang tahun 2014 TU saja telah terjadi 23 kali masalah komputer FAC. Sembilan masalah diantaranya terjadi hanya di bulan Desember 2014 TU itu saja. Gangguan terakhir terjadi tiga hari sebelum tragedi di Selat Karimata, kala pesawat juga sedang ada di bandara Juanda dan bersiap terbang ke Kuala Lumpur (Malaysia). Kapten Iriyanto, yang saat itu juga bertugas sebagai pilot, melihat komputer FAC ngadat kembali selagi hendak membawa pesawat ke landasan dari tempat parkirnya.
Dalam buku panduannya, pabrikan Airbus menjelaskan untuk mengatasi masalah komputer FAC bisa dilakukan dengan beberapa cara. Salah satu caranya adalah dengan mereset-nya. Yakni dengan menekan tombol on dan tombol off pada setiap komputer. Kedua tombol itu terletak di panel atas, yang mudah dijangkau baik dari kursi pilot maupun kopilot. Namun karena masih di darat, Kapten Iriyanto memutuskan memanggil teknisi penerbangan guna memperbaikinya. Disinilah ia menyaksikan improvisasi dalam me-reset komputer FAC yang tak tertulis di buku panduan. Teknisi memutus aliran listrik ke komputer FAC dan lalu mengalirkannya kembali dengan menggunakan dua saklar pemutus arus yang berbeda untuk masing-masing komputer. Saklar pertama terletak di panel atas, sementara saklar pemutus arus yang satunya lagi terletak pada panel di belakang kursi kopilot. Improvisasi ini terekam dalam benak sang kapten dan turut berkontribusi dalam tragedi tiga hari kemudian. Terlebih kala sang teknisi menjelaskan bahwa langkah improvisasi tersebut dapat dilakukan baik saat pesawat di darat maupun sedang mengudara. Buku panduan Airbus memang mengijinkan komputer pengendali penerbangan di-reset dengan cara demikian, namun pilot dan kopilot harus benar-benar memahami konsekuensinya. Dan tidak ada panduan spesifik untuk melakukan reset komputer seperti itu tatkala pesawat sedang berada di udara.
Pada hari naas itu sepasang komputer FAC kembali bermasalah kala penerbangan QZ8501 sudah mengudara. Bahkan hingga tiga kali berturut-turut dalam tempo berdekatan, masing-masing pada pukul 06:00 WIB, pukul 06:09 WIB dan pukul 06:14 WIB. Dalam tiga kejadian tersebut pilot meresponnya sesuai petunjuk dari buku panduan Airbus. Yakni dengan menekan tombol on dan off masing-masing komputer FAC. Namun tatkala FAc kembali menjumpai masalah pada pukul 06:16 WIB, pilot mencoba pendekatan lain sesuai improvisasi yang disaksikannya tiga hari sebelumnya. Masih duduk di kursi, ia mematikan dan menyalakan kembali saklar pemutus arus komputer FAC pertama. Selanjutnya dengan bangkit dari kursinya, ia melakukan langkah serupa untuk komputer FAC kedua melalui saklar pemutus arus yang ada pada panel di belakang kursi kopilot. Sementara kopilot tetap dalam sikapnya mengemudikan pesawat.
Terputusnya arus listrik ke sepasang komputer FAC membuat autopilot turut mati. Autopilot tetap mati meski kemudian arus listrik telah dialirkan kembali (yang membuat sepasang komputer FAC hidup dan berfungsi normal kembali). Untuk mengaktifkan autopilot kembali, seharusnya setelah sepasang komputer FAC hidup lagi pilot menekan tombol on dan off masing-masing komputer secara berurutan sesuai instruksi. Namun hal itu tak dilakukan. Maka kendali pesawat pun beralih ke manual. Rudder beringsut ke posisi terakhir sebelum kedua komputer FAC ter-reset, yakni terdefleksi 2°. Sebagai implikasinya pesawat pun mulai berguling ke kiri dengan kecepatan hingga 6° per detik, tanpa komando dan tanpa sepengetahuan pilot maupun kopilot. Sehingga hanya dalam 9 detik kemudian pesawat telah miring 54° ke kiri. Itulah momen saat kopilot mulai menyadarinya dan segera menggerakkan tongkat kemudinya. Maka pesawat pun mulai berguling ke arah berlawanan sehingga kini tinggal semiring 9° ke kiri. Namun langkah-langkah pilot dan kopilot berikutnya membuat situasi kembali memburuk dengan cepat hingga berujung bencana.
Tatkala pesawat mulai berguling ke kanan mengikuti respons kopilot, gerakan nan cepat menyebabkan sensasi berputar ke kanan. Sensasi ini yang nampaknya membuat kopilot mengalami disorientasi dan mengira pesawat sedang berguling dari posisi normalnya (posisi horizontal). Padahal sesungguhnya ia telah berguling ke kiri lebih dahulu. Tanpa terlebih dulu mengecek indikator sikap pesawat, ia menarik kembali tongkat kemudinya ke kiri. Sehingga pesawat pun kembali berguling ke kiri hingga semiring 50°. Pada saat yang sama kopilot menarik tongkat kemudinya hingga 15° ke belakang. Aksi ini membuat pesawat mulai menanjak sangat tajam hingga mencapai sudut tanjakan (pitch) 9° hanya dalam 3 detik. Dan dalam 20 detik kemudian sudut tanjakannya telah sebesar 24°, jauh melampaui ambang batas 10° yang diperkenankan bagi pesawat Airbus A320-216. Sebagai akibatnya sudut serang (angle of attack) yang dimilikinya pun demikian curam, hingga mencapai 48° pada titik maksimumnya.
Sudut serang yang demikian besar mendatangkan konsekuensi sangat serius. Karena pesawat Airbus A320-216 nomor registrasi PK-AXC itu segera berhadapan dengan salah satu momok paling menakutkan dunia penerbangan: kehilangan gaya angkat (stall) aerodinamis. Ini terjadi karena kacaunya aliran udara yang lewat di sayap pesawat. Normalnya, geometri sayap pesawat menyebabkan aliran udara terbelah dua, satu lewat persis di bawah sayap sementara satunya lagi di atas sayap. Pasca melewati sayap, keduanya lantas bergabung lagi menjadi satu aliran udara. Perbedaan kecepatan antara dua aliran udara tersebut memproduksi gaya angkat. Tetapi hal ini hanya berlaku bilamana kedua aliran udara yang terpisah itu tetap menempel pada sayap. Bila sudut serang sayap bertambah, maka pada satu titik kedua aliran udara itu takkan menyatu lagi pasca lewat sayap. Keduanya tetap terpisah. Titik tersebut dinamakan titik pemisahan. Semakin besar sudut serangnya, maka titik pemisahannya kian merangsek ke atas sayap. Pada sudut kritis tertentu, titik pemisahan tersebut akan tepat berada di ujung depan sayap. Pada sudut inilah gaya angkat menghilang.
Dalam penerbangan QZ8501 itu, hanya dalam waktu 50 detik pasca sepasang komputer FAC di-reset lewat saklar pemutus arusnya, terjadilah stall. Alarm stall pun menyala. Alarm stall bakal aktif saat sudut serang pesawat ini mulai melampaui batas 8°. Pada momen ini pilot memerintahkan kopilot untuk mendorong tongkat kemudinya lewat perintah (dalam Bahasa Inggris) “..pull down..pull down..” Pilot sendiri juga mulai mendorong tongkat kemudinya. Namun kopilot tidak merespon perintah tersebut dengan baik. Mungkin karena perintahnya ambigu. Prosedur operasi standar penerbangan Airbus A320-216 mengatur bahwa saat sudut tanjakan mencapai 10° (baik ke atas maupun ke bawah), maka pilot seharusnya memerintahkan dengan kata-kata “..pitch..pitch..”
Sebagai akibatnya pesawat menanjak sangat tajam dengan magnitud yang mengerikan. Hanya dalam 74 detik pasca komputer FAC di-reset, pesawat telah mendaki 2.000 kaki (610 meter) dalam keadaan miring hingga 104° ke kiri. Selepas itu pesawat mulai menukik tak kalah mengerikan dengan kecepatan kehilangan ketinggian mencapai 20.000 kaki (6.096 meter) dalam setiap menitnya. Rekaman terakhir pada perekam data penerbangan adalah pada pukul 06:20:35 WIB atau hanya 4 menit 8 detik pasca komputer FAC di-reset. Pada detik terakhir itu pesawat sudah anjlok jauh sekali, dengan ketinggian tinggal 58 meter dpl dalam keadaan masih miring 8° ke kiri dan sudut serangnya masih sebesar 50°.
KNKT menemukan hingga saat-saat terakhir penerbangan QZ8501, kendali tetap berada di kopilot. Pilot tidak berinisiatif mengambil-alihnya, meski prosedur operasi standar keadaan darurat mengharuskannya demikian. Dari reruntuhan pesawat yang berhasil diangkat, ditemukan cacat pada sepasang komputer FAC-nya. Cacat tersebut berupa solderan yang retak pada modul elektronik masing-masing komputer. Retakan tersebut membuat arus listrik yang melewatinya kerap putus-sambung. Problem solderan yang retak dalam modul elektronik komputer FAC sebenarnya telah mengemuka sejak 1993 TU dan telah menjadi perhatian pabrikan Airbus. Solderan yang retak inilah yang menyebabkan masalah komputer FAC selalu berulang. Sayangnya manajemen perawatan pesawat dalam maskapai Indonesia AirAsia nampaknya tak berhasil mendeteksi masalah ini meskipun sedikitnya dua pilot yang lain telah melaporkannya.
Andaikata
Penerbangan QZ8501 memang telah berujung pada tragedi di Selat Karimata. Namun pengandaian apa yang bisa dipelajari Indonesia untuk mencegah terulangnya tragedi sejenis di masa depan?
Ada banyak pengandaian. Andaikata masalah dalam komputer FAC bisa dideteksi oleh manajemen perawatan Indonesia AirAsia sejak dini, tragedi ini bisa dicegah. Terlebih jika segera dilakukan penggantian komponen yang rusak. Kalaupun tidak, andaikata pilot tetap mematuhi pedoman Airbus dan tidak berimprovisasi dalam menangani masalah komputer FAC, tragedi ini bisa dicegah. Kalaupun tidak, andaikata pilot tetap mematuhi instruksi yang tersaji dalam layar display komputer FAC untuk menekan tombol on dan off masing-masing komputer FAC pasca menggunakan saklar pemutus arus, tragedi ini bisa dicegah. Kalaupun tidak, andaikata manajemen Indonesia AirAsia menggelar pelatihan upset recovery (mengembalikan pesawat dari situasi berbahaya akibat kecepatan atau sikap yang melampaui ambang batas) bagi pilot-pilotnya, maka tragedi ini mungkin bisa dicegah.
Tragedi di Selat Karimata itu menduduki peringkat kecelakaan pesawat terbang dengan korban terbanyak kedua di Indonesia sepanjang sejarah, setelah jatuhnya pesawat Airbus A300-B4 nomor registrasi PK-GAI Garuda Indonesia penerbangan GA152 pada 26 September 1997 TU silam di dekat Medan (propinsi Sumatra Utara) dengan korban tewas 234 orang. Dan pasca tragedi penerbangan QZ8501 itu, dunia penerbangan Indonesia masih belum sepi dari tragedi lainnya. Mulai dari jatuhnya pesawat Hercules C-130B TNI-AU nomor A-1310 di Medan (propinsi Sumatra Utara) pada 30 Juni 2015 TU (korban tewas 139 orang). Lantas disusul jatuhnya pesawat ATR 42-300 nomor registrasi PK-YRN Trigana Air Services penerbangan IL267 (TGN267) di dekat Oksibil (propinsi Papua) pada 16 Agustus 2015 TU (korban tewas 54 orang). Dan yang terakhir adalah jatuhnya pesawat DHC-6 Twin Otter nomor registrasi PK-BRM Aviastar penerbangan MV7503 di hutan Latimojong (propinsi Sulawesi Selatan) pada 2 Oktober 2015 TU (korban tewas 10 orang).
Secara akumulatif, dalam 10 bulan tersebut (terhitung sejak 28 Desember 2014 TU) sebanyak 369 nyawa telah terenggut dalam aneka kecelakaan udara tadi. Ini menjadi bagian dari catatan buruk dunia penerbangan Indonesia, yang masih terus mendapat perhatian global karena catatan keselamatannya masih berada di bawah nilai rata-rata global.
Referensi :
KNKT. 2015. Aircraft Accident Investigation Report, PT Indonesia Air Asia Airbus A320-216 PK-AXC, Karimata Strait, Republic of Indonesia, 28 December 2014. Komisi Nasional Keselamatan Transportasi, Kementerian Perhubungan RI.