Lubang Hitam (Raksasa) yang Batal ‘Menyantap Makanan’

Sebuah awan gas raksasa yang ukurannya setara tata surya kita dan seharusnya telah remuk tercabik-cabik lantas menghilang (sebagian) tersedot lubang hitam raksasa di pusat galaksi Bima Sakti ternyata masih tetap eksis meski baru saja lewat dalam jarak cukup dekat (pada skala astronomi) dengan sang monster. Kini para astronom menduga ada sedikitnya satu bintang tersembunyi di dalam awan gas raksasa ini. Sehingga ia bisa tetap bertahan meski telah melintasi lingkungan sangat ganas dekat lubang hitam raksasa itu. Peristiwa yang sesungguhnya terjadi antara 24.500 hingga 27.300 tahun silam membuat lubang hitam raksasa yang menghuni pusat galaksi Bima Sakti kita pun dipaksa kembali berpuasa.

Awan gas tersebut pertama kali teramati pada 2002 Tarikh Umum (TU) namun sebagian sifatnya baru terungkap sembilan tahun kemudian. Diberi identitas G2, awan gas yang berdiameter sekitar 37,5 milyar kilometer atau setara dimensi tata surya kita hingga ke kawasan Sabuk Kuiper-Edgeworth (dan mengabaikan awan komet Opik-Oort) tersusun dari campuran debu, gas dan ion-ion yang menggumpal. Massanya sekitar tiga kali lipat Bumi kita. Debu di awan gas tersebut bersuhu 277 derajat Celcius, atau lebih panas ketimbang suhu air mendidih di permukaan Bumi. Meski tergolong panas untuk ukuran manusia namun debu di awan gas ini sebaliknya masih bisa dianggap ‘dingin’ jika dibandingkan dengan gas-gasnya yang memiliki suhu hingga 10.000 derajat Celcius. Pada suhu tersebut, gas-gas di awan gas G2 ini lebih panas ketimbang permukaan Matahari (fotosfer) kita, yang ‘hanya’ bersuhu 5.800 derajat Celcius. Sebaliknya sekujur awan gas G2 ini tergolong sangat dingin bagi lingkungan pusat galaksi Bima Sakti, yang bertaburan gas-gas difus sepanas hingga 100 juta derajat Celcius.

Gambar 1. Benda langit yang semula dikira awan gas G2 nampak masih ada dan relatif utuh meski baru saja melewati titik perinigricon (titik terdekat ke lubang hitam) di pusat galaksi Bima Sakti. Melintasnya awan gas G2 di perinigricon-nya menjadi peristiwa langit yang paling dinanti dunia astronomi di tahun 2014 TU ini karena menyajikan peluang untuk menyaksikan lubang hitam raksasa di pusat Bima Sakti menyantap kudapan kosmik. Diabadikan dengan teleskop kembar Keck (diameter 10 meter) pada Agustus 2014 TU lalu. Sumber: Ghez, 2014.

Gambar 1. Benda langit yang semula dikira awan gas G2 nampak masih ada dan relatif utuh meski baru saja melewati titik perinigricon (titik terdekat ke lubang hitam) di pusat galaksi Bima Sakti. Melintasnya awan gas G2 di perinigricon-nya menjadi peristiwa langit yang paling dinanti dunia astronomi di tahun 2014 TU ini karena menyajikan peluang untuk menyaksikan lubang hitam raksasa di pusat Bima Sakti menyantap kudapan kosmik. Diabadikan dengan teleskop kembar Keck (diameter 10 meter) pada Agustus 2014 TU lalu. Sumber: Ghez, 2014.

Hal yang paling menarik dari awan gas G2 ini adalah bahwa ia bergerak, tepatnya berputar mengelilingi sebentuk benda langit taknampak di pusat galaksi Bima Sakti kita. Para astronom telah lama menduga benda langit taknampak itu adalah lubang hitam raksasa (supermassive blackhole) yang diameternya sekitar 88 juta kilometer. Observasi berkelanjutan memperlihatkan awan gas G2 bergerak menyusuri orbit yang sangat lonjong yang eksentrisitasnya 0,92 atau mirip dengan orbit komet-komet berperiode panjang/sangat panjang dalam tata surya kita. Orbit awan gas G2 memiliki titik perinigricon (titik terdekat ke lubang hitam) sejauh 38,9 milyar kilometer dari pusat lubang hitam raksasa tersebut. Jarak tersebut setara 260 kali lipat jarak rata-rata Bumi ke Matahari. Sebaliknya titik aponigricon-nya (titik terjauh ke lubang hitam) adalah sebesar 988,9 milyar kilometer atau setara dengan 6.610 kali lipat jarak rata-rata Bumi ke Matahari. Dengan begitu awan gas G2 membutuhkan waktu sekitar 100 tahun untuk bisa menyelesaikan revolusinya sekali putaran.

Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa awan gas G2 ini nampak bakal melintas di titik perinigricon-nya pada suatu waktu di antara Januari hingga Juni 2014 TU. Saat di perinigricon-nya, awan gas G2 Segera informasi ini menghebohkan jagat astronomi. Sebab titik perinigricon-nya demikian dekat ke lubang hitam raksasa tersebut, yakni 3.000 kali lipat lebih besar ketimbang jari-jari lubang hitam raksasa itu mengacu pada radius Schwarszchild (jari-jari antara pusat lubang hitam dengan ufuk peristiwanya). Dalam jarak sedemikian dekat, maka untuk pertama kalinya para astronom berkesempatan menyaksikan aksi dahsyat sang lubang hitam raksasa yang selama ini hanya sebatas gagasan di atas kertas, yakni memakan benda langit. Makanan tersebut entah sebagai kudapan yakni benda langit bermassa relatif kecil seperti halnya awan gas G2 ini, ataupun makan besar dengan melahap bintang massif. Tak pelak bakal melintasnya awan gas G2 di titik perinigricon-nya menjadi salah satu peristiwa langit yang paling ditunggu di dunia astronomi dalam tahun 2014 TU ini.

Lubang Hitam

Bagaimana umat manusia masakini mencoba memahami benda langit eksotik bernama lubang hitam berangkat dari pertanyaan sederhana. Jika bintang-bintang di langit (termasuk Matahari) tersusun dari gas, mengapa gas-gas itu bisa berkumpul di satu lokasi yang sama sementara sifat gas adalah mengisi ruang yang kosong? Jawaban dari pertanyaan ini baru mulai terkuak dalam kurun kurang dari seabad terakhir. Tepatnya kala dunia ilmu pengetahuan diguncangkan oleh dua revolusi besar dalam ilmu fisika dengan imbasnya kemana-mana, yakni relativitas umum dan mekanika kuantum.

Gambar 2. Diagram sederhana struktur Matahari kita bila diiris dan bagaimana dimensi (ukurannya) sebagai hasil keseimbangan antara gravitasi yang selalu menuju ke pusat Matahari (dan selalu mencoba mengerutkannya) dengan tekanan radiasi produk reaksi fusi nuklir di pusat Matahari yang selalu keluar dari pusat Matahari (dan selalu memcoba mengembangkannya). Kesetimbangan ini akan berubah dramatis saat bahan reaksi fusi nuklir telah sangat terbatas. Bagaimana nasib bintang pada saat itu sangat bergantung pada massanya. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 2. Diagram sederhana struktur Matahari kita bila diiris dan bagaimana dimensi (ukurannya) sebagai hasil keseimbangan antara gravitasi yang selalu menuju ke pusat Matahari (dan selalu mencoba mengerutkannya) dengan tekanan radiasi produk reaksi fusi nuklir di pusat Matahari yang selalu keluar dari pusat Matahari (dan selalu memcoba mengembangkannya). Kesetimbangan ini akan berubah dramatis saat bahan reaksi fusi nuklir telah sangat terbatas. Bagaimana nasib bintang pada saat itu sangat bergantung pada massanya. Sumber: Sudibyo, 2014.

Sebelumnya musti digarisbawahi bahwa bintang tidaklah tersusun dari gas, melainkan plasma. Plasma adalah campuran antara ion-ion positif dan elektron-elektron bebas bersuhu tinggi yang secara akumulatif berperilaku mirip gas. Di sisi lain setiap partikel dalam ion-ion positif (dan elektron juga) dalam plasma memiliki massa sehingga mereka tunduk pada hukum gravitasi. Karena jumlahnya amat sangat banyak, maka maka secara akumulatif partikel-partikel dalam plasma yang menyusun bintang memproduksi gravitasi yang arahnya selalu menuju ke pusat massa bintang tersebut. Dengan demikian bintang itu memiliki kecenderungan abadi untuk mengerut (mengecil) oleh gravitasinya sendiri. Namun bintang pada umumnya dapat menahan pengerutan tersebut melalui tekanan radiasi/gelombang elektromagnetik. Jadi kala massa plasma terus saja mengerut, pusat massanya jadi bersuhu sangat tinggi (hingga belasan juta derajat Celcius). Akibatnya reaksi fusi (penggabungan nuklir), yakni bergabungnya inti-inti atom ringan menjadi inti atom yang lebih berat sembari melepaskan energi, pun terjadilah. Begitu reaksi dimulai, energi yang dilepaskan tetap menjaga suhu tinggi disekelilingnya sehingga reaksi-reaksi fusi berikutnya akan terus terjadi secara berkesinambungan. Salah satu produk reaksi adalah foton gamma, yakni sinar radioaktif berenergi tinggi dan berdaya tembus besar. Jika jumlah foton gammanya sangat besar maka ia pun menghasilkan tekanan radiasi yang cukup kuat dengan arah berkebalikan dibanding tekanan gravitasi. Sehingga tekanan radiasi selalu mengarah keluar (ke segala arah) dari pusat massa akumulatif plasma.

Matahari kita pun seperti itu. Diameternya yang 1,39 juta kilometer juga berasal dari keseimbangan antara tarikan gravitasi dengan tekanan radiasi produk reaksi fusi nuklir di pusatnya. Keseimbangan ini akan terus bertahan selama reaksi fusi nuklir di pusatnya terus berlangsung. Reaksi tersebut mengonsumsi tak kurang dari 620 juta ton inti Hidrogen per detiknya untuk diubah menjadi 615,6 juta ton inti Helium dan 0,2 juta ton positron (antimateri dari elektron, atau elektron bermuatan positif). Sisa massa 4,2 juta ton lenyap, berubah menjadi energi mengikuti kesetaraan massa-energi Einstein yang terkenal itu dengan produk energi 382 trilyun trilyun watt (dengan 26 angka nol). Massa plasma yang amat sangat besar poun membuat Matahari menjadi cukup massif untuk membengkokkan ruang-waktu disekitarnya demikian rupa. Sehingga berkas cahaya bintang jauh yang hendak menuju ke Bumi pun dipaksa berbelok sedikit kala lewat di dekat Matahari. Inilah fenomena yang diramalkan relativitas umum Einstein hampir seabad silam dan menemukan buktinya pada observasi Gerhana Matahari Total 19 Mei 1919 TU yang dipimpin Eddington, astronom Inggris.

Gambar 3. Poster yang dibuat astronom Eddington dan rekan-rekannya (Inggris) menjelang Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919 TU. Berkas cahaya bintang jauh digambarkan menempuh lintasan melengkung kala lewat di dekat Matahari. Sehingga posisi bintang jauh tersebut terlihat bergeser dibanding posisi sesungguhnya. Eddington menjadi bagian dari tim astronom yang membuktikan bahwa melengkungnya lintasan cahaya tersebut memang benar-benar terjadi. Sumber: Morison, 2008.

Gambar 3. Poster yang dibuat astronom Eddington dan rekan-rekannya (Inggris) menjelang Gerhana Matahari Total 29 Mei 1919 TU. Berkas cahaya bintang jauh digambarkan menempuh lintasan melengkung kala lewat di dekat Matahari. Sehingga posisi bintang jauh tersebut terlihat bergeser dibanding posisi sesungguhnya. Eddington menjadi bagian dari tim astronom yang membuktikan bahwa melengkungnya lintasan cahaya tersebut memang benar-benar terjadi. Sumber: Morison, 2008.

Masalahnya ketersediaan inti Hidrogen di Matahari terbatas. Suatu saat ia pasti bakal turun hingga ke batas kritis yang membuat kesinambungan reaksi fusi nuklir sirna. Nah apa yang bakal terjadi?

Jawaban dari persoalan ini dipelopori oleh Subrahmanyan Chandrasekhar, seorang cendekia India muda belia yang pada tahun 1930 TU berlayar ke Inggris guna melanjutkan studinya. Sepanjang pelayaran Chandrasekhar melakukan perhitungan mekanika statistik dengan mengacu dua revolusi ilmu pengetahuan di abad ke-20, yakni relativitas umum dan mekanika kuantum. Chandrasekhar mendapati jika jumlah inti Hidrogen telah demikian sedikit, reaksi fusi nuklir pun berhenti dan gravitasi bintang kembali membuat bintang tersebut mengerut. Akibatnya plasma dipaksa berkumpul dalam volume lebih sempit sehingga jarak antar partikelnya kian memendek. Termasuk jarak antar elektron-elektron bebasnya. Karena sama-sama bermuatan negatif, maka elektron akan saling tolak-menolak saat berjumpa dengan sesamanya. Pada suatu titik, gaya tolak-menolak ini demikian besar sehingga mampu mengimbangi pengerutan gravitasi. Lahirlah sebuah bintang eksotik, yakni bintang katai putih/cebol putih (white dwarf) yang diameternya hanya beberapa ratus kilometer namun massanya setara massa bintang biasa.

Bintang katai putih hanya akan terbentuk bila massa pusat bintang induk yang kehabisan inti Hidrogen bernilai maksimum 1,4 kali massa Matahari. Jika seluruh bagian bintang induknya diperhitungkan, maka bintang katai putih hanya akan terbentuk oleh sebuah bintang yang massa maksimumnya 8 kali massa Matahari. Dengan demikian Matahari kita kelak juga akan bertransformasi menjadi bintang katai putih, begitu jumlah inti Hidrogennya menyusut hingga di bawah ambang batas. Tetapi bagaimana dengan bintang yang lebih massif?

Pada bintang yang massanya lebih dari 8 kali massa Matahari, pengerutan akibat gravitasinya sendiri begitu reaksi fusi nuklirnya berhenti tak bisa ditahan oleh gaya tolak antar elektronnya. Karena telah mengerut demikian rupa, partikel-partikel inti atom dalam plasmanya dipaksa untuk terpecah menjadi proton dan neutron. Dan elektron-elektronnya dimuati energi yang cukup untuk bereaksi dengan proton. Sehingga terbentuklah neutron. Sebagai partikel subatomik dengan spin pecahan, neutron mematuhi prinsip eksklusi Pauli sehingga tak ada dua neutron yang menempati posisi dan keadaan kuantum yang sama. Pada satu titik, prinsip ini menghasilkan gaya tolak demikian besar sehingga mampu menyeimbangkan diri dengan pengerutan oleh gravitasinya sendiri. Terbentuklah bintang neutron, yang hampir sepenuhnya berisi neutron. Bintang eksotik ini hanya berdiameter beberapa belas kilometer, namun massanya setara bintang biasa. Sehingga massa jenisnya amat sangat tinggi, menyamai massa jenis inti atom. Sesendok teh materi bintang neutron sama bobotnya dengan 900 buah Piramida Giza yang ditumpuk menjadi satu !

Sebuah bintang neutron hanya akan terbentuk jika massa pusat bintang induknya antara 1,5 hingga 3 kali lipat Massa Matahari. Jika seluruh bagian bintang induknya diperhitungkan, maka bintang neutron hanya akan terbentuk oleh sebuah bintang yang massa maksimumnya 15 hingga 20 kali massa Matahari. Namun pertanyaan lama kembali berulang, bagaimana dengan bintang yang lebih massif?

Inilah saat bintang eksotik yang bernama lubang hitam tampil ke permukaan. Kala massa bintang induknya melebihi 20 kali massa Matahari, maka begitu reaksi fusi nuklirnya berhenti bintang tersebut akan terus mengerut. Gaya tolak antar elektron bebasnya tak mampu menghentikan pengerutan, demikian pula prinsip eksklusi Pauli pada neutron-neutronnya. Bahkan begitu proses pengerutan membuat volumenya menjadi amat sangat kecil, neutron yang ada pun dipaksa buyar kembali hingga menjadi aneka kuark penyusunnya. Di saat bersamaan medan gravitasi bintang eksotik ini pun menjadi amat sangat besar, yang membuat ruang-waktu disekelilingnya dipaksa melengkungan demikian dramatis hingga membentuk asimtot, atau lubang/sumur tanpa dasar. Karena itu ia mendapatkan nama lubang hitam. Tapal batasnya disebut horizon peristiwa, yakni radius khas dimana bahkan berkas cahaya pun tak bisa meloloskan diri darinya.

Sagittarius A-star

Lubang hitam menjadi benda langit yang paling menggamit minat manusia pada saat ini sekaligus menjadi salah satu topik paling seksi dalam astronomi modern. Ia dianggap sebagai obyek yang eksotis, misterius sekaligus mengerikan. Kisah tentang bagaimana lubang hitam begitu ganasnya hingga mampu menghisap habis sebuah bintang biasa sampai gerombolan bintang pun jamak tersebar. Bahkan pada tingkat lubang hitam raksasa yang menghuni sebuah pusat galaksi, galaksi lain pun disebut-sebut dapat dilahap dengan mudah. Jangankan bintang ataupun galaksi, bahkan cahaya sekalipun takkan mampu meloloskan diri darinya.

Gambar 4. Ilustrasi sebuah lubang hitam yang paling populer, yakni Cygnus X-1, bersama pasangannya. Sebagai sebuah sistem bintang ganda yang salah satu anggotanya telah bertransformasi secara radikal menjadi bintang eksotik berupa lubang hitam, maka sang lubang hitam mulai menyedot materi bintang biasa pasangannya hingga membentuk piringan akresi superpanas pemancar sinar ultraungu dan sinar-X yang sangat kuat. Meski lubang hitam sanggup menghisap apapun, namun hingga 90 % materi dalam piringan akresi justru takkan terhisap dalam lubang hitam dan malah terlempar ke angkasa. Sumber: NASA, 2014.

Gambar 4. Ilustrasi sebuah lubang hitam yang paling populer, yakni Cygnus X-1, bersama pasangannya. Sebagai sebuah sistem bintang ganda yang salah satu anggotanya telah bertransformasi secara radikal menjadi bintang eksotik berupa lubang hitam, maka sang lubang hitam mulai menyedot materi bintang biasa pasangannya hingga membentuk piringan akresi superpanas pemancar sinar ultraungu dan sinar-X yang sangat kuat. Meski lubang hitam sanggup menghisap apapun, namun hingga 90 % materi dalam piringan akresi justru takkan terhisap dalam lubang hitam dan malah terlempar ke angkasa. Sumber: NASA, 2014.

Bintang eksotik bernama lubang hitam memang berkemampuan melahap, namun tak seseram bayangan tersebut. Mari ambil contoh Matahari kita. Matahari memang takkan bisa berubah menjadi lubang hitam akibat massanya yang terlalu kecil. Namun andaikata dia bertransformasi menjadi lubang hitam maka diameternya akan demikian kecil menjadi hanya 5,9 kilometer saja. Namun massa dan gravitasinya akan tetap sama dengan Matahari kita saat ini, sehingga Bumi dan planet-planet lainnya bakal tetap berada di orbitnya seperti semula. Dengan satu perbedaan, kini semua gelap gulita abadi. Persoalan baru muncul jika Bumi dan planet-planet mendekat hingga sejarak setengah sampai sejuta kilometer dari ‘lubang hitam Matahari’ ini. Sebab pada titik itulah gaya tidal (gaya pasang surut gravitasi) ‘lubang hitam Matahari’ telah demikian besar sehingga mampu membelah dan mencabik-cabik benda langit apapun yang melintasinya.

Begitu pun setiap benda langit lainnya yang dipaksa terlalu dekat dengan lubang hitam nyata apapun. Setelah tercabik-cabik begitu rupa, kepingan-kepingan sisa benda langit tasi dipaksa mengelilingi sang lubang hitam dalam jarak dekat sebagai piringan akresi. Piringan ini bentuknya seperti donat gepeng dan menyerupai sabuk asteroid, namun memiliki suhu sangat tinggi sehingga melepaskan gelombang elektromagnetik berintensitas dan berenergi tinggi yang didominasi sinar ultraungu dan sinar-X. Hanya sedikit materi bersuhu tinggi dalam piringan akresi ini yang bakal dilahap lubang hitam. Justru hingga 90 % diantaranya bakal terlempar keluar menjauhi piringan akresi, yang otomatis juga menjauhi lubang hitam, menurut sebuah simulasi. Maka, meski memang tak bakal meloloskan seberkas cahaya sekalipun (demikian pula gelombang elektromagnetik lainnya), namun sejatinya lubang hitam bisa dideteksi dengan berdasar pada pancaran sinar ultraungu/sinar-X dari kawasan sempit di langit. Ia juga bisa dideteksi dengan mengamati perilaku bintang-bintang biasa didekatnya.

Lubang hitam raksasa di pusat galaksi Bima Sakti pertama kali terdeteksi pada Februari 1974 TU oleh astronom Bruce Balik dan Robert Brown lewat teleskop radio. Ia terekam sebagai sumber gelombang radio sangat kuat di dekat perbatasan rasi Sagittarius dan Scorpio. Mereka menamainya Sagittarius A-star (Sgr A*), yang berjarak antara 24.500 hingga 27.300 tahun cahaya dari Bumi kita. Maka berkas sinar-X yang kita terima dari Sgr A* pada saat ini sejatinya dipancarkan olehnya dalam 24.500 hingga 27.300 tahun silam. Sgr A* ini tidak bisa disaksikan mata (pada spektrum cahaya tampak) akibat berlimpahnya debu-debu antarbintang yang sangat menghalangi pandangan mata kita dari Bumi ke arahnya. Awalnya Sgr A* dianggap sebagai gerombolan bintang gelap maupun bintang eksotik tertentu. Namun kemudian dijumpai sejumlah bintang yang teramati beredar mengelilingi Sgr A* dalam orbit amat lonjong. Keberadaan bintang-bintang ini memungkinkan kita menghitung massa Sgr A* dengan menggunakan kombinasi Hukum Kepler III dan hukum gravitasi Newton, sepanjang kita mengetahui nilai periode revolusi masing-masing bintang.

Gambar 5. Pemandangan selempang galaksi Bima Sakti kita saat disaksikan dari Bumi. Sagittarius A-star (Sgr A*) merupakan pusat galaksi Bima Sakti yang terlihat berdekatan dengan bintang terang Antares di rasi Scorpio. Sgr A* adalah lubang hitam raksasa yang massanya 4,31 juta kali lipat massa Matahari kita dan terletak antara 24.500 hingga 27.300 tahun cahaya dari Bumi kita. Diabadikan dari Gunung Sumbing pada Juni 2014 TU lalu. Sumber: Enggar, 2014.

Gambar 5. Pemandangan selempang galaksi Bima Sakti kita saat disaksikan dari Bumi. Sagittarius A-star (Sgr A*) merupakan pusat galaksi Bima Sakti yang terlihat berdekatan dengan bintang terang Antares di rasi Scorpio. Sgr A* adalah lubang hitam raksasa yang massanya 4,31 juta kali lipat massa Matahari kita dan terletak antara 24.500 hingga 27.300 tahun cahaya dari Bumi kita. Diabadikan dari Gunung Sumbing pada Juni 2014 TU lalu. Sumber: Enggar, 2014.

Dengan cara inilah tim Max Planck Institute for Extraterestrial Physics berhasil mendapatkan massa Sgr A*. Belakangan hasilnya diperbaiki dengan lebih akurat oleh astronom Stefan Gilessen dkk pada Oktober 2008 TU lewat observasi pergerakan bintang-bintang disekeliling Sgr A* selama 16 tahun berturut-turut tanpa terputus. Sgr A* ternyata memiliki massa luar biasa besar, yakni 4,31 juta kali lipat massa Matahari kita. Hanya ada satu penjelasan bagi benda langit bermassa sebesar itu, yakni sebagai lubang hitam. Lebih tepatnya sebuah lubang hitam raksasa.

Observasi lebih lanjut memperlihatkan bahwa lubang hitam raksasa di pusat galaksi Bima Sakti kita ternyata dalam kondisi lapar. Daya (energi per detik) yang dilepaskan oleh piringan akresi di sekelilingnya ternyata 200 juta kali lipat lebih rendah dibanding yang seharusnya bisa dilepaskan untuk ukuran massanya. Rendahnya daya tersebut merupakan implikasi dari kecilnya materi yang dilahap sang lubang hitam raksasa, yakni tak lebih massif dari Bumi kita setiap tahunnya. Karena lapar, maka aktivitas lubang hitam raksasa Sgr A* pun cenderung kalem. Dia tak seagresif lubang-lubang hitam raksasa penghuni pusat galaksi-galaksi tetangga tertentu yang demikian meledak-ledak.

Batal

Namun sebuah harapan bersemi dengan ditemukannya awan gas G2. Awan gas ini beredar mengelilingi lubang hitam raksasa Sgr A* dengan titik perinigricon-nya demikian kecil. Sementara gaya tidal Sgr A* sudah berkemampuan mengoyak sang awan gas bahkan tatkala masih berjarak trilyunan kilometer darinya. Maka awan gas ini diprediksikan akan tercabik-cabik begitu mendekat atau melintas titik perinigricon-nya hingga terlontar kemana-mana sebagai kembang api kosmik berskala sangat besar. Peristiwa ini juga memungkinkan lubang hitam raksasa Sgr A* untuk berbuka puasa, meski hanya sekedar menyantap kudapan kosmik seiring kecilnya massa si awan gas.

Gambar 6. Bagaimana awan gas G2 berubah bentuk secara perlahan dari tahun ke tahun begitu kian mendekati Sgr A* dalam satu dekade terakhir. Nampak awan gas terlihat semakin mulur begitu kian mendekati titik perinigricon-nya terhadap lubang hitam raksasa. Namun ajaibnya, setelah melintasi titik perinigricon-nya awan gas G2 justru tetap ada dan relatif utuh. Sumber: Max Planck Institute for Extraterrestrial Physics, 2014.

Gambar 6. Bagaimana awan gas G2 berubah bentuk secara perlahan dari tahun ke tahun begitu kian mendekati Sgr A* dalam satu dekade terakhir. Nampak awan gas terlihat semakin mulur begitu kian mendekati titik perinigricon-nya terhadap lubang hitam raksasa. Namun ajaibnya, setelah melintasi titik perinigricon-nya awan gas G2 justru tetap ada dan relatif utuh. Sumber: Max Planck Institute for Extraterrestrial Physics, 2014.

Jika hal itu benar-benar terjadi, maka umat manusia berkesempatan menyaksikan untuk pertama kalinya bagaimana sebuah lubang hitam melahap benda langit yang ditakdirkan untuk terlalu dekat dengannya. Meski kini kita telah memiliki daftar kandidat lubang hitam yang bertebaran dimana-mana, bahkan dalam galaksi Bima Sakti sendiri, namun bagaimana cara sebuah lubang hitam menyantap makanannya belum pernah dapat disaksikan. Kampanye observasi pun digelar melibatkan teleskop-teleskop termutakhir. Sedemikian ramainya kampanye observasi ini sehingga dalam kata-kata astronom Andrea Ghez di University of California Los Angeles, ia menjadi peristiwa langit yang paling banyak diamati.

Tapi hasilnya sungguh tak terduga. Andrea Ghez dan rekan-rekannya mengamati awan gas G2 ini dengan menggunakan teleskop kembar di observatorium W.M. Keck puncak Gunung Mauna Kea, Hawaii (Amerika Serikat), yang masing-masing memiliki cermin obyektif berdiameter 10 meter, pada spektrum sinar inframerah dengan panjang gelombang 3 mikrometer. Pengamatan dilangsungkan dalam dua kesempatan terpisah, masing-masing di bulan Maret dan Agustus 2014 TU. Hasilnya apa yang dikira sebagai awan gas G2 ternyata masih ada dan relatif tak terganggu pada observasi bulan Agustus 2014 TU lalu. Dan observasi juga tak menjumpai fenomena kembang api kosmik yang dinanti. Jelas sudah, lubang hitam raksasa Sgr A* batal menyantap kudapan.

Gambar 7. Simulasi bagaimana nasib awan gas G2 dari tahun ke tahun hingga saat melintas demikian dekat dengan lubang hitam raksasa di pusat galaksi Bima Sakti. Lubang hitam raksasa ditempatkan di koordinat (0, 0). Nampak awan gas G2 pada akhirnya akan terjebak di sekeliling lubang hitam raksasa untuk membentuk piringan akresi. Dalam kenyataannya, awan gas G2 tidak bernasib seperti simulasi ini. Sumber: Anninos dkk, 2012.

Gambar 7. Simulasi bagaimana nasib awan gas G2 dari tahun ke tahun hingga saat melintas demikian dekat dengan lubang hitam raksasa di pusat galaksi Bima Sakti. Lubang hitam raksasa ditempatkan di koordinat (0, 0). Nampak awan gas G2 pada akhirnya akan terjebak di sekeliling lubang hitam raksasa untuk membentuk piringan akresi. Dalam kenyataannya, awan gas G2 tidak bernasib seperti simulasi ini. Sumber: Anninos dkk, 2012.

Kini muncul dugaan bahwa apa yang semula kita kira sebagai awan gas G2 mungkin sesungguhnya adalah benda langit yang lebih massif. Dalam pandangan Andrea Ghez, G2 lebih mungkin merupakan bintang takbiasa yang massanya 2 kali lipat Matahari kita namun diameternya 100 kali lipat lebih besar. Bintang takbiasa ini nampaknya mungkin merupakan penggabungan dari dua buah bintang yang semula menjadi bagian sebuah sistem bintang ganda. Namun seiring mendekatnya ke lubang hitam raksasa Sgr A*, sistem bintang ganda tersebut kehilangan stabilitasnya sekaligus memaksa kedua bintang itu berbenturan dan menyatu.

Ada juga dugaan bahwa G2 mungkin adalah sebuah bintang yang melepaskan gas dalam jumlah besar ke sekelilingnya. Dapat pula ia adalah sebuah awan gas yang seungguhnya dengan gumpalan-gumpalan beragam ukuran didalamnya, produk dari pelepasan lapisan terluar sebuah bintang raksasa di tempat lain. Namun apapun itu, lubang hitam raksasa Sgr A* masih harus bersabar menahan laparnya hingga beberapa waktu ke depan. Umat manusia pun juga masih harus bersabar untuk bisa membuktikan bagaimana cara sebuah bintang eksotik bernama lubang hitam mengonsumsi benda-benda langit yang terlanjur mendekat kearahnya.

Referensi :

Clery. 2014. Astronomers Identify Mysterious Object at Heart of Milky Way. American Association for the Advancement of Science, 4 November 2014.

Cofield. 2014. Milky Way’s Monster Black Hole Ignores Its ‘Snack,’ and Debate Swirls. Space.com, 20 November 2014.

Anninos dkk. 2012. Three-Dimensional Moving-Mesh Simulations of Galactic Center Cloud G2. The Astrophysical Journal, vol. 759 no. 132 (2012).

Danau Toba dan Bubur Batu Membara di Perutbuminya

Sebuah penelitian yang telah berlangsung selama enam tahun terakhir telah mengungkap hal mencengangkan di perutbumi Danau Toba (propinsi Sumatra Utara). Menggunakan 40 seismometer (radas/instrumen perekam gempa) yang dipasang di sekeliling Danau Toba selama kurun Mei hingga Oktober 2008 Tarikh Umum (TU yang dianalisis hingga bertahun kemudian, tim peneliti gabungan Russia, Perancis dan Jerman mengungkap bahwa di perutbumi Danau Toba ini masih tersimpan magma. Bubur batu yang panas membara dalam jumlah relatif besar itu dijumpai berada di kedalaman lebih dari 7 kilometer dari paras air laut rata-rata (dpl).

Gambar 1. Pemandangan sisi selatan Danau Toba yang permai. Nampak pulau Pardepur yang seakan mengapung di air danau. Pulau ini sejatinya merupakan salah satu kubah lava yang menyembul di paras danau, dari sejumlah kubah lava di sini yang terbentuk pasca letusan sangat dahsyat dalam kurun 74.000 tahun silam. Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Gambar 1. Pemandangan sisi selatan Danau Toba yang permai. Nampak pulau Pardepur yang seakan mengapung di air danau. Pulau ini sejatinya merupakan salah satu kubah lava yang menyembul di paras danau, dari sejumlah kubah lava di sini yang terbentuk pasca letusan sangat dahsyat dalam kurun 74.000 tahun silam. Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Magma di bawah danau itu dijumpai secara tak langsung lewat analisis gelombang gempa-gempa tektonik kecil yang rutin terjadi di kawasan ini seiring eksistensi patahan besar Sumatra dan cabang-cabangnya. Tim peneliti memusatkan perhatian pada gelombang permukaan, yakni gelombang Rayleigh dan gelombang Love, dengan melacak perbedaan kecepatannya. Mereka menemukan gelombang Rayleigh yang melintas di bawah Danau Toba (periode 5 dan 15 detik) memiliki kecepatan lebih rendah dibanding yang melewati area lain disekitarnya. Hal sejenis juga dijumpai pada gelombang Love namun hanya pada periode kecil (5 detik) dan pada kedalaman lebih rendah. Guna menafsirkan perbedaan antara perilaku gelombang Rayleigh dan Love di bawah Danau Toba, tim peneliti memutuskan untuk ‘melihat’ melalui gelombang sekunder terpolarisasi baik secara horizontal (SH) maupun vertikal (SV). Mereka juga kembali menjumpai keanehan lagi, gelombang sekunder SV pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl di bawah Danau Toba memiliki kecepatan lebih rendah. Sebaliknya gelombang sekunder SH berkecepatan lebih rendah hanya pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl.

Pada dasarnya gelombang gempa akan melaju lebih cepat jika melintasi media yang padat (batuan) ketimbang media yang cair/setengah cair (magma). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada kerak bumi di bawah Danau Toba terdapat magma, yang tersekap dalam kantung magma. Namun tak puas jika hanya menyimpulkan seperti itu. Mereka mencoba melangkah lebih jauh untuk mengetahui strukturnya. Setelah melakukan serangkaian perhitungan dan pemodelan matematis yang rumit dan meninjau juga hasil-hasil penelitian sebelumnya, mereka berani menyimpulkan bahwa magma di bawah Danau Toba tersimpan dalam sejumlah lapisan mendatar (sill) yang bertumpuk mirip kue lapis, tertata pada kedalaman antara 7 hingga 20 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih besar dari 20 kilometer dpl pun diduga masih seperti itu yang menerus hingga kedalaman sekitar 30 kilometer dpl, tempat kerak bumi setempat berbatasan dengan selubung atas. Sebaliknya pada kedalaman yang lebih dangkal dari 7 kilometer dpl magmanya tidak tertata seperti itu, melainkan menyelusup di sela-sela kerak bumi dengan geometri yang kacau-balau. Tim menyimpulkan kawasan kacau-balau ini adalah pertanda jelas dari masa silam, dari sebuah letusan gunung berapi yang sangat dahsyat.

Gambar 2. Penampang melintang kerak bumi di bawah Danau Toba dalam dua dimensi, dengan perkiraan kantung magma raksasanya berdasarkan penelitian gabungan Rusia, Perancis dan Jerman. Terdapat lapisan-lapisan mendatar berisi magma (sill) mulai dari kedalaman 7 hingga 20 kilometer dpl dan kemungkinan menerus hingga 30 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl terdapat zona kacau-balau, yakni bagian kerak bumi di bawah Danau Toba yang terimbas langsung letusan sangat dahsyat 74.000 tahun silam. Sumber: Jaxybulatov dkk, 2014.

Gambar 2. Penampang melintang kerak bumi di bawah Danau Toba dalam dua dimensi, dengan perkiraan kantung magma raksasanya berdasarkan penelitian gabungan Rusia, Perancis dan Jerman. Terdapat lapisan-lapisan mendatar berisi magma (sill) mulai dari kedalaman 7 hingga 20 kilometer dpl dan kemungkinan menerus hingga 30 kilometer dpl. Pada kedalaman lebih dangkal dari 7 kilometer dpl terdapat zona kacau-balau, yakni bagian kerak bumi di bawah Danau Toba yang terimbas langsung letusan sangat dahsyat 74.000 tahun silam. Sumber: Jaxybulatov dkk, 2014.

Apa pentingnya penelitian ini? Tak lain dan tak bukan ia menegaskan bahwa Danau Toba sejatinya adalah sebuah gunung berapi. Dan dengan struktur kantung magmanya yang demikian, ia bukanlah gunung berapi biasa. Ya. Danau Toba adalah sebuah gunung berapi super (supervolcano), yang aksinya di masa silam sanggup membuat bulu kuduk kita meremang.

Letusan Toba Muda

Danau Toba. Rasanya tak ada manusia Indonesia, terlebih yang pernah mengenyam bangku sekolah, yang tak pernah mendengar namanya. Inilah perairan tawar terbesar se-Indonesia bahkan seantero Asia Tenggara. Danau ini memiliki luas 1.130 kilometer persegi yang menampung air hingga sebanyak 240 kilometer kubik, bersumber dari aneka mata air disekelilingnya seiring curah hujan tahunan lebih dari 2.100 mm/tahun (rata-rata). Paras air danau terletak di ketinggian 906 meter dpl dengan kedalaman maksimum 530 meter dari paras. Ini menjadikannya sebagai danau terdalam ke-2 di Indonesia (setelah Danau Matano di Sulawesi) dan juga danau terdalam keempatbelas di seantero Bumi. Perairan luas ini dipagari oleh tebing-tebing curam yang ketinggiannya bervariasi antara 400 hingga 1.200 meter dari paras danau, dengan puncak tertinggi menyembul 1.700 meter di atas paras danau. Air danau ini mengalir di sudut tenggara sebagai Sungai Asahan dengan debit rata-rata 155 meter kubik/detik. Besarnya debit air dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik lewat dibangunnya waduk Sigura–gura (tinggi bendungan 47 meter) dan waduk Tangga (tinggi bendungan 82 meter) dengan total produksi 426 megawatt listrik.

Gambar 3. Topografi Danau Toba dan lingkungan sekelilingnya beserta kedalaman perairannya. Tersaji pula lubang-lubang letusan yang dibentuk oleh keempat letusan sangat dahsyat Gunung Toba di masa silam. Sumber: Chesner, 2011 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 3. Topografi Danau Toba dan lingkungan sekelilingnya beserta kedalaman perairannya. Tersaji pula lubang-lubang letusan yang dibentuk oleh keempat letusan sangat dahsyat Gunung Toba di masa silam. Sumber: Chesner, 2011 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Di tengah-tengah danau terdapat Pulau Samosir (panjang 45 kilometer, lebar 20 kilometer), yang sejatinya bukan pulau. Dahulu Samosir tersambung langsung dengan daratan Sumatra lewat jembatan alamiah (tanah genting) di sisi barat. Namun romantisme era Hindia Belanda membuat tanah genting ini dikeruk demikian rupa sehingga Samosir pun akhirnya benar-benar terpisah dan menjadi pulau yang berdiri sendiri. Di pulau terdapat dua danau kecil yakni Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang, membuatnya kerap disebut sebagai danau di atas danau. Selain keunikan ini, pemandangan indah di sekujur Danau Toba juga disokong oleh sejumlah air terjun seperti air terjun Sipiso-piso maupun air terjun Sigura-gura. Sigura-gura adalah air terjun setinggi 250 meter, menjadikannya air terjun tertinggi se-Indonesia. Panorama yang indah dan udara yang sejuk menjadikan danau raksasa yang juga jantung masyarakat Batak ini menjadi tujuan wisata yang populer.

Di balik keindahannya, ada misteri yang tersembunyi di danau ini semenjak awal peradaban umat manusia. Misteri yang menggetarkan itu baru terkuak kurang dari seabad silam. Ternyata danau raksasa ini adalah sebuah gunung berapi. Adalah RW van Bemmelen, geolog legendaris era Hindia Belanda, yang mengungkapnya pada masa antara 1930 hingga 1939 TU. Geolog yang sangat populer dengan opus magnumnya The Geology of Indonesia, buku yang wajib dibaca dalam pembelajaran geologi Indonesia, awalnya curiga dengan kehadiran ignimbrit yang tersebar pada area luas di Sumatra bagian utara. Ignimbrit adalah campuran antara debu vulkanik yang mengeras (tuff) dengan butir-butir batuapung yang bersifat asam (kaya silikat) demikian rupa hingga membatu. Ignimbrit hanya bisa hadir kala terjadi letusan gunung berapi yang eksplosif dan berskala besar sehingga menghempaskan awan panas dalam jumlah besar. Kian mendekat ke Danau Toba, ignimbrit yang dijumpai kian menebal saja. Bahkan dijumpai pula tuff yang terlaskan (welded tuff) yang berlimpah, lagi-lagi petunjuk terjadinya letusan berskala besar di masa silam.

Gambar 4. Singkapan ignimbrit tepat di tepi jalan di pinggiran Danau Toba. Ignimbrit ini kaya akan besi dan telah teroksidasi sehingga berwarna kemerah-merahan mirip karat. Ignimbrit inilah jejak dari letusan gunung berapi yang dahsyat di masa silam, yang menghasilkan kaldera raksasa dan kini digenangi air menjadi Danau Toba. Diabadikan oleh Ridwan Hutagalung dalam rangka Geotrek Danau Toba 2-4 November 2012 TU. Sumber: Hutagalung, 2012.

Gambar 4. Singkapan ignimbrit tepat di tepi jalan di pinggiran Danau Toba. Ignimbrit ini kaya akan besi dan telah teroksidasi sehingga berwarna kemerah-merahan mirip karat. Ignimbrit inilah jejak dari letusan gunung berapi yang dahsyat di masa silam, yang menghasilkan kaldera raksasa dan kini digenangi air menjadi Danau Toba. Diabadikan oleh Ridwan Hutagalung dalam rangka Geotrek Danau Toba 2-4 November 2012 TU. Sumber: Hutagalung, 2012.

Ignimbrit yang tebal di sekitar Danau Toba namun menipis begitu jaraknya lebih jauh mengesankan bahwa batuan vulkanik itu bersumber dari tempat yang kini menjadi Danau Toba. Jelas sudah. Danau Toba adalah perairan tawar raksasa yang menempati sebuah cekungan sangat besar produk letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Dengan luas cekungan 2.270 kilometer persegi (panjang sekitar 100 kilometer dan lebar sekitar 30 kilometer), maka jelaslah bahwa ia berkualifikasi kaldera. Danau Toba merupakan perairan tawar yang menempati kaldera tersebut meski genangannya tak sampai mencakup separuh luas kaldera. Sehingga Danau Toba adalah danau vulkanik. Ukuran Kaldera Toba yang demikian raksasa membuat kaldera-kaldera produk letusan dahsyat gunung berapi dalam era sejarah di Indonesia seperti kaldera Rinjani, Tambora dan Krakatau menjadi terasa kerdil. Andaikata kaldera raksasa Toba ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah, maka ia akan membentang mulai dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing-Sindoro di timur.

Gambar 5. Bagaimana jika kaldera raksasa Toba dengan Danau Toba di tengah-tengahnya ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah dan disejajarkan dengan orientasi pulau. Nampak jelas kaldera raksasa itu membentang dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing di timur. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis Google Maps.

Gambar 5. Bagaimana jika kaldera raksasa Toba dengan Danau Toba di tengah-tengahnya ditempatkan di pulau Jawa bagian tengah dan disejajarkan dengan orientasi pulau. Nampak jelas kaldera raksasa itu membentang dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing di timur. Sumber: Sudibyo, 2014 berbasis Google Maps.

Van Bemmelen pula yang memopulerkan istilah Tumor Batak, yakni gundukan sangat besar tempat dimana Danau Toba berada yang terpisah dari Pegunungan Bukit Barisan. Dengan Danau Toba sebagai perairan di dalam kaldera, maka Tumor Batak yang menopangnya pada hakikatnya adalah gunung berapi yang disebut Gunung Toba. Gunung Toba menjadi salah satu gunung berapi yang berdekatan/berdiri di atas sistem patahan besar Sumatra. Patahan besar ini, yang secara kasat mata nampak sebagai Pegunungan Bukit Barisan, terbentuk seiring tunjaman miring lempeng India dan Australia yang oseanik terhadap lempeng Sunda yang kontinental dan menjadi alas berdirinya pulau Sumatra. Patahan ini sekaligus adalah zona lemah di kerak bumi Sumatra yang memudahkan magma produk pelelehan sebagian di bidang kontak tunjaman merangsek ke atas.

Di kemudian hari kita kian mengetahui bagaimana lasaknya Gunung Toba ini yang menjadikannya sebagai gunung berapi super. Dalam kurun 1,2 juta tahun terakhir telah terjadi empat letusan dahsyat. Letusan terakhir sekaligus yang paling dahsyat sepanjang sejarahnya adalah Letusan Toba Muda, yang terjadi 74.000 tahun silam. Letusan Toba Muda juga adalah letusan terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi dalam kurun 27,8 juta tahun terakhir. Ia memuntahkan tak kurang dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik, lewat letusan dahsyat sedahsyat-dahsyatnya yang berlangsung selama sekitar dua minggu berturut–turut tanpa hentu. Dapat dikatakan setiap detiknya Gunung Toba menyemburkan tak kurang dari 4,6 juta meter kubik material vulkanik. Jika suhu magmanya saat tepat keluar dari lubang letusan berkisar 700 hingga 780 derajat Celcius, maka energi termal yang dilepaskannya mencapai 500 ribu megaton TNT. Ini setara dengan 21 juta butir bom nuklir Hiroshima diledakkan secara bersama-sama di satu titik.

toba-magma_tabel-1_letusan-tobAndaikata seluruh material vulkanik ini dituang demikian rupa mengubur wilayah DKI Jakarta, propinsi yang juga ibukota Indonesia itu akan terbenam di bawah timbunan batu, pasir dan debu vulkanik setebal 4,2 kilometer. Letusan yang sedemikian dahsyat dengan muntahan material vulkanik sedemikian besar membuat sejumlah letusan dahsyat gunung berapi Indonesia di era sejarah seperti Letusan Tambora 1815 maupun Letusan Krakatau 1883 menjadi terasa kerdil. Bahkan Letusan Kelud 2014 yang terasa demikian menghentak di tahun 2014 TU ini ibarat semut disandingkan dengan gajah bila dibandingkan dengan kedahsyatan Gunung Toba saat itu.

Dari 2.800 kilometer kubik material vulkanik yang diletuskannya, 1.000 kilometer kubik diantaranya meluncur deras sebagai awan panas yang mengalir ke barat dan timur. Awan panas Toba membanjiri kawasan sangat luas yang membentang dari pantai Selat Malaka di timur hingga pesisir Samudera Hindia di barat. Meski sudah menjalar jauh dari kaldera, suhunya masih tinggi, mungkin hingga 500 derajat Celcius. Akibatnya daratan Sumatra bagian utara pun diubah menjadi segersang Bulan. Segala kehidupan yang ada tersapu pun terpanggang dan musnah. Endapan awan panas gigantis inilah yang kini tersingkap sebagai ignimbrit di area seluas 20.000 kilometer persegi. Ketebalan rata-ratanya 50 meter, namun sesungguhnya bervariasi tergantung jauh dekatnya dengan Gunung Toba. Di tepi Danau Toba, ketebalan ignimbritnya mencapai 400 meter. Awan panas yang mengalir jauh tersebut dipastikan juga ada yang terjun ke Selat Malaka dan Samudera Hindia, memicu tsunami di kedua perairan itu. Namun seberapa besar tsunaminya belum diketahui, seiring volume awan panas yang masuk ke dalam kedua perairan tersebut pun belum diketahui.

toba-magma_tabel-2_perbandingan-letusanLetusan Toba Muda yang dahsyat itu membentuk kaldera raksasa dengan kedalaman sekitar 2 kilometer dpl akibat kosongnya kantung magma raksasa Toba, sehingga tak sanggup lagi menahan bobot tubuh gunung. Namun kaldera sedalam ini segera ditimbuni kembali oleh 1.000 kilometer kubik material vulkanik lainnya, yang terlalu berat baik untuk mengalir jauh maupun membumbung tinggi ke udara. Di dasar kaldera ini ketebalan ignimbritnya diperkirakan mencapai 600 meter. Dan 800 kilometer kubik material vulkanik sisanya berupa debu vulkanik halus yang terlontar sangat tinggi ke udara hingga menembus ketinggian 70 kilometer dpl. Sebagian debu vulkanik tersebut lantas tertiup angin ke barat dan berjatuhan menyelimuti area seluas lebih dari 4 juta kilometer persegi. Kawasan tersebut meliputi India, Semenanjung Malaya, Teluk Benggala, Samudera Hindia bagian utara, Laut Arab dan Semenanjung Arabia. Ketebalan endapan debu vulkanik di sini mencapai 10 cm (rata-rata), atau setara dengan 400 kilometer kubik material. Sisanya terbawa oleh sirkulasi angin di dalam lapisan stratosfer hingga tersebar ke segenap penjuru. Tanpa bisa dipengaruhi oleh proses-proses cuaca, debu vulkanik ini bertahan hingga bertahun-tahun di dalam lapisan stratosfer sebelum jatuh kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi. Sepanjang waktu itu ia menimbulkan efek lanjutan yang mencekik kehidupan di permukaan Bumi hingga ke titik yang paling kritis.

Musim Dingin Vulkanik

Masalah terbesar akibat Letusan Toba Muda terletak pada tebaran debu vulkaniknya ke dalam lapisan stratosfer. Umumnya 10 hingga 30 % dari material vulkanik yang disemburkan gunung berapi dalam sebuah letusan dahsyat, terlebih jika tinggi kolom semburannya melebihi 30 kilometer dpl, akan tetap bertahan di udara karena sudah terlanjur masuk jauh ke dalam lapisan stratosfer, khususnya jika berupa debu halus. Di saat yang sama, belerang yang turut terbawa sebagai gas sulfurdioksida akan bereaksi dengan butir–butir air di udara hingga membentuk tetes–tetes asam sullfat dalam rupa aerosol. Apa yang selanjutnya terjadi baru bisa kita pahami setelah dunia memasuki era nuklir lebih dari setengah abad silam.

Di tengah kancah perang urat-syaraf yang dikenal sebagai Perang Dingin, dua negara adidaya yang terlibat yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet berlomba–lomba memproduksi senjata nuklir dalam beragam ukuran dan kekuatan. Untuk menyimulasikan dampaknya dalam berbagai kondisi, rangkaian eksperimen peledakan nuklir pun diselenggarakan. Selama masa ujicoba nuklir yang riuh itu diketahui bila senjata nuklir diledakkan di permukaan tanah ataupun bawah tanah dangkal, ledakannya akan menghembuskan material ledakan berupa debu dan batu beragam ukuran ke atmosfer. Ketinggian semburan material ledakan bergantung pada kekuatan ledakan, semakin semakin besar ledakan nuklirnya maka semakin berlimpah material ledakannya dan semakin tinggi pula mereka dihembuskan ke langit bahkan bisa memasuki lapisan stratosfer. Tebaran material ledakan sanggup memblokir cahaya Matahari selama waktu tertentu sehingga permukaan Bumi di sekitar lokasi ledakan berubah menjadi remang–remang atau bahkan gelap gulita. Apalagi jika kekuatan ledakan nuklir itu juga mengenai benda–benda mudah terbakar seperti minyak, kayu, gas, kertas dan batubara sekaligus. Asap hasil pembakaran besar–besaran akan melimpahkan jelaga ke udara yang malah kian memperparah situasi.

Dengan memanfaatkan data–data hasil ujicoba nuklir itu maka pada dekade 1980–an lima serangkai cendekiawan dengan latar belakang keilmuan berbeda mencoba merumuskan model matematika komprehensif dan serangkaian persamaan matematika kompleks yang memprediksikan bagaimana perilaku sebaran debu dan tetes–tetes asam sulfat dalam jumlah besar di lapisan stratosfer. Model ini disebut model TTAPS, berdasarkan pada huruf depan dari lima cendekiawan penyusunnya masing-masing Turco, Toon, Pollack, Ackerman dan Sagan. Model TTAPS memperlihatkan, karena berada di dalam lapisan stratosfer maka butuh waktu bertahun–tahun bagi debu dan tetes–tetes asam sulfat itu untuk turun kembali ke permukaan Bumi di bawah pengaruh gravitasi Bumi. Selagi masih melayang di lapisan stratosfer, pada dasarnya debu halus dan tetes–tetes asam sulfat itu menjadi tabir surya, terutama karena asam sulfat sangat efektif dalam menyerap cahaya Matahari. Di samping itu tabir surya juga bisa memantulkan kembali sebagian cahaya Matahari ke langit. Akibatnya albedo Bumi bakal meningkat dan cahaya Matahari yang diteruskan ke permukaan Bumi berkurang.

Akibatnya sungguh pelik mengingat cahaya Matahari membawa energi Matahari yang adalah motor penggerak utama sistem cuaca dan iklim Bumi sekaligus sumber energi utama makhluk hidup. Berkurangnya intensitas pencahayaan Matahari akan menimbulkan anomali suhu permukaan, dimana suhu rata–rata permukaan Bumi bakal merosot dibawah nilai normalnya. Sehingga Bumi akan lebih dingin, fenomena yang disebut sebagai musim dingin nuklir. Es meluas dimana-mana, baik di laut maupun di sungai/danau yang berada di kawasan subtropis. Konsekuensinya tingkat penguapan pun menurun yang bakal berlanjut pada kacau-balaunya sistem cuaca. Salah satu dampaknya adalah penurunan jumlah hujan. Ada cukup banyak tanaman bahan pangan yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dimana penurunan suhu 1 derajat Celcius saja bisa menyebabkan penurunan produksi atau malah bahkan bisa gagal panen. Ditambah penurunan jumlah hujan, maka eksistensi tabir surya di lapisan stratosfer itu bakal berdampak pada kekurangan bahan pangan yang akan menimbulkan bencana kelaparan massal dengan segala dampak berantainya.

Gambar 6. Ilustrasi saat-saat Gunung Toba meletus dengan dahsyatnya di hari pertamanya pada 74.000 tahun silam, yang menghembuskan debu vulkanik hingga setinggi 70 kilometer dpl sembari menghempaskan awan panas ke segenap Sumatra bagian utara. Arah pandang adalah ke tenggara. Sumber: Anynobody, 2009 dalam Wikipedia, 2009.

Gambar 6. Ilustrasi saat-saat Gunung Toba meletus dengan dahsyatnya di hari pertamanya pada 74.000 tahun silam, yang menghembuskan debu vulkanik hingga setinggi 70 kilometer dpl sembari menghempaskan awan panas ke segenap Sumatra bagian utara. Arah pandang adalah ke tenggara. Sumber: Anynobody, 2009 dalam Wikipedia, 2009.

Bagaimana jika skenario musim dingin nuklir ala model TTAPS diterapkan pada Letusan Toba Muda?

Letusan Toba Muda menyemburkan tak kurang dari 6 milyar ton gas sulfurdioksida ke atmosfer. Begitu bertemu dengan uap air di udara, gas tersebut berubah menjadi 3 milyar ton aerosol asam sulfat. Koalisi tetes-tetes asam sulfat ini dengan debu vulkanik di dalam lapisan stratosfer membentuk tabir surya vulkanik yang cukup tebal, hingga setebal paling tidak 500 meter. Tabir surya ini diperhitungkan memblokir cahaya Matahari demikian rupa sehingga jumlah cahaya Matahari yang berhasil diteruskan ke permukaan Bumi kurang dari 1 % terhadap normalnya. Akibatnya di siang hari bolong pun situasi tetap meremang. Matahari akan nampak memerah seperti situasi dalam setengah jam jelang terbenam, meski di tengah hari yang seharusnya terik. Intensitas pencahayaannya juga anjlok drastis hingga 120 watt per meter persegi di bawah normalnya. Albedo Bumi pun meroket ke posisi 70 % dari normalnya 30 % dan bertahan hingga sedikitnya 10 tahun pasca letusan. Dalam situasi tersebut, model TTAPS memperlihatkan suhu rata-rata permukaan Bumi anjlok hingga bisa mencapai 17 derajat Celcius di bawah normal. Musim dingin pun berkecamuk, yang bisa disebut sebagai musim dingin vulkanik. Suhu dingin ini memang hanya bertahan selama sekitar 1.000 tahun pasca letusan. Namun kombinasinya dengan siklus Milankovitch dan faktor–faktor tak menguntungkan lainnya menyebabkan Bumi seisinya terseret ke dalam zaman es Wurm utama, meski Bumi baru saja keluar dari zaman es Wurm awal 20.000 tahun sebelumnya. Zaman es Wurm utama berkecamuk selama sekitar 50.000 tahun kemudian dan baru berakhir pada sekitar 20.000 tahun yang lalu.

Kurangnya cahaya Matahari juga menyebabkan tingkat penguapan global terjun bebas hingga 45 % di bawah normal. Konsekuensinya jumlah uap di atmosfer pun anjlok hingga 50 % dibawah normal untuk lapisan troposfer dan hingga 25 % di bawah normal di lapisan stratosfer. Maka curah hujan pun merosot, yang dalam puncaknya sampai merosot drastis hingga 44 cm/tahun di bawah normal. Berkurangnya hujan amat menyengsarakan kawasan–kawasan yang dalam keadaan normal pun curah hujannya sudah kecil. Bahkan hal ini turut mendorong anjloknya paras air laut hingga 40 meter di bawah paras sebelumnya dan bertahan selama 7.000 tahun kemudian.

Musim dingin vulkanik akibat Letusan Toba Muda berimbas sangat buruk bagi kehidupan. Dengan intensitas cahaya Matahari kurang dari 1 % terhadap normalnya, praktis mayoritas tumbuh-tumbuhan berhenti menyelenggarakan fotosintesis. Ditambah dengan suhu yang teramat dingin, mereka pun mati perlahan-lahan. Bencana segera menjalar melalui rantai makanan. Mayoritas binatang juga kelaparan dan pada akhirnya mati bertumbangan. Anjloknya populasi hewan pun terjadilah, seperti diperlihatkan dalam analisis genetik yang menimpa populasi simpanse Afrika timur, orangutan Kalimantan, kera India, harimau dan cheetah. Manusia, khususnya populasi Homo sapiens arkhaik, turut terkena dampaknya jua. Analisis genetik memperlihatkan sekitar 60 % dari mereka tewas dalam bencana ini dan hanya tersisa sekitar 15.000 populasi saja yang terus berjuang untuk bertahan hidup.

Gambar 7. Bagaimana letusan dahsyat gunung berapi berdampak ke lingkungan sekitar dengan memicu musim dingin vulkanik dalam lingkup regional hingga global. Sumber: Max Planck Institute fur Meteorologie, 2014 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 7. Bagaimana letusan dahsyat gunung berapi berdampak ke lingkungan sekitar dengan memicu musim dingin vulkanik dalam lingkup regional hingga global. Sumber: Max Planck Institute fur Meteorologie, 2014 dengan labelisasi oleh Sudibyo, 2014.

Masihkah Aktif?

Pasca Letusan Toba Muda, kaldera raksasanya mulai tergenangi air. Dengan curah hujan tahunan masa kini 2.100 mm/tahun dan tingkat penguapan tahunan masa kini 1.350 mm/tahun, butuh waktu sekitar 1.500 tahun saja untuk menggenangi kaldera ini sebagai Danau Toba. Namun jika memperhitungkan air bawah tanah dan aliran permukaan dari kawasan sekitarnya, waktu terbentuknya Danau Toba mungkin saja berlangsung lebih cepat ketimbang 1.500 tahun pasca Letusan Toba Muda.

Di perutbuminya, kantung magma raksasa Toba hingga kedalaman 7 kilometer dpl nyaris kosong setelah isinya nyaris dikuras habis dalam Letusan Toba Muda. Namun secara perlahan-lahan magma segar kembali mengalir ke sini dari dalam lapisan selubung, kemungkinan dari bidang kontak tunjaman antarlempeng tektonik, dan mengisinya. Lama-kelamaan jumlah magma segarnya telah cukup signifikan untuk yang mengalir dari bidang kontak tunjaman. Pengisian magma secara terus–menerus menyebabkan lapisan-lapisan kantung magma raksasa mulai menggelembung kembali dan mengangkat massa batuan diatasnya. Proses vulkano–tektonik pun terjadilah. Lantai kaldera terangkat naik secara asimetris mulai sekitar 33.000 tahun silam pada kecepatan sekitar 1,8/cm. Sehingga lantai kaldera sisi barat akhirnya menyembul di atas paras danau menjadi Pulau Samosir. Karena itu di Pulau Samosir masih dijumpai lapisan-lapisan endapan khas dasar danau. Pengangkatan asimetris ini membuat lapisan-lapisan endapan tersebut berkedudukan miring antara 5 hingga 8 derajat ke arah barat. Pengangkatan sejenis juga terjadi di lantai kaldera sisi timur, membentuk blok Uluan. Namun kecepatan pengangkatannya lebih rendah, yakni hanya 0,5 cm/tahun sehingga ia tidaklah setinggi Pulau Samosir meski tetap menyembul di atas paras danau. Kemiringan lapisan-lapisan endapan di blok Uluan pun berlawanan dengan Pulau Samosir, yakni miring ke timur. Sebagai akibat dari pengangkatan Pulau Samosir dan blok Uluan maka lantai kaldera di antara keduanya berubah menjadi lembah sangat curam yang tetap tergenang air. Kini lembah itu dikenal sebagai Selat Latung.

Gambar 8. Bagaimana dampak Letusan Toba Muda terhadap tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis terlihat dalam simulasi ini. Bila semula hutan hujan tropis masih cukup rapat di kawasan Amerika selatan, Afrika, Asia selatan dan Asia tenggara sebelum letusan (atas), maka hanya dalam empat tahun pasca letusan hampir semuanya telah musnah. Sumber: Robock dll, 2008.

Gambar 8. Bagaimana dampak Letusan Toba Muda terhadap tumbuh-tumbuhan hutan hujan tropis terlihat dalam simulasi ini. Bila semula hutan hujan tropis masih cukup rapat di kawasan Amerika selatan, Afrika, Asia selatan dan Asia tenggara sebelum letusan (atas), maka hanya dalam empat tahun pasca letusan hampir semuanya telah musnah (bawah). Sumber: Robock dll, 2008.

Selain mengangkat lantai kaldera hingga membentuk Pulau Samosir dan blok Uluan, magma segar yang mengisi kembali kantung magma raksasa Toba juga sempat keluar ke permukaan Bumi di beberapa titik. Di tepi kaldera sisi barat magma itu membentuk Gunung Pusukbukit (1.982 meter dpl) yang kini diklasifikasikan ke dalam gunung berapi aktif tipe B seiring adanya sumber uap air (fumarol), sumber gas sulfurdioksida (solfatara) dan mata air panas di lereng utaranya. Sementara di tepi sebelah utara terbentuk Gunung Tandukbenua (1.860 meter dpl) yang juga digolongkan ke dalam gunung berapi tipe B. Sedangkan di tepi selatan terbentuk kompleks kubahlava Pardepur yang terdiri dari sedikitnya empat kubah lava. Mata air panas juga dijumpai di sini. Dan di Pulau Samosir sisi barat, tepanya di antara Gunung Pusukbukit dan kompleks Pardepur, dijumpai bagian-bagian yang membumbung sedikit, mengindikasikan adanya kubah lava tersembunyi (cryptodome). Sementara di sisi timurnya khususnya di Semenanjung Tuktuk dan sebelah utaranya juga dijumpai kubah lava.

Apakah saat ini Gunung Toba masih aktif?

Gambar 9. Panorama Gunung Pusukbukit (kiri), salah satu gunung berapi yang terbentuk jauh hari setelah Letusan Toba Muda, tepatnya kala kantung magma raksasa Gunung Toba mulai terisi kembali. Ada beberapa titik fumarol di gunung ini, salah satunya di lereng utaranya (kanan). Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Gambar 9. Panorama Gunung Pusukbukit (kiri), salah satu gunung berapi yang terbentuk jauh hari setelah Letusan Toba Muda, tepatnya kala kantung magma raksasa Gunung Toba mulai terisi kembali. Ada beberapa titik fumarol di gunung ini, salah satunya di lereng utaranya (kanan). Sumber: Sutawidjaja, 2008 dalam Warta Geologi, 2008.

Antara ya dan tidak. Pada satu sisi Gunung Toba dikategorikan masih aktif. Hal itu ditegaskan lagi oleh hasil penelitian gabungan Rusia, Inggris dan Jerman barusan. Ia masih menyimpan magma di kantung-kantung magma raksasanya. Namun di sisi lain, Gunung Toba tidaklah seagresif gunung berapi super lainnya seperti Yellowstone (Amerika Serikat). Kaldera Yellowstone telah berkali-kali diguncang rentetan gempa dan naiknya lantai kaldera, indikasi dari pergerakan fluida di perutbuminya entah berupa magma ataupun cairan hidrotermal lainnya. Sementara kaldera raksasa Danau Toba tidaklah seperti itu. Dan jika mengacu kepada sejarah letusan dahsyatnya, Gunung Toba membutuhkan waktu paling tidak antara 340.000 hingga 765.000 tahun untuk beristirahat dan menghimpun tenaga sebelum meletus sangat dahsyat kembali. Dengan Letusan Toba Muda terjadi pada 74.000 tahun silam, letusan dahsyat Gunung Toba yang selanjutnya barangkali akan terjadi 266.000 hingga 691.000 tahun dari sekarang.

Referensi :

Chesner. 2011. The Toba Caldera Complex. Quaternary International (2011) pp 1–14.

Petraglia dkk. 2007. Middle Paleolithic Assemblages from the Indian Subcontinent Before and After the Toba Super–eruption. Science vol. 137 (2007) pp 114–116.

Chesner dkk. 1991. Eruptive History of Earth’s Largest Quaternary Caldera (Toba, Indonesia) Clarified. Geology vol. 19 (1991), pp. 200–203.

Rampino & Self. 1992. Volcanic Winter and Accelerated Glaciation Following the Toba Super–eruption. Nature, vol 359 (1992), pp. 50–52.

Rampino & Self. 1993. Climate–Volcanism Feedback and the Toba Eruption of ~74.000 Years Ago. Quaternary Research vol 40 (1993), pp. 269–280.

Rose & Chesner. 1987. Dispersal of Ash in the Great Toba Eruption, 75 ka. Geology, vol 15 (1987), pp. 913–917.

Schulz dkk. 1998. Correlation Between Arabian Sea and Greenland Climate Oscillation of the Past 110.000 Years. Nature, vol. 393 (1998), pp. 54–57.

Rampino. 2002. Super–eruptions as a Threat to Civilizations on Earth–like Planet. Icarus, vol. 156 (2002), pp. 562–569.

Robock dkk. 2008. Did the Toba Volcanic Eruption of ~74 k BP Produce Widespread Glaciation? Journal of Geophysical Research, submitted.

Sutawidjaja. 2008. Kaldera “Supervolcano” Toba. Majalah Warta Geologi vol. 3 no. 4 (2008) halaman 20–25.

Jaxybulatov dkk. 2014. A Large Magmatic Sill Complex Beneath the Toba Caldera. Science, vol 346 no. 6209 (31 October 2014), pp. 617-619.

60 Jam Hidup Singkat (di Inti Komet) Setelah Mendarat Tanpa Penambat dan Sempat Melompat

Drama tujuh jam itu akhirnya berakhir (separuh) bahagia. Setelah berharap-harap cemas semenjak robot pendarat Philae melepaskan diri dan melayang pelan dari wahana takberawak Rosetta, para pengendali misi di pusat operasi European Space Agency (ESA) di Darmstadt (Jerman) bersorak gembira dalam suasana emosional. Badan antariksa gabungan negara-negara Eropa tersebut secara resmi menyatakan bahwa pada Rabu 12 November 2014 Tarikh Umum (TU) pukul 23:08 WIB robot Philae telah berlabuh dengan selamat di tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko. Inilah momen bersejarah, untuk pertama kalinya sebuah obyek cerdas buatan manusia berhasil melabuhkan diri secara perlahan (soft-landing) ke permukaan intikomet dan tetap berfungsi. Kini kita hidup di bawah bayang-bayang mendarat dan beroperasinya sebuah robot semi-otomatis di intikomet.

Gambar 1. Simulasi saat-saat robot pendarat Philae tepat menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk berlabuh. Dalam kenyataannya, akibat tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae langsung melompat (terpental) kembali ke angkasa hingga dua kali begitu menyentuh tanah intikomet. Philae akhirnya benar-benar berlabuh pada titik yang jauhnya sekitar 1.000 meter dari lokasi yang direncanakan. Sumber: ESA, 2014.

Gambar 1. Simulasi saat-saat robot pendarat Philae tepat menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk berlabuh. Dalam kenyataannya, akibat tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae langsung melompat (terpental) kembali ke angkasa hingga dua kali begitu menyentuh tanah intikomet. Philae akhirnya benar-benar berlabuh pada titik yang jauhnya sekitar 1.000 meter dari lokasi yang direncanakan. Sumber: ESA, 2014.

Berlabuhnya Philae bukanlah pendaratan yang sempurna. Kala ESA melakukan pengecekan jarak jauh terakhir sebelum pelepasan Rosetta dan Philae, baru ketahuan sistem pendorong mini di punggung Philae tak berfungsi. Padahal perannya krusial. Seharusnya saat Philae tepat menyentuh tanah intikomet, sistem pendorong akan otomatis menyala selama beberapa saat. Sehingga Philae tetap tertekan ke tanah dan tak berpotensi melompat (terpental) kembali ke langit. Namun begitu pengendali misi tetap memberikan lampu hijau bagi Philae untuk berangkat ke tujuan. Problem ini segera disusul masalah berikutnya yang tak kalah peliknya, yakni tidak berfungsinya sistem penambat otomatis. Seharusnya saat Philae tepat menyentuh tanah intikomet dan sedang tertekan ke bawah seiring aktifnya sistem pendorong punggung, ketiga kakinya akan otomatis menancapkan jangkar tombak berpengait ke tanah. Maka begitu sistem pendorong punggung berhenti beroperasi, Philae telah kokoh berlabuh.

Tak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan ini membuat Philae ibarat katak. Begitu menyentuh tanah intikomet, ia melompat-lompat hingga sedikitnya dua kali sebelum benar-benar berhenti. Philae sesungguhnya telah menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko pukul 22:33 WIB, atau 30 menit lebih awal dari pengumuman resmi ESA. Namun segera ia melesat lagi ke angkasa pada kecepatan 38 cm/detik (1,4 km/jam) untuk melambung setinggi sekitar 1.000 meter di atas tanah intikomet sebelum turun kembali. Begitu menyentuh tanah intikomet yang kedua kalinya, Philae kembali melenting. Namun kali ini dengan kecepatan jauh lebih rendah yakni hanya 3 cm/detik (0,11 km/jam) dan melambung hingga setinggi 20 meter di atas tanah intikomet. Barulah saat turun kembali, Philae sepenuhnya berhenti di posisi terakhirnya, meski dalam kondisi miring dan salah satu kakinya tak menapak tanah. Pendaratan yang melompat-lompat ini juga membuat posisi terakhir Philae meleset hingga sedikitnya 1.000 meter dari titik target pendaratannya semula.

Gambar 2. Estimasi lintasan yang ditempuh Philae kala dua kali melompat di atas tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko sebelum benar-benar berlabuh. Dimodelkan melalui gerak parabola dengan asumsi nilai percepatan gravitasi setempatnya tetap meski melambung hingga ketinggian tertentu di atas intikomet. Dalam kenyataannya mungkin tidak demikian. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari ESA.

Gambar 2. Estimasi lintasan yang ditempuh Philae kala dua kali melompat di atas tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko sebelum benar-benar berlabuh. Dimodelkan melalui gerak parabola dengan asumsi nilai percepatan gravitasi setempatnya tetap meski melambung hingga ketinggian tertentu di atas intikomet. Dalam kenyataannya mungkin tidak demikian. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari ESA.

Awalnya Philae direncanakan berlabuh di titik J yang belakangan diberi nama titik Agilkia/Agilika. Namun akibat lompatan-lompatan tersebut, kini Philae diyakini berada di sekitar titik B. Titik B adalah cekungan besar yang dasarnya relatif datar dipagari tebing-tebing melingkar di tepinya yang relatif curam. Sesungguhnya tempat ini ideal untuk pendaratan Philae. Tetapi kombinasi lokasi geografisnya dengan posisi komet Churyumov-Gerasimenko saat ini terhadap Matahari membuat kondisi pencahayaan Matahari di sini sangat buruk, dibandingkan di titik Agilkia.

Hibernasi

Meski dimana persisnya Philae berlabuh belum benar-benar diketahui, namun sejauh ini (hingga Sabtu 15 November 2014 TU) robot pendarat itu dalam kondisi normal. Sejumlah radas ilmiahnya diketahui berfungsi dengan baik. Salah satunya adalah radas MUPUS (Multi Purpose Sensor for Surface and Subsurface Science) yang membawa pasak sehingga akhirnya salah satu kaki Philae bisa tertambat ke tanah setelah pasak berhasil dibenamkan. Radas bor SD2 (drill sample and distribution subsystem) juga berfungsi dan bekerja mengebor hingga kedalaman 23 cm, membuat Philae kian kokoh tertambat. Radas-radas kamera pun berfungsi.

Dari citra-citra yang berhasil dikirimkan diketahui bahwa Philae mendarat di lereng sebuah tebing tinggi di sisi titik B. Ini mendatangkan masalah sangat serius, sebab Philae hanya tersinari cahaya Matahari selama sekitar 1,5 jam saja dari seharusnya 6 jam (periode rotasi intikomet Churyumov-Gerasimenko 12 jam). Akibatnya ia kekurangan sinar Matahari yang mencukupi guna mengisi baterenya lewat panel surya. Tanpa diisi memadai, batere Philae akan kehabisan daya listrik. Problem ini diperparah oleh lokasi titik B yang demikian rupa, sehingga ia baru akan mendapatkan pencahayaan Matahari penuh mulai Agustus 2015 TU mendatang.

Gambar 3. Sekuens citra (foto) yang diambil wahana Rosetta melalui radas kamera NavCam antara sebelum dan sesudah robot Philae menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk pertama kalinya (12 November 2014 TU pukul 22:33 WIB). Philae menyentuh tanah intikomet tepat di sebelah kiri bongkahan batu besar di tengah citra ini. Philae akhirnya baru benar-benar berlabuh di titik sejauh sekitar 1.000 kilometer dari titik ini setelah melompat (melambung) hingga dua kali. Sumber: ESA, 2014.

Gambar 3. Sekuens citra (foto) yang diambil wahana Rosetta melalui radas kamera NavCam antara sebelum dan sesudah robot Philae menyentuh tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko untuk pertama kalinya (12 November 2014 TU pukul 22:33 WIB). Philae menyentuh tanah intikomet tepat di sebelah kiri bongkahan batu besar di tengah citra ini. Philae akhirnya baru benar-benar berlabuh di titik sejauh sekitar 1.000 kilometer dari titik ini setelah melompat (melambung) hingga dua kali. Sumber: ESA, 2014.

Maka dalam kondisi tak tersinari cahaya Matahari mencukupi, Philae bakal berhibernasi di permukaan tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko begitu tenaga baterenya sangat menipis. Ini bakal terjadi di sekitar 64 jam pasca berlabuh. Tak menutup kemungkinan Philae bisa mati beku, mengingat permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko demikian dinginnya dengan suhu bervariasi antara minus 68 hingga minus 43 derajat Celcius. Sedangkan pemanas di tubuh Philae bergantung pasokan listrik dari baterenya. Bila misalnya pencahayaan Matahari tidak berubah hingga Agustus 2015 TU mendatang, tenaga listrik yang tersimpan di batere Philae bisa terkuras habis. Pertimbangan politis membuat Philae tak bisa membawa pemanas independen (yang tak tergantung listrik) semisal RHU (radioisotope heater unit) sebagaimana digunakan robot-robot pendarat/penjelajah dari Amerika Serikat. Pertimbangan yang sama juga membuat Philae bergantung sepenuhnya pada cahaya Matahari guna memasok listrik dan mengisi baterenya, ketimbang sumber listrik independen seperti RTG (radioisotope thermoelectric generator). Berhadapan dengan seluruh situasi tak menguntungkan ini, pengendali misi di Darmstadt telah menyiapkan diri untuk mengantisipasi bilamana Sabtu 15 November 2014 TU menjadi hari terakhir Philae dalam kondisi hidup. Pengendali misi telah mengirimkan perintah kepada robot semi-otomatis itu untuk berputar sedikit (hingga 35 derajat) guna memperbesar kemungkinan mengoptimalkan panel suryanya menghadap ke Matahari.

Meski nampaknya bakal berumur singkat, namun robot Philae bersama wahana Rosetta bakal menulis bab baru yang mempertebal buku pengetahuan tata surya kita khususnya bagi salah satu anggota eksotisnya, komet. Lewat radas APXS (Alpha Proton X-ray Spectrometer), kita akan mengetahui komposisi unsur-unsur secara langsung di tanah intikomet. Dengan radas Ptolemy, rasio isotop-isotop stabil dalam substansi mudah menguap (volatil) di tanah komet bisa diketahui. Bagaimana sifat-sifat fisis tanah intikomet bisa terkuak melalui kinerja radas-radas MUPUS dan SD2. Struktur internal intikomet pun bisa diungkap melalui aksi radas CONSERT (COmet Nucleus Sounding Experiment by Radiowave Transmission), dengan mendeteksi gelombang radar yang dipancarkan wahana Rosetta dan dipantulkan oleh internal inti komet. Dan seperti apa karakteristik medan magnet lemah di intikomet beserta interaksinya dengan angin Matahari menjadi subyek penyelidikan radas ROMAP (Rosetta Lander Magnetometer and Plasma Monitor). Serta bagaimana panorama permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko telah diabadikan oleh radas kamera CIVA (Comet Nucleus Infrared and Visible Analyzer) dan ROLIS (Rosetta Lander Imaging System). Seluruh radas tadi telah bekerja dan telah mengirim data-data hasil kerjanya ke Bumi.

Gambar 4. Pemandangan di sekitar titik berlabuhnya Philae di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko seperti diabadikan radas kamera CIVA. Karena kedudukan Philae miring dengan salah satu kakinya tidak menapak tanah, maka salah satu dari 6 kamera CIVA mengarah ke langit. Ia memperlihatkan butir-butir debu yang beterbangan dari tanah, sebuah ciri khas intikomet. Citra ini pun memperlihatkan betapa Philae mendarat di lokasi yang remang-remang, dengan sinar Matahari hanya terlihat di bagian kanan bawah citra. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 4. Pemandangan di sekitar titik berlabuhnya Philae di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko seperti diabadikan radas kamera CIVA. Karena kedudukan Philae miring dengan salah satu kakinya tidak menapak tanah, maka salah satu dari 6 kamera CIVA mengarah ke langit. Ia memperlihatkan butir-butir debu yang beterbangan dari tanah, sebuah ciri khas intikomet. Citra ini pun memperlihatkan betapa Philae mendarat di lokasi yang remang-remang, dengan sinar Matahari hanya terlihat di bagian kanan bawah citra. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.

Butuh waktu berbulan-bulan ke depan bagi para astronom dan geolog keplanetan untuk menganalisis seluruh data yang dikirim Philae tersebut sebelum dipublikasikan. Namun jika dihitung semenjak Juni 2014 TU, yakni semenjak wahana Rosetta mulai mendekati inti komet Churyumov-Gerasimenko hingga sedekat 100 kilometer atau lebih dekat lagi, sejumlah fakta baru yang menarik tentangnya telah terungkap. Benda langit ini terkesan sebagai dua bulatan besar yang melekat menjadi satu membentuk geometri mirip bebek. Bulatan yang kecil berperan sebagai ‘kepala bebek’ yang dimensinya 2,5 km 2,5 km x 2 km. Sedangkan bulatan yang besar membentuk ‘badan bebek’ dan berukuran 4,1 km x 3,2 km x 1,3 km. Antara ‘kepala bebek’ dan ‘badan bebek’ dihubungkan oleh ‘leher’ yang adalah kawasan yang paling aktif mengemisikan gas dan debu di intikomet itu. Akankah bentuk unik ini dikarenakan ia sebagai benda langit kembar dempet (contact binary) ataukah sebagai benda langit biasa (tunggal) yang terpahat bagian tengahnya oleh semburan gas dan debu yang terfokus di sini sampai membentuk ‘leher’, masih menjadi bahan perdebatan.

Rosetta menunjukkan intikomet Churyumov-Gerasimenko bermassa sekitar 10 milyar metrik ton. Namun kerapatannya (massa jenisnya) cukup kecil, yakni hanya 4 gram 0,4 gram dalam setiap sentimeter kubiknya. Maka bila benda langit ini dibawa ke Bumi dan diletakkan dengan hati-hati di perairan Samudera Indonesia (Hindia) ataupun Pasifik, ia akan terapung. Sebagai imbasnya percepatan gravitasi di permukaan intikomet Churyumov-Gerasimenko ini pun sangat kecil. Akibat bentuknya yang mirip bebek, gravitasinya bervariasi di setiap titik di permukaanya. Konsekuensinya kecepatan lepas dari intikomet ini pun kecil, yakni sekitar 40 cm/detik (1,5 km/jam) atau lebih sedikit.

Gambar 5. Geometri intikomet Churyumov-Gerasimenko yang mirip bebek lengkap dengan 'kepala', 'leher' dan 'badan'-nya, berdasarkan observasi wahana Rosetta melalui radas kamerta NavCam. Agilkia terlerak di 'kepala' dan menjadi lokasi yang paling diunggulkan untuk berlabuhnya Philae. Namun tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae berlabuh di luar dari kawasan ideal ini dan justru kemungkinan berlokasi di lereng tebing terjal sejauh sekitar 1.000 meter dari pusat Agilkia. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 5. Geometri intikomet Churyumov-Gerasimenko yang mirip bebek lengkap dengan ‘kepala’, ‘leher’ dan ‘badan’-nya, berdasarkan observasi wahana Rosetta melalui radas kamerta NavCam. Agilkia terlerak di ‘kepala’ dan menjadi lokasi yang paling diunggulkan untuk berlabuhnya Philae. Namun tidak berfungsinya dua unit pembantu pendaratan membuat Philae berlabuh di luar dari kawasan ideal ini dan justru kemungkinan berlokasi di lereng tebing terjal sejauh sekitar 1.000 meter dari pusat Agilkia. Sumber: ESA, 2014 dengan label oleh Sudibyo, 2014.

Morfologi intikomet Churyumov-Gerasimenko terdiri atas lima bagian utama, yakni depresi (cekungan) berskala besar, kawasan terkonsolidasi, kawasan singkapan, kawasan dataran halus dan kawasan rapuh yang tertutupi debu tipis. Kekuatan tarik tanahnya sangat kecil yakni hanya sekitar 20 Pascal. Kolam-kolam material terlihat dimana-mana, mengingatkan pada bentuk gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Terdapat banyak retakan panjang hingga sepanjang ratusan meter, yang diduga terbentuk akibat pemuaian termal. Namun tidak terjadi perubahan bentang lahan di intikomet ini sepanjang kurun Juni hingga Oktober 2014 TU. Ada juga sejumlah bukit pasir, yang nampaknya terbentuk melalui proses saltasi saat debu-debu halus tertiup aliran gas hingga melayang ke satu tempat. Tapi tak ada singkapan/massa es di permukaan tanah intikomet. Bongkahan-bongkahan es hanya terlihat tatkala terjadi tanah longsor di lereng. Dan sebagai ciri khasnya, tanah intikomet Churyumov-Gerasimenko pun melepaskan uap air dalam jumlah jumlah yang dinamis, sebanding dengan jaraknya ke Matahari.

Pada Juni 2014 TU silam, Rosetta mendeteksi intikomet Churyumov-Gerasimenko melepaskan 0,3 liter uap air dalam setiap detiknya. Dua bulan kemudian, yakni Agustus 2014 TU saat komet berjarak 538 juta kilometer (3,6 SA) dari Matahari, uap air yang diproduksi setiap detiknya meningkat menjadi 1 liter. Dan dalam tiga bulan kemudian yakni November 2014 TU, jumlah uap air setiap detiknya melonjak jadi 6 liter, dengan komet berjarak 431 juta kilometer (2,9 SA) dari Matahari. Rosetta juga memperlihatkan produksi uap air ini dipengaruhi oleh kondisi siang ataupun malam di intikomet, dengan produksi uap air di kala siang lebih besar. Uniknya, benda langit ini memiliki albedo 5,3 % atau hanya memantulkan 5,3 % cahaya Matahari yang menerpanya. Dengan demikian intikomet Churyumov-Gerasimenko sama gelapnya dengan batubara ataupun aspal di jalan raya. Ini juga menjadikan benda langit ini sebagai salah satu benda langit tergelap dalam tata surya kita. Sebagai pembanding, Bulan masih memantulkan 12 % cahaya Matahari yang mengenainya sementara Bumi bahkan lebih besar lagi, yakni 30 %.

Perjalanan Panjang

Berlabuhnya Philae menjadi kulminasi dari perjuangan panjang dalam seperempat abad terakhir guna mewujudkannya dari mimpi menjadi nyata. Perjuangan keras itu secara akumulatif melibatkan tak kurang dari 2.000 orang serta terus-menerus berhadapan dengan perubahan konsep, cekaknya anggaran, problem teknis, berbagai penundaan, rute yang kompleks, manuver-manuver yang menyerempet bahaya dan waktu yang panjang dalam mengarungi langit sebelum tiba di tujuan.

Gambar 6. Lintasan kompleks yang harus ditempuh wahana Rosetta dan robot pendarat Philae semenjak diluncurkan dari Bumi hingga tiba di intikomet Churyumov-Gerasimenko. Perjalanan panjang ini menempuh jarak tak kurang dari 7.100 juta kilometer dan memakan waktu tak kurang dari 10,5 tahun. Sumber: ESA, 2014 dengan modifikasi ke bahasa Indonesia oleh Sudibyo, 2014.

Gambar 6. Lintasan kompleks yang harus ditempuh wahana Rosetta dan robot pendarat Philae semenjak diluncurkan dari Bumi hingga tiba di intikomet Churyumov-Gerasimenko. Perjalanan panjang ini menempuh jarak tak kurang dari 7.100 juta kilometer dan memakan waktu tak kurang dari 10,5 tahun. Sumber: ESA, 2014 dengan modifikasi ke bahasa Indonesia oleh Sudibyo, 2014.

Semula ESA merancang misi antariksa ke komet sebagai program yang lebih ambisius, yakni pergi ke intikomet lantas mengebor tanahnya untuk mengambil sampel dan membawanya pulang kembali ke Bumi sehingga sampel tersebut bisa dianalisis leluasa. Namun pada 1993 TU ambisi ini berbenturan dengan terbatasnya dana. Sementara di seberang Samudera Atlantik badan antariksa Amerika Serikat (NASA) yang sedang mengembangkan misi antariksa sejenis di bawah tajuk CRAF (Comet Rendezvous Asteroid Flyby) bahkan memutuskan untuk membatalkan rencananya, juga atas alasan terbatasnya dana. Situasi ini memaksa ESA mengubah desain misi antariksanya secara radikal, sehingga hanya akan mendarat dan menganalisis sampel di tempat (in-situ) saja. Mulai saat inilah misi tersebut menemukan bentuknya dan diberi nama Rosetta, mengacu pada prasasti berhuruf hiroglif yang ditemukan di kota Rosetta (Mesir) dan menjadi kunci terpenting guna memahami peradaban Mesir Kuno. Sementara robot pendaratnya diberi nama Philae, yang merujuk pada nama sebuah pulau kecil di tengah-tengah Sungai Nil, di kompleks Bendungan Aswan, yang kaya akan bangunan-bangunan purbakala era Mesir Kuno namun kini sudah terendam air. Jauh kemudian hari, sebuah titik di intikomet dimana Philae direncanakan hendak berlabuh pun diberi nama Agilkia/Agilika, berdasarkan nama sebuah pulau kecil di dekat pulau Philae yang menjadi tempat bangunan-bangunan kuno dari pulau Philae dipindahkan dan direkonstruksi.

Masalah berikutnya yang menghantam Rosetta adalah bencana yang menimpa roket Ariane 5 pada 11 Desember 2002 TU, saat roket jumbo ini terpaksa diledakkan kala terbang hingga ketinggian 69 km akibat gangguan mesin. Padahal roket ini yang akan mengantar Rosetta menuju orbit Bumi pada 12 Januari 2003 TU. Akibatnya peluncuran Rosetta terpaksa ditunda hingga dua kali guna memastikan masalah yang menghinggapi Ariane 5 bisa dibereskan. Penundaan ini memaksa pengendali misi mengubah sasaran Rosetta dari semula komet Wirtanen (46P) menjadi komet Churyumov-Gerasimenko (67P), dengan waktu berlabuh pun berubah dari semula 2011 TU menjadi 2014 TU.

Gambar 7. Wajah intikomet Churyumov-Gerasimenko dari dekat khususnya pada kawasan 'leher'-nya, diabadikan oleh wahana Rosetta dengan radas kamera Osiris yang beresolusi tinggi. Nampak tebing curam dengan garis-garis paralel membatasi 'kepala' dengan 'leher.' Garis-garis tersebut adalah retakan dan diduga merupakan kekar kolom. Didasarnya terdapat kolam-kolam material yang mengesankan menyerupai tumpukan sedimen gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Sumber: ESA, 2014.

Gambar 7. Wajah intikomet Churyumov-Gerasimenko dari dekat khususnya pada kawasan ‘leher’-nya, diabadikan oleh wahana Rosetta dengan radas kamera Osiris yang beresolusi tinggi. Nampak tebing curam dengan garis-garis paralel membatasi ‘kepala’ dengan ‘leher.’ Garis-garis tersebut adalah retakan dan diduga merupakan kekar kolom. Didasarnya terdapat kolam-kolam material yang mengesankan menyerupai tumpukan sedimen gunung lumpur (mud volcano) di Bumi. Sumber: ESA, 2014.

Wahana Rosetta dan robot pendarat Philae akhirnya terbang ke langit dengan digendong roket Ariane 5 pada 2 Maret 2004 TU, setahun lebih telat dari jadwal semula. Awalnya menempati orbit lonjong dengan perigee 200 km dan apogee 4.000 km, mesin roket pendorong lantas dinyalakan penuh yang membawa Rosetta keluar dari pengaruh gravitasi Bumi. Namun kecepatannya tidaklah cukup untuk menjangkau komet Churyumov-Gerasimenko. Rosetta harus bolak-balik di antara Bumi dan Mars guna memperoleh tambahan kecepatan dengan memanfaatkan gravitasi kedua planet tersebut, dimana Rosetta layaknya dilontarkan dari ketapel dan melesat lebih cepat tanpa harus menyalakan mesin roketnya. Rosetta harus lewat di dekat Bumi hingga tiga kali (masing-masing 4 Maret 2005 TU, 13 November 2007 TU dan 13 November 2009 TU) serta sekali di dekat Mars (25 Februari 2007 TU). Barulah selepas perlintasan dekat Bumi-nya yang ketiga, Rosetta menyusuri orbit yang langsung mengantarnya ke komet Churyumov-Gerasimenko. Saat itu Rosetta mendapatkan tambahan kecepatan 13.000 km/jam dan telah menempuh 4.500 juta kilometer dari 7.100 juta kilometer jarak yang harus direngkuhnya untuk tiba di tujuan.

Pada 7 Mei 2014 TU silam, saat tinggal berjarak 2 juta kilometer saja dari intikomet Churyumov-Gerasimenko, kecepatan relatif Rosetta terhadap sang komet masih sebesar 775 meter/detik (2.790 km/jam). Mulailah Rosetta menyalakan mesin roketnya yang diposisikan berlawanan dengan arah gerak Rosetta, sehingga kecepatannya melambat. Secara keseluruhan Rosetta menyalakan dan mematikan mesin roketnya secara berulang-ulang hingga 8 kali, sehingga pada 23 Juli 2014 TU kecepatan relatifnya terhadap intikomet tinggal 7,9 meter/detik (28,5 km/jam) dengan jarak tinggal 4.000 km. Pengereman terakhir berlangsung pada 6 Agustus 2014 TU, sehingga kecepatan relatif Rosetta tinggal 1 meter/detik (3,6 km/jam) terhadap intikomet dengan jarak tinggal 100 km.

Gambar 8. Ukuran intikomet Churyumov-Gerasimenko jika dibandingkan dengan sebagian bentang lahan Jakarta. Bila komet ini dianggap bisa 'diapungkan' di atas pesisir utara Jakarta dan dipandang dari arah puncak Monumen Nasional. Dengan panjang 4 kilometer, maka praktis intikomet ini telah menutupi segenap kawasan Ancol. Sumber: Mutoha Arkanuddin, 2014.

Gambar 8. Ukuran intikomet Churyumov-Gerasimenko jika dibandingkan dengan sebagian bentang lahan Jakarta. Bila komet ini dianggap bisa ‘diapungkan’ di atas pesisir utara Jakarta dan dipandang dari arah puncak Monumen Nasional. Dengan panjang 4 kilometer, maka praktis intikomet ini telah menutupi segenap kawasan Ancol. Sumber: Mutoha Arkanuddin, 2014.

Meski kini Philae telah terlelap dalam hibernasinya dan bahkan berkemungkinan akan tertidur hingga mati, namun Rosetta akan terus melanjutkan penyelidikannya hingga setahun mendatang. Wahana ini akan terus mengawal intikomet Churyumov-Gerasimenko hingga setahun ke depan sembari memonitor segala perubahan di sang intikomet kala ia terus mendekat ke Matahari hingga melintasi titik perihelionnya.

Tulisan sebelumnya.

Mission Impossible, Mendarat di Inti Komet.

Inti Komet yang Mirip Bebek.

Mengedari Busa Padat Kosmik, Jelang Rosetta Mendarat di Komet Churyumov-Gerasimenko.

Referensi :

Lakdawalla. 2014. Report from Darmstadt: Philae Status and Early Rosetta Results from DPS. Planetary.org, 11 November 2014.

Amos. 2014. Rosetta: Battery Will Limit Life of Philae Comet Lander. BBC News, 13 November 2014.

ESA. 2014. Rosetta, Press Kit 12 November 2014 Landing on a Comet.