Menggali Danau Borobudur, Memahat Candi Terbesar di Dunia

Candi Borobudur kembali menarik perhatian. Berdiri pada bukit vulkanik yang dikelilingi sisa-sisa genangan Danau Borobudur, monumen Buddha terbesar di dunia ini bahkan menginspirasi dibangunnya monumen berarsitektur sejenis di mancanegara. Pembatasan jumlah pengunjung yang boleh naik ke Candi Borobudur memang harus dilakukan, karena ancaman aus dan longsor selalu membayang.

Andaikata Rakai Garung, sang penguasa kerajaan Medang (Mataram Kuna) yang bergelar Shri Maharaja Samaratungga di era 819 – 838 TU (Tarikh Umum), masih hidup ia mungkin akan tertegun menyaksikan bangunan besar yang dahulu diresmikannya menjadi pusat kunjungan banyak orang. Bahkan terlalu banyak. Kala bangunan Bhumi Sambhara Buddhara yang berarti bukit peningkatan kebajikan diresmikannya pada sekitar tahun 825 TU, hanya para pemuka dan penganut Buddha mazhab Wajrayana (Tantrayana) yang rutin mengunjunginya. Kini, rata-rata 10.100 orang (data 2019 TU) mengunjungi bangunan besar yang di era kontemporer berjuluk Candi Borobudur.

Jumlah turis modern sesungguhnya bervariasi antara 2.000 sampai 4.000 orang per hari pada hari-hari biasa hingga 40.000 sampai 50.000 orang per hari pada hari-hari libur, seperti dituturkan pak Djulianto Susantio (Susantio, 2016). Dan hampir seluruhnya menaiki tubuh candi, menyusuri lorong-lorongnya hingga mencapai stupa-stupa di tingkat teratas. Turis mancanegara cenderung menghabiskan waktu lebih lama ketimbang turis domestik.

Gambar 1. Sebagian kecil Candi Borobudur dalam siluet, menjelang terbenamnya Matahari. Sumber : Haryono, 2022.

Oleh beban batu-batuan yang menyusunnya dan pondasinya yang relatif labil (karena kedudukannya), maka tambahan beban turis yang mengunjunginya menyebabkan candi raksasa ini kian ‘sakit’. Selain aus di sana-sini dengan tingkat keausan yang mengerikan di sejumlah titik, struktur candi juga sudah ambles. Per 2014 TU taraf keamblesannya sudah hampir 2 sentimeter dari semula. Maka kini tentu sudah lebih dalam lagi. Dinamika pengunjung juga menyebabkan tubuh candi mengembang dan mengempis ke arah mendatar, mengikuti tingkat kepadatan orang-orang diatasnya, sampai beberapa milimeter.

Guna mencegah kerusakan struktur lebih lanjut inilah maka jumlah pengunjung yang diperkenankan naik ke candi harus dibatasi. Semangat pembatasan telah tumbuh dalam seabad terakhir. Tepatnya semenjak restorasi van Erp (1907 – 1911 TU). Kajian terkini menunjukkan tubuh candi hanya bisa dibebani maksimum 120 orang dalam setiap jam-nya. Dengan jam buka 10 jam per hari, maka secara akumulatif hanya 1.200 orang per hari yang boleh naik ke Candi Borobudur. Inilah yang akan dijadikan landasan kebijakan pembatasan pengunjung yang boleh naik ke candi pada saat ini.

Memahat Borobudur

Candi Borobudur berdiri di puncak Gumuk Borobudur (gumuk = bukit). Disekitarnya ada dua gumuk lainnya yang saling berdekatan, yakni Gumuk Ndagi (sisi baratlaut) dan sedikit lebih jauh adalah Gumuk Bakal (sisi barat). Ketiga gumuk tersebut berdiri di kawasan pertemuan antara Sungai Progo dengan dua anak sungai pentingnya, yakni Sungai Elo (timur) dan Sungai Sileng (selatan). Kawasan ini dipagari oleh jajaran Gunung Merapi dan Merbabu (sisi timur), Gunung Sumbing dan Sindoro (sisi baratlaut) dan gunung-gunung berapi purba yang membentuk Pegunungan Menoreh (sisi selatan).

Ketiga gumuk terbentuk pada masa Oligosen melalui aktivitas vulkanisme berupa intrusi diorit. Jadi sekitar 30 juta tahun silam, pada masa-masa aktifnya periode vulkanisme Jawa Tua, magma diorit (yang bersifat asam) mencoba naik ke atas mencari jalan keluar di kawasan Borobudur yang saat itu masih berupa laut. Namun gerakan magma tertahan di kedalaman, untuk kemudian menumpuk dan terus menumpuk hingga membukit sembari membeku perlahan-lahan. Maka terbentuklah tonjolan-tonjolan yang mendorong dasar laut setempat.

Gambar 2. Sebagian besar struktur Candi Borobudur. Nomor-nomor 1 sampai 7 menunjukkan teras-terasnya. Teras 1 dan 2 merupakan pondasi candi, sehingga polos tanpa hiasan. Teras 1 terbuka di sudut tenggara menampilkan bentuk kaki candi yang sesungguhnya beserta sebagian kecil relief Karmawibangga. Teras 3 hingga 7 merupakan bagian dari tingkat Rupadhatu, sehingga penuh ornamen dan relief. Teras 3 di fase pertama pembangunan candi merupakan pondasi, sebelum kemudian dikembangkan menjadi teras Rupadhatu. Sumber: Marsis, 2022.

Kala dasar laut tersebut terangkat seiring pergerakan tektonik yang membentuk pulau Jawa, ketiga tonjolan turut menyembul dan menjadi tiga gumuk. Meskipun diorit merupakan batuan beku yang cukup keras, namun oleh umurnya yang cukup tua membuatnya melapuk. Khususnya di permukaan hingga kedalaman tertentu. Maka Gumuk Borobudur menjadi bukit dengan lapisan tanah permukaan yang cukup tebal.

Sedari pra-Medang, Gumuk Borobudur telah menjadi tempat yang dihormati manusia pada zamannya. Bukit ini mungkin pernah ditata demikian rupa sebagai struktur punden berundak di masa prasejarah. Candi Borobudur pun dipahat mengikuti bentuk struktur punden berundak itu. Sebanyak dua juta balok batuan dengan total volume 55.000 meter3 dilekatkan laksana cangkang pada permukaan puncak gumuk. Pondasi candi berada pada elevasi 297 mdpl. Di fase awal pembangunannya (sekitar tahun 780 TU), Candi Borobudur hanya terdiri dari tiga teras berbentuk bujursangkar. Teras tertinggi mengelilingi tanah asli dari puncak gumuk.

Tanah di puncak gumuk lalu ditutupi pada pembangunan fase kedua, sebagai teras melingkar yang berpusat pada stupa induk. Sementara teras bujursangkarnya ditambahkan dua lagi dengan salah satunya merupakan pondasi baru yang lebar. Sehingga terdapat lima teras. Pondasi diperkuat lagi pada pembangunan fase ketiga seiring dirombaknya teras tertinggi menjadi tiga teras melingkar dengan stupa induk sebagai pusat semuanya. Dalam fase ini, ditambahkan pondasi baru sebagai teras terbawah. Dengan penambahan tersebut maka Candi Borobudur terdiri atas sembilan teras. Pada pembangunan fase keempat dan kelima, ditambahkan lagi pondasi yang berperan sebagai teras terbawah.

Gambar 3. Fase-fase pembangunan Candi Borobudur. Dimulai dari bangunan berteras tiga yang sederhana dan mengesankan merupakan pengembangan konsep punden berundak (fase 1). Hingga bangunan besar dan rumit yang berteras sepuluh (fase 5). Sumber: Marsis, 2022.

Maka secara keseluruhan, Candi Borobudur dipahat sebagai bangunan besar yang terdiri atas sepuluh teras. Ukurannya 121,6 meter x 121,4 meter dengan tinggi 35,4 meter dari dasar teras terbawah. Menjadikannya candi Buddha terbesar di dunia.

Teras-teras Candi Borobudur terbagi atas tiga tingkat mengikuti kosmologi Buddha tentang dunia manusia berdasarkan hawa nafsunya. Tingkat Kamadhatu (teras 1 dan 2) merupakan dunia para manusia pada umumnya, yang masih dikendalikan hawa nafsunya. Sedangkan tingkat Rupadhatu (teras 3, 4, 5, 6 dan 7) adalah dunia para manusia yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya tetapi masih terikat pada rupa dan bentuk. Dan yang teratas adalah tingkat Arupadhatu (teras 8, 9 dan 10), sebagai dunia para manusia yang sudah lepas dari hawa nafsu, rupa dan bentuk.

Pada tingkat Arupadhatu ini terdapat 72 stupa yang berlubang-lubang dengan sebuah stupa induk utuh sebagai yang terbesar. Tetapi secara keseluruhan ada 505 arca Buddha, dimana sebagian besar diantaranya telah kehilangan bagian kepalanya akibat aksi penjarahan kolonial di masa silam. Arca-arca kepala Buddha yang tersebar di museum-museum negara-negara Eropa dan Amerika, sebagian berasal dari Candi Borobudur.

Medang – Khmer

Ada 2.672 panel relief di Candi Borobudur, yang dipahat pada dinding sepanjang 2.900 meter. 1.212 panel adalah relief dekoratif. Sisanya merupakan relief Karmawibangga (160 panel), Lalitasvara (120 panel), Jatakamala (720 panel), Gandhavyuha (388 panel) dan Badracari (72 panel). Relief Karmawibangga dipahatkan pada dinding sepanjang 400 meter yang terkubur di kaki candi sehingga tidak pernah terlihat dunia luar kecuali di kaki candi bagian tenggara.

Tiga teras terbawah berfungsi sebagai pondasi candi, menandakan betapa arsiteknya menaruh perhatian besar terhadap stabilitas struktur. Mengingat dinding candi dibangun pada bidang miring yang beralaskan pada tanah permukaan hasil pelapukan. Tanah yang mudah menjadi bidang gelincir saat terlumasi air hujan. Ditambah dengan faktor bobotnya sendiri, bobot air yang tergenang pada sela-sela batu candi dan bobot pengunjungnya, maka Borobudur membutuhkan pondasi yang kuat, kompak dan lebar guna menjaganya tetap stabil. Ancaman longsor itu dapat dilihat pada rupa candi sebelum restorasi van Erp, dimana lantai dan stupa nampak bergelombang di sana-sini. Mengesankan adanya bakal mahkota longsor, seiring telantarnya bangunan ini dalam kurun sepuluh abad.

Gambar 4. Candi Bakong, sisa-sisa kejayaan masa awal imperium Khmer di Kamboja. Meskipun merupakan candi Hindu, struktur dan detail arsitekturnya mirip dengan Candi Borobudur. Sehingga diinterpretasikan bahwa Candi Borobudur tak hanya menginspirasi, namun juga ‘mengirimkan’ tenaga-tenaga ahli pembangunnya untuk menyusun Candi Bakong. Sumber : n.n.

Suksesnya kerajaan Medang dalam membangun dan mengelola Candi Borobudur sebagai candi negara bagi pemeluk Buddha menginspirasi negara tetangga. Misalnya imperium Khmer di masa awalnya, negara yang berjarak 3.000-an kilometer jauhnya dari Borobudur. Pengaruh tersebut terlihat pada Candi Bakong, yang kini terletak di Hariharalaya (Kamboja). Meskipun bernafaskan Hindu, candi yang diresmikan raja Indravarman 1 di tahun 881 TU ini memiliki lima teras yang detail arsitekturnya mirip Borobudur. Kemiripan itu menunjukkan bahwa Candi Borobudur tak hanya menginspirasi, namun juga menyumbangkan aspek arsitektur dan detail teknis kepada Candi Bakong. Hubungan antar negara telah terjalin erat di masa itu, memungkinkan para pemahat Borobudur mentransfer pengetahuannya ke Khmer. Atau bahkan datang sendiri ke negara tersebut sebagai utusan dan bantuan resmi.

Danau

Salah satu aspek menarik dari lingkungan sekitar Candi Borobudur adalah Danau Borobudur. Sebuah danau purba yang telah ada sejak 119.000 tahun silam untuk kemudian mengering sepenuhnya sekitar lima abad silam. Gagasan tentang Danau Borobudur sesungguhnya sudah bergaung sejak seabad silam. Namun baru menemukan bukti-buktinya secara geologis melalui kajian pak Helmi Murwanto (2004).

Danau Borobudur adalah sebuah konsekuensi dari sejarah geologi Magelang yang unik. Hingga sekitar setengah juta tahun silam, daratan Borobudur masih berupa laut. Tepatnya laguna, bagian dari sistem laguna yang memanjang sejak Borobudur hingga Yogyakarta dan Bantul untuk kemudian bersambungan dengan Samudera Indonesia.

Gambar 5. Estimasi genangan Danau Borobudur manakala menempati area genangan terluasnya jauh di masa prasejarah. Pada saat itu Danau Borobudur menempati area seluas 7.390 hektar. Sumber: Sudibyo, 200 dengan data dari Murwanto, 2004 & Gomez dkk, 2010.

Aktivitas gunung-gunung berapi purba, baik yang membentuk Pegunungan Menoreh maupun Gunung Proto-Merapi menyebabkan Laguna Borobudur terputus dari Laguna Yogyakarta – Bantul. Terbentuklah Danau Borobudur, yang awalnya adalah danau berair asin. Aktivitas vulkanisme terutama dari Gunung Proto-Merapi dan tanah longsor dari Pegunungan Menoreh, menyebabkan Danau Borobudur mengering dan terisi air kembali hingga enam kali. Aktivitas tersebut juga menyebabkan dasar danau kian mendangkal hingga akhirnya menjadi rawa-rawa untuk kemudian mengering sepenuhnya pada lima abad silam.

Jejak Danau Borobudur tecermin dari lapisan lempung hitam tebal (ketebalan 2 hingga 3 meter) khas endapan danau dan tak tembus air. Sehingga mampu menahan air di sisi atasnya. Sebagai akibatnya maka kedalaman muka air tanah di dataran Borobudur dan sekitarnya relatif seragam, yakni maksimum 15 meter. Kecuali di area Candi Mendut, yang sedalam hingga 22 meter.

Letusan dahsyat Proto-Merapi pada 119.000 tahun silam melontarkan demikian banyak material letusan. Hingga mengubur jalur air yang memisahkan kaki Pegunungan Menoreh sisi timur dan kaki Gunung Merapi dengan endapan letusan setebal sedikitnya 20 meter. Terbentuklah bendungan alamiah. Inilah awal mula munculnya Danau Borobudur. Pada puncaknya, jauh di masa prasejarah, Danau Borobudur menggenangi area hingga seluas 7.390 hektar. Kelilingnya (yakni garis pantainya), sepanjang 43 kilometer. Titik terdalam terdapat di bagian tenggara, di kawasan yang kini menjadi pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Elo, Sileng dan Pabelan.

Letusan dahsyat Gunung Proto-Merapi berikutnya terjadi pada 31.000 tahun silam. Meski skala kedahsyatannya lebih kecil ketimbang letusan 119.000 tahun silam. Di antara dua letusan besar tersebut, Danau Borobudur telah mengalami siklus penggenangan – pengeringan hingga lima kali. Aktivitas vulkanik Proto-Merapi dan tetangga-tetangganya (Merbabu Tua dan Sumbing Tua) pada rentang masa tersebut tergolong intensif. Sehingga secara akumulatif menghasilkan endapan vulkanik setebal 2 meter.

Siklus penggenangan – pengeringan Danau Borobudur yang terakhir terjadi sejak 27.000 tahun silam hingga lima abad silam. Siklus keenam ini meliputi masa sejarah. Di masa pembangunan Candi Borobudur, area genangan danau telah menyusut jauh. Candi Borobudur dibangun pada masa yang sama dengan Candi Mendut. Sementara Candi Mendut berdiri pada elevasi 240 mdpl. Maka cukup beralasan untuk mengatakan bahwa di masa pembangunan kedua candi tersebut, elevasi paras air Danau Borobudur telah turun di bawah 240 mdpl.

Gambar 5. Estimasi genangan Danau Borobudur manakala menempati area genangan terluasnya jauh di masa prasejarah. Pada saat itu Danau Borobudur menempati area seluas 7.390 hektar. Sumber: Sudibyo, 200 dengan data dari Murwanto, 2004 & Gomez dkk, 2010.

Karena itu cukup masuk akal untuk mengatakan pada masa Candi Borobudur dibangun dan dipergunakan, dimensi genangan Danau Borobudur telah demikian menyusut. Sehingga hanya tinggal sekitar sepertujuhnya saja. Luas genangan Danau Borobudur pada saat itu sekitar 1.020 hektar dengan panjang garis pantai sekitar 25 kilometer. Genangan itu meliputi hanya lembah Sungai Sileng dan Sungai Progo dari sekeliling Gumuk Borobudur menerus ke tenggara. Yakni ke area pertemuan Sungai Progo dengan Sungai Sileng dan Sungai Pabelan. Dari 1.020 hektar genangan danau, diduga yang berada di sekeliling Gumuk Borobudur telah berbentuk rawa-rawa karena sedemikian dangkalnya. Inilah yang nampaknya membuat aneka prasasti Medang di kawasan ini tak menjelaskan soal Danau Borobudur.

Pengeringan terakhir terjadi berabad-abad setelah berdirinya Candi Borobudur. Pasca abad ke-10 TU, lebih intensifnya aktivitas Gunung Merapi menyebabkan sisa Danau Borobudur yang masih ada menjadi kian dangkal. Hingga akhirnya mengering sepenuhnya menjadi daratan di pertengahan abad ke-15 TU.

Referensi :

Djulianto Susantio. 2016. Konservasi Candi Borobudur, ‘Membuang-buang Duit’ Demi Pariwisata. 21 November 2016.

Dani Irwanto. 2015. Telaga Purba Borobudur dan Awalmula Peradaban. 20 Oktober 2015.

Timbul Haryono. 2022. Memahami Candi Borobudur. Jagongan Sigarda, 8 Juni 2022.

Marsis Sutopo. 2022. Candi Borobudur, Antara Pelestarian dan Pariwisata. Jagongan Sigarda, 8 Juni 2022.

Gomez dkk.2010. Borobudur, A Basin Under Volcanic Influence : 361.000 BP to Present. Journal of Volcanology and Geothermal Research, vol. 196 (2010) hal. 245 – 264.

Mengenal Gunung Anak Ranakah, Sang Gunung Berapi Termuda di Darat

Tahun 2019 TU (Tarikh Umum) ditandai oleh lahirnya sebuah gunung berapi baru di Bumi, meskipun bertempat di dasar laut sehingga tak seorang pun yang menyaksikan langsung saat-saat kelahirannya. Gunung berapi baru yang belum bernama di sebelah timur Pulau Mayotte (Perancis) di Kepulauan Komoro tersebut terbenam sepenuhnya dalam perairan selat Mozambik yang berkedalaman 3.500 meter meski ia menjulang setinggi 800 meter dari dasarnya. Dengan volume 5.000 juta m3, lahirnya gunung berapi termuda di laut ini sekaligus merupakan letusan gunung berapi yang terbesar bagi tahun 2019 TU, untuk sementara ini. Jika semata mengacu volume magmanya maka letusannya tergolong berskala 5 VEI (Volcanic Explosivity Index), atau setara Letusan Gunung Agung 1963 (Indonesia). Meskipun letusan yang melahirkan gunung berapi termuda ini lebih bersifat efusif (leleran) dan sepenuhnya tersekap di dalam laut sehingga tak menyemburkan kolom material vulkanik nan khas ke udara.

Gambar 1. Gunung Anak Ranakah saat masih bertumbuh, berdampingan dengan Gunung Ranakah. Nampak kubah lava dan lidah lava pada gunung berapi darat termuda di dunia ini. Diabadikan pada 17 Januari 1988 TU. Sumber: PVMBG/Wirasaputra, 1988.

Membicarakan gunung berapi termuda mau tak mau akan mengalihkan pandangan mata ke mancanegara. Tepatnya ke negara bagian Michoacan, Meksiko. Yakni di kawasan vulkanik Michoacan – Guanajuto seluas 200 x 250 km2 dan terdiri atas sedikitnya 1.400 kerucut vulkanik berukuran kecil-kecil. Salah satu diantaranya lahir pada 20 Februari 1943 TU dari sebuah retakan di tengah-tengah ladang jagung pak Dionisio Pulido, 322 km sebelah barat ibukota Meksiko City. Letusan terus berlangsung hingga 9 tahun berikutnya, berselang-seling antara efusif dan eksplosif (ledakan). Dalam empat bulan pertama saja rentetan erupsi efusif telah membentuk kerucut vulkanik setinggi 200 meter. Kini kerucut tersebut dikenal sebagai Gunung Paricutin, sebuah kerucut sinder yang adalah gunung berapi monogenetik yang menjulang 208 meter dari daratan sekitar dengan puncak berelevasi 2.800 mdpl.

Namun gunung berapi termuda di daratan Bumi kita bukanlah Paricutin. Ia lahir 45 tahun kemudian. Bukan di Meksiko ataupun bagian dunia lainnya. Gelar tersebut disematkan pada satu tempat di tanah air kita tercinta, Indonesia. Yakni di pulau Flores, sebuah pulau vulkanis yang ditumbuhi oleh delapan buah gunung berapi aktif dan merupakan bagian dari propinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung berapi termuda itu adalah Gunung Anak Ranakah, atau Gunung Namparnos dalam bahasa penduduk setempat. Gunung Anak Ranakah lahir pada 28 Desember 1987 TU.

Segenap penduduk kota Ruteng di Kabupaten Manggarai mungkin tak pernah menyadari bahwa kawasan pegunungan di sisi selatan kota mereka sejatinya adalah sebuah gunung berapi sangat tua yang telah padam. Dahulu kala menjulang sebuah gunung berapi setinggi 2.500 meter yang disebut Gunung Rii Purba. Di masa prasejarah, Gunung Rii Purba meletus dahsyat hingga dua kali. Masing-masing letusan menghasilkan Kaldera Rii dan Kaldera Lunggar yang saling berhadapan. Kedua kaldera tersebut membentuk sebuah struktur besar yang disebut Kaldera Poco Leok dengan garis tengah 3 km. Kaldera Poco Leok terbentuk akibat pengamblesan (subsidence) tubuh gunung seiring kosongnya kantung magma setelah terkuras habis dalam setiap letusan besar. Pengamblesan ini diiringi terbentuknya retakan-retakan (sesar) konsentris dengan pusat berimpit ke pusat kaldera.

Gambar 2. Peta geologi kaldera Poco Leok dan sekitarnya. Nampak jajaran kubah-kubah lava produk aktivitas pasca kaldera yang membentuk barisan setengah melingkar di sisi utara. Gunung Anak Ranakah ditandai oleh titik letusan. Sumber: Katili & Sudrajat, 1988 dalam Wahyudin, 2012.

Pada sejumlah titik di retakan-retakan konsentrik itulah aktivitas vulkanik pascakaldera berulang kali terjadi. Aktivitas itu membentuk kubah-kubah lava yang terdiri atas Gunung Ngrekok, Gunung Likang, Gunung Tadowalok, Gunung Nggolongtede, Gunung Kasteno, Gunung Mandosawu dan Gunung Ranakah. Aktivitas vulkanik terakhir terjadi 15.000 tahun silam. Sehingga kawasan Kaldera Poco Leok sejatinya merupakan gunung berapi padam jika mengacu klasifikasi gunung berapi dari Global Volcanism Program. Gejala pasca vulkanik bermunculan di berbagai titik pada sekujur kaldera ini. Di sisi selatan ini terdapat lapangan panasbumi Ulumbu yang memiliki potensi energi 90 megawatt elektrik dan telah dikembangkan menjadi PLTP Ulumbu yang berkapasitas 10 megawatt elektrik.

Jarum jam menunjukkan pukul 22:00 WITA pada titi mangsa Senin 28 Desember 1987 TU saat sebuah dentuman keras membangunkan sebagian penduduk Kota Ruteng dari peraduannya. Dentuman menggelegar itu berasal dari Gunung Ranakah, tepatnya dari kaki timur laut. Dentuman ini merupakan puncak dari upaya keras gas-gas vulkanik bertekanan tinggi dalam membobol jalan keluar ke parasbumi dari kantung magma jauh di bawah Gunung Ranakah. Kerasnya batuan kubah lava Gunung Ranakah membuat gas-gas vulkanik terpaksa mencari jalan menyamping dan berjumpa dengan titik lemah di kaki timur laut bukit tersebut. Yakni pada sebuah ceruk kecil yang disebut loka leke ndereng (lubang tempurung merah) oleh penduduk setempat.

Gambar 3. Fase erupsi freatik di awal mula lahirnya Gunung Anak Ranakah. Magma belum keluar ke paras bumi sehingga tubuh gunung belum terbentuk pada saat itu. Tanda panah menunjukkan Gunung Ranakah. Sumber: PVMBG/Rohi, 1988.

Dentuman disusul mengepulnya asap hitam kecoklatan setinggi 3.000 hingga 4.000 meter di atas titik letusan disertai suara gemuruh. Debu vulkanik yang diproduksinya berkomposisi andesit, konsisten dengan batuan penyusun tubuh Gunung Ranakah. Inilah awal rangkaian erupsi freatik yang berlangsung secara intensif hingga enam hari kemudian. Sepanjang fase erupsi freatik ini terjadi 17 letusan kuat dan 200 letusan lemah. Terjadi pula rentetan gempa vulkanik yang mencapai rata-rata 200 kejadian per hari.

Mulai enam hari pasca awal letusan, intensitas erupsi freatik cenderung menurun namun sebaliknya kegempaan vulkanik meningkat pesat hingga dua kali lipat. Ini indikasi kuat telah terjadi gerakan fluida (magma) yang sedang mencoba menembus ke paras bumi, yang bakal menimbulkan erupsi freatomagmatik atau bahkan erupsi magmatik. Terbukti dalam sepuluh hari pasca awal letusan, mulai terdeteksi cahaya terang berkelanjutan dari arah lubang letusan di malam hari. Itulah pertanda jelas letusan telah memasuki fase erupsi magmatik. Dan dalam 12 hari pasca awal letusan mulai teramati adanya gundukan membara menyerupai kerucut. Itulah kubah lava, dengan tinggi saat itu 30 meter yang menyelubungi lubang letusan. Gundukan lava membara yang menandakan sebagai bayi gunung inilah yang membuat penduduk setempat menamainya Gunung Namparnos (namparnos : dinding yang terbakar). Sementara vulkanolog Indonesia menyebutnya sebagai Gunung Anak Ranakah.

Gambar 4. Sketsa sederhana proses lahir dan tumbuh kembang Gunung Anak Ranakah dalam rentang waktu tiga minggu terhitung semenjak 28 Desember 1987 TU. Sumber : Katili & Sudrajat, 1988 dalam Wahyudin, 2012.

Letusan-letusan berikutnya sangat didominasi oleh erupsi efusif dengan sesekali saja terjadi erupsi eksplosif (ledakan). Karenanya ukuran kubah lava terus membesar. Erupsi eksplosif pertama terjadi dua minggu pasca awal letusan, dalam bentuk erupsi Vulkanian kuat yang membentuk kolom letusan setinggi 8.000 meter di atas lubang letusan. Letusan itu juga memproduksi awan panas untuk pertama kalinya, mengalir ke utara melalui lembah sungai Wae Reno sejauh 5 km. Intensifnya erupsi efusif yang bertipe erupsi Strombolian membuat kubah lava tumbuh pesat, dimana dalam tiga minggu pasca awal letusan telah menjulang 100 meter dari dasar dengan volume 5 juta meter3. Selain gundukan kubah lava, terbentuk juga lidah lava yang menjulur ke utara sepanjang sekitar 1.000 meter.

Fase erupsi magmatik di Gunung Anak Ranakah pada dasarnya telah berhenti sejak Juli 1988 TU. Saat itu kubah lava sudah menjulang setinggi 140 meter dari dasar, dengan puncak memiliki elevasi 2.200 mdpl. Dasarnya berjari-jari 400 meter, namun dengan bentuk kubah lava yang terpancung di bagian dasar karena menindihi kaki timur laut Gunung Ranakah, maka volumenya jauh lebih kecil dibanding volume kerucut. Jumlah magma yang dikeluarkan dalam letusan ini mencapai 19 juta m3, terdiri atas 14 juta m3 kubah lava dan 5 juta m3 lidah lava. Tingkat pengeluaran magma tertinggi mencapai 0,5 juta m3 per hari yang terjadi sepanjang Januari 1988 TU. Di bulan-bulan berikutnya tingkat pengeluaran magma kian menurun. Mulai Juli 1988 TU hingga dua tahun kemudian praktis aktivitas vulkanik Gunung Anak Ranakah hanya berupa hembusan solfatara dari puncak gunung, yang membumbung setinggi 15 hingga 25 meter saja.

Gambar 5. Awan panas guguran yang terbentuk pada 20 Januari 1988 TU dalam proses tumbuh kembang Gunung Anak Ranakah. Karena sifatnya yang rapuh dan mudah longsor, gugurnya bagian-bagian kubah lava Gunung Anak Ranakah akan membentuk awan panas guguran. Sumber: PVMBG/Wirasaputra, 1988.

Lahirnya Gunung Anak Ranakah tidak membawa korban manusia (baik korban jiwa maupun luka-luka) ataupun kerugian harta benda. Pada 6 Januari 1988 TU sebanyak 20.000 orang memang sempat diungsikan, yakni para penduduk yang tinggal di dalam radius 5 km dari bayi gunung tersebut. Manakala karakter letusan Anak Ranakah sudah lebih diketahui seiring perjalanan waktu, berangsur-angsur mereka pulang ke kediaman masing-masing. Pada 26 Januari 1988 TU, tinggal 4.200 pengungsi yang masih tersisa. Yakni yang bertempat tinggal di sekitar lembah sungai Wae Reno di utara Gunung Anak Ranakah. Begitu fase erupsi magmatik usai, maka pengungsi pun berangsur-angsur pulang kembali.

Berbeda dengan saudara muda-nya Gunung Paricutin di Meksiko, Gunung Anak Ranakah bukanlah gunung berapi monogenetik. Sehingga Anak Ranakah tidaklah sekali beraksi (meletus) untuk kemudian mati. Tubuh Gunung Anak Ranakah merupakan lava yang menumpuk dimana bagian dalamnya masih panas membara. Maka potensi letusan Gunung Anak Ranakah masih tetap terbuka, baik yang berasal dari runtuhnya kubah lava saat ini (yang bisa menghasilkan awan panas guguran) maupun dari suplai magma segar dari kantung magmanya. Kemungkinan suplai segar ini masih tetap terbuka, mengingat bila mengacu pada saudara-saudaranya di kawasan kaldera Poco Leok, ukuran Gunung Anak Ranakah masih jauh lebih kecil. Sehingga potensi untuk meletus dan menambah ukuran lagi masih terbuka. Untuk itu peta kawasan rawan bencana Gunung Anak Ranakah telah dibentuk sebagai langkah antisipasi.

Referensi :

Wahyudin. 2012. Vulkanisme dan Prakiraan Bahaya Gunung Api Anak Ranakah, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, vol. 3 no. 2 Agustus 2012, hal. 89-108.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2014. Gunung Anak Ranakah, Data Dasar Gunungapi.

Lahirnya Gunung Berapi Laut di Dekat Mayotte

Gunung berapi baru itu masih sangat muda. Mungkin baru setahun usianya, jika dihitung pada Mei 2019 TU (Tarikh Umum). Meski masih sangat belia, pertumbuhannya cukup pesat dengan ukuran saat ini sudah cukup besar, kini volumenya sudah 5 km3. Tak satupun insan yang menyaksikan detik demi detik kelahirannya seiring tersembunyinya jauh di dasar Samudera Indonesia di lepas pantai timur benua Afrika. Namun tanda-tanda tak langsung dari proses kelahirannya telah dirasakan sebagian penduduk Kepulauan Komoro sejak setahun sebelumnya. Lewat aneka guncangan lemah yang misterius dan meresahkan.

Gambar 1. Ketampakan gunung berapi laut baru di dasar Selat Mozambik tepatnya 55 km sebelah timur pulau Mayotte. Gunung berapi baru yang sangat muda ini tersingkap lewat survei sonar pada 2 – 18 Mei 2018 TU. Menjulang setinggi 800 meter dari dasar, terdeteksi pula kepulan materi letusan hingga setinggi 2.000 meter dari puncaknya. Sumber: tim MAYOBS, 2019.

Gunung berapi umum dijumpai di Bumi dan sejumlah benda langit anggota tata surya kita berkaitan dengan proses pelepasan bahang (panas) interior ke lingkungan sekitar. Pada Bumi, 10 % dari bahang interior merupakan bahang primitif. Yakni sisa panas saat proses pembentukan tata surya 5 milyar tahun silam. Sedangkan 90 % sisanya merupakan bahang radiogenik, yakni akumulasi panas dari proses peluruhan inti-inti atom radioaktif terutama Uranium (U238), Thorium (Th232) dan Kalium (K40) yang terjadi di lapisan selubung dan inti luar. Total bahang interior yang dilepaskan Bumi kita mencapai 47 terawatt (4,7 . 1013 watt) yang ditransfer ke paras Bumi melalui mekanisme konveksi dalam lapisan selubung. Hanya 1 % bahang yang kemudian terlepas ke lingkungan lewat peristiwa tektonisme, vulkanisme dan kegempaan yang riuh. Sementara 99 % sisanya dilepaskan lewat aliran panas permukaan (heatflow) yang besarnya rata-rata 92 miliwatt/m2.

Gempa Swarm Mayotte

Gunung berapi baru umumnya tumbuh berkembang di lingkungan yang secara geologis merupakan kawasan vulkanik dengan jejak aktivitas vulkaniknya di masa silam, umumnya berupa gunung berapi tua yang telah lama padam. Gunung berapi baru lebih sering tumbuh di dasar laut yang tersembunyi, mengikuti trend lebih banyaknya magma yang dilepaskan di dasar laut khususnya di zona pemekaran lantai samudera (mencapai 70 hingga 80 %) ketimbang di daratan. Terakhir kali umat manusia menyaksikan kelahiran gunung berapi baru di daratan adalah pada akhir 1987 TU silam lewat Gunung Anak Ranakah / Namparnos di dekat kota Ruteng, pulau Flores (Indonesia). Sementara gunung berapi baru di dasar laut yang paling muda adalah Gunung Nijima, di sebelah selatan Gunung Nishinoshima pada perairan Samudera Pasifik 940 km sebelah selatan-tenggara kota Tokyo (Jepang). Gunung Nijima akhirnya bergabung menyatu dengan Nishinosima membentuk sebuah pulau tunggal yang kecil dan vulkanis.

Gambar 2. Kepulauan Komoro dalam peta topografi dasar laut Selat Mozambik. Seluruh pulau di kepulauan ini merupakan pulau vulkanik, puncak dari gunung-gemunung berapi besar yang menyembul di atas paras airlaut. Sumber: Lemoine dkk, 2019.

Penduduk Kepulauan Komoro, khususnya di pulau Mayotte, mulai merasakan situasi tak biasa mulai pagi hari 10 Mei 2018 TU. Sebuah gempa ringan (magnitudo 4,3) menggoyang pelan. Di hari-hari berikutnya getaran demi getaran susul-menyusul, kian dirasakan oleh lebih dari seperempat juta jiwa penduduk Mayotte. Getaran juga kian terdeteksi oleh sensor-sensor seismometer yang lebih jauh. Sebuah gempa kuat (magnitudo 5,9) mengguncang lima hari kemudian, disusul sepasang gempa kuat lainnya (magnitudo 5,5) masing-masing pada 20 dan 21 Mei 2018 TU. Getaran demi getaran ini mencemaskan mengingat pulau Mayotte sudah lama tak merasakan gempa bumi, apalagi yang merusak. Getaran gempa merusak terakhir kali terjadi pada 1 Desember 1993 TU (magnitudo 5,2) yang memproduksi sejumlah kerusakan ringan-sedang di sekujur pulau.

Selama enam bulan kemudian telah terdeteksi 1.109 gempa bumi dengan magnitudo lebih dari 3,5. Salah satu diantaranya bahkan cukup unik karena tak mengandung komponen gelombang primer (P) dan sekunder (S). Meletup pada 11 November 2018 TU, gempa unik ini terdeteksi oleh seismometer hingga sejauh 18.000 km dari sumbernya. Gempa unik ini berlangsung selama sedikitnya 20 menit sebagai gelombang panjang berperiode 16 detik. Meski terdeteksi hingga ke lokasi yang demikian jauh dan bergetar cukup lama, uniknya gelombang panjang gempa unik ini sama sekali tak dirasakan penduduk Mayotte. Di kemudian hari gempa unik ini dikategorikan sebagai tremor episodik.

Rentetan gempa tersebut merupakan gempa swarm, yakni gempa-gempa yang terjadi pada suatu lokasi dalam rentang waktu tertentu namun tidak menunjukkan pola hubungan gempa utama – gempa susulan yang khas bagi gempa bumi tektonik. Meski secara garis besar relatif serupa, namun mekanisme fokus dari setiap gempa bumi dalam kejadian gempa swarm ini berbeda-beda parameternya. Gempa swarm umumnya menjadi indikasi terjadinya migrasi fluida (magma) dari kedalaman, atau terjadinya pengamblesan (subsidence) dari suatu massa yang besar seperti gunung.

Gambar 3. Posisi episentrum setiap gempa dalam Gempa swarm Mayotte 2018 untuk selang waktu 10 Mei hingga 14 November 2018 TU. Perbedaan warna episentrum menunjukkan perbedaan kelompok, biru untuk kelompok pertama, kuning untuk kelompok kedua dan merah untuk kelompok ketiga. Sumber: Lemoine dkk, 2019.

Gempa swarm Mayotte secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama terjadi pada 10 Mei hingga 8 Juli 2018 TU, yang mengambil area sejauh 45 hingga 55 km sebelah timur pulau Mayotte. Gempa swarm pada kelompok ini secara berangsur-angsur bergeser ke arah tenggara hingga 10 km, sementara kedalaman sumber gempanya juga berkurang dari semula 35 km menjadi 15 km. Sementara kelompok kedua mulai berlangsung sejak 26 Juni 2018 TU dengan area sumber di sebelah barat kelompok pertama, yakni sejarak 42 hingga 55 km dari pulau Mayotte. Dan kelompok ketiga mulai belangsung sejak 5 Juli 2018 TU dengan area sumber di sebelah barat kelompok kedua, yakni pada jarak 26 hingga 42 km. Hingga November 2018 TU, secara akumulatif energi yang dilepaskan seluruh gempa swarm itu setara dengan energi Gempa Yogya 2006.

Inflasi

Selain hentakan gempa swarm, pulau Mayotte juga mengalami proses deformasi yang terekam dalam radas (instrumen) GPS meskipun tak kasat mata dan tak terasakan sama sekali oleh penduduk setempat. Selama enam bulan sejak Mei 2018 TU, pulau Mayotte beringsut ke timur hingga sejauh sekitar 20 cm dan melesak (ambles) sedalam sekitar 5 cm. Ini menandakan bagian dasar laut di sebelah timur pulau sedang mengalami inflasi (penggelembungan), sebuah ciri khas aktivitas sebuah gunung berapi menjelang meletus. Inflasi terjadi kala magma segar dalam volume banyak mulai mengisi suatu tempat di dalam kerakbumi, menjadikan tempat itu laksana balon yang terus membesar karena ditiup pelan-pelan.

Perhitungan menunjukkan posisi dapur magma dari aktivitas ini adalah 35 km sebelah timur pulau Mayotte pada kedalaman 30 km. Magma mengalir vertikal ke atas, namun pada kedalaman sekitar 10 km mulai berbelok ke barat sebagai retas magmatik hingga sejarak sekitar 20 km sebelah timur pulau Mayotte. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan pada periode 10 Mei hingga 5 Juli 2018 TU terjadi pengeluaran magma sebanyak 45 meter3/detik. Selanjutnya pada 3 Juli hingga 14 November 2018 TU pengeluaran magmanya meningkat menjadi 82 meter3/detik. Maka secara akumulatif selama enam bulan tersebut terjadi pengeluaran magma sebanyak 1,15 km3.

Gambar 4. Penampang melintang lokasi dapur magma (reservoir), saluran magma (conduit) dan retas magma (dyke) yang berhasil direkonstruksi berdasarkan data-data deformasi dari stasiun-stasiun GPS di pulau Mayotte selama gempa swarm berlangsung. Posisi gunung berapi baru (new volcano) dan sistem goa lava (lava tube) yang memasok magmanya ditambahkan kemudian. Sumber: Lemoine dkk, 2019.

Pusat penelitian ilmu pengetahuan (CNRS) Perancis akhirnya memutuskan meneliti fenomena ini lebih lanjut melalui survei gabungan bawah air laut di bawah tajuk MAYOBS mulai Februari 2019 TU. Survei meliputi pemasangan enam sensor seismometer dasar laut (OBS) guna mengetahui posisi sumber gempa swarm lebih detil serta pemetaan dasar laut menggunakan sonar. Penempatan sensor OBS dan pemetaan sonar dilakukan menggunakan kapal Marion Dufresne.

Dari survei inilah diketahui sebuah gunung berapi laut yang baru sudah lahir dan tumbuh berkembang di dasar Selat Mozambik. Tepatnya sejarak 55 km sebelah timur pulau Mayotte. Gunung berapi laut yang baru ini tumbuh di kedalaman 3.500 meter. Ia berbentuk kerucut dengan dasar bergaris tengah 5.000 meter dan menjulang setinggi 800 meter dari dasar. Diperhitungkan volumenya mendekati 5 km3. Jika ia tumbuh sejak awal gempa swarm Mayotte terjadi, maka kecepatan pengeluaran magma dari dalam perutbumi yang membentuk gunung berapi baru ini mencapai rata-rata 160 meter3/detik. Angka ini tak jauh berbeda dibanding perkiraan 82 meter3/detik berdasarkan data deformasi. Survei juga memperlihatkan tanda-tanda aktivitas gunung berapi baru tersebut, melalui semburan fluida yang terdeteksi hingga 2.000 meter di atas kawah gunung.

Gambar 5. Peta dasar laut di sisi timur pulau Mayotte. Nampak posisi gunung berapi baru (depan) dan posisi terkini sumber gempa swarm (belakang). Sumber: MAYOBS, 2019.

Sementara dari data-data sensor OBS diketahui posisi sumber gempa swarm terbaru, yang telah bergeser lagi ke barat. Yakni hanya sejarak 12 – 22 km saja di sebelah timur pulau Mayotte. Maka terdapat jarak 40-an km antara sumber gempa swarm dengan gunung berapi baru tersebut. Karena survei telah menemukan sebuah gunung berapi baru dasar laut, maka sumber gempa swarm Mayotte berkaitan dengan pergerakan magma menuju bagian atas kerakbumi. Selisih jarak antara sumber gempa swarm dengan gunung berapi baru yang dilahirkannya menunjukkan adanya pergerakan mendatar magma sejauh 40-an km sebelum menemukan jalan keluarnya ke paras bumi. Pergerakan ini dapat terjadi melalui sistem goa lava (lava tube) yang khas untuk gunung-gemunung berapi laut. Tepatnya gunung-gemunung berapi basaltik, yang memuntahkan magma bersifat basa sehingga lebih encer dan lebih mampu mengalir jauh sekaligus lebih berkemungkinan membentuk sistem goa lava yang sangat panjang.

Goa Lava

Dengan demikian terbentuknya gunung berapi baru ini mengikuti fenomena yang terjadi di Gunung Kilauea, Hawaii (Amerika Serikat), salah satu gunung berapi laut terpopuler. Pada 2018 TU silam, gunung ini meletus sebagai Letusan Puna 2018. Lubang letusan tak berada di kawah utama, melainkan pada sejumlah titik di desa Leilani Estate di lereng gunung yang berjarak mendatar 40 km dari kawah. Letusan Puna 2018 berkecamuk selama 3 bulan lamanya dan memuntahkan tak kurang dari 700 juta meter3 magma, menjadikannya letusan gunung berapi yang terbesar untuk tahun 2018 TU. Transfer magma dari dapur magma yang berada tepat di bawah kawah utama menuju ke lubang-lubang letusan sejauh itu berlangsung melalui sistem goa lava.

Aktivitas vulkanik menjadi hal wajar bagi Kepulauan Komoro, sebuah kepulauan yang adalah untaian puncak gunung-gemunung berapi dasar laut yang menyembul di atas paras air laut. Di pulau terbesar, yakni pulau Grande Comoro (terbentuk 130 ribu tahun silam) menjulang tinggi Gunung Karthala yang terakhir meletus pada 2007 TU silam. Sementara pulau Mayotte adalah pulau tertua yang terbentuk sekitar 11 juta tahun silam sekaligus terkalem dengan letusan gunung berapi terakhir terjadi antara 7.000 hingga 4.000 tahun silam. Letusan itu membentuk pulau kecil Petite Terre, yang berjarak 5 km di sebelah timur Mayotte dan kini menjadi pintu gerbang utama ke pulau Mayotte dengan bandaranya. Terbentuknya gunung-gemunung berapi laut di kepulauan ini adalah wajar, mengingat posisinya yang berdiri di retakan kerakbumi yang memungkinkan magma menyeruak dari lapisan selubung melalui vulkanisme titik-panas (hot-spot volcanism).

Gambar 6. Tatanan tektonik benua Afrika bagian timur yang tersusun oleh lempeng Nubia, lempeng Somalia dan tiga mikrolempeng. Masing-masing mikrolempeng Victoria, Rovuma dan Lwandle. Kepulauan Komoro beserta pulau Mayotte (MAYG) terletak di retakan kerakbumi yang menjadi batas antara lempeng Somalia dengan mikrolempeng Lwandle. Sumber: Lemoine dkk, 2019.

Retakan tersebut adalah konsekuensi dari tatanan tektonik Afrika timur yang rumit. Pada dasarnya benua Afrika bagian timur tersusun oleh lempeng Nubia yang bersifat kontinental serta lempeng Somalia yang kontinental dan oseanik. Lempeng Nubia bergerak ke barat-barat daya sementara lempeng Somalia ke timur laut. Batas antara kedua lempeng merupakan zona divergen yang adalah bagian dari lembah retakan besar (Great Rift Valley), lembah besar sangat panjang yang menjulur dari Palestina hingga Afrika bagian tengah. Pada bagian selatan, interaksi lempeng Nubia dan Somalia dibatasi oleh tiga mikrolempeng. Masing-masing mikrolempeng Victoria, Rovuma dan Lwandle. Mikrolempeng Lwandle menjadi dasar dari hampir segenap pulau Madagaskar dan Selat Mozambik. Retakan kerakbumi yang melintasi Kepulauan Komoro merupakan batas antara mikrolempeng Lwandle dengan lempeng Somalia.

Bilamana tingkat pertumbuhannya seperti sekarang, maka puncak gunung berapi baru ini akan menyembul di paras air selat Mozambik pada 5 tahun setelah kelahirannya, atau sekitar tahun 2022 TU kelak. Dengan catatan bila aktivitasnya berlangsung secara kontinu dan konstan. Realitanya aktivitas gunung berapi dengan pengeluaran magma demikian besar tak pernah berlangsung lama sepanjang catatan sejarah kita manusia. Sehingga mungkin butuh waktu beratus atau bahkan beribu tahun lagi bagi gunung berapi baru ini untuk menyembul ke paras air laut menjadi sebuah pulau vulkanik baru.

Referensi

Lemoine dkk. 2019. The Volcano-tectonic Crisis of 2018 East of Mayotte, Comoros Islands. Geophysical Journal International, submitted February 26, 2019.