Gempa (nyaris) besar itu meletup tatkala hari Jumat 15 Desember 2017 TU (Tarikh Umum) hampir menutup. Getaran utamanya terjadi pada pukul 23:48 WIB pada suatu titik di pesisir Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat). Rilis awal BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) menempatkan magnitudonya 7,3 yang kemudian diperbaiki lewat rilis pembaharuan menjadi magnitudo 6,9. Pembaharuan magnitudo sebuah gempa adalah hal wajar, biasa dilakukan oleh institusi-institusi geofisika dimanapun. Gempa dengan magnitudo 7 atau lebih tergolong gempa besar, sehingga Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 (begitu mudahnya kita namakan) tergolong gempa (nyaris) besar. Dibandingkan Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 (magnitudo 6,4) maka gempa ini 6 kali lebih energetik.
Sumber gempa terletak pada kedalaman sekitar 100 kilometer. Sehingga wajar ia menggetarkan lebih dari separuh pulau Jawa, mengejutkan penduduk setempat yang sebagian besar sudah terlelap. Dalam catatan sistem otomatis PAGER (Prompt Assessment of Global Earthquakes for Response) dari USGS (BMKG-nya Amerika Serikat), getaran gempa ini membangunkan setidaknya 63 juta jiwa dari tidur lelapnya dengan getaran keras mulai dari intensitas 4 MMI (Modified Mercalli Intensity). Getaran 4 MMI adalah getaran yang setara dengan getaran yang kita rasakan saat berada di pinggir jalan dan sebuah truk tronton yang melintas mendadak menubruk bangunan di seberang. Jumlah 63 juta jiwa itu setara dengan lebih dari seperempat penduduk Indonesia. Di antara jumlah itu sekitar 580 ribu diantaranya merasakan getaran terkeras, yakni 6 MMI, yang bisa berdampak pada kerusakan ringan dan jatuhnya benda-benda yang digantung.
Nir-tsunami
Meski secara umum getaran maksimum akibat gempa ini adalah 6 MMI, namun rupanya gempa ini tetap berdampak jatuhnya korban dan kerusakan. Rilis BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan hingga dua hari pasca gempa tercatat 1.905 rumah rusak ringan dan 579 rumah rusak sedang. Terdapat pula 451 rumah yang rusak berat, meliputi ambruk sebagian maupun keseluruhan. Selain kerusakan bangunan juga terdapat korban manusia, meliputi 4 orang tewas, 11 orang luka berat dan 25 orang luka ringan. Salah satu korban tewas bahkan tinggal di kota Pekalongan yang berjarak 150 kilometer lebih dari episentrum. Kerusakan-kerusakan ini bisa berarti dua hal: terjadi penguatan getaran (amplifikasi) akibat kondisi tanah lokal, atau bangunan-bangunan tersebut memang bermutu buruk sehingga getaran sedikit saja sudah merusaknya.
Karena dalam rilis awalnya magnitudo gempa ini adalah 7,3 maka sistem peringatan dini tsunami BMKG di bawah payung InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) pun teraktifkan. Melalui pemodelan matematis semi-otomatis yang berbasis masukan parameter gempa (magnitudo, koordinat episentrum, kedalaman sumber, jenis pematahan sumber gempa), maka sistem InaTEWS menerbitkan peringatan dini bagi sebagian pesisir selatan pulau Jawa, mulai dari Kab. Sukabumi di ujung barat hingga Kab. Bantul di ujung timur.
Dari garis pantai sepanjang itu sebagian besar diantaranya berstatus Waspada (zona kuning) karena memiliki perkiraan tinggi tsunami maksimal 0,5 meter. Status waspada ini meliputi pesisir Kab . Kulonprogo, Kab. Purworejo, Kab. Kebumen, Kab. Cilacap, Kota. Cilacap dan Kab. Garut. Sementara sebagian kecil diantaranya berstatus Siaga (zona jingga) dengan perkiraan tinggi tsunami antara 0,5 hingga 3 meter. Status siaga ini meliputi pesisir Kab. Ciamis dan Kab. Tasikmalaya.
Saat sistem InaTEWS menyatakan status Waspada untuk suatu daerah, penduduk yang tinggal di kawasan pesisir daerah itu sesungguhnya tak perlu mengungsi. Cukup menjauhi garis pantai dan tepi sungai. Evakuasi baru dilaksanakan bilamana sistem InaTEWS menyatakan status Siaga, terutama untuk penduduk yang bertempat tinggal di dalam zona merah dalam peta bahaya tsunami sebuah kabupaten/kota. Akan tetapi dalam kejadian Gempa Tasikmalaya 25 Desember 2017, penduduk yang ada di pesisir berstatus Waspada pun mengungsi. Misalnya seperti di Cilacap. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, sosialiasi kewaspadaan tsunami mungkin belum intensif terutama ke para pengambil keputusan. Sehingga informasi tentang tingkatan-tingkatan status InaTEWS dan implikasi setiap tingkat status bagi proses evakuasi penduduk setempat belum diterima dengan baik. Dan yang kedua, perasaan traumatik mungkin lebih mengemuka dalam benak publik setempat, mengingat kosakata tsunami senantiasa terhubung dengan kejadian bencana Gempa akbar Sumatra Andaman 26 Desember 2004 (magnitudo 9,3) yang melumat Aceh serta bencana Gempa Pangandaran 17 Juli 2006.
Hingga dua jam pascagempa tidak terdeteksi usikan khas tsunami pada paras air laut di stasiun-stasiun pasang surut pesisir selatan pulau Jawa. Sehingga disimpulkan Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 tidak memproduksi tsunami. Karena itu peringatan dini tsunami pun dicabut sesuai prosedur. Ketiadaan tsunami dalam gempa ini tidak mengejutkan mengingat sumbernya yang cukup dalam. Meski demikian peringatan dini tsunami tetap dibutuhkan dalam kejadian seperti ini, karena berdasarkan pengalaman, tsunami di pesisir selatan pulau Jawa tak hanya murni bersumber dari kejadian gempanya sendiri (dalam bentuk deformasi dasar laut setempat). Namun juga bisa disebabkan oleh dampak ikutan dalam bentuk longsoran besar dasar laut sekitar sumber gempa (yang amat sulit diprediksi).
Ilmu kegempaan mengenal apa yang disebut gempa-senyap (slow earthquake atau tsunami earthquake), yakni gempa dengan getaran yang tak terasa ringan namun kemudian disusul terjangan tsunami cukup merusak. Atau dalam istilah formalnya gempa yang memproduksi tsunami dengan magnitudo tsunami jauh lebih besar ketimbang magnitudo gempanya sendiri. Dan pesisir selatan pulau Jawa telah mengalami kejadian gempa-senyap semacam ini hingga dua kali. Masing-masing dalam kejadian Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 dan gempa Pangandaran 17 Juli 2006. Sementara pada saat ini belum ada satu institusi geofisika pun yang bisa memodelkan sifat-sifat tsunami yang diproduksi sebuah kejadian gempa-senyap. Sehingga membangkitkan kewaspadaan terhadap tsunami (melalui kabar peringatan dini tsunami) dalam kejadian gempa besar yang episentrumnya di dasar laut adalah dipandang lebih baik.
Intralempeng
Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 bersumber dari pematahan anjak miring (oblique thrust) pada kedalaman sekitar 100 kilometer. Sumber gempanya, berdasarkan analisis back-projection oleh IRIS (Incorporated Research Institutions for Seismology) adalah segmen batuan sepanjang sekitar 50 kilometer dengan lebar sekitar 25 kilometer yang melenting sejauh (rata-rata) 0,8 meter. Tebal kerak bumi yang menjadi landasan pulau Jawa adalah 30 kilometer. Sehingga hampir pasti sumber gempa tersebut bukanlah di zona subduksi. Melainkan hanya dari bagian lempeng Australia saja yang telah menelusup di bawah pulau Jawa. Gempa yang semacam ini disebut gempa intralempeng (intraslab earthquake).
Kita telah mengenal gempa yang bersumber dari zona subduksi yang kadang disebut pula gempa antarlempeng, meski kosakata ini tidak begitu populer. Pada zona subduksi, dua lempeng tektonik yang berinteraksi saling bersentuhan, menghasilkan bidang kontak yang pada dasarnya adalah sebuah zona sesar anjak nan panjang dan besar (megathrust). Di pulau Jawa, zona subduksi dibentuk oleh interaksi mikrolempeng Sunda (bagian dari lempeng Eurasia) dan lempeng Australia. Banyak gempa legendaris lahir dari zona ini, yang kerap memproduksi tsunami manakala magnitudonya cukup besar. Termasuk Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 (magnitudo 7,8) dan Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 (magnitudo 7,7). Selain itu kita juga mengenal gempa di daratan, yang tidak bersumber dari zona subduksi dan mempunyai sumber sangat dangkal. Misalnya Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 di pulau Jawa, maupun Gempa Pidie Jaya 7 Desember 2016 (magnitudo 6,5) di pulau Sumatra.
Dalam kedua jenis gempa tersebut sejumlah ciri khasnya telah kita ketahui. Misalnya deformasi kerak buminya, yang di era modern diukur melalui radas GPS (Global Positioning Systems) berketelitian tinggi. Dengan demikian bagaimana pergerakan titik-titik paras bumi di zona subduksi maupun di sekitar suatu sesar aktif dapat diketahui. Termasuk apakah zona subduksi/sesar aktif tersebut sedang menumpuk energi yang siap dilepaskan dalam peristiwa gempa mendatang. Sejarah kegempaannya pada suatu rentang waktu tertentu (misalnya selama 1.000 tahun) juga dapat diketahui, misalnya berdasarkan jejak-jejak yang tertinggal dalam tanah sekitar sesar tersebut maupun pada pola pertumbuhan khas mikroatol di pantai/pulau-pulau kecl zona subduksi. Meski prediksi kejadian gempa bumi berketilian tinffi masih jauh dari harapan ilmu pengetahuan masa kini, namun berbekal informasi-informasi tersebut maka bagaimana potensi kejadian gempa bumi berikut dengan magnitudo maksimum tertentu pada suatu daerah bisa dideduksi.
‘Kemewahan seismik’ semacam itu tidak dimiliki gempa intralempeng. Misalnya, bagaimana mau mengetahui deformasi kerak jika sumber gempanya saja sedalam 100 kilometer? Juga bagaimana bisa mengetahui sejarah kegempaannya jika si intra ini tak meninggalkan jejak khas di paras Bumi? Celakanya, di sisi lain si intra juga kerap mendatangkan korban manusia dan kerugian materi yang cukup besar. Terutama tatkala ia merupakan gempa besar.
Dalam sejarah masakini, gempa intralempeng yang paling banyak merenggut korban di Indonesia adalah Gempa Padang 30 September 2009 (magnitudo 7,6). Bersumber dari kedalaman 76 kilometer, getaran kerasnya merenggut nyawa lebih dari 1.100 orang. Sementara hampir 3.000 orang dibuat luka-luka dengan ratusan ribu rumah dirusakkannya. Bagi pulau Jawa, nestapa serupa dalam skala dan angka yang lebih kecil terjadi saat meletup Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 (magnitudo 7). Episentrumnya berdekatan dengan Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017, namun sumbernya lebih dangkal (yakni kedalaman 50 kilometer). Sehingga getaran kerasnya menewaskan 79 orang dengan ratusan orang lainnya luka-luka serta merusak belasan ribu rumah. Beruntung bahwa sejumlah gempa intralempeng lainnya di pulau Jawa, misalnya Gempa Laut Jawa 7 Agustus 2007 (magnitudo 7,5 kedalaman sumber 290 kilometer) dan Gempa Kebumen 25 Januari 2014 (magnitudo 6,2 kedalaman 79 kilometer) tidak berdampak berarti.
Apa yang menggelisahkan dari kisah-kisah gempa intralempeng adalah kejadian seperti ini bukan hanya di masa kini saja. Di masa silam, ada sejumlah indikasi bahwa si intra telah berulang-ulang terjadi di pulau Jawa. Dan memproduksi dampak cukup merusak untuk ukuran zamannya. Misalnya saja Gempa Jakarta 5 Januari 1699. Analisis Geoscience Australia memperlihatkan gempa besar ini mungkin merupakan gempa intralempeng dengan magnitudo 8 yang bersumber dari kedalaman 120 kilometer. Sumber gempanya sendiri membentang mulai dari bawah Bogor hingga Anyer (sepanjang 140 kilometer). Gempa ini menghasilkan getaran sangat keras di sekujur pantai utara Banten, Jakarta dan Jawa Barat dengan prakiraan intensitas getaran 7 hingga 9 MMI. Padahal getaran berintensitas 8 MMI saja sudah cukup kuat untuk menyebabkan kehancuran menyeluruh bangunan-bangunan masakini di sebuah pusat pemukiman di Indonesia.
Demikian halnya Gempa Yogyakarta 10 Juni 1867. Analisis yang sama menunjukkan gempa besar ini mungkin merupakan gempa intralempeng dengan magnitudo 7,7 yang bersumber dari kedalaman 105 kilometer. Sumber gempanya membentang mulai dari bawah Cilacap hingga Kediri (sepanjang 350 kilometer). Gempa ini menghasilkan getaran sangat keras di sekujur pantai selatan Jawa Tengah, DIY dan sebagian Jawa Timur. Prakiraan intensitas getaran di sepanjang daerah itu antara 7 hingga 9 MMI. Korban jiwa yang jatuh di Yogyakarta saja mencapai 500 orang lebih.
Apa yang akan terjadi bilamana gempa serupa meletup pada masa kini di lokasi yang sama? Analisis lanjutan berbasis perangkat lunak InaSAFE yang dikembangkan BNPB memperlihatkan, jika Gempa Jakarta 5 Januari 1699 terjadi dengan parameter persis sama, potensi korban jiwa yang dapat direnggutnya mencapai 100.000 orang. Sementara tak kurang dari 76 juta jiwa lainnya berpotensi menjadi pengungsi akibat rusak hingga hancurnya rumah-rumah penduduk. Di sisi lain bila gempa serupa Gempa Yogyakarta 10 Juni 1867 yang terjadi, potensi korban jiwanya bisa mencapai 60.000 orang. Sedangkan potensi jumlah pengungsi akibat rusaknya rumah-rumah penduduk jauh lebih besar, yakni bisa mencapai 125 juta jiwa.
Jelas sudah, gempa intralempeng bisa mendatangkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar. Dan bila gempa besar dari zona subduksi hanya akan berdampak pada sisi selatan pulau Jawa saja, baik dalam hal getaran maupun tsunaminya, getaran akibat gempa besar dari gempa intralempeng akan berdampak baik di sisi selatan maupun sisi utara pulau Jawa. Sehingga seluruh pulau ini menjadi sama rentannya.
Referensi :
BMKG. 2017. Magnitudo 6.9 SR, 11 km Baratdaya Kab. Tasikmalaya-Jabar 15-Dec-2017 Jam 23:47:58 WIB, diakses 16 Desember 2017 TU.
USGS. 2017. M 6.5 – 0km ESE of Cipatujah, Indonesia, PAGER, diakses 16 Desember 2017 TU.
IRIS. 2017. Back Projections for Mww 6.5 Java, Indonesia, diakses 17 Desember 2017 TU.
Nguyen et.al. 2015. Indonesia’s Historical Earthquakes, Modelled Examples for Improving the National Hazard Map. Record 2015/23. Geoscience Australia, Canberra.