Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 dan Narasi Gempa Intralempeng Merentang Masa

Gempa (nyaris) besar itu meletup tatkala hari Jumat 15 Desember 2017 TU (Tarikh Umum) hampir menutup. Getaran utamanya terjadi pada pukul 23:48 WIB pada suatu titik di pesisir Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya (Jawa Barat). Rilis awal BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) menempatkan magnitudonya 7,3 yang kemudian diperbaiki lewat rilis pembaharuan menjadi magnitudo 6,9. Pembaharuan magnitudo sebuah gempa adalah hal wajar, biasa dilakukan oleh institusi-institusi geofisika dimanapun. Gempa dengan magnitudo 7 atau lebih tergolong gempa besar, sehingga Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 (begitu mudahnya kita namakan) tergolong gempa (nyaris) besar. Dibandingkan Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 (magnitudo 6,4) maka gempa ini 6 kali lebih energetik.

Gambar 1. Peta intensitas getaran akibat Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017. Angka II, III dan seterusnya menunjukkan intensitas getaran (masing-masing 2 MMI, 3 MMI dan seterusnya). Tanda bintang menunjukkan episentrum gempa sekaligus lokasi intensitas maksimum (6 MMI). Sumber: USGS/PAGER, 2017.

Sumber gempa terletak pada kedalaman sekitar 100 kilometer. Sehingga wajar ia menggetarkan lebih dari separuh pulau Jawa, mengejutkan penduduk setempat yang sebagian besar sudah terlelap. Dalam catatan sistem otomatis PAGER (Prompt Assessment of Global Earthquakes for Response) dari USGS (BMKG-nya Amerika Serikat), getaran gempa ini membangunkan setidaknya 63 juta jiwa dari tidur lelapnya dengan getaran keras mulai dari intensitas 4 MMI (Modified Mercalli Intensity). Getaran 4 MMI adalah getaran yang setara dengan getaran yang kita rasakan saat berada di pinggir jalan dan sebuah truk tronton yang melintas mendadak menubruk bangunan di seberang. Jumlah 63 juta jiwa itu setara dengan lebih dari seperempat penduduk Indonesia. Di antara jumlah itu sekitar 580 ribu diantaranya merasakan getaran terkeras, yakni 6 MMI, yang bisa berdampak pada kerusakan ringan dan jatuhnya benda-benda yang digantung.

Nir-tsunami

Meski secara umum getaran maksimum akibat gempa ini adalah 6 MMI, namun rupanya gempa ini tetap berdampak jatuhnya korban dan kerusakan. Rilis BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan hingga dua hari pasca gempa tercatat 1.905 rumah rusak ringan dan 579 rumah rusak sedang. Terdapat pula 451 rumah yang rusak berat, meliputi ambruk sebagian maupun keseluruhan. Selain kerusakan bangunan juga terdapat korban manusia, meliputi 4 orang tewas, 11 orang luka berat dan 25 orang luka ringan. Salah satu korban tewas bahkan tinggal di kota Pekalongan yang berjarak 150 kilometer lebih dari episentrum. Kerusakan-kerusakan ini bisa berarti dua hal: terjadi penguatan getaran (amplifikasi) akibat kondisi tanah lokal, atau bangunan-bangunan tersebut memang bermutu buruk sehingga getaran sedikit saja sudah merusaknya.

Gambar 2. Prakiraan sumber Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 berdasarkan analisis back-projection pada frekuensi antara 0,05 Hertz hingga 0,25 Hertz dari stasiun-stasiun seismometer di seluruh penjuru dalam jaringan IRIS. Nampak sumber gempa cenderung mngarah ke timurlaut. Sumber: IRIS, 2017.

Karena dalam rilis awalnya magnitudo gempa ini adalah 7,3 maka sistem peringatan dini tsunami BMKG di bawah payung InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) pun teraktifkan. Melalui pemodelan matematis semi-otomatis yang berbasis masukan parameter gempa (magnitudo, koordinat episentrum, kedalaman sumber, jenis pematahan sumber gempa), maka sistem InaTEWS menerbitkan peringatan dini bagi sebagian pesisir selatan pulau Jawa, mulai dari Kab. Sukabumi di ujung barat hingga Kab. Bantul di ujung timur.

Dari garis pantai sepanjang itu sebagian besar diantaranya berstatus Waspada (zona kuning) karena memiliki perkiraan tinggi tsunami maksimal 0,5 meter. Status waspada ini meliputi pesisir Kab . Kulonprogo, Kab. Purworejo, Kab. Kebumen, Kab. Cilacap, Kota. Cilacap dan Kab. Garut. Sementara sebagian kecil diantaranya berstatus Siaga (zona jingga) dengan perkiraan tinggi tsunami antara 0,5 hingga 3 meter. Status siaga ini meliputi pesisir Kab. Ciamis dan Kab. Tasikmalaya.

Gambar 3. Atas: rekaman paras air laut pada stasiun pasang surut di pulau Christmas (Australia) pada hari terjadinya Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 (magnitudo 6,9). Bawah: rekaman serupa di stasiun pasang surut pada pelabuhan Padang (Sumatra Barat) pada hari terjadi Gempa Padang 30 September 2009 (magnitudo 7,6). Garis hitam vertikal menunjukkan waktu kejadian gempa bumi di lokasi masing-masing. Perhatikan dinamika paras air laut di Cilacap tidak mengandung usikan khas tsunami (kecil) sebagaimana di Padang. Sumber: IOC, 2017.

Saat sistem InaTEWS menyatakan status Waspada untuk suatu daerah, penduduk yang tinggal di kawasan pesisir daerah itu sesungguhnya tak perlu mengungsi. Cukup menjauhi garis pantai dan tepi sungai. Evakuasi baru dilaksanakan bilamana sistem InaTEWS menyatakan status Siaga, terutama untuk penduduk yang bertempat tinggal di dalam zona merah dalam peta bahaya tsunami sebuah kabupaten/kota. Akan tetapi dalam kejadian Gempa Tasikmalaya 25 Desember 2017, penduduk yang ada di pesisir berstatus Waspada pun mengungsi. Misalnya seperti di Cilacap. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, sosialiasi kewaspadaan tsunami mungkin belum intensif terutama ke para pengambil keputusan. Sehingga informasi tentang tingkatan-tingkatan status InaTEWS dan implikasi setiap tingkat status bagi proses evakuasi penduduk setempat belum diterima dengan baik. Dan yang kedua, perasaan traumatik mungkin lebih mengemuka dalam benak publik setempat, mengingat kosakata tsunami senantiasa terhubung dengan kejadian bencana Gempa akbar Sumatra Andaman 26 Desember 2004 (magnitudo 9,3) yang melumat Aceh serta bencana Gempa Pangandaran 17 Juli 2006.

Hingga dua jam pascagempa tidak terdeteksi usikan khas tsunami pada paras air laut di stasiun-stasiun pasang surut pesisir selatan pulau Jawa. Sehingga disimpulkan Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 tidak memproduksi tsunami. Karena itu peringatan dini tsunami pun dicabut sesuai prosedur. Ketiadaan tsunami dalam gempa ini tidak mengejutkan mengingat sumbernya yang cukup dalam. Meski demikian peringatan dini tsunami tetap dibutuhkan dalam kejadian seperti ini, karena berdasarkan pengalaman, tsunami di pesisir selatan pulau Jawa tak hanya murni bersumber dari kejadian gempanya sendiri (dalam bentuk deformasi dasar laut setempat). Namun juga bisa disebabkan oleh dampak ikutan dalam bentuk longsoran besar dasar laut sekitar sumber gempa (yang amat sulit diprediksi).

Gambar 4. Bagaimana tsunami menerjang kolam PLTU Bunton (Cilacap) seperti terekam kamera sirkuit tertutup (CCTV) menyusul peristiwa Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 (magnitudo 7,7). Gempa ini bertipe gempa-senyap sehingga memproduksi tsunami yang kelewat besar dibanding seharusnya. Sistem peringatan dini tsunami salah satunya untuk mengantisipasi kejadian semacam ini. Sumber: PLTU Bunton, 2006 dalam Lavigne dkk, 2007.

Ilmu kegempaan mengenal apa yang disebut gempa-senyap (slow earthquake atau tsunami earthquake), yakni gempa dengan getaran yang tak terasa ringan namun kemudian disusul terjangan tsunami cukup merusak. Atau dalam istilah formalnya gempa yang memproduksi tsunami dengan magnitudo tsunami jauh lebih besar ketimbang magnitudo gempanya sendiri. Dan pesisir selatan pulau Jawa telah mengalami kejadian gempa-senyap semacam ini hingga dua kali. Masing-masing dalam kejadian Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 dan gempa Pangandaran 17 Juli 2006. Sementara pada saat ini belum ada satu institusi geofisika pun yang bisa memodelkan sifat-sifat tsunami yang diproduksi sebuah kejadian gempa-senyap. Sehingga membangkitkan kewaspadaan terhadap tsunami (melalui kabar peringatan dini tsunami) dalam kejadian gempa besar yang episentrumnya di dasar laut adalah dipandang lebih baik.

Intralempeng

Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017 bersumber dari pematahan anjak miring (oblique thrust) pada kedalaman sekitar 100 kilometer. Sumber gempanya, berdasarkan analisis back-projection oleh IRIS (Incorporated Research Institutions for Seismology) adalah segmen batuan sepanjang sekitar 50 kilometer dengan lebar sekitar 25 kilometer yang melenting sejauh (rata-rata) 0,8 meter. Tebal kerak bumi yang menjadi landasan pulau Jawa adalah 30 kilometer. Sehingga hampir pasti sumber gempa tersebut bukanlah di zona subduksi. Melainkan hanya dari bagian lempeng Australia saja yang telah menelusup di bawah pulau Jawa. Gempa yang semacam ini disebut gempa intralempeng (intraslab earthquake).

Gambar 5. Penampang pulau Jawa yang disederhanakan dengan lempeng Australia mendesak dari selatan (panah kuning). Nampak posisi suatu sumber gempa intralempeng (tanda bintang) dalam lempeng Australia yang melekuk ke lapisan mantel. Gelombang gempa intralempeng ini merambat lewat medium padat (panah merah) dan medium plastis (panah putih). Sumber: Sudibyo, 2016.

Kita telah mengenal gempa yang bersumber dari zona subduksi yang kadang disebut pula gempa antarlempeng, meski kosakata ini tidak begitu populer. Pada zona subduksi, dua lempeng tektonik yang berinteraksi saling bersentuhan, menghasilkan bidang kontak yang pada dasarnya adalah sebuah zona sesar anjak nan panjang dan besar (megathrust). Di pulau Jawa, zona subduksi dibentuk oleh interaksi mikrolempeng Sunda (bagian dari lempeng Eurasia) dan lempeng Australia. Banyak gempa legendaris lahir dari zona ini, yang kerap memproduksi tsunami manakala magnitudonya cukup besar. Termasuk Gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 (magnitudo 7,8) dan Gempa Pangandaran 17 Juli 2006 (magnitudo 7,7). Selain itu kita juga mengenal gempa di daratan, yang tidak bersumber dari zona subduksi dan mempunyai sumber sangat dangkal. Misalnya Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 di pulau Jawa, maupun Gempa Pidie Jaya 7 Desember 2016 (magnitudo 6,5) di pulau Sumatra.

Dalam kedua jenis gempa tersebut sejumlah ciri khasnya telah kita ketahui. Misalnya deformasi kerak buminya, yang di era modern diukur melalui radas GPS (Global Positioning Systems) berketelitian tinggi. Dengan demikian bagaimana pergerakan titik-titik paras bumi di zona subduksi maupun di sekitar suatu sesar aktif dapat diketahui. Termasuk apakah zona subduksi/sesar aktif tersebut sedang menumpuk energi yang siap dilepaskan dalam peristiwa gempa mendatang. Sejarah kegempaannya pada suatu rentang waktu tertentu (misalnya selama 1.000 tahun) juga dapat diketahui, misalnya berdasarkan jejak-jejak yang tertinggal dalam tanah sekitar sesar tersebut maupun pada pola pertumbuhan khas mikroatol di pantai/pulau-pulau kecl zona subduksi. Meski prediksi kejadian gempa bumi berketilian tinffi masih jauh dari harapan ilmu pengetahuan masa kini, namun berbekal informasi-informasi tersebut maka bagaimana potensi kejadian gempa bumi berikut dengan magnitudo maksimum tertentu pada suatu daerah bisa dideduksi.

Gambar 6. Diagram sederhana mekanisme pembentukan gempa pada zona subduksi, khususnya gempa besar/akbar. Bagian lempeng yang terdesak sebelum gempa dan lantas melenting begitu gempa terjadi bisa diukur melalui radas GPS maupun karang mikroatol, ‘kemewahan’ yang tak dimiliki gempa intralempeng. Sumber: Sudibyo, 2014.

‘Kemewahan seismik’ semacam itu tidak dimiliki gempa intralempeng. Misalnya, bagaimana mau mengetahui deformasi kerak jika sumber gempanya saja sedalam 100 kilometer? Juga bagaimana bisa mengetahui sejarah kegempaannya jika si intra ini tak meninggalkan jejak khas di paras Bumi? Celakanya, di sisi lain si intra juga kerap mendatangkan korban manusia dan kerugian materi yang cukup besar. Terutama tatkala ia merupakan gempa besar.

Dalam sejarah masakini, gempa intralempeng yang paling banyak merenggut korban di Indonesia adalah Gempa Padang 30 September 2009 (magnitudo 7,6). Bersumber dari kedalaman 76 kilometer, getaran kerasnya merenggut nyawa lebih dari 1.100 orang. Sementara hampir 3.000 orang dibuat luka-luka dengan ratusan ribu rumah dirusakkannya. Bagi pulau Jawa, nestapa serupa dalam skala dan angka yang lebih kecil terjadi saat meletup Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 (magnitudo 7). Episentrumnya berdekatan dengan Gempa Tasikmalaya 15 Desember 2017, namun sumbernya lebih dangkal (yakni kedalaman 50 kilometer). Sehingga getaran kerasnya menewaskan 79 orang dengan ratusan orang lainnya luka-luka serta merusak belasan ribu rumah. Beruntung bahwa sejumlah gempa intralempeng lainnya di pulau Jawa, misalnya Gempa Laut Jawa 7 Agustus 2007 (magnitudo 7,5 kedalaman sumber 290 kilometer) dan Gempa Kebumen 25 Januari 2014 (magnitudo 6,2 kedalaman 79 kilometer) tidak berdampak berarti.

Gambar 7. Peta prakiraan intensitas getaran Gempa Jakarta 5 Januari 1699 (magnitudo 8) yang merupakan gempa intralempeng (sumber kedalaman 120 kilometer). Lingkaran-lingkaran menunjukkan intensitas getaran di satu tempat, yang diderivasikan dari dampak kerusakan. Nampak pesisir utara Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat menderita getaran terparah (intensitas 7 hingga 9 MMI). Jika gempa serupa terjadi di masakini, korban jiwa bisa mencapai 100.000 orang dengan 76 juta jiwa mengungsi. Sumber: Geoscience Australia, 2015.

Apa yang menggelisahkan dari kisah-kisah gempa intralempeng adalah kejadian seperti ini bukan hanya di masa kini saja. Di masa silam, ada sejumlah indikasi bahwa si intra telah berulang-ulang terjadi di pulau Jawa. Dan memproduksi dampak cukup merusak untuk ukuran zamannya. Misalnya saja Gempa Jakarta 5 Januari 1699. Analisis Geoscience Australia memperlihatkan gempa besar ini mungkin merupakan gempa intralempeng dengan magnitudo 8 yang bersumber dari kedalaman 120 kilometer. Sumber gempanya sendiri membentang mulai dari bawah Bogor hingga Anyer (sepanjang 140 kilometer). Gempa ini menghasilkan getaran sangat keras di sekujur pantai utara Banten, Jakarta dan Jawa Barat dengan prakiraan intensitas getaran 7 hingga 9 MMI. Padahal getaran berintensitas 8 MMI saja sudah cukup kuat untuk menyebabkan kehancuran menyeluruh bangunan-bangunan masakini di sebuah pusat pemukiman di Indonesia.

Demikian halnya Gempa Yogyakarta 10 Juni 1867. Analisis yang sama menunjukkan gempa besar ini mungkin merupakan gempa intralempeng dengan magnitudo 7,7 yang bersumber dari kedalaman 105 kilometer. Sumber gempanya membentang mulai dari bawah Cilacap hingga Kediri (sepanjang 350 kilometer). Gempa ini menghasilkan getaran sangat keras di sekujur pantai selatan Jawa Tengah, DIY dan sebagian Jawa Timur. Prakiraan intensitas getaran di sepanjang daerah itu antara 7 hingga 9 MMI. Korban jiwa yang jatuh di Yogyakarta saja mencapai 500 orang lebih.

Gambar 8. Peta prakiraan intensitas getaran Gempa Yogyakarta 10 Juni 1867 (magnitudo 7,7) yang merupakan gempa intralempeng (sumber kedalaman 105 kilometer). Lingkatan-lingkaran menunjukkan intensitas getaran di satu tempat, yang diderivasikan dari dampak kerusakan. Nampak pesisir selatan Jawa Tengah, DIY dan sebagian Jawa Timur menderita getaran terparah (intensitas 7 hingga 9 MMI). Jika gempa serupa terjadi di masakini, korban jiwa bisa mencapai 60.000 orang dengan 125 juta jiwa mengungsi. Sumber: Geoscience Australia, 2015.

Apa yang akan terjadi bilamana gempa serupa meletup pada masa kini di lokasi yang sama? Analisis lanjutan berbasis perangkat lunak InaSAFE yang dikembangkan BNPB memperlihatkan, jika Gempa Jakarta 5 Januari 1699 terjadi dengan parameter persis sama, potensi korban jiwa yang dapat direnggutnya mencapai 100.000 orang. Sementara tak kurang dari 76 juta jiwa lainnya berpotensi menjadi pengungsi akibat rusak hingga hancurnya rumah-rumah penduduk. Di sisi lain bila gempa serupa Gempa Yogyakarta 10 Juni 1867 yang terjadi, potensi korban jiwanya bisa mencapai 60.000 orang. Sedangkan potensi jumlah pengungsi akibat rusaknya rumah-rumah penduduk jauh lebih besar, yakni bisa mencapai 125 juta jiwa.

Jelas sudah, gempa intralempeng bisa mendatangkan kerusakan dan kerugian yang cukup besar. Dan bila gempa besar dari zona subduksi hanya akan berdampak pada sisi selatan pulau Jawa saja, baik dalam hal getaran maupun tsunaminya, getaran akibat gempa besar dari gempa intralempeng akan berdampak baik di sisi selatan maupun sisi utara pulau Jawa. Sehingga seluruh pulau ini menjadi sama rentannya.

Referensi :

BMKG. 2017. Magnitudo 6.9 SR, 11 km Baratdaya Kab. Tasikmalaya-Jabar 15-Dec-2017 Jam 23:47:58 WIB, diakses 16 Desember 2017 TU.

USGS. 2017. M 6.5 – 0km ESE of Cipatujah, Indonesia, PAGER, diakses 16 Desember 2017 TU.

IRIS. 2017. Back Projections for Mww 6.5 Java, Indonesia, diakses 17 Desember 2017 TU.

Nguyen et.al. 2015. Indonesia’s Historical Earthquakes, Modelled Examples for Improving the National Hazard Map. Record 2015/23. Geoscience Australia, Canberra.

Asteroid Phaethon yang Lewat Dekat dan Hujan Meteor Terderas

Harinya hari Minggu 17 Desember 2017 TU (Tarikh Umum), jamnya jam 06:00 WIB. Itulah kala sebongkah batu raksasa yang luar biasa berada pada titik terdekatnya dengan Bumi kita dalam perjalanannya mengembara angkasa sebagai anggota tata surya. Jaraknya ke Bumi kita saat itu adalah 10,3 juta kilometer. Atau nyaris 27 kali lebih jauh ketimbang posisi Bulan (rata-rata). Untuk ukuran kita manusia, jarak ini tergolong jauh. Namun dalam perspektif astronomi, mendekatnya bongkah batu raksasa ini tergolong ‘sangat dekat.’ Untungnya ia tak membawa potensi bahaya (baca : tumbukan kosmik dengan Bumi), setidaknya hingga 400 tahun ke depan.

Gambar 1. Wajah buram asteroid Phaethon saat melintas di dekat Bumi pada 10 Desember 2007 TU silam pada jarak 18 juta kilometer dalam citra radar dari teleskop radio Arecibo di Puerto Rico (AS). Gangguan instrumen dan pendeknya waktu pengamatan membuat resolusi citra cukup rendah dan penuh derau (noise). Garis putus-putus ditambahkan untuk menyajikan kesan bentuk asteroid. Sumber: Arecibo/Cornell, 2007 dalam Sky & Telescope, 2017.

Bongkah batu segedhe gunung itu bernama asteroid Phaethon, formalnya (3200) Phaethon. Angka 3200 adalah nomor urut asteroid tersebut berdasarkan tatanama IAU (International Astronomical Union). Diameternya 5,1 kilometer. Jika bentuknya dianggap berbentuk bola sempurna dan strukturnya batuan (dengan massa jenis antara 2 hingga 4 gram/cm3), maka massanya antara 139 hingga 278 milyar ton. Saat melintas pada titik terdekatnya, asteroid Phaethon melesat dengan kecepatan hampir 115.000 km/jam. Sehingga ia mengangkut energi potensial sebesar antara 19 juta hingga 38 juta megaton TNT. Itu setara dengan 1,3 milyar hingga 2,6 milyar butir bom nuklir Hiroshima yang diledakkan serentak. Beruntung asteroid ini tidak meluncur menuju Bumi dalam perjalanannya, karena pelepasan energi sebesar itu di Bumi akan berujung pada malapetaka kehidupan yang amat kolossal berskala global. Peristiwa semacam itu terakhir terjadi pada 65 juta tahun silam yang menyapu bersih kehidupan kawanan dinosaurus.

Aasteroid Phaethon kerap dijuluki asteroid aneh karena dua alasan. Pertama, karena bentuk orbitnya yang demikian lonjong membuatnya memintas empat orbit planet sekaligus. Dan yang kedua, karena hingga sejauh ini asteroid Phaethon adalah satu diantara hanya dua asteroid yang menjadi induk dari peristiwa hujan meteor utama. Dalam hal ini asteroid Phaethon adalah sumber dari peristiwa hujan meteor Geminids yang aktif setiap bulan Desember. Sementara asteroid satunya lagi, yakni asteroid (196256) 2003 EH, adalah sumber hujan meteor Quadrantids yang aktif setiap bulan Januari.

Asteroid Phaethon ditemukan pada 11 Oktober 1983 TU melalui observasi teleskop landas-antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite). Adalah duo astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang pertama menyaksikannya kala menganalisis citra-citra bidikan IRAS untuk mencari benda-benda langit yang bergerak relatif cepat. Penemuan ini sekaligus menjadikan Phaethon sebagai asteroid pertama yang ditemukan lewat teleskop landas-antariksa. Asteroid-asteroid yang ditemukan sebelumnya melulu merupakan produk observasi landas-bumi.

Sedari awal disadari asteroid Phaethon adalah unik. Orbitnya sangat lonjong dengan kelonjongan orbit (eksentrisitas) sebesar 0,889. Perihelionnya saja hanya sejarak 0,14 SA (satuan astronomi) atau 21 juta kilometer dari Matahari. Ini jauh lebih dekat ke sang surya ketimbang orbit Merkurius (0,4 SA). Sementara aphelionnya menjulur demikian jauh hingga sejarak 2,4 SA (359 juta kilometer) dari Matahari, atau sudah berada di dalam kawasan Sabuk Asteroid Utama yang menjadi kawasan hunian asteroid pada umumnya.

Dengan orbit begitu lonjong, yang tidak umum untuk kalangan asteroid namun sebaliknya banyak dijumpai di kalangan komet, ada dugaan bahwa asteroid Phaethon semula adalah komet. Setelah kehabisan materi mudah menguap ia lantas bertransformasi menjadi asteroid. amun ada pula yang menduga bahwa asteroid ini adalah salah satu bongkahan hasil pemecah-belahan asteroid yang lebih besar, yakni asteroid Pallas purba. Bongkahan terbesar dari asteroid purba itu masih ada pada saat ini sebagai asteroid Pallas (diameter 544 kilometer).

Orbit yang sangat lonjong juga membuat asteroid ini pada dasarnya memintas orbit empat planet sekaligus. Masing-masing orbit Merkurius, Venus, Bumi dan Mars. Untungnya inklinasi orbit Phaethon juga cukup besar, yakni 22,5º terhadap ekliptika. Sementara orbit planet-planet Merkurius, Venus, Bumi dan Mars mengumpul di bidang ekliptika. Karenanya potensi untuk berbenturan dengan salah satu planet tersebut adalah cukup kecil.

Gambar 2. Asteroid Phaethon saat berada di sekitar perihelionnya pada 2009 TU silam, diamati oleh satelit STEREO. Meski resolusinya cukup rendah, dapat dilihat bahwa Phaethon nampak lonjong. Garis-garis memperlihatkan kontur kelonjongan tersebut. Analisis menunjukkan bagian lonjong ini adalah ‘ekor’ Phaethon, yang merentang sepanjang 250.000 kilometer dengan massa total debu didalamnya mencapai 300 ton. Sumber: NASA/STEREO, 2013 dalam Sky & Telescope, 2017.

Asteroid Phaethon membutuhkan waktu 524 hari (1,43 tahun) untuk menyusuri orbitnya sekali putaran. Saat ia berada di sekitar perihelionnya, penyinaran Matahari sangat intensif memanasi pemukaannya demikian hebat hingga suhu parasnya mencapai lebih dari 700º Celcius. Ini hampir menyamai titik leleh beberapa logam tertentu. Sebagai akibatnya paras Phaethon menjadi retak-retak, persis seperti tanah sawah yang mengering retak-retak di musim kemarau. Retakan-retakan ini membuat debu-debu halus yang ada di bawah parasnya tersembur keluar seiring tekanan angin Matahari.

Fenomena inilah yang teramati melalui satelit pengamat Matahari STEREO pada 2009 TU dan 2012 TU silam. Meski digolongkan sebagai asteroid, saat itu Phaethon (yang sedang berada di dekat perihelionnya) menampakkan panorama mirip-komet dengan ekornya yang khas. Analisis memperlihatkan panjang ‘ekor’ Phaethon saat itu adalah 250.000 kilometer dengan massa total ‘ekor’ sekitar 300.000 kilogram (jika tersusun dari butir-butir debu berdiameter 1 mikron). Debu-debu inilah yang kelak di kemudian hari, melalui evolusi orbital nan dinamis, memasuki Bumi sebagai meteor-meteor Geminids.

Geminids

Hujan meteor adalah masuknya meteoroid seukuran debu hingga butir pasir dalam jumlah tertentu ke atmosfer Bumi pada rentang waktu tertentu yang tetap dalam setiap tahunnya. Ukuran meteoroid cukup kecil sehingga kala sudah masuk ke atmosfer Bumi, ia sepenuhnya habis tersublimasi pada ketinggian 70 hingga 90 kilometer sembari menyajikan pemandangan meteor. Kita di permukaan Bumi menyaksikan meteor-meteor tersebut seakan-akan datang dari satu titik yang terletak dalam rasi bintang tertentu. Itulah sebabnya nama hujan meteor mengacu kepada nama rasi bintang yang (seakan) menjadi titik kemunculannya.

Meteoroid-meteoroid dalam suatu hujan meteor umumnya merupakan remah-remah yang dilepaskan suatu komet tatkala mendekati Matahari dalam perjalanan menyusuri orbitnya. Tekanan angin Matahari memanasi paras inti komet sehingga retak-retak di bagian yang paling lemah. Akibatnya materi mudah menguap yang ada dibawahnya tersublimasi menjadi gas dan menyembur keluar sembari mengangkut butir-butir debu dan pasir, kadang malah bongkahan batu. Mekanisme ini serupa dengan letusan gunung berapi.

Gambar 3. Orbit asteroid Phaethon terhadap orbit keempat planet terdalam tata surya kita secara 3-dimensi. Nampak meski orbit asteroid ini memintas orbit keempat planet tersebut, besarnya inklinasi orbit Phaethon membuatnya membentuk sudut yang cukup besar terhadap bidang orbit keempat planet tersebut. Sehingga peluangnya untuk berbenturan dengan satu dari mereka menjadi sangat kecil. Sumber: Sky & Telescope, 2017.

Tekanan angin Matahari membuat gas yang tersembur lantas menuju arah berlawanan dengan Matahari. Sementara butir-butir debu dan pasir yang ikut tersembur terserak di lintasan komet sebagai remah-remah komet. Oleh gangguan gravitasi Bumi dan planet-planet tetangga, remah-remah komet ini lantas berevolusi secara dinamis. Bilamana orbit kometnya berdekatan dengan orbit Bumi, maka terbuka peluang remah-remah komet ini tertarik gravitasi Bumi sehingga memasuki atmosfer menjadi meteor.

Dari dua belas hujan meteor utama pada setiap tahunnya, dua diantaranya bersumber bukan dari remah-remah komet. Melainkan dari remah-remah asteroid. Hujan meteor Geminids adalah salah satunya. Disebut Geminids karena ia (seakan-akan) berasal dari rasi Gemini. Hujan meteor Geminids aktif setiap 4 hingga 17 Desember dengan puncaknya pada 13 dan 14 Desember. Pada puncaknya, meteor-meteor Geminids bisa sebanyak 120 meteor/jam, menjadikannya salah satu hujan meteor paling intensif selain Quadrantids dan Perseids. Meteor-meteor Geminids melesat secepat 35 km/detik. Dengan elemen orbital meteor rata-rata relatif sama dengan elemen orbital asteroid Phaethon, inilah bukti bahwa meteor-meteor Geminids berasal dari remah-remah asteroid tersebut.

Terdekat

Sebagai asteroid yang memintas orbit Bumi, jarak terdekat antara orbit asteroid Phaethon terhadap orbit Bumi atau MOID (minimum orbit intersection distance) adalah sebesar 2,9 juta kilometer. Dengan demikian asteroid Phaethon tergolong ke dalam kelompok asteroid berpotensi Bahaya bagi Bumi atau PHA (potentially hazardous asteroids) karena MOID-nya lebih kecil dari ambang batas 7,5 juta kilometer. Meski demikian dengan orbit yang telah diketahui cukup baik seiring rentang waktu pengamatan yang panjang, yakni 30 tahun lebih, maka telah diketahui bahwa tidak ada potensi bagi asteroid Phaethon untuk berbenturan dengan Bumi hingga kurun 400 tahun mendatang.

Gambar 4. Proyeksi lintasan asteroid Phaethon di paras Bumi pada 16-17 Desember 2017 TU waktu Indonesia, mulai dari pukul 23 WIB hingga 13 WIB hari berikutnya. Nampak titik terdekat asteroid ke Bumi ada di Samudera Atlantik bagian barat berdekatan dengan kawasan Karibia. Sumber: Sudibyo, 2017 berbasis NASA Solar System Dynamics, 2017.

Pada 17 Desember 2017 TU asteroid Phaethon akan berada pada jarak terdekatnya ke Bumi. Ini adalah jarak terdekat kedua bagi asteroid di sepanjang abad ini, setelah jarak terdekat pada 14 Desember 2093 TU kelak dimana saat itu Phaethon hanya berjarak 2,9 juta kilometer dari Bumi. Lintasan Phaethon tidak berpotongan dengan lintasan Bumi, sehingga tidak ada potensi tubrukan antara keduanya. Maka kejadian mendekatnya asteroid Phaethon dikategorikan sebagai perlintasan-dekat atau papasan-dekat (apparition) yang teramat langka. Asteroid ini jauh lebih kecil daripada Bumi, sehingga kala melintas pada jarak 10,3 juta kilometer itu tidak ada dampak yang Bumi rasakan. Sebaliknya Bumi justru mengenakan gravitasi besarnya kepada sang asteroid, membuat orbit asteroid ini bisa sedikit berubah dari semula meski perubahan itu relatif kecil.

Saat berada pada jarak terdekatnya ke Bumi, asteroid Phaethon secara harfiah ada di atas kawasan Samudera Atlantik bagian barat tepatnya di atas titik koordinat 27º 30′ LU 65º 30′ BB. Dalam jarak tersebut, magnitudo semunya diprakirakan sebesar +10,8. Maka ia hanya bisa disaksikan dengan menggunakan teleskop. Itupun dengan diameter lensa obyektif (untuk teleskop reflektor) atau cermin obyektif (untuk teleskop refraktor) minimal 100 mm. Namun pengalaman observasi komet Siding Spring pada 2014 TU silam menunjukkan obyek seredup itu masih bisa difoto oleh kamera DSLR berlensa 80 mm, asal mengikuti gerak langit dan waktu paparannya cukup lama.

Gambar 5. Posisi asteroid Phaethon di langit pada 12-17 Desember 2017 TU pukul 21:00 WIB. Nampak posisi asteroid ke Bumi ada di langit bagian utara, dengan sejumlah bintang terang disekitarnya. Sumber: Sudibyo, 2017 berbasis NASA Solar System Dynamics, 2017 dan Starry Night Backyard 3.0.

Selain bakal diamati dengan teleskop-teleskop optik yang bekerja pada spektrum cahaya tampak, asteroid Phaethon juga bakal menjadi target pengamatan teleskop-teleskop radio yang bekerja pada spektrum gelombang radar. Langkah ini pernah dilakukan melalui teleskop radio Arecibo di Puerto Rico (Amerika Serikat) pada saat asteroid Phaethon juga mendekati Bumi sepuluh tahun silam. Namun saat itu resolusinya cukup rendah. Kini harapan untuk melakukan observasi serupa dengan tingkat resolusi jauh lebih tinggi dibebankan kepada dua teleskop radio, masing-masing teleskop radio Arecibo dan Goldstone. Teleskop Arecibo diharapkan memperoleh citra dengan resolusi hingga 15 m/piksel. Sementara teleskop Goldstone yang menjadi bagian fasilitas NASA di California (Amerika Serikat) dengan antenna parabola 70 meter diharapkan mendapatkan resolusi hingga 75 m/piksel. Kedua teeskop radio ini akan mengamati asteroid Phaethon dalam rentang waktu 11 hingga 21 Desember 2017 TU.

King. 2017. Asteroid 3200 Phaethon: Geminid Parent at Its Closest and Brightest!. Sky & Telescope Online, 29 November 2017, Diakses 1 Desember 2017.

Singgahnya Asteroid A/2017 U1, Sang Alien Pengelana Semesta

Sebuah benda langit baru ditemukan dalam tata surya kita. Ia kecil saja, hanya seukuran antara 150 hingga 500 meter, setara sebuah bukit kecil. Semula ia diidentifikasi sebagai komet, namun belakangan diklasifikasikan ulang menjadi asteroid. Meski kecil mungil, laksana sebutir pasir di tengah keluasan tata surya kita, kini semua mata memelototinya lekat-lekat. Sebab inilah asteroid alien, asteroid yang tak lahir atau berasal dari tata surya kita. Asteroid yang tak terikat pada satu bintang induk pun dalam galaksi ini, alias asteroid yatim. Inilah asteroid pengelana, yang hanya singgah sebentar dalam tata surya kita lantas pergi lagi untuk seterusnya.

Gambar 1. Asteroid A/2017 U1, nampak sebagai bintik putih kecil di tengah-tengah citra (foto) dengan latar belakang garis-garis putih. Diabadikan dengan teleskop William Herschell (4,2 meter) di Observatorium La Palma, Canary (Spanyol) pada 25 Oktober 2017 TU. Teleskop disetel mengikuti gerak asteroid, sementara gerak asteroid tidak sama dengan gerak semu bintang-bintang di latarbelakang. Sehingga bintang-bintang tersebut terlihat sebagai garis-garis. Sumber: Observatorium La Palma, 2017.

Para Yatim di Langit

Asteroid dan komet adalah benda langit berukuran mini, jauh lebih kecil ketimbang kelompok planet dan planet-kerdil, namun menjadi bagian integral tata surya kita. Seperti halnya penduduk tata surya kita umumnya, asteroid dan komet terbentuk dari awan gas (nebula) raksasa kaya gas Hidrogen (H2). Nebula ini mungkin sebesar Nebula Waluku (Orion) yang legendaris itu. Akibat gangguan eksternal, mungkin hempasan gelombang kejut peristiwa bintang meledak (supernova) didekatnya, nebula mulai mengerut, memadat dan berpilin hingga terpecah-belah menjadi ribuan pecahan. Masing-masing pecahan itu terus berpilin, memadat dan memipih layaknya cakram.

Salah satu pecahan nebula itu, dengan diameter sekitar 200 SA (satuan astronomi, 1 SA = 149,6 juta kilometer), adalah cikal bakal tata surya kita. Pusat cakram yang terus memadat dan memanas lantas berkembang menjadi Matahari pada sekitar 4,6 milyar tahun silam. Sementara sisanya, dengan massa total antara seperseribu hingga sepersepuluh Matahari, berupa butir-butir planetisimal. Sebagian diantaranya bergabung dengan sesamanya hingga terus membesar menjadi protoplanet. Dari protoplanet inilah terbentuk planet dan planet-kerdil dengan sejumlah satelit alamiahnya. Sementara sisanya, yang gagal menjadi protoplanet, tetap terserak sebagai planetisimal dan kometisimal (calon inti komet). Total massa planetisimal dan kometisimal diperkirakan mencapai 35 kali massa Bumi.

Gambar 2. Migrasi planet-planet besar dalam masa bayi tata surya kita, dalam simulasi dengan rentang waktu sejak 20 juta tahun sebelum hingga 30 juta tahun sesudah migrasi. Sebelum migrasi nampak lima planet besar berdesakan di tempat sempit. Urutannya dari yang terdekat ke Matahari: Jupiter purba, Saturnus purba, planet tak dikenal, Neptunus purba dan Uranus purba. Pasca migrasi, planet tak dikenal terlempar keluar sementara Neptunus dan Uranus saling bertukar posisi. Sehingga urutannya menjadi Jupiter purba, Saturnus purba, Uranus purba dan Neptunus purba. Sumber: David Nesvorny/SWRI, 2016.

Saat itu rentang jarak antara 5,5 hingga 17 SA dari Matahari dijejali lima planet purba raksasa. Sementara planetisimal dan kometisimal terserak sejak radius 17 SA hingga 35 SA. Empat dari planet purba ini di kemudian hari menjadi Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus yang kita kenal. Jupiter purba berkedudukan paling dekat ke Matahari, disusul Saturnus purba. Yang paling ganjil adalah Uranus purba dan Neptunus purba, dimana orbit Neptunus purba justru lebih dekat ke Matahari. Hal yang berkebalikan dibanding masakini.

Satu hal penting saat itu adalah Jupiter purba dan Saturnus purba saling berinteraksi gravitasi dengan planetisimal dan kometisimal di sekelilingnya masing-masing. Sehingga Jupiter purba perlahan mulai menjauhi Matahari sementara Saturnus purba sebaliknya, perlahan malah mendekat. Mulailah keduanya menunjukkan tanda-tanda saling tertarik (secara gravitasi). Hingga tibalah kesempatan, sekitar 500 hingga 600 juta tahun pasca lahirnya tata surya kita, Jupiter purba beresonansi orbital dengan Saturnus purba. Saat itu bilamana Jupiter purba tepat dua kali mengelilingi Matahari, maka Saturnus purba pun tepat sekali melakukannya. Hal itu terjadi kala orbit Jupiter purba 5,5 SA dari Matahari sementara orbit Saturnus purba 8,7 SA. Resonansi orbital menghancurkan keseimbangan rapuh yang selama ini menjaga kelima planet besar itu di lokasinya masing-masing. Terjadilah migrasi planet.

Jupiter purba terlempar lebih mendekati Matahari, menempati orbitnya sekarang (5,2 SA). Sebaliknya Saturnus purba terdorong menjauh, kini berada pada orbit 9,6 SA. Gerak berlawanan arah dua planet raksasa ini berdampak dramatis pada Neptunus dan Uranus purba. Keduanya terdorong menjauh. Neptunus purba terdorong dahsyat hingga melampaui orbit Uranus dan menjadi planet terluar (sejauh 30 SA). Sementara Uranus purba terdorong keluar pula namun tidak seberapa jauh dan kini menempati orbit 19 SA. Sebaliknya planet besar kelima terdorong demikian dahsyat hingga menempati orbit yang sangat jauh atau malah bahkan terusir keluar dari tata surya kita.

Migrasi planet-planet raksasa juga membuat planetisimal dan kometisimal ibarat kawanan milyaran lebah yang mendadak digebah. Mereka terdorong lintang pukang, dipaksa mencari posisi baru yang lebih stabil. Sebagian kecil terdorong mendekat ke Marahari hingga ‘bersarang’ di antara orbit Mars dan Jupiter. Inilah Sabuk Asteroid Utama, hunian mayoritas asteroid yang kita kenal. Sebagian kecil lainnya didorong menjauh hingga menempati dua ‘sarang’ baru, yang adalah hunian calon komet di tata surya. Masing-masing Sabuk Kuiper-Edgeworth dan awan komet Opik-Oort. Sabuk Kuiper-Edgeworth mirip cakram Sabuk Asteroid Utama, namun lebih besar dan merentang dari orbit Neptunus hingga sejauh 50 SA dari Matahari. Sedangkan awan komet Opik-Oort berbentuk donat (torus) hingga bulat membola, yang merentang dari 2.000 SA hingga sejauh 50.000 SA. Sedangkan sebagian besar planetisimal dan kometisimal justru terdorong sangat jauh hingga terusir keluar dari lingkungan tata surya kita.

Gambar 3. Orbit asteroid A/2017 U1 pada 25 Oktober 2017 TU terhadap orbit planet-planet inferior. Nampak asteroid berasal dari belahan langit sebelah utara ekliptika dan bergerak secara retrograde atau berlawanan arah dengan arah gerakan planet-planet inferior pada umumnya. Sumber: NASA, 2017.

Planet, planetisimal dan kometisimal yang terusir itu melanglang buana di ruang antar bintang. Mereka tak terikat pada satu bintang induk pun. Planet yang terusir dikenal sebagai planet yatim. Sementara planetisimal dan kometisimal terusir menjadi asteroid yatim dan komet yatim. Bilamana tata surya kita saja pernah mengusir mereka dari dalam sejarahnya, maka tata surya non-Matahari (yang kini bejibun banyaknya yang telah diketahui) pun bisa berperilaku serupa. Dan terbuka peluang tata surya kita dilintasi oleh planet/asteroid/komet yatim yang terusir dari suatu tata surya non-Matahari.

Karakteristik

Pada 18 Oktober 2017 TU (Tarikh Umum), sistem teleskop Pan-STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System) yang berpangkalan di Observatorium Haleakala, Hawaii (Amerika Serikat) merekam sebuah benda langit sangat redup. Magnitudo semunya hanya +21, 630 kali lipat lebih redup ketimbang Pluto. Magnitudo absolutnya + 22,2. Jika diasumsikan kemampuan permukaannya memantulkan kembali sinar Matahari adalah 10 %, maka diameternya 160 meter. Belakangan diameternya diprakirakan sekitar 500 meter. Awalnya ia memperlihatkan ketampakan coma (kepala) khas komet. Maka ia diklasifikasikan sebagai komet dengan kode C/2017 U1 Panstarrs sesuai tatanama yang berlaku (C = comet). Namun begitu bukan diameternya maupun sifat kometnya yang segera menyedot perhatian, melainkan orbitnya. C/2017 U1 Panstarrs ternyata menyusuri orbit hiperbolik dengan nilai kelonjongan (eksentrisitas) cukup besar, yakni di sekitar 1,2. Maka sebersit curiga pun muncul, benda langit ini mungkin bukan penduduk asli tata surya.

Gambar 4. Asteroid A/2017 U1, nampak sebagai bintik putih kecil sangat redup yang ditandai sepasang garis rambut (garis vertikal dan horizontal) di tengah citra (foto). Diabadikan dengan teleskop Schmidt (0,4 meter) di Observatorium Great Shefford (Inggris) pada 27 Oktober 2017 TU. Perhatikan, teleskop disetel mengikuti gerak asteroid dan kamera dibuka selama total waktu 1 jam 45 menit. Sehingga asteroid yang sangat redup bisa dicitra sementara bintang-bintang nampak sebagai garis-garis. Sumber: Observatorium Great Shefford, 2017.

Kita telah melihat ratusan komet dengan orbit hiperbola sepanjang sejarah peradaban. Komet seperti ini selalu memliki kelonjongan lebih dari 1. Ia hanya sekali melintasi titik perihelion (titik terdekat dalam orbitnya ke Matahari) untuk kemudian meluncur keluar dari tata surya kita. Akan tetapi seluruh komet itu memiliki kelonjongan kurang dari 1,06. Analisis lebih lanjut dengan memperhitungkan titik barisenter Matahari dan Jupiter menunjukkan seluruh komet itu pada dasarnya masih terikat dengan tata surya kita. Sehingga ditafsiri sebagai komet yang berasal dari tata surya kita sendiri, khususnya dari awan komet Opik-Oort. Akan tetapi C/2017 U1 Panstarrs ini berbeda.

Observasi demi observasi memproduksi bejibun data yang kian memperjelas karakter benda langit ini. Melalui teleskop VLT/Very Large Telescope (diameter cermin obyektif 8,2 meter) yang dioperasikan ESO (European Southern Observatory) di Gurun Atacama, Chile, pada 25 Oktober 2017 TU diketahui benda langit ini tidak lagi menampakkan coma. Sehingga ia diklasifikasikan ulang sebagai asteroid dan dikodekan sebagai A/2017 U1 (A = asteroid). Secara akumulatif hingga 26 Oktober 2017 TU telah terkumpul 59 data sehingga karakter asteroid unik ini bisa lebih terungkap.

Asteroid A/2017 U1 memiliki orbit dengan kelonjongan 1,19 atau tak jauh berbeda dengan data awal. Inklinasi orbitnya 122,4º, menandakan ia bergerak secara retrograde. Perihelionnya cukup dekat, yakni 0,25 SA (37 juta kilometer) dari Matahari yang dicapainya pada 9 September 2017 TU pukul 18:09 WIB lalu. Terhadap orbit Bumi, orbitnya memiliki jarak terdekat (MOID) sebesar 0,095 SA (14 juta kilometer). Namun demikian titik terdekat asteroid ini ke posisi Bumi direngkuh pada 15 Oktober 2017 TU pukul 00:51 WIB, dalam jarak 24 juta kilometer. Pada saat itu pula asteroid A/2017 U1 telah terdeteksi lewat sistem penyigi langit Catalina Sky Survey. Meski pengelolanya baru menyadarinya dalam 12 hari kemudian.

Ada tiga hal yang menjadi indikasi kuat asteroid A/2017 U1 adalah asteroid yatim. Pertama, nilai kelonjongan orbitnya. Kecuali ada kekeliruan dalam astrometrinya, kelonjongan orbit A/2017 U1 terhadap titik barisenter Matahari dan Jupiter adalah 1,18 baik sebelum maupun sesudah lewat perihelion. Sehingga ia tidaklah terikat dengan tata surya kita. Besarnya kelonjongan orbit berimplikasi pada kecepatan yang cukup besar pula. Saat lewat di titik terdekatnya ke Bumi, asteroid A/2017 U1 melesat dengan kecepatan relatif 60 km/detik. Maka kecepatan-lebih hiperboliknya, yakni kecepatan benda langit di ruang bebas dalam orbit hiperbolik, berkisar 26 km/detik. Bandingkan dengan komet Bowell (C/1980 E1), benda langit dengan kelonjongan terbesar sebelumnya (yakni 1,06), dengan kecepatan-lebih hiperbolik hanya 3 km/detik.

Gambar 5. Spektrum asteroid A/2017 U1 sebagaimana diabadikan Observatorium La Palma pada 25 Oktober 2017 TU dalam kanal inframerah dan cahaya tampak. Tidak terdeteksi satu fitur khas pun di sini. Sementara kemiringannya mirip dengan benda langit anggota Sabuk Kuiper yang berwarna merah normal. Sumber: Observatorium La Palma, 2017.

Yang kedua adalah arah kedatangannya. Asteroid A/2017 U1 datang dari arah yang hanya berselisih 6º terhadap Solar apex. Solar apex adalah titik arah gerak Matahari (beserta segenap tata surya kita) relatif terhadap bintang-bintang tetangganya. Sehingga Solar apex, secara statistik, menjadi titik yang paling memungkinkan bagi planet/asteroid/komet alien untuk masuk berkunjung ke tata surya kita.

Dan yang ketiga adalah warnanya. Pada waktu yang hampir sama dengan observasi teleskop VLT, teleskop WHT/William Herschell Telescope (diameter cermin obyektif 4,2 meter) di Observatorium La Palma di pulau Canary (Spanyol) juga menatap A/2017 U1 lekat-lekat. Spektrum yang ditangkapnya menunjukkan asteroid A/2017 U1 cenderung berwarna merah. Lebih mirip dengan karakter paras benda langit penduduk Sabuk Kuiper-Edgeworth dan sama sekali tak mirip asteroid penduduk cakram Sabuk Asteroid Utama.

Potensi

Gambar 6. Hasil simulasi dimensi kawah produk tumbukan bilamana asteroid A/2017 U1 jatuh ke Jakarta (titik Gedung DPR-MPR) pada kecepatan awal 60 km/detik dan asteroid dianggap sebagai batu berpori dengan diameter 400 meter. Lebar kawah adalah 3,7 kilometer dengan kedalaman 440 meter. Energi tumbukan mencapai 18.100 megaton TNT. Sumber: DowntoEarth, 2017.

Dengan perihelion kurang dari ambang batas 1,3 SA maka asteroid A/2017 U1 diklasifikasikan sebagai asteroid-dekat Bumi. Namun karena jarak terdekatnya ke Bumi masih lebih besar dibanding ambang batas 0,05 SA maka A/2017 U1 tidak tergolong asteroid berpotensi bahaya (bagi Bumi). Sehingga peluangnya untuk bertubrukan dengan Bumi adalah nol.

Kabar ini tentu melegakan. Sebab jika ia tepat menuju ke Bumi, maka dampaknya dahsyat. Simulasi dengan Down2Earth memperlihatkan bila diameternya 400 meter, komposisi berpori-pori (massa jenis 1.500 kg/m3) dan melesat secepat 60 km/detik ke Bumi, tepat sebelum memasuki atmosfer energi kinetiknya sebesar 21.600 megaton TNT. Sepanjang menembus atmosfer, kecepatannya akan berkurang sedikit sehingga kala tiba di paras Bumi masih secepat 54,9 km/detik dengan energi tumbukan setara 18.100 megaton TNT.

Itu hampir menyamai kandungan energi pada segenap hululedak nuklir yang pernah ada di Bumi pada puncak Perang Dingin. Pelepasan energi sebesar itu akan menyebabkan dampak spontan yang bisa dirasakan hingga radius 580 kilometer dari titik tumbuk, berdasarkan simulasi ledakan nuklir. Akan tetapi secara global juga bisa memicu fenomena perubahan iklim yang populer sebagai musim dingin tumbukan (impact winter), analog dari musim dingin nuklir. Yakni turunnya suhu paras Bumi akibat tebaran aerosol sulfat dan jelaga produk tumbukan di lapisan stratosfer.

Gambar 7. Hasil simulasi dampak gelombang kejut dan paparan panas bilamana asteroid A/2017 U1 jatuh di Jakarta dan melepaskan energi tumbukan 18.100 megaton TNT. Seluruh bangunan yang ada dalam lingkaran 5 psi akan runtuh akibat menerima tekanan-lebih yang setara 5 psi atau lebih besar lagi. Sementara seluruh manusia yang ada di dalam lingkaran lukabakar-3 akan mengalami luka bakar tingkat 3, yakni luka bakar yang menembus segenap lapisan kulit hingga merusak syaraf dan berpotensi mematikan. Sumber: Sudibyo, 2017 berdasarkan scaling law dengan Nukemap.com, 2017.

Asteroid A/2017 U1 kini terus melaju dalam lintasannya meninggalkan tata surya kita. Dari sisi astronomi, singgahnya asteroid A/2017 U1 membuktikan bahwa galaksi Bima Sakti kita memang memiliki benda-benda langit yang tak terikat ke satu bintang tertentu. Sejak 1998 TU kita sudah mengenal adanya kelompok planet yatim. Meski hingga saat ini baru dua saja yang telah benar-benar dikonfirmasi. Dan kini kita mengenal adanya asteroid yatim. Singgahnya asteroid yatim ke dalam tata surya kita membuka jendela peluang baru untuk mengeksplorasi benda-benda langit tetangga tata surya kita. Namun di sisi lain, juga membuka peluang resiko baru terhadap tata surya kita pada umumnya dan Bumi pada khususnya. Sebab dalam khasanah tumbukan benda langit (yang berpotensi memusnahkan kehidupan), kini tak hanya asteroid dan komet penduduk tata surya kita saja yang perlu dipertimbangkan. Namun juga asteroid dan komet yatim, yang perilakunya jauh lebih sulit diprediksi.

Referensi :

NASA. 2017. Small Asteroid or Comet Visit from Beyond the Solar System. NASA Jet Propulsion Laboratory News, diakses 26 Oktober 2017.

Beatty. 2017. Astronomers Spot First-Known Interstellar Comet. Sky & Telescope, diakses 26 Oktober 2017.