Gunung berapi baru itu masih sangat muda. Mungkin baru setahun usianya, jika dihitung pada Mei 2019 TU (Tarikh Umum). Meski masih sangat belia, pertumbuhannya cukup pesat dengan ukuran saat ini sudah cukup besar, kini volumenya sudah 5 km3. Tak satupun insan yang menyaksikan detik demi detik kelahirannya seiring tersembunyinya jauh di dasar Samudera Indonesia di lepas pantai timur benua Afrika. Namun tanda-tanda tak langsung dari proses kelahirannya telah dirasakan sebagian penduduk Kepulauan Komoro sejak setahun sebelumnya. Lewat aneka guncangan lemah yang misterius dan meresahkan.
Gunung berapi umum dijumpai di Bumi dan sejumlah benda langit anggota tata surya kita berkaitan dengan proses pelepasan bahang (panas) interior ke lingkungan sekitar. Pada Bumi, 10 % dari bahang interior merupakan bahang primitif. Yakni sisa panas saat proses pembentukan tata surya 5 milyar tahun silam. Sedangkan 90 % sisanya merupakan bahang radiogenik, yakni akumulasi panas dari proses peluruhan inti-inti atom radioaktif terutama Uranium (U238), Thorium (Th232) dan Kalium (K40) yang terjadi di lapisan selubung dan inti luar. Total bahang interior yang dilepaskan Bumi kita mencapai 47 terawatt (4,7 . 1013 watt) yang ditransfer ke paras Bumi melalui mekanisme konveksi dalam lapisan selubung. Hanya 1 % bahang yang kemudian terlepas ke lingkungan lewat peristiwa tektonisme, vulkanisme dan kegempaan yang riuh. Sementara 99 % sisanya dilepaskan lewat aliran panas permukaan (heatflow) yang besarnya rata-rata 92 miliwatt/m2.
Gempa Swarm Mayotte
Gunung berapi baru umumnya tumbuh berkembang di lingkungan yang secara geologis merupakan kawasan vulkanik dengan jejak aktivitas vulkaniknya di masa silam, umumnya berupa gunung berapi tua yang telah lama padam. Gunung berapi baru lebih sering tumbuh di dasar laut yang tersembunyi, mengikuti trend lebih banyaknya magma yang dilepaskan di dasar laut khususnya di zona pemekaran lantai samudera (mencapai 70 hingga 80 %) ketimbang di daratan. Terakhir kali umat manusia menyaksikan kelahiran gunung berapi baru di daratan adalah pada akhir 1987 TU silam lewat Gunung Anak Ranakah / Namparnos di dekat kota Ruteng, pulau Flores (Indonesia). Sementara gunung berapi baru di dasar laut yang paling muda adalah Gunung Nijima, di sebelah selatan Gunung Nishinoshima pada perairan Samudera Pasifik 940 km sebelah selatan-tenggara kota Tokyo (Jepang). Gunung Nijima akhirnya bergabung menyatu dengan Nishinosima membentuk sebuah pulau tunggal yang kecil dan vulkanis.
Penduduk Kepulauan Komoro, khususnya di pulau Mayotte, mulai merasakan situasi tak biasa mulai pagi hari 10 Mei 2018 TU. Sebuah gempa ringan (magnitudo 4,3) menggoyang pelan. Di hari-hari berikutnya getaran demi getaran susul-menyusul, kian dirasakan oleh lebih dari seperempat juta jiwa penduduk Mayotte. Getaran juga kian terdeteksi oleh sensor-sensor seismometer yang lebih jauh. Sebuah gempa kuat (magnitudo 5,9) mengguncang lima hari kemudian, disusul sepasang gempa kuat lainnya (magnitudo 5,5) masing-masing pada 20 dan 21 Mei 2018 TU. Getaran demi getaran ini mencemaskan mengingat pulau Mayotte sudah lama tak merasakan gempa bumi, apalagi yang merusak. Getaran gempa merusak terakhir kali terjadi pada 1 Desember 1993 TU (magnitudo 5,2) yang memproduksi sejumlah kerusakan ringan-sedang di sekujur pulau.
Selama enam bulan kemudian telah terdeteksi 1.109 gempa bumi dengan magnitudo lebih dari 3,5. Salah satu diantaranya bahkan cukup unik karena tak mengandung komponen gelombang primer (P) dan sekunder (S). Meletup pada 11 November 2018 TU, gempa unik ini terdeteksi oleh seismometer hingga sejauh 18.000 km dari sumbernya. Gempa unik ini berlangsung selama sedikitnya 20 menit sebagai gelombang panjang berperiode 16 detik. Meski terdeteksi hingga ke lokasi yang demikian jauh dan bergetar cukup lama, uniknya gelombang panjang gempa unik ini sama sekali tak dirasakan penduduk Mayotte. Di kemudian hari gempa unik ini dikategorikan sebagai tremor episodik.
Rentetan gempa tersebut merupakan gempa swarm, yakni gempa-gempa yang terjadi pada suatu lokasi dalam rentang waktu tertentu namun tidak menunjukkan pola hubungan gempa utama – gempa susulan yang khas bagi gempa bumi tektonik. Meski secara garis besar relatif serupa, namun mekanisme fokus dari setiap gempa bumi dalam kejadian gempa swarm ini berbeda-beda parameternya. Gempa swarm umumnya menjadi indikasi terjadinya migrasi fluida (magma) dari kedalaman, atau terjadinya pengamblesan (subsidence) dari suatu massa yang besar seperti gunung.
Gempa swarm Mayotte secara umum terbagi ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama terjadi pada 10 Mei hingga 8 Juli 2018 TU, yang mengambil area sejauh 45 hingga 55 km sebelah timur pulau Mayotte. Gempa swarm pada kelompok ini secara berangsur-angsur bergeser ke arah tenggara hingga 10 km, sementara kedalaman sumber gempanya juga berkurang dari semula 35 km menjadi 15 km. Sementara kelompok kedua mulai berlangsung sejak 26 Juni 2018 TU dengan area sumber di sebelah barat kelompok pertama, yakni sejarak 42 hingga 55 km dari pulau Mayotte. Dan kelompok ketiga mulai belangsung sejak 5 Juli 2018 TU dengan area sumber di sebelah barat kelompok kedua, yakni pada jarak 26 hingga 42 km. Hingga November 2018 TU, secara akumulatif energi yang dilepaskan seluruh gempa swarm itu setara dengan energi Gempa Yogya 2006.
Inflasi
Selain hentakan gempa swarm, pulau Mayotte juga mengalami proses deformasi yang terekam dalam radas (instrumen) GPS meskipun tak kasat mata dan tak terasakan sama sekali oleh penduduk setempat. Selama enam bulan sejak Mei 2018 TU, pulau Mayotte beringsut ke timur hingga sejauh sekitar 20 cm dan melesak (ambles) sedalam sekitar 5 cm. Ini menandakan bagian dasar laut di sebelah timur pulau sedang mengalami inflasi (penggelembungan), sebuah ciri khas aktivitas sebuah gunung berapi menjelang meletus. Inflasi terjadi kala magma segar dalam volume banyak mulai mengisi suatu tempat di dalam kerakbumi, menjadikan tempat itu laksana balon yang terus membesar karena ditiup pelan-pelan.
Perhitungan menunjukkan posisi dapur magma dari aktivitas ini adalah 35 km sebelah timur pulau Mayotte pada kedalaman 30 km. Magma mengalir vertikal ke atas, namun pada kedalaman sekitar 10 km mulai berbelok ke barat sebagai retas magmatik hingga sejarak sekitar 20 km sebelah timur pulau Mayotte. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan pada periode 10 Mei hingga 5 Juli 2018 TU terjadi pengeluaran magma sebanyak 45 meter3/detik. Selanjutnya pada 3 Juli hingga 14 November 2018 TU pengeluaran magmanya meningkat menjadi 82 meter3/detik. Maka secara akumulatif selama enam bulan tersebut terjadi pengeluaran magma sebanyak 1,15 km3.
Pusat penelitian ilmu pengetahuan (CNRS) Perancis akhirnya memutuskan meneliti fenomena ini lebih lanjut melalui survei gabungan bawah air laut di bawah tajuk MAYOBS mulai Februari 2019 TU. Survei meliputi pemasangan enam sensor seismometer dasar laut (OBS) guna mengetahui posisi sumber gempa swarm lebih detil serta pemetaan dasar laut menggunakan sonar. Penempatan sensor OBS dan pemetaan sonar dilakukan menggunakan kapal Marion Dufresne.
Dari survei inilah diketahui sebuah gunung berapi laut yang baru sudah lahir dan tumbuh berkembang di dasar Selat Mozambik. Tepatnya sejarak 55 km sebelah timur pulau Mayotte. Gunung berapi laut yang baru ini tumbuh di kedalaman 3.500 meter. Ia berbentuk kerucut dengan dasar bergaris tengah 5.000 meter dan menjulang setinggi 800 meter dari dasar. Diperhitungkan volumenya mendekati 5 km3. Jika ia tumbuh sejak awal gempa swarm Mayotte terjadi, maka kecepatan pengeluaran magma dari dalam perutbumi yang membentuk gunung berapi baru ini mencapai rata-rata 160 meter3/detik. Angka ini tak jauh berbeda dibanding perkiraan 82 meter3/detik berdasarkan data deformasi. Survei juga memperlihatkan tanda-tanda aktivitas gunung berapi baru tersebut, melalui semburan fluida yang terdeteksi hingga 2.000 meter di atas kawah gunung.
Sementara dari data-data sensor OBS diketahui posisi sumber gempa swarm terbaru, yang telah bergeser lagi ke barat. Yakni hanya sejarak 12 – 22 km saja di sebelah timur pulau Mayotte. Maka terdapat jarak 40-an km antara sumber gempa swarm dengan gunung berapi baru tersebut. Karena survei telah menemukan sebuah gunung berapi baru dasar laut, maka sumber gempa swarm Mayotte berkaitan dengan pergerakan magma menuju bagian atas kerakbumi. Selisih jarak antara sumber gempa swarm dengan gunung berapi baru yang dilahirkannya menunjukkan adanya pergerakan mendatar magma sejauh 40-an km sebelum menemukan jalan keluarnya ke paras bumi. Pergerakan ini dapat terjadi melalui sistem goa lava (lava tube) yang khas untuk gunung-gemunung berapi laut. Tepatnya gunung-gemunung berapi basaltik, yang memuntahkan magma bersifat basa sehingga lebih encer dan lebih mampu mengalir jauh sekaligus lebih berkemungkinan membentuk sistem goa lava yang sangat panjang.
Goa Lava
Dengan demikian terbentuknya gunung berapi baru ini mengikuti fenomena yang terjadi di Gunung Kilauea, Hawaii (Amerika Serikat), salah satu gunung berapi laut terpopuler. Pada 2018 TU silam, gunung ini meletus sebagai Letusan Puna 2018. Lubang letusan tak berada di kawah utama, melainkan pada sejumlah titik di desa Leilani Estate di lereng gunung yang berjarak mendatar 40 km dari kawah. Letusan Puna 2018 berkecamuk selama 3 bulan lamanya dan memuntahkan tak kurang dari 700 juta meter3 magma, menjadikannya letusan gunung berapi yang terbesar untuk tahun 2018 TU. Transfer magma dari dapur magma yang berada tepat di bawah kawah utama menuju ke lubang-lubang letusan sejauh itu berlangsung melalui sistem goa lava.
Aktivitas vulkanik menjadi hal wajar bagi Kepulauan Komoro, sebuah kepulauan yang adalah untaian puncak gunung-gemunung berapi dasar laut yang menyembul di atas paras air laut. Di pulau terbesar, yakni pulau Grande Comoro (terbentuk 130 ribu tahun silam) menjulang tinggi Gunung Karthala yang terakhir meletus pada 2007 TU silam. Sementara pulau Mayotte adalah pulau tertua yang terbentuk sekitar 11 juta tahun silam sekaligus terkalem dengan letusan gunung berapi terakhir terjadi antara 7.000 hingga 4.000 tahun silam. Letusan itu membentuk pulau kecil Petite Terre, yang berjarak 5 km di sebelah timur Mayotte dan kini menjadi pintu gerbang utama ke pulau Mayotte dengan bandaranya. Terbentuknya gunung-gemunung berapi laut di kepulauan ini adalah wajar, mengingat posisinya yang berdiri di retakan kerakbumi yang memungkinkan magma menyeruak dari lapisan selubung melalui vulkanisme titik-panas (hot-spot volcanism).
Retakan tersebut adalah konsekuensi dari tatanan tektonik Afrika timur yang rumit. Pada dasarnya benua Afrika bagian timur tersusun oleh lempeng Nubia yang bersifat kontinental serta lempeng Somalia yang kontinental dan oseanik. Lempeng Nubia bergerak ke barat-barat daya sementara lempeng Somalia ke timur laut. Batas antara kedua lempeng merupakan zona divergen yang adalah bagian dari lembah retakan besar (Great Rift Valley), lembah besar sangat panjang yang menjulur dari Palestina hingga Afrika bagian tengah. Pada bagian selatan, interaksi lempeng Nubia dan Somalia dibatasi oleh tiga mikrolempeng. Masing-masing mikrolempeng Victoria, Rovuma dan Lwandle. Mikrolempeng Lwandle menjadi dasar dari hampir segenap pulau Madagaskar dan Selat Mozambik. Retakan kerakbumi yang melintasi Kepulauan Komoro merupakan batas antara mikrolempeng Lwandle dengan lempeng Somalia.
Bilamana tingkat pertumbuhannya seperti sekarang, maka puncak gunung berapi baru ini akan menyembul di paras air selat Mozambik pada 5 tahun setelah kelahirannya, atau sekitar tahun 2022 TU kelak. Dengan catatan bila aktivitasnya berlangsung secara kontinu dan konstan. Realitanya aktivitas gunung berapi dengan pengeluaran magma demikian besar tak pernah berlangsung lama sepanjang catatan sejarah kita manusia. Sehingga mungkin butuh waktu beratus atau bahkan beribu tahun lagi bagi gunung berapi baru ini untuk menyembul ke paras air laut menjadi sebuah pulau vulkanik baru.
Referensi
Lemoine dkk. 2019. The Volcano-tectonic Crisis of 2018 East of Mayotte, Comoros Islands. Geophysical Journal International, submitted February 26, 2019.