Menyaksikan Letusan Plinian Gunung Kelud dari Keluasan Langit

Gunung Kelud (Jawa Timur) akhirnya meletus. Setelah ditingkatkan dari status Aktif Normal (level I) menjadi Waspada (Level II) sejak 2 Februari 2014 seiring migrasi magma segar ke tubuh gunung yang membuat kegempaan vulkaniknya meningkat di atas normal dan lantas diikuti status Siaga (Level III) pada 10 Februari 2014 menyusul injeksi magma segar ke kantung magma dangkal dan tubuh gunung sehingga kegempaan vulkaniknya kian riuh dan bahkan tubuh Gunung Kelud mulai menggelembung, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) akhirnya menetapkan Gunung Kelud dalam status Awas (Level IV) pada 13 Februari 2014 pukul 21:15 WIB. Dan hanya berselang 95 menit kemudian Gunung Kelud pun memuntahkan magma segarnya sebagai letusan yang bergelora menjelang tengah malam. Gemuruh suara letusan terdengar hingga pelosok Jawa Tengah seperti di Kebumen dan Purbalingga, meski berjarak ratusan kilometer dari Gunung Kelud. Debu vulkaniknya pun melumuri sebagian besar pulau Jawa hingga sempat menghentikan aktivitas sehari-hari sebagian besar penduduk pulau terpadat di Indonesia ini. Delapan bandara pun turut ditutup sementara, mulai dari Juanda (Sidoarjo) di sisi timur hingga Husein Sastranegara (Bandung) di sisi barat. Sebagai imbasnya ratusan penerbangan domestik dan internasional pun dibatalkan. Angka kerugian masih dihitung, namun diduga mencapai trilyunan rupiah.

PVMBG mencatat letusan Gunung Kelud kali ini menghamburkan paling tidak 120 juta meter kubik rempah vulkanik atau hampir sama dengan apa yang disemburkan Gunung Merapi (Jawa Tengah-DIY) dalam letusan 2010-nya. Bedanya durasi letusan Gunung Kelud sangat singkat, yakni hanya beberapa jam saja, dibandingkan Merapi yang selama 1,5 bulan. Perbedaan tajam ini menunjukkan kecepatan pengeluaran rempah vulkanik Kelud jauh lebih besar. Singkatnya durasi letusan juga memperlihatkan bahwa gunung berapi yang galak ini kembali ke tabiatnya semula yang sudah dikenal sepanjang abad ke-20. Tabiat itu berupa cepatnya migrasi magma segar yang ditandai oleh cepatnya perubahan status aktivitasnya, durasi letusan cukup singkat sebagai indikasi dari kecilnya volume kantung magma dangkalnya (sehingga cepat terkuras habis) dan letusannya langsung besar atau besar sekali. Hanya satu sifat yang tak muncul, yakni lahar letusan yang umumnya terjadi kala magma segar yang dimuntahkan langsung bercampur dengan air danau kawah yang volumenya bisa puluhan juta meter kubik jika tak dikontrol. Danau kawah Kelud sendiri menghilang pasca November 2007 kala aktivitas gunung berapi ini di luar dugaan justru demikian kalem dan hanya berakhir dengan gundukan lava yang disebut kubah lava 2007. Kubah lava ini mengambil bentuk kerucut yang tingginya 215 meter dengan dasar selebar 470 meter dan bervolume 16 juta meter kubik.

Gambar 1.  Perkembangan awan debu vulkanik Kelud (panah kuning) dalam empat jam pertama letusannya seperti diabadikan satelit MTSAT-2 dalam kanal inframerah. Terlihat pada jam 00:00 WIB (sejam setelah mulai meletus), awan debunya masih kecil, sferis dan lebih padat dibanding tekstur awan disekelilingnya. Pada jam-jam berikutnya nampak awan debu semakin meluas dan kian melonjong mengikuti hembusan angin. Sumber: JMA, 2014.

Gambar 1. Perkembangan awan debu vulkanik Kelud (panah kuning) dalam empat jam pertama letusannya seperti diabadikan satelit MTSAT-2 dalam kanal inframerah. Terlihat pada jam 00:00 WIB (sejam setelah mulai meletus), awan debunya masih kecil, sferis dan lebih padat dibanding tekstur awan disekelilingnya. Pada jam-jam berikutnya nampak awan debu semakin meluas dan kian melonjong mengikuti hembusan angin. Sumber: JMA, 2014.

Awan Debu

Letusan Gunung Kelud terjadi di tengah malam waktu Indonesia. Kecuali daerah sekitar gunung yang bisa melihat langsung kolom debu vulkanik pekat yang menjulang vertikal menembus awan disertai kilat yang menyambar-nyambar dalam menit-menit pertama letusan, daerah lain yang lebih jauh tak bisa melihatnya dengan leluasa seiring gelapnya malam. Sehingga bagaimana sifat-sifat letusan sulit untuk diketahui secara kasat mata, termasuk tipe letusan.

Beruntung, keterbatasan mata manusia dalam gelapnya malam bisa digantikan oleh ketersediaan mata tajam di langit, dalam rupa armada satelit cuaca dan observasi Bumi. Keberadaan satelit-satelit ini menyajikan keuntungan tersendiri dalam mengamati letusan gunung berapi, sebab berada pada ketinggian cukup besar sehingga jauh lebih aman terhadap dampak langsung maupun tak langsung dari letusan tersebut. Posisi di ketinggian juga memungkinkan satelit memiliki cakupan area yang cukup luas sehingga mampu memantau dinamika awan debu letusan yang menjauh dari sumbernya hingga jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Dan mata tajam satelit memungkinkan kita mengamati kawah gunung berapi yang sedang meletus dalam resolusi yang cukup tinggi, bahkan kala gunung berapi tersebut masih cukup berbahaya untuk bisa didekati manusia.

Debu vulkanik Kelud pertama kali terdeteksi lewat satelit MTSAT-2 (Multifunctional Transport Satellite-2) atau yang dikenal juga sebagai satelit Himawari-7 (Jepang). Satelit yang berfungsi ganda guna kepentingan komunikasi dan pemantauan cuaca ini bertempat di obit geostasioner pada garis bujur 145 BT sehingga mampu memantau Asia timur, Asia tenggara, Australia dan Samudera Pasifik dengan leluasa dan menerus. Debu vulkanik Kelud pertama kali terdeteksi pada pukul 23:09 WIB, hanya 20 menit setelah letusan dimulai, melalui instrumen pencitra pada kanal inframerah yang memiliki resolusi spasial 5 km. Awan debu Kelud semula berukuran kecil dan bergeometri sferis. Namun seiring perjalanan waktu, ukurannya membesar hingga bergaris tengah lebih dari 100 km dengan bentuk sedikit lonjong, sebelum kemudian kian memanjang seiring hembusan angin. Pengukuran suhu awan debu ini menunjukkan bagian inti awan sedikit lebih hangat dibanding bagian tepinya, namun secara keseluruhan temperatur awan debu jauh di bawah titik nol derajat Celcius. Ini menjadi indikasi bahwa awan debu Kelud telah membumbung sedemikian tinggi sehingga memasuki lapisan stratosfer.

Pemandangan lebih menarik diperlihatkan oleh instrumen pada kanal cahaya tampak di satelit yang sama. Instrumen ini hanya berfungsi kala sinar Matahari mulai menerangi permukaan Bumi yang hendak dicitrakannya, sehingga baru bisa bekerja dalam enam jam setelah letusan dimulai. Meski telah enam jam berlalu, namun kedahsyatan letusan Kelud masih terlihat jelas. Pekat dan massifnya debu vulkanik yang disemburkan Gunung Kelud menghasilkan fenomena bow shock-wave di puncak awan debunya khususnya di sisi timur sehingga nampak bergelombang sekaligus menghalangi angin timuran untuk mengubah bentuknya. Hasil pencitraan kanal visual yang dipadukan dengan GOES-R Volcanic Ash Height menunjukkan terdapat bagian awan debu Kelud yang memasuki ketinggian 18 hingga 20 km dpl (dari permukaan laut), atau cukup jauh memasuki lapisan stratosfer.

Gambar 2. Hasil pengukuran lidar satelit CALIPSO terhadap awan debu Kelud dalam 1,5 jam sejak mulai meletus dipadukan dengan citra instrumen MODIS dari satelit Aqua dalam kanal cahaya tampak yang jelas memperlihatkan awan debu Kelud (plume) dan awan-awan disekelilingnya. Hasil pengukuran memperlihatkan sebagian besar awan debu Kelud membumbung hingga 20 km dpl, namun puncaknya menjangkau ketinggian 26 km dpl. Sumber: NASA, 2014.

Gambar 2. Hasil pengukuran lidar satelit CALIPSO terhadap awan debu Kelud dalam 1,5 jam sejak mulai meletus dipadukan dengan citra instrumen MODIS dari satelit Aqua dalam kanal cahaya tampak yang jelas memperlihatkan awan debu Kelud (plume) dan awan-awan disekelilingnya. Hasil pengukuran memperlihatkan sebagian besar awan debu Kelud membumbung hingga 20 km dpl, namun puncaknya menjangkau ketinggian 26 km dpl. Sumber: NASA, 2014.

Informasi lebih detil diperoleh satelit CALIPSO (Cloud-Aerosol Lidar dan Infrared Pathfinder Satellite Observation), satelit cuaca hasil kerjasama AS dan Perancis yang ditempatkan di orbit polar setinggi 676 hingga 687 km dpl dengan inklinasi 98,2 derajat. CALIPSO bertumpu pada teknologi lidar (laser imaging detection and ranging) berbasis cahaya tampak dan inframerah terpolarisasi, masing-masing pada panjang gelombang berbeda masing-masing 5.320 dan 10.640 Angstrom. CALIPSO melintas di atas Indonesia dalam 1,5 jam setelah letusan dimulai dan berkesempatan melakukan pengukuran lidar pada awan debu Kelud. Hasilnya mengonfirmasi temuan satelit MTSAT-2, bahwa sebagian besar debu vulkanik Kelud membumbung hingga setinggi 20 km dpl. Namun puncak awan debunya lebih tinggi lagi karena menjangkau ketinggian 26 km dpl.

Plinian

Satelit hanya sanggup mencitra bagian atas dan puncak awan debu Kelud pada jam-jam pertama letusan saat memperlihatkan awan debu Kelud bergeometri sferis yang kemudian menjadi sedikit lonjong saat ukurannya meraksasa. Kita tak bisa melihat kolom debunya saat sedang menanjak di lapisan atmosfer terbawah sebelum kemudian menjadi awan debu. Namun dapat diperkirakan bahwa ukuran kolom debu letusan jauh lebih kecil ketimbang awan debunya. Sehingga secara keseluruhan semburan rempah vulkanik Kelud dalam jam-jam pertama letusan menampilkan pemandangan menyerupai payung atau jamur. Sehingga awan debu semacam ini dikenal sebagai awan jamur (mushroom clouds) yang kemudian akan berkembang menjadi awan bunga kol (cauliflower clouds) sebelum kemudian tersebar mengikuti hembusan angin. Awan jamur merupakan ciri khas pelepasan energi sangat tinggi dalam singkat, baik alamiah maupun buatan (manusia). Kita bisa melihat pola awan jamur ini misalnya dalam ledakan nuklir, khususnya dengan titik ledak di atmosfer, atau permukaan tanah, ataupun bawah tanah dangkal. Sementara secara alamiah awan jamur tercipta dalam letusan gunung berapi berskala tinggi dan tumbukan benda langit (komet/asteroid).

Gambar 3. Bentuk awan jamur dari rempah vulkanik yang disemburkan dalam jam pertama letusan bertipe plinian, dalam hal ini di Gunung Pinatubo (Filipina) pada tahun 1991. Sumber: USGS, 1991.

Gambar 3. Bentuk awan jamur dari rempah vulkanik yang disemburkan dalam jam pertama letusan bertipe plinian, dalam hal ini di Gunung Pinatubo (Filipina) pada tahun 1991. Sumber: USGS, 1991.

Terbentuknya awan jamur pada letusan Gunung Kelud dan dipadukan dengan data ketinggian puncak awan debunya berdasarkan citra satelit MTSAT-2 dan CALIPSO memastikan bahwa letusan tersebut merupakan letusan plinian. Inilah letusan yang melibatkan gas-gas vulkanik bertekanan sangat tinggi sehingga dampaknya dirasakan dalam daerah cukup luas. Dengan rempah vulkanik yang diletuskan mencapai 120 juta meter kubik, maka amukan Gunung Kelud kali ini memiliki skala 4 VEI (Volcanic Explosivity Index), setara dengan skala Letusan Merapi 2010 maupun Letusan Galunggung 1982-1983. Letusan gunung berapi pada skala tersebut memang bisa bertipe vulkanian (tinggi awan debu di bawah 20 km dpl) namun bisa pula plinian. Semuanya bergantung kepada besarnya tekanan gas vulkanik dalam kantung magma gunung berapi itu tepat sebelum letusan terjadi. Menurut Walker (1980), tekanan gas vulkanik dalam kantung magma jelang letusan plinian terjadi bisa lebih besar dari 1 MPa. Sehingga begitu letusan terjadi, gas vulkanik segera berhembus kencang sembari mendorong rempah vulkanik menyembur keluar dengan kecepatan awal melebihi kecepatan suara. Besarnya tekanan gas vulkanik juga mampu memecah dan bahkan menghancurkan sumbat lava ataupun kubah lava yang semula menutupi ujung saluran magma. Hal ini pula yang terjadi pada Gunung Kelud, dimana kubah lava 2007 telah hancur lebur dan tak berbekas dalam letusan plinian ini.

Letusan plinian tergolong jarang terjadi. Dalam catatan Global Volcanism Program, secara statistik letusan tipe ini yang berskala 4 VEI terjadi rata-rata sekali setiap 10 tahun. Terakhir kali letusan tipe ini terjadi di Indonesia pada 1982 saat Gunung Galunggung (Jawa Barat) meletus. Sedangkan untuk kawasan Asia Tenggara letusan ini terakhir kali terjadi pada tahun 1991 di Gunung Pinatubo (Filipina). Dengan jarangnya peristiwa ini, maka citra-citra satelit yang memonitor Gunung Kelud selama jam-jam pertama letusannya sangat membantu memahami apa letusan plinian sekaligus bagaimana persebaran debu vulkaniknya sehingga langkah antisipasi yang lebih baik bisa disiapkan lebih dini. Di samping itu, pengetahuan tentang letusan plinian juga membantu kita dalam memahami bagaimana letusan gunung berapi di planet lain atau satelit alaminya. Misalnya di Io, salah satu satelit alami Jupiter, yang kerap meletuskan gunung berapinya dan memuntahkan rempah vulkanik hingga setinggi 100km atau lebih.

Catatan: ditulis juga di LangitSelatan.

Referensi:

Global Volcanism Program Smithsonian Institution, http://volcano.si.edu/

Walker, G.P.L. 1980 The Taupo pumice: product of the most powerful known (ultraplinian) eruption. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 8 (1980) 69-94.

Detik-Detik Terakhir Satelit GOCE

Satelit penyelidik medan gravitasi Bumi pada ketelitian yang belum pernah dijumpai sebelumnya yang bertajuk GOCE (Gravity-field and steady-state Ocean Circulation Explorer) akhirnya purna dari tugasnya setelah lebih dari empat tahun mengangkasa. US Strategic Command merilis GOCE memasuki lapisan atmosfer yang lebih padat (atmospheric reentry) di atas Samudera Atlantik selatan di sekitar Kepulauan Falklands (Inggris) pada Senin 11 November 2013 pukul 00:16 UTC +/- 1 menit, atau pukul 07:16 waktu Indonesia (WIB) +/- 1 menit kala ketinggiannya telah menembus batas 80 kilometer dari paras air laut. Kejatuhan satelit GOCE sempat diabadikan Bill Chater di Falklands timur sekitar pukul 09:20 waktu setempat (00:20 UTC) lewat kamera dan videonya.

Gambar 1. Bangkai satelit GOCE melintas, memijar dan terpecah-belah di langit senja Kepulauan Falklands pada saat kejatuhannya, diabadikan oleh Bill Chater. Sumber: Chater, 2013.

Gambar 1. Bangkai satelit GOCE melintas, memijar dan terpecah-belah di langit senja Kepulauan Falklands pada saat kejatuhannya, diabadikan oleh Bill Chater. Sumber: Chater, 2013.

Citra hasil bidikan kamera lantas diunggahnya ke media sosial, namun tidak demikian dengan rekaman videonya seiring terbatasnya akses internet di Falklands. Dalam citra tersebut GOCE terlihat melintas dari selatan ke utara, awalnya sebagai bintik cahaya terang yang melesat cepat dan menghasilkan bentukan mirip ekor di langit senja Falklands. Tak lama berselang GOCE terpecah dalam dua bagian besar dan lalu terpecah-pecah kembali menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil. Bila ada bagian-bagian GOCE yang masih tersisa setelah menembus atmosfer, nampaknya semuanya jatuh tercebur ke Samudera Atlantik.

Ferrari

Jatuhnya GOCE memang kian menambah panjang daftar benda-benda angkasa buatan manusia yang berjatuhan tanpa terkontrol (uncontrolled reentry). Beberapa diantaranya sempat menimbulkan ancaman terhadap kualitas kehidupan manusia. Misalnya jatuhnya bangkai satelit mata-mata Kosmos 954 (Uni Soviet) di Canada pada 21 Januari 1978 yang menghamburkan bahan radioaktif Uranium-235 dari reaktornya dan mencemari lintasan sepanjang sekitar 600 kilometer. Pun jatuhnya bangkai stasiun antariksa Skylab (AS) pada 11 Juli 1979 di sekitar kota Esperance, Balladonia dan Rawlina (Australia). Demikian pula jatuhnya bangkai stasiun antariksa Salyut 7 (Uni Soviet) di kota kecil Capitan Bermudez, 400 kilometer dari Buenos Aires (Argentina) pada 7 Februari 1991. Namun begitu tulisan ini tak bertujuan untuk mengupas dampak sampah antariksa yang berjatuhan ke Bumi, melainkan pada bagaimana proses tersebut terjadi. Dan proses jatuhnya GOCE memberikan kesempatan unik yang menambah pengetahuan kita tentang bagaimana proses jatuhnya sebuah sampah antariksa yang dikendalikan.

Gambar 2. Salah satu frame video rekaman jatuhnya bangkai satelit GOCE, diabadikan oleh Bill Chater. Nampak jejak asap mirip jejak kondensasi (contrail) di sepanjang lintasan GOCE. Sumber: Chater, 2013.

Gambar 2. Salah satu frame video rekaman jatuhnya bangkai satelit GOCE, diabadikan oleh Bill Chater. Nampak jejak asap mirip jejak kondensasi (contrail) di sepanjang lintasan GOCE. Sumber: Chater, 2013.

GOCE adalah satelit unik. Agar bisa memetakan medan gravitasi Bumi dalam resolusi yang dikehendaki (yakni kurang dari 100 kilometer), maka satelit ini harus mengorbit Bumi pada ketinggian kurang dari 270 kilometer terhadap paras air laut rata-rata. Dengan begitu orbit GOCE jauh lebih rendah dibanding satelit-satelit orbit rendah pada umumnya. Di sisi lain, pembatasan tersebut membuat satelit GOCE bakal mengalami gaya hambat lebih besar karena berada di lingkungan yang molekul-molekul udaranya lebih padat dibanding orbit lebih tinggi. Pada saat yang sama ketinggian satelit GOCE bakal berfluktuasi sedikit mengikuti dinamika konsentrasi massa di bagian Bumi yang sedang dilintasinya. Kedua tantangan berbeda itu membuat badan antariksa Eropa (ESA) merancang satelit GOCE dengan struktur yang aerodinamis, sehingga berbentuk panjang, ramping, bersayap (panel surya) dengan tonjolan permukaan yang minimal. Struktur aerodinamis ini membuat gaya gesek molekul-molekul udara yang dialami GOCE pun minim. Sedangkan untuk mengompensasi penurunan ketinggian (akibat penurunan kecepatan oleh gaya gesek molekul-molekul udara) dan fluktuasi ketinggian akibat distribusi konsentrasi massa bagian Bumi yang tak merata, maka satelit GOCE dilengkapi mesin ion dengan Xenon sebagai bahan bakarnya. Untuk itu satelit GOCE membawa hingga 40 kilogram Xenon yang dikenal ramah lingkungan. Desain yang futuristik dengan bahan bakar yang tak kalah futuristiknya membuat satelit GOCE pun dijuluki ‘satelit Ferrari’.

Gambar 3. Gambaran artis tentang dimensi satelit GOCE saat masih bekerja di orbit operasionalnya dan sedang menyalakan salah satu dari sepasang mesin ion-nya. Struktur dan bahan bakar satelit yang futuristis membuat GOCE dijuluki satelit Ferrari. Sumber: ESA, 2013.

Gambar 3. Gambaran artis tentang dimensi satelit GOCE saat masih bekerja di orbit operasionalnya dan sedang menyalakan salah satu dari sepasang mesin ion-nya. Struktur dan bahan bakar satelit yang futuristis membuat GOCE dijuluki satelit Ferrari. Sumber: ESA, 2013.

Setelah mengangkasa semenjak 17 Maret 2009, satelit GOCE kehabisan bahan bakar Xenon-nya pada 18 Oktober 2013 lalu sehingga dalam tiga hari kemudian ESA mendeklarasikan berakhirnya misi GOCE. Praktis setelah itu satelit GOCE pun menyandang status sampah antariksa. Namun satelit GOCE masih tetap aktif hingga saat-saat terakhir kehidupannya, berbeda dengan satelit-satelit lainnya yang pernah berstatus serupa dan telah mati jauh hari sebelumnya. Maka peluang unik pun tercipta dalam memahami lebih lanjut proses jatuhnya sampah antariksa yang tak terkontrol.

Unik

Pada saat diluncurkan, awalnya satelit GOCE berada di orbit setinggi 280 kilometer untuk kemudian berangsur-angsur diturunkan ke orbit operasional di ketinggian 260 kilometer yang bertahan hingga hampir tiga tahun kemudian. Pertengahan 2012, untuk mengantisipasi habisnya bahan bakar, satelit GOCE pun diturunkan lagi secara gradual hingga akhirnya berada di ketinggian 223 kilometer yang terus bertahan hingga 18 Oktober 2013. Meski menderita gaya gesek lebih besar, yakni hingga mendekati 8 mN (miliNewton) ketimbang saat berada di orbit 260 kilometer yang lebih kecil yakni antara 2 hingga 4 mN, namun pada orbit 223 kilometer ini seluruh instrumen GOCE masih tetap bekerja normal.

Begitu satelit GOCE kehabisan bahan bakarnya, ketinggiannya pun menurun drastis meski semua instrumennya tetap bekerja normal. Observasi awal menunjukkan meskipun ketinggiannya mulai menurun, namun dengan bentuknya yang aerodinamis maka GOCE tetap stabil dalam sikapnya. Sehingga komunikasi dan telemetri data tetap berlangsung dengan baik. Situasi berubah semenjak 9 November 2013, saat gaya gesek yang diderita satelit ini telah melampaui 90 mN. Gaya gesek yang kian meninggi membuat akselerometer GOCE tersaturasi yang membuat kinerja Electrostatic Gravity Gradiometer terganggu. Maka instrumen utama GOCE ini pun dimatikan sejak 10 November 2013. Saat itu satelit GOCE telah kian menurun dengan ketinggian tinggal 133 kilometer (pukul 15:30 UTC) dengan orbit telah berubah menjadi 131 x 142 kilometer. GOCE mengalami penurunan ketinggian hingga 1,5 kilometer/jam namun dengan sikap (attitude) yang stabil sehingga instrumen GPS-nya tetap berfungsi dengan baik.

Gambar 4. Satelit GOCE diabadikan dari muka Bumi oleh Ralf Vandebergh (Belanda) dengan teleskop dan kamera khusus pada 22 September 2013, sebulan sebelum misinya dinyatakan berakhir (atas dan bawah), dibandingkan dengan gambaran artis ESA mengenai satelit tersebut (tengah). Garis kuning menunjukkan posisi sayap GOCE.Sumber: Vandebergh, 2013.

Gambar 4. Satelit GOCE diabadikan dari muka Bumi oleh Ralf Vandebergh (Belanda) dengan teleskop dan kamera khusus pada 22 September 2013, sebulan sebelum misinya dinyatakan berakhir (atas dan bawah), dibandingkan dengan gambaran artis ESA mengenai satelit tersebut (tengah). Garis kuning menunjukkan posisi sayap GOCE.Sumber: Vandebergh, 2013.

Pada pukul 17:30 UTC satelit GOCE masih tetap menjalin komunikasi dengan stasiun bumi Kiruna meskipun ketinggiannya kian merosot dan sudah menembus batas 130 kilometer. Imbas dari lapisan udara yang lebih padat mulai dirasakan dengan naiknya suhu komputer dan baterei menjadi 45 derajat Celcius. Pukul 19:50 UTC satelit GOCE kembali menjalin komunikasi, kali ini dengan stasiun bumi Troll (Antartika) dan melaporkan ketinggiannya tinggal 126 kilometer dan kian memanas sehingga suhu baterei dan komputernya melonjak ke 54 derajat Celcius. Komunikasi dengan Troll kembali berulang pada pukul 21:26 UTC, saat satelit GOCE tinggal setinggi 122 kilometer dengan suhu baterei dan komputernya terus meningkat hingga 64 sebesar derajat Celcius. Komunikasi terakhir berlangsung pukul 22:42 UTC saat satelit telah menempati orbit baru 118 x 127 kilometer dengan suhu komputer setinggi 80 derajat Celcius sementara suhu batereinya 84 derajat Celcius.

Pasca komunikasi terakhir ini satelit masih beredar mengelilingi Bumi sekali lagi dengan orbit kian menurun, kini tinggal 109 x 121 kilometer. Lintasan terakhir ini melewati Indonesia dari arah timur-timur laut menuju barat-barat daya, tepatnya melintas di atas Selat Makassar berdekatan dengan garis pantai pulau Kalimantan, Laut Flores dan pulau Lombok. Sempat muncul dugaan ia akan jatuh di wilayah Indonesia, mengingat ESA sempat memprediksi titik kejatuhan satelit ini di selatan pulau Lombok. Namun rupanya satelit GOCE masih tetap melaju tanpa terganggu dan lantas menyusuri Samudera Hindia sebelah barat Australia hingga Antartika. Pantauan radar US Strategic Command menunjukkan akhirnya satelit GOCE benar-benar jatuh pada pukul 00:16 UTC dengan mengambil lokasi di dekat Kepulauan Falklands, ujung selatan benua Amerika. Pada saat itu ketinggiannya telah merosot jauh hingga tinggal 80 kilometer, yang membuatnya tak sanggup bertahan lagi.

Pelajaran

Jatuhnya bangkai satelit buatan yang tak terkontrol telah dikenal semenjak fajar abad antariksa, tepatnya semenjak satelit buatan pertama yakni Sputnik-1 jatuh dalam waktu tiga bulan setelah mengangkasa. Namun sayangnya bagaimana kejadiannya dan faktor-faktor yang mengontrolnya masih belum bisa diketahui dengan pasti. Pada dasarnya kita baru bisa mengetahui dimana lokasi jatuhnya sebuah satelit buatan yang tak terkontrol hanya dalam menit-menit terakhir. Dengan kian meningkatnya aktivitas pengiriman armada satelit-satelit buatan ke orbit Bumi yang berujung pada kian membengkaknya jumlah sampah antariksa yang bertebaran di atas sana, situasinya pun kian mengkhawatirkan mengingat pada umumnya tak seluruh bagian satelit buatan tersebut yang hancur menguap di atmosfer. Bagian-bagian yang tahan panas umumnya akan bertahan dan jatuh mencium paras Bumi dengan kecepatan tertentu. Selain potensi kerusakan bangunan/benda yang dikenai tumbukannya, potensi cemaran lingkungan akibat eksistensi bahan toksik (seperti hidrazin) ataupun bahan radioaktif tertentu pun terbuka. Belum lagi bagaimana interaksi keping-keping satelit buatan yang jatuh dengan penerbangan komersial seperti diperlihatkan kasus Airbus A340 LAN Airlines (Chile) berpenumpang 270 orang yang hampir bertabrakan dengan keping-keping satelit mata-mata Russia di atas Samudera Pasifik pada 27 Maret 2007 saat menerbangi rute Santiago (Chile) – Auckland (Selandia Baru).

Gambar 5. Titik jatuhnya satelit GOCE di dekat Kepulauan Falklands (kiri) dan lintasan terakhirnya di atas Indonesia berdasarkan data TLE (two-line element) GOCE epoch 10 November 2013 23:03 UTC (kanan). Sumber; Sudibyo, 2013 berdasarkan data USSTRATCOM dan ESA, 2013.

Gambar 5. Titik jatuhnya satelit GOCE di dekat Kepulauan Falklands (kiri) dan lintasan terakhirnya di atas Indonesia berdasarkan data TLE (two-line element) GOCE epoch 10 November 2013 23:03 UTC (kanan). Sumber; Sudibyo, 2013 berdasarkan data USSTRATCOM dan ESA, 2013.

Jatuhnya satelit GOCE membuat kita selangkah lebih maju dalam memahami proses tersebut. Kini kita tahu pemanasan akibat gaya gesek satelit dengan udara mulai dirasakan pada ketinggian sekitar 130 kilometer. Kini kita pun tahu bahwa jika satelit memiliki bentuk yang aerodinamik, maka sikapnya akan tetap stabil sehingga telemetri data bisa terus berlangsung. Dan kini kita pun tahu bahwa satelit yang aerodinamik masih tetap bertahan meskipun telah menembus batas ketinggian 122 kilometer, batas yang selama ini diyakini sebagai titik awal proses jatuhnya satelit buatan.

Catatan: juga ditulis di langitselatan.