Melongok Saturnus ‘Ditelan’ Bulan

Nama resminya adalah okultasi Saturnus oleh Bulan, atau diringkas sebagai okultasi Bulan-Saturnus. Ini adalah peristiwa unik dimana sebuah benda langit dengan diameter tampak/diameter sudut jauh lebih kecil (dalam hal ini planet Saturnus) memiliki koordinat bujur ekliptika yang sama serta koordinat lintang ekliptika yang hampir sama dengan benda langit berdiameter sudut lebih besar (dalam hal ini Bulan). Dengan demikian okultasi merupakan kasus khusus dari konjungsi, dimana terdapat persyaratan tambahan terkait koordinat lintang ekliptika yang sama/hampir sama pula. Sebagai konsekuensinya jarak sudut (elongasi) antara keduanya amat sangat kecil dan dengan planet Saturnus terletak lebih jauh ketimbang Bulan maka planet ini akan terlihat menghilang untuk sementara waktu. Bisa dikatakan pada saat itu Saturnus sedang ‘tertelan’ oleh Bulan.

Gambar 1. Planet Saturnus (tanda panah kuning) sebagai segores garis cahaya redup di tengah langit yang masih terang benderang. Saturnus seakan mengambang di atas bagian Bulan yang hanya nampak sebagian saja di kawasan Mare Crisium dan sekitarnya. Diabadikan pada 4 Agustus 2014 dalam 10 menit sebelum terbenamnya Matahari dengan teknik afokal lewat eyepiece (okuler) 10 mm untuk kemudian diproses dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 1. Planet Saturnus (tanda panah kuning) sebagai segores garis cahaya redup di tengah langit yang masih terang benderang. Saturnus seakan mengambang di atas bagian Bulan yang hanya nampak sebagian saja di kawasan Mare Crisium dan sekitarnya. Diabadikan pada 4 Agustus 2014 dalam 10 menit sebelum terbenamnya Matahari dengan teknik afokal lewat eyepiece (okuler) 10 mm untuk kemudian diproses dengan GIMP 2. Sumber: Sudibyo, 2014.

Peristiwa ini mirip gerhana sehingga kadang disebut pula dengan Gerhana Saturnus. Hanya saja karena Saturnus tampak jauh lebih kecil dibanding Bulan, penggunaan istilah gerhana menjadi tidak pas. Berbeda dengan Bulan dan Matahari, dimana keduanya nampak hampir sama besarnya (dilihat dari Bumi), maka terminologi gerhana bisa ditabalkan bagi keduanya. Dari sisi sosial budaya, istilah gerhana jauh lebih populer di mata publik dan jauh melampaui batas-batas astronomi hingga merangsek ke ranah religius dan budaya. Sebaliknya istilah okultasi nyaris tak dikenal.

Pemandangan dalam peristiwa okultasi adalah hampir menyerupai panorama gerhana. Pada okultasi Saturnus oleh Bulan, maka Saturnus secara gradual akan menghilang ‘tertelan’ Bulan. Dalam beberapa waktu kemudian, Saturnus akan kembali menampakkan diri seolah ‘dimuntahkan’ dari sisi lain Bulan. Detik-detik saat Saturnus ‘tertelan’ Bulan menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Pun sebaliknya detik-detik saat Saturnus kembali ‘dimuntahkan’ Bulan.

Okultasi

Pada 2014 ini, salah satu peristiwa okultasi Saturnus oleh Bulan terjadi pada Senin 4 Agustus 2014. Seperti halnya gerhana Matahari, okultasi ini tidak bisa disaksikan di segenap penjuru permukaan Bumi, melainkan hanya di wilayah tertentu saja yang tercakup dalam kawasan umbra. Pada okultasi 4 Agustus 2014 ini, kawasan umbra itu membentang dari Samudera Pasifik ke Samudera Indonesia (Samudera Hindia). Daratan yang terlintasinya mencakup seluruh Timor Leste, hampir seluruh Australia, sebagian Indonesia, sebagian India, sebagian Papua Nugini, sebagian kecil Jazirah Arabia bagian selatan (mencakup Yaman dan Oman) serta kawasan tanduk Afrika (Ethiopia, Somalia, Somaliland dan sekitarnya).

Gambar 2. Peta kawasan umbra untuk peristiwa okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 dalam lingkup global. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari LunarOccultations.com

Gambar 2. Peta kawasan umbra untuk peristiwa okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 dalam lingkup global. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari LunarOccultations.com

Okultasi ini terjadi saat Bulan memiliki wajah separuh (fase 54 %), sehingga cahaya Bulan belum terlalu benderang. Bulan berwajah separuh ini secara teoritis memiliki magnitudo semu -10,3 sehingga dengan mudah dapat dilihat bahkan di kala siang bolong. Sebaliknya Saturnus jauh lebih redup dengan magnitudo semu hanya +0,5 atau hampir 21.000 kali lebih redup dibanding Bulan pada saat yang sama. Di malam hari, Saturnus pun mudah dilihat mata bahkan tanpa menggunakan alat bantu optik sekalipun karena relatif cukup terang. Namun tidak demikian halnya di siang hari, kecuali menggunakan teleskop tertentu. Hal ini membatasi kemampuan untuk menyaksikan peristiwa okultasi ini.

Jika tak menggunakan alat bantu optik, maka okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 hanya akan bisa diamati pada malam hari, paling tidak saat langit masih bergelimang cahaya senja. Cahaya senja melaburi langit barat pada saat Matahari telah terbenam hingga berkedudukan 18 derajat di bawah horizon. Sementara jika dibantu alat optik seperti teleskop, okultasi Saturnus oleh Bulan berkemungkinan terlihat sejak sebelum terbenamnya Matahari.

Gambar 3. Peta kawasan umbra untuk peristiwa okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 untuk Indonesia. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari LunarOccultations.com

Gambar 3. Peta kawasan umbra untuk peristiwa okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 untuk Indonesia. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan data dari LunarOccultations.com

Di Indonesia, wilayah umbra okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 meliputi seluruh pulau Sumatra, Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara, sebagian kecil pulau Kalimantan, sebagian Kepulauan Aru, ujung selatan pulau Sulawesi dan ujung selatan pulau Irian. Namun wilayah yang sepenuhnya mengalami okultasi pada malam hari hanyalah dari pulau Flores dan pulau Sumba ke arah timur. Wilayah di antara pulau Jawa bagian timur hingga pulau Flores dan Sumba mengalami okultasi pada saat langit dikemuli cahaya senja. Sementara sisanya mengalami okultasi pada siang hari, sehingga sulit untuk diamati.

Observasi

Jika mencermati kalender astronomi maka informasi okultasi Saturnus oleh Bulan pada 4 Agustus 2014 sejatinya telah tercantum semenjak awal 2014. Namun dalam praktiknya ia baru beredar dalam seminggu terakhir. Karena peristiwanya dapat diprediksi, maka persiapan observasinya bisa dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Tantangannya, Indonesia baru saja usai merayakan Idul Fitri 1435 H, sehingga para pengamat mungkin belum sempat tiba di lokasinya masing-masing selama ini. Tantangan berikutnya terkait cuaca, dimana BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) telah meramalkan langit pulau Jawa bakal ditutupi awan/mendung dan ada potensi hujan ringan/sedang di beberapa daerah.

Gambar 4. Planet Saturnus dan Bulan, empat jam setelah Matahari terbenam pada 4 Agustus 2014 lewat celah di antara awan yang berarak-arak. Saat itu kedua benda langit tersebut terpisahkan jarak sudut (elongasi) sebesar 1,5 derajat menurut Starry Night. Diabadikan dengan teknik fokus prima dengan waktu penyinaran (exposure time) 4 kali lipat lebih lambat dibanding seharusnya, sehingga Saturnus dapat terekam cukup terang. Konsekuensinya Bulan nampak sedikit kelebihan paparan cahaya (overexposure) sehingga sedikit memutih. Sumber; Sudibyo, 2014.

Gambar 4. Planet Saturnus dan Bulan, empat jam setelah Matahari terbenam pada 4 Agustus 2014 lewat celah di antara awan yang berarak-arak. Saat itu kedua benda langit tersebut terpisahkan jarak sudut (elongasi) sebesar 1,5 derajat menurut Starry Night. Diabadikan dengan teknik fokus prima dengan waktu penyinaran (exposure time) 4 kali lipat lebih lambat dibanding seharusnya, sehingga Saturnus dapat terekam cukup terang. Konsekuensinya Bulan nampak sedikit kelebihan paparan cahaya (overexposure) sehingga sedikit memutih. Sumber; Sudibyo, 2014.

Syukurlah dalam realitanya Senin sore 4 Agustus 2014 berlalu tanpa rintik-rintik hujan, hanya awan nampak bergerombol di sudut-sudut tertentu. Maka ‘peralatan perang’, yang mencakup teleskop refraktor (pembias) 70 mm beserta kamera poket Sony DSC S-600 dan kamera DSLR Nikon D-60, pun disiapkan. Walau rutinitas harian membuat penulis baru bisa melaksanakan observasi sekira setengah jam sebelum Matahari terbenam.

Gambar 5. Bulan dalam wajah separuh, empat jam setelah terbenamnya Matahari pada 4 Agustus 2014. Diabadikan dengan waktu penyinaran dua kali lipat lebih lambat dari seharusnya, namun sapuan awan tipis yang berarak di latar depannya membuat Bulan nampak lebih redup. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 5. Bulan dalam wajah separuh, empat jam setelah terbenamnya Matahari pada 4 Agustus 2014. Diabadikan dengan waktu penyinaran dua kali lipat lebih lambat dari seharusnya, namun sapuan awan tipis yang berarak di latar depannya membuat Bulan nampak lebih redup. Sumber: Sudibyo, 2014.

Setengah jam sebelum terbenamnya Matahari, langit masih cukup benderang bila dilihat dengan teleskop meski Bulan terlihat jelas. Tak ada tanda-tanda Saturnus. Namun dalam 10 menit kemudian Saturnus mulai terdeteksi dengan jarak demikian dekat dari Bulan, seolah-olah baru saja ‘dimuntahkan’ sang pengawal setia Bumi itu. Di tengah langit yang masih benderang, Saturnus hanya terlihat sebagai segores cahaya redup. Dengan mengatur fokus teleskop secara halus dan perlahan, maka planet ini pun dapat dilihat dengan lebih jelas, termasuk cincinnya. Tantangan terbesar dalam observasi ini adalah posisi Bulan dan Saturnus yang nyaris tegak di atas kepala (berdekatan dengan titik zenith). Sehingga teleskop harus diarahkan demikian mendongak dan ini menyulitkan posisi kamera DSLR. Maka kamera poket pun digunakan untuk mencitra dengan teknik afokal.

Gambar 6. Planet Saturnus, empat jam setelah terbenamnya Matahari pada 4 Agustus 2014. Diabadikan sendirian tanpa menyertakan Bulan yang ada didekatnya. Sumber: Sudibyo, 2014.

Gambar 6. Planet Saturnus, empat jam setelah terbenamnya Matahari pada 4 Agustus 2014. Diabadikan sendirian tanpa menyertakan Bulan yang ada didekatnya. Sumber: Sudibyo, 2014.

Hampir empat jam kemudian, usai menjalani rutinitas harian, observasi pun kembali diulang. Kali ini langit telah betul-betul gelap dan Bulan telah demikian condong ke barat sehingga kamera DSLR untuk mencitra dengan teknik fokus prima bisa dipasang. Tantangannya ada pada tabiat langit yang cepat berubah. Gelombang demi gelombang awan seakan-akan menyerbu dari utara, berduyun-duyun menutupi pandangan ke arah Bulan dan Saturnus. Observasi pun benar-benar harus dilakukan dengan memanfaatkan celah di antara awan. Dan celah tersebut tidak bertahan lama. Tantangan lainnya ada pada teknik astrofotografinya. Pada ISO 200 dan f-ratio/f-stop sebesar 12,9 maka Bulan berwajah separuh paling baik dicitra (difoto) dengan waktu penyinaran (exposure time) 1/48 detik. Sebaliknya planet Saturnus paling baik difoto pada waktu penyinaran 1/12 detik. Setelah melalui serangkaian eksperimen pencitraan, maka Bulan dan Saturnus pun diabadikan dengan waktu penyinaran antara 1/8 detik hingga 1/10 detik. Meski baru berselang 4 jam pasca okultasi, Bulan ternyata telah beringsut cukup jauh dari Saturnus yakni hingga 1,5 derajat busur.

4 respons untuk ‘Melongok Saturnus ‘Ditelan’ Bulan

  1. infonya bagus..
    tanggal 4 agustus kemarin sore sekitar pukul setengah 6 saya mengamati langit dari daerah katinangor, kab sumedang.. saya gak ada fotonya. tp waktu itu ada yg unik sama langitnya..
    jd ada benda langit yg bulat kayak bentuk bulan purnama tp jaraknya keliatan deket bgt, warnanya orange terang, dibaliknya ada matahari yg ketutup awan tebal. keren deh. apa itu okultasi ??
    waktu menjelang magrib dia menghilang. makasih 😀

    • marufins berkata:

      Langitnya berawan? Namun di arah Matahari, langitnya sedikit tersibak sehingga Mataharinya kelihatan? Kalo ciri2nya begitu, IMHO, sepertinya itu kasus Matahari semu alias sundog. Jadi cahaya Matahari dibiaskan demikian rupa oleh kristal2 es (dalam awan) di atmosfer, lalu berkumpul di beberapa titik yang jika dilihat sekilas mirip2 dengan bentuk Matahari

Tinggalkan Balasan ke marufins Batalkan balasan