Gunung Slamet (3.428 meter dari paras air laut) di Jawa Tengah terkesan kian menjadi-jadi saja. Bukannya lebih kalem dan bertambah ‘jinak’, ia kini justru kian gemar mempertontonkan kegagahannya kepada siapapun manusia yang sedang berada ataupun bermukim di sekujur kaki dan lerengnya. Semenjak kembali menyandang status Siaga (Level III) per 12 Agustus 2014 silam, intensitas letusan gunung berapi aktif tertinggi kedua di seantero pulau Jawa ini cenderung meningkat. Suara dentuman dan gemuruh kian sering terdengar. Kian jauh pula daerah yang sanggup mendengar dentuman tersebut. Getaran tanah pun kian kerap terjadi, membuat kaca-kaca jendela pada bangunan-bangunan di kaki gunung rutin berderak-derak. Kepulan debu vulkanik yang dilepaskan dari lubang letusan kian meninggi saja. Dan di malam hari material berpijar yang mirip kembang api raksasa juga lebih sering muncul dengan ketinggian semburan kian meninggi saja. Kini pancuran api tersebut bahkan sudah mulai bisa dilihat dari kota Purwokerto, menjadikan Gunung Slamet ibarat menara api penerang gelapnya malam hari.
Tak hanya itu, batu cair panas mirip bubur kental yang kita kenal sebagai lava pun sudah menyeruak ke lantai kawah dalam jumlah cukup banyak. Kawah Slamet pun tak lagi sanggup menampungnya, hingga meluber melalui lekukan kawah di sisi barat daya sebagai lava pijar yang mengalir sejauh 1.500 meter. Bahkan pada Kamis 11 September 2014 dini hari kemarin lava pijar terdeteksi telah mengalir pula ke lereng timur, juga melalui lekukan kawah di sini, hingga sejauh 1.300 meter. Lava menjulur demikian jauh hingga memasuki kawasan padang sabana di batas vegetasi lereng utara. Akibatnya kawasan bersemak-belukar itu pun mulai terbakar. Hingga beberapa jam kemudian kebakaran itu kian meluas hingga radius 4 km dari kawah. Di siang harinya Gunung Slamet kembali memperlihatkan kebolehannya dengan menampakkan fenomena unik yang jarang terjadi, yakni terbentuknya cincin asap. Muncul pada sekitar pukul 12:45 WIB, cincin asap ini menghembus demikian tinggi hingga mudah dilihat baik dari kaki gunung bagian selatan maupun utara. Sebelumnya hujan debu telah mengguyur beberapa bagian di sekitar kaki gunung. Tak hanya debu vulkanik, di dekat puncak gunung bahkan telah diguyur hujan kerikil dan pasir.
Tak pelak tabiat Gunung Slamet kali ini membuat sebagian kita resah. Apalagi ditambahi informasi sejumlah hewan liar mulai turun dari hutan belantara di tubuh gunung. Keresahan meraja di sebagian kita yang sedang berada atau bertempat tinggal di sekitar gunung. Juga bagi yang memiliki sanak saudara di sini. Informasi tak berkeruncingan dari sumber-sumber yang tak dapat dipertanggungjawabkan pun membanjir. Demikian pula gambar/foto. Ada berbagai foto akan letusan gunung berapi dan jilatan awan panasnya yang diklaim sebagai letusan Gunung Slamet, padahal itu adalah foto comotan dari letusan Gunung Sinabung (Sumatra Utara) di awal tahun ini. Penampakan cincin asap pun dicermati sebagai kemunculan Mbah Bebek dan dianggap pertanda buruk. Dalam situasi dimana hampir sebagian besar kita memiliki perangkat ponsel terkini dengan segala kecanggihannya namun pada saat yang sama relatif awam akan kegunungapian, tak pelak sebaran foto-foto tersebut membuat rasa cemas dan resah kita kian meningkat. Kecemasan yang tak pada tempatnya mengingat perilaku Gunung Slamet sendiri tak seheboh itu.
Apa yang kini terjadi dengan Gunung Slamet? Bagaimana status aktivitasnya? Apakah lava pijar yang panas membara itu akan mengalir lebih jauh lagi hingga bisa mencapai pemukiman di kaki gunung? Apakah awan panas akan segera terbentuk mengikuti lava pijar? Apa yang sebaiknya dilakukan?
Aktivitas
Sejak menyandang status Siaga (Level III) untuk kedua kalinya, intensitas letusan Gunung Slamet memang tinggi. Pun demikian dalam seminggu terakhir. Merujuk data yang dihimpun secara terus-menerus dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI melalui pos pengamatan Gambuhan, Pemalang, kegempaan vulkanik Gunung Slamet menjadi bukti betapa riuhnya gunung itu. Masih terdeteksi adanya pasokan magma segar yang membuncah dari perutbumi nun jauh di bawah gunung, seperti diperlihatkan beberapa kejadian gempa vulkanik semenjak 4 hingga 6 September 2014.
Masih terjadinya gempa vulkanik menjadi pertanda jelas bahwa Gunung Slamet masih mendapatkan pasokan magma segar dari perutbumi. Cepat atau lambat magma ini pasti bakal keluar melalui lubang letusan yang sudah lama terbentuk di dasar kawah aktif Slamet. Benar saja. Lontaran material pijar (yang terlihat sebagai sinar api) dan lava pijar Gunung Slamet mendadak meroket pada 9 hingga 11 September 2014. Bersamaan dengannya gempa letusan, yakni getaran yang terjadi bersamaan dengan semburan asap abu-abu (pertanda debu vulkanik) dari kawah, mulai terjadi kembali dan segera melonjak. Gempa hembusan, yakni getaran yang bersamaan dengan berkepulnya asap putih (pertanda uap air) dari kawah, kian melonjak. Aktivitas letusan dan hembusan ini masih dibarengi dengan terjadinya tremor vulkanik menerus, sebagai pertanda terus terjadinya pelepasan gas-gas vulkanik dari magma yang sedang mulai membeku menjelang terlontar dari lubang letusan bersamaan dengan gerakan magma itu sendiri, terus berlangsung semenjak Agustus.
Jelas terlihat meningkatnya intensitas letusan Gunung Slamet pada 9 hingga 11 September 2014 merupakan imbas dari pasokan magma segar baru yang terus terjadi, seperti diperlihatkan gempa vulkaniknya. Magma segar yang mulai membeku saat keluar dari lubang letusan kini tak lagi hanya berupa bongkahan material beragam ukuran yang masih memijar, seperti halnya yang terjadi pada letusan Slamet sebelumnya (misalnya letusan 1999-2000 dan letusan 1988). Namun juga berupa lava, sebuah fenomena yang jarang terjadi dalam era sejarah tercatat di gunung berapi ini.
Material vulkanik yang dimuntahkan Gunung Slamet sepanjang letusan 2014-nya kali ini nampaknya cukup banyak dalam kisaran jutaan meter kubik. Selain memenuhi lantai kawah aktif hingga meluber menjadi lava pijar ke barat daya dan kemudian juga ke timur, sebagian material vulkaniknya (termasuk lava) telah membentuk gundukan yang mengerucut di sekeliling lubang letusan. Observasi lapangan (misalnya yang dilakukan secara pribadi oleh mas Aris Yanto) maupun pencitraan satelit memastikan keberadaan gundukan kerucut ini. Namun di pucuk gundukan ini masih tetap terdapat ujung lubang letusan tanpa tertutupi material sama-sekali, berbeda dengan kubah lava pada umumnya yang relatif tersumbat. Fenomena ini menunjukkan bahwa saluran magma/diatrema Gunung Slamet memang tetap terbuka.
Munculnya cincin asap yang langka juga menunjukkan bahwa saluran magma memang tetap terbuka. Cincin asap secara umum hanya bisa terjadi saat asap, yakni gas-gas vulkanik, berkumpul demikian rupa dalam ruang sempit berbentuk/mirip tabung. Kemudian ia menghembus keluar pada tekanan dan kecepatan yang pas. Sehingga selepas keluar dari ruang tersebut, asap tetap mempertahankan bentuk geometri tabung tempat semula ia berada tanpa melayang terlalu rendah ataupun buyar tersapu tekanannya sendiri. Cincin asap dalam letusan gunung berapi adalah pemandangan yang sangat langka, apalagi di Indonesia. Selain di Gunung Slamet, sejauh ini bentuk cincin asap sejenis baru terdokumentasikan dalam letusan Gunung Batutara di pulau Lembata (Nusa Tenggara Timur) dan Gunung Sinabung (Sumatra Utara). Dalam khasanah kegunungapian, selain menjadi pertanda terbukanya saluran magma fenomena cincin asap juga menjadi petunjuk untuk memahami bentuk dan diameter saluran magma.
Status Aktivitas
Dengan semua dinamika dalam seminggu terakhir, bagaimana status aktivitas Gunung Slamet?
Ada empat level status aktivitas yang dapat melekat di sebuah gunung berapi Indonesia untuk kurun tertentu. Status Aktif Normal (Level I) menjadi level terendah. Aktif Normal secara umum terjadi bila gunung berapi tidak mengalami pergerakan magma segar yang signifikan. Meski tetap melepaskan gas vulkanik dan gempa-gempa khas gunung berapi, kecuali gempa vulkanik dalam, namun semuanya berada dalam rentang nilai rata-rata secara statistik. Di level berikutnya ada status Waspada (Level II). Secara umum status ini terjadi tatkala magma dalam perutbumi mulai bergerak naik sehingga menimbulkan peningkatan jumlah gempa vulkanik dalam dan dangkal. Pelepasan gas vulkanik mulai meningkat namun belum diikuti perubahan bentuk tubuh gunung (deformasi). Dalam status ini kewaspadaan manusia yang tinggal di sekitar gunung sebaiknya mulai ditingkatkan. Barang-barang yang dibutuhkan dalam rangka evakuasi kelak sudah mulai disiapkan, meskipun evakuasi belum terjadi. Kawasan terlarang pun umumnya mulai dibentuk, meski tidak semua gunung berapi mengalami hal demikian. Kawasan terlarang dalam status Waspada (Level II) meski masih beradius kecil dari kawah aktif.
Jika pergerakan magma segar terus berlangsung maka gunung berapi bakal memasuki status lebih tinggi, yakni Siaga (Level III). Secara umum pada status ini magma telah bergerak cukup signifikan hingga mulai memasuki tubuh gunung berapi. Akibatnya gempa vulkaniknya meroket disertai pelepasan gas vulkanik dan mulai terdeformasinya tubuh gunung dalam wujud penggelembungan (inflasi). Dapat terjadi magma sudah mencapai kepundan dan menyeruak keluar sebagai letusan (erupsi) lewat lubang letusan yang dibuatnya. Jika berupa lava, magma yang ter-erupsi bisa terkumpul di satu titik sebagai kubah lava maupun tersebar sebagai lava pijar. Kubah lava mungkin dapat longsor dan menghasilkan awan panas (piroklastika), namun jangkauannya relatif pendek. Dalam status ini meski sudah meletus tapi intensitasnya rendah. Sehingga lava dan awan panasnya belum mengancam umat manusia di yang bermukim di sekitar tubuh gunung. Pada status ini evakuasi masyarakat sudah mulai dilakukan, khususnya yang berdiam di kawasan terlarang. Radius kawasan terlarang juga diperluas. Dan status berikutnya sekaligus yang tertinggi adalah Awas (Level IV), yang secara umum terjadi saat intensitas letusan kian meningkat sehingga produk letusannya khususnya lava dan awan panasnya sudah mulai mengancam pemukiman manusia secara langsung. Dalam status ini radius kawasan terlarang kian diperluas dan evakuasi segenap manusia didalamnya menjadi hal mutlak.
Saat ini Gunung Slamet berstatus Siaga (Level III). Magma sudah keluar di permukaan. Sebagian membeku sebagai debu pasir dan kerikil sebagai material pijar yang dimuncratkan ke langit saat keluar dari lubang letusan. Sementara sebagian lagi keluar sebagai lava pijar membara yang kental dan mengalir lambat. Saat keluar dari lubang letusan, material pijar terlontar hingga setinggi maksimum 700 meter di atas kawah sebelum kemudian jatuh kembali dalam lintasan parabola di bawah pengaruh gravitasi Bumi. Hampir seluruh material tersebut mengendap kembali di kawasan puncak. Terkecuali debu vulkanik yang ringan sehingga paling mudah mendingin tapi juga paling gampang dihembus angin ke jarak yang jauh. Sementara lava pijarnya mengalir sejauh maksimum 1.500 meter dari lubang letusan. Hingga saat ini letusan Gunung Slamet belum menghasilkan awan panas. Jelas bahwa material letusan, khususnya lava pijar, masih berposisi cukup jauh dari pemukiman penduduk di kaki gunung dan belum melampaui radius 4 kilometer dari kawah aktif. Sehingga status aktivitas Gunung Slamet hingga saat ini masih dipertahankan pada Siaga (Level III) dan belum dipandang perlu untuk dinaikkan.
Lava dan Awan Panas
Bentuk tubuh Gunung Slamet unik. Ada lembah besar yang menghubungkan kawasan puncak dengan kaki gunung sebelah barat laut, yakni ke arah Kabupaten Tegal. Melihat bentuknya, lembah besar ini diduga merupakan jejak yang masih tersisa dari letusan mendatar (lateral) yang pernah dialami Gunung Slamet nun jauh di masa silam. Lava pijar yang saat ini diletuskan Gunung Slamet ke barat daya tepat memasuki hulu lembah besar. Andaikata intensitas letusan terus meningkat, lembah besar ini menjadi kawasan yang paling potensial dilalui lava pijar. Selain berpotensi mengalir ke arah barat laut, lekukan di bibir kawah aktif juga memungkinkan lava pijar Gunung Slamet mengalir ke arah timur laut menuju Kabupaten Pemalang, seperti yang terjadi pada 11 September 2014 barusan. Lava pijar yang telah mendingin juga masih memiliki potensi bencana khususnya kala hujan lebat. Butiran-butiran lava yang telah mendingin akan bercampur dan larut terbawa air hujan sebagai lahar hujan yang mengalir ke kaki barat laut Gunung Slamet menyusuri sungai yang berhulu di lembah besar ini. Inilah yang menjadikan kawasan lereng Gunung Slamet bagian utara memiliki kerentanan lebih tinggi dalam menghadapi setiap letusan gunung tersebut.
Bagaimana dengan potensi terjadinya awan panas Gunung Slamet? Sejauh ini, letusan memang telah menghasilkan gundukan yang mengerucut di sekeliling lubang letusan. Apakah gundukan ini kubah lava? Mungkin ya, tapi mungkin juga tidak. Pada saat ini gundukan tersebut masih berada di dalam kawah aktif Slamet. Ia belumlah tumbuh sedemikian besar sehingga belumlah menutupi seluruh bagian kawah aktif. Maka andaikata gundukan ini adalah kubah lava, setiap guguran yang dialaminya terbatasi hanya di dalam lantai kawah aktif. Dengan ukuran yang masih kecil, maka kecil kemungkinan terjadinya guguran/runtuhan besar yang menghasilkan awan panas. Andaikata guguran besar terjadi, sebaran materialnya akan terbatasi hanya di lantai kawah aktif. Dari sini dapat dikatakan bahwa pada saat ini potensi terbentuknya awan panas dalam letusan Gunung Slamet masih amat sangat kecil.
Ukuran gundukan tersebut memang masih bisa membesar lagi seiring masih intensifnya Gunung Slamet memuntahkan magmanya. Jika berlangsung terus secara berkesinambungan, maka di masa depan gundukan ini bisa sedemikian besarnya sehingga menutupi seluruh bagian kawah aktif. Selain membuat Gunung Slamet bertambah tinggi, gundukan yang demikian besar juga bakal lebih tak stabil khususnya jika ia memang kubah lava. Baru dalam kondisi inilah potensi terjadinya awan panas atau wedhus gembel dalam letusan Gunung Slamet membesar. Dengan satu penegasan, jika gundukan itu memang kubah lava.
Apa yang Sebaiknya Kita Lakukan?
Pasca peningkatan intensitas letusan dalam rentang waktu 9 hingga 11 September 2014, kini Gunung Slamet justru cenderung menurun. Ia cenderung lebih kalem. Gelagat ini sejatinya tak mengherankan seiring nihilnya gempa vulkaniknya selepas 6 September 2014. Dengan kata lain suplai magma segar yang baru dalam jumlah signifikan dari perutbumi relatif berkurang. Sehingga lontaran material pijar dan lava pijar beserta suara dentuman dan gemuruh yang ditimbulkannya relatif menurun dalam jumlah yang relatif besar. Situasi kalem semacam ini bakal terus bertahan sampai ada suplai magma segar yang baru lagi kelak. Kapan magma segar yang baru akan kembali naik dari perutbumi? Hanya Allah SWT yang tahu. Ilmu pengetahuan dan teknologi masakini belum memiliki kemampuan untuk memperkirakannya. Kita hanya bisa mengetahuinya tepat pada saat magma segar itu sudah bergerak naik, yang direfleksikan oleh kejadian gempa vulkaniknya. Yang jelas begitu suplai magma segar yang baru terdeteksi, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hari hingga seminggu kemudian intensitas letusan Gunung Slamet kembali meningkat.
Sejauh ini letusan Gunung Slamet masih tetap membatasi lontaran material pijar dan lava pijarnya hanya di sekitar kawasan puncak. Belum ada material vulkanik panas membara yang terlontar melampaui batas radius 4 kilometer dari kawah aktif yang saat ini diberlakukan. Sehingga sejatinya Gunung Slamet masih tetap berada dalam ritme letusan yang telah dilakoninya selama berabad-abad terakhir. Ia masih mempertahankan tipe letusannya pada erupsi strombolian. Ia masih memiliki saluran magma yang terbuka tanpa hambatan berarti, sehingga tak berkesempatan menimbun magma hingga jumlah yang sangat besar ataupun meningkatkan tekanan gas vulkaniknya hingga sangat tinggi. Ketinggian semburan material vulkaniknya pun masih tergolong rendah, juga kepekatan debu vulkaniknya seperti diperlihatkan oleh Volcanic Ash Advisory Committee (VAAC) Darwin. Karenanya ia belum mengganggu aktivitas penerbangan yang melintas di atas/dekatnya. Maka dari itu bisa disimpulkan bahwa potensi Gunung Slamet untuk meletus besar adalah sangat kecil.
Dalam kaitannya dengan ini, menarik untuk mencermati pernyataan Dr. Surono, ahli kegunungapian legendaris yang juga Kepala Badan Geologi. Bahwa tak perlu meden-medeni (menakut-nakuti) terkait (letusan) Gunung Slamet. Ditinjau dari sudut pandang ilmu kegunungapian, letusan Gunung Slamet kali ini masih tergolong kalem. Apalagi jika dibandingkan dengan Letusan Kelud 2014 dan Letusan Sangeang Api 2014 kemarin. Sepanjang tidak memasuki kawasan terlarang (yang beradius mendatar hingga 4 kilometer dari kawah aktif), maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan letusan Slamet kali ini sejatinya bisa dinikmati sebagai obyek wisata baru. Menyaksikan semburan api mencuat dari puncak Gunung Slamet di kala malam akan cukup mengesankan, yang bisa menjadi bagian dari upaya kita memahami kinerja alam semesta sekaligus mengagumi kebesaran-Nya.
Yang jelas ke depan intensitas letusan Gunung Slamet masih berpotensi untuk meninggi kembali seperti barusan terlewat, sepanjang masih terjadi suplai magma segar yang baru dalam jumlah signifikan. Kapan? Hanya Allah SWT yang tahu. Namun saat hal itu kembali terjadi, mari upayakan untuk menekan rasa cemas dan resah kita seminimal mungkin. Tetaplah mengacu informasi pada sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan, dalam hal ini PVMBG melalui Pos Gambuhan ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas. PVMBG dan juga Badan Geologi cukup aktif dalam menyalurkan informasi khususnya lewat media elektronik dan/atau media sosial. Pun demikian sejumlah relawan bencana, yang juga tetap merujuk pada PVMBG. Tak perlu membesar-besarkan klaim, info (apalagi foto) yang belum jelas juntrungannya. Kerap sebuah bencana lokal menjadi petaka yang sungguh berlipatganda, yang sejatinya bisa dihindari, kala informasinya disebarkan sebagai desas-desus yang merambah kemana-mana dalam ranah media sosial.
Catatan :
Beberapa tulisan terkait sebelumnya :
Letusan Gunung Slamet, Antara Mitos dan Realitas.
Gunung Merapi Berstatus Waspada (Level II), Gunung Slamet Meningkat ke Siaga (Level III).
Gunung Slamet (Hampir) Usai Tunaikan Janji.
Bila Gunung Slamet Mencicil Letusan.
Referensi :
PVMBG. 2014. Evaluasi Aktivitas G. Slamet Status Siaga (Level III) Hingga Tanggal 12 September 2014.
sipp…